42nd POLE
~~||~~
Bunyi tanda pesan masuk yang berasal dari ponselnya, membuat Inara tidak jadi tidur. Sedari tadi, gadis itu sudah balik kiri-balik kanan mencari posisi yang nyaman untuk tidur.
Pada akhirnya, ia menyerah. Inara meraih ponselnya yang terletak di atas nakas dan mengecek pesan yang baru saja masuk.
Rama : *send a photo*
Rupanya, Rama–seniornya di Blackpole–mengirim sesuatu ke grup.
Gadis itu menekan gambar yang dikirim oleh Rama, yang ternyata merupakan screenshot dari postingan akun instagram haters yang beberapa kali ia stalk. Bibir Inara manyun mengingat hal itu.
Rama : Inara ketahuan?
Keenan : Sumpah?!
Karel Perwira : Liat capture-an nya Keenan manis
Keenan : Ah iya, makasih Karel cantik
Dimas Satria : Alig! Kasar banget itu mulut
Dimas Satria: Caption-nya kayak orang nggak berpendidikan
Putra Abraham : ...
Farel Bramantyo : Na
Rama : Nara sider
Putra Abraham : Nara lo nggak papa?
Dimas Satria : ...
Dimas Satria : Di saat gue mau ngetawain Putra "kakak ngga dapet, adek pun jadi", terus sadar ini bukan waktu yang tepat
Rama : Berperasaan juga lo
Dimas Satria : Wah kambing
Inara Sekar Ayu : I'm okay abang-abang
Karel Perwira : Abang tukang bakso...
Farel Bramantyo : Gue tatar juga nih si pemilik akun
Dimas Satria : Hayuk kirim bom ke rumahnya
Keenan : Berani-beraninya send hate ke Inara
Bayu Waranggana : Jangan sedih, Nara
Ken : Anggap aja fans yang tertunda
Putra Abraham : Kami di belakang lo
Rahagi : Inara mau tidur jangan berisik
Dimas Satria : Aha kakak yang perhatian
Putra Abraham : Kakak yang baik
Karel Perwira : Uuu tayank tayank
Farel Bramantyo : Uuww
Keenan : Co cwit abiez
Rama : Apaqa itu pertanda cemburong qaqa?
Gadis itu tersenyum haru. Tidak menyangka bahwa mereka sepeduli itu. Gadis itu mengetikkan ucapan makasih kemudian mengirimnya ke grup Blackpole sebelum menekan lambang airplane mode. Setelah itu, diletakkannya ponsel di atas nakas.
Inara baru akan tidur ketika kakaknya, Naya, membuka pintu kamarnya.
Mata Inara terbuka dan menoleh ke arah kakaknya yang masuk ke dalam kamar.
"Gila, ini jam dua dan lo baru pulang?"
"Gue nugas di kosan temen," jawab Naya dengan tampang lelahnya. Seketika, ia teringat sesuatu yang membuat ekspresinya mendadak tidak enak.
"Kenapa, Kak?"
"Gue mau nanya sesuatu yang penting," ucapnya. Perempuan itu menggantung tasnya di belakang pintu, kemudian duduk bersila di hadapan Inara yang masih berbaring di atas tempat tidur.
"Apa?" tanya Inara.
Naya menghembuskan napasnya. "Jujur ya, Na."
Inara langsung mengubah posisinya menjadi duduk. "Kayaknya serius banget."
"Emang serius." Naya menatap Inara tepat di manik mata. "Lo anggota Blackpole?" tanyanya dingin.
Bisa Naya lihat, pupil mata adiknya itu sedikit melebar. Perempuan itu masih menunggu jawaban dan penjelasan yang keluar dari mulut Inara.
"Jangan sampai Kak Naya tahu."
Ucapan Gafar tiba-tiba teringat olehnya.
"Dia udah nge-blacklist Blackpole dari hidupnya."
"Ngg–" mata Inara bergerak ke kiri dan ke kanan. Bimbang.
"Jawab kakak, Inara."
Gadis itu meringis. Ia tidak pernah melihat Naya seserius ini. Sebenarnya, seperti apa hubungan Naya dan Blackpole sehingga kakaknya itu mem-blacklist komunitas ini dari hidupnya?
"I–iya, Kak," aku Inara.
Tercetak raut kecewa di wajah Naya ketika mendengar jawaban Inara.
"Kenapa, Na? Kenapa lo masuk ke sana? Padahal lo pengurus OSIS, ketua DisPara pula. Lo pengkhianat, Na!" kata Naya blak-blakan.
Gadis itu merasa tertohok mendengarnya.
"Gue sebagai mantan ketua OSIS, kecewa sama lo. Dan gue sebagai kakak lo, sangat teramat kecewa."
Air mata Inara berlinang. Kecewa sama lo. Ada berapa banyak orang lagi yang akan mengatakan hal itu padanya? Membayangkannya saja tidak sanggup.
"Lo nggak tahu apa yang udah mereka perbuat dulu ke gue, kan? Mereka itu jahat, Nara! Pergaulan mereka buruk."
"Tapi itu bukan mereka, Kak!" akhirnya, Inara berhasil mengeluarkan pembelaan itu. Ia berhasil mengeluarkan suaranya yang sedari tadi tertahan.
Naya menggeleng menatap Inara, tidak menyangka adiknya itu lebih membela Blackpole ketimbang organisasi yang sudah diurusnya.
"Dari mana lo tahu? Mereka mem-bully gue secara nggak langsung. Mereka ngejelek-jelekin gue. Mereka jahat, Na! Buka mata lo. Nggak usah belain mereka."
"Loyang harus buka mata, Kak." setetes air mata Inara keluar.
Hatinya berada di antara dua kubu yang bertolak belakang.
OSIS dan Blackpole.
Gadis itu tidak tahu harus berada di kubu yang mana. Akan tetapi, ia tahu bahwa keduanya tidak memiliki kelemahan apa pun. Tidak ada yang patut dijauhi atau ditinggalkan.
"Ban mobil gue dikempesin. Loker gue diisi sampah-sampah setiap hari. Foto gue dicoret-coret, ditusuk-tusuk, dan ditempel di mading dengan kata-kata yang nggak banget. Lo masih mau bela mereka?"
"Itu cuma oknum, Kak. Mereka nggak kayak gitu," ucap Inara, masih berusaha membela Blackpole.
"Dulu Gafar. Sekarang lo."
Ekspresi terpukul kentara sekali di wajah kakaknya. Inara sedih melihatnya.
"Maaf, Kak." gadis itu menunduk. "Inara cuma nggak mau kakak terus-terusan benci Blackpole. Mereka nggak pantas dibenci. Mereka nggak seburuk itu. Oknum yang mengatasnamakan Blackpole yang jahat, Kak. Bukan mereka."
Naya terdiam. Cukup lama sepi mengitari mereka.
"Gue benci sama diri gue sendiri, Na. Gue nggak tahu apa yang terjadi sekarang. Gue kesel. Gue pernah berada di posisi lo walaupun dengan alur yang berbeda."
Inara mengangkat kepalanya ketika kakaknya itu bersuara.
"Maaf, Na. Nggak seharusnya gue marah-marahin lo. Pake bilang lo pengkhianat segala."
Inara menatap Naya kemudian memeluknya. "Tapi itu masih lebih baik daripada ngomongin gue di belakang, Kak. Maaf udah ngebentak tadi."
Naya membalas pelukan Inara seraya menutup mata. Perempuan itu mengangguk. "Melihat lo, gue jadi inget diri gue beberapa tahun yang lalu. Waktu itu, pacar gue ketua Blackpole."
Inara merenggangkan pelukannya. "Bang Putra, Kak?" tanya gadis itu hati-hati.
Naya mengangguk. "Dan gue ketua OSIS."
Setelah itu, tidak ada di antara mereka yang bersuara. Inara masih setia menunggu lanjutan kalimat Naya, sedangkan kakaknya itu terjebak dalam pikirannya yang melayang ke masa lalu.
"Hati gue bimbang. Gue ada di tengah-tengah sesuatu yang nggak bisa gue pilih salah satu. Gue mau keduanya. Putra dan OSIS."
Naya menatap Inara. "Tapi gue putuskan untuk memilih OSIS. Gue udah disumpah dan udah tanda tangan perjanjian. Gue nggak boleh egois."
"Lagipula, gue nggak punya alasan buat mempertahankan dia. Dia bohong, Na. Dia tahu siapa yang ngerjain gue, yang mem-bully gue. Tapi dia diam aja, ngebuat gue semakin yakin kalo emang anggotanya yang jahatin gue. Bikin gue semakin benci sama Blackpole."
"Dan sekarang, lo datang. Lo datang, bilang kalo itu cuma oknum. Oknum yang bawa-bawa nama Blackpole. Asal lo tahu, Na. Fakta yang lo bawa itu bikin gue merasa bersalah. Ke Putra apalagi. Tapi dia juga salah. Kenapa nggak ngejelasin ke gue yang sebenarnya."
"Bang Putra pasti punya alasan sendiri, Kak."
Naya menghembuskan napas panjang.
Inara memeluk kakaknya itu. "Makasih atas kebesaran hati lo buat percaya sama gue, Kak."
Mereka berdua berpelukan cukup lama. Rasanya sudah lama sekali mereka tidak berpelukan seperti itu.
"Jadi apa rencana lo ke depannya?"
"Membersihkan nama Blackpole mungkin," ucap Inara sangsi.
"Dengan nama lo yang udah jelek begitu?"
"Gue tinggal nunggu surat pencabutan jabatan dari MPK kali ya, Kak." gadis itu tertawa miris.
"Kalo emang menurut lo Blackpole nggak seburuk itu, lanjutkan, Na. Jangan peduliin kata orang. Lagipula, gue yakin Bu Aminah nggak bakal setuju kalo jabatan lo dicabut."
"Semoga, Kak. Tapi kalo disuruh memilih, gue nggak mau milih keduanya. Lebih baik gue mundur OSIS dan keluar dari Blackpole. Karena keduanya terlalu berharga. Gue... nggak sanggup ngelepas salah satu. Keduanya, atau nggak sama sekali."
Naya tersenyum kecil. "Gue seneng adik kecil gue nggak menelan gosip mentah-mentah kayak gue dulu."
"Tapi, kayaknya Bang Putra masih menyimpan rasa buat lo, Kak."
Mendengar itu, pipi Naya bersemu merah walaupun samar.
"Jangan bikin gue berharap, plis." Naya beranjak dari tempat tidur.
Inara tersenyum jahil seraya berbaring. "Cie, yang masih berharap."
"Berisik. Udah sana, tidur. Gue mau mandi."
"Cie, salting." gadis itu masuk ke dalam selimutnya.
"Na." Naya memutar bola matanya, sedangkan Inara cekikikan di balik selimutnya.
"Btw, makasih, Kak," ucap Inara pelan sebelum masuk ke alam mimpi.
Mendengar hal itu, Naya menatap selimut yang membungkus tubuh adiknya dari ujung kaki ke ujung kepala, kemudian tersenyum.
"Makasih juga, Na."
# # #
Inara menarik kertas-kertas di mading. Gadis itu berniat mencari tahu siapa pelaku yang tega membuat berita provokasi seperti ini.
Keadaan kelas masih kosong. Hanya ia yang baru datang mengingat masih pagi sekali. Gadis itu berjalan menuju mejanya.
"Wih, ada apa nih datang pagi-pagi?"
Inara berbalik dan menemukan Aneke tengah tersenyum ke arahnya. Gadis berkuncir kuda itu melirik kertas-kertas yang berada di tangan Inara.
"Btw, gue percaya lo nggak seburuk yang di berita itu, Na."
"Makasih, Ke." Inara meletakkan tasnya di atas kursi, kemudian mengekori Aneke yang berjalan menuju mejanya yang terletak cukup jauh dari tempatnya.
"Ngomong-ngomong soal berita kemarin, gue mau nanya nih, Ke." Inara duduk di sebelah Aneke.
"Apa tuh?" tanyanya.
"Kira-kira, yang nulis berita ini anak jurnalistik atau nggak?" Inara menyodorkan kertas-kertas tersebut.
Aneke memeriksa lampiran foto dan menerawang kertas tersebut. Gadis itu kemudian menggeleng.
"Nggak, Na. Biasanya, berita keluaran tim jurnalistik itu ada watermark logo jurnalistik di ujung fotonya. Terus, kertasnya juga ada watermark gitu. Yah, kayak yang ada di uang asli. Kalo di terawang ada gambar yang terlihat."
"Kira-kira siapa ya, Ke?"
Aneke tampak berpikir. "Haters lo kali, Na? Atau adik-adik yang kesel sama lo pas MPLS? Tapi lo kan baik, kayaknya nggak mungkin adik-adik, deh."
"Hmmm. Gue bener-bener nggak punya ide siapa yang kurang kerjaan ngelakuin ini."
"Bisa jadi dia iri sama lo. Atau, dendam masa lalu?"
Kening Inara berkerut memikirkannya.
Dendam masa lalu ya.
Akan tetapi, seingatnya ia tidak punya musuh di masa lalu.
~~||~~
A/N
Rahaginya disimpen dulu ya. Hihihi.
Ada yang mau nebak siapa yang majang berita itu di mading beserta motifnya?
23 Juni 2017