So I Married A Senior

By aristav

11M 818K 36.6K

Tersedia di Seluruh Toko Buku! #SeriesCampus1 Biar kuberitahu kamu satu hal. Laki-laki itu, yang sedang bera... More

So I Marry A Senior
Nikah itu Apa sih?
Jiper
Surat Cinta untuk Presiden BEMku
Ada Apa dengan Jantung Keya?
Hari Terakhir Ospek
She's My Wife
Gara-Gara Bihun
Jiper Bikin Baper
Zona Baper
Firasat
Secarik Puisi
Kenanganmu
Kamu Istriku
Pesan dari LINE
Tentang Rania
Confused
Mimpi
If We Have A Baby...
Yakin, Siap LDR?
Jealous
In My Arms
How Can't I Love You?
Before (1): Us
Before(2): His Pieces
Before(3): His Past
The Day: Close Your Eyes
Never Be Alone
Gone
Sementara Melepas Rindu
Akhir
Epilog
Sekuel
Dapatkan di Toko Buku!

Sorry

269K 22K 638
By aristav

Sisi di mana saya berdiri adalah sisi yang tidak pernah kamu lewati dan sisi di mana saya diam adalah sisi yang selalu kamu anggap mati, pada akhirnya kamu tidak pernah berjalan pada sisi yang saya tempati.

                  [trailer by disonansi]

Perasaan wanita itu memang sensitif. Dan perasaan pria memang tidak ditakdirkan menjadi sensitif. Perempuan cenderung berpikir menggunakan perasaan, sedangkan pria cenderung berpikir menggunakan logika atau pikiran.

Perasaan sensitif Keya itu sungguh menyiksa. Perasaan merasa diabaikan oleh Jiver akhir-akhir ini. Laki-laki itu bisa sangat larut pulang ke rumah, saat Keya sudah tertidur di atas sofa, dan keesokan paginya Keya mendapati dirinya sudah berada di dalam kamar. Selalu seperti itu, dan sudah berlangsung selama hampir satu bulan ini. Entahlah apa yang dikerjakan laki-laki itu, atau hanya perasaannya saja, ia seperti tak mengenali Jiver. Saat terbangun di pagi hari pun, Jiver masih tertidur, mengingat jam kuliah Jiver sudah tidak sepadat dirinya, jadi laki-laki itu jarang datang ke kampus ketika pagi. Tidak seperti Keya yang nyaris selalu masuk kuliah pukul tujuh, seperti anak sekolah.

Come on! Sudah mahasiswi tapi jam masuk masih seperti anak SD. Kadang, Keya ingin protes pada bagian akademik yang mengatur jam perkuliahan. Sampai ia sadar itu adalah tindakan yang maha sia-sia.

Huft

Keya membuang napas. Bakso di depannya begitu menggugah selera, tapi tak mampu menumbuhkan rasa laparnya. Ia bukannya ingin memakan semangkuk bakso, lengkap dengan bakwan, tahu dan teman-temannya. Tapi, Keya rindu Jiver, Keya ingin menghabiskan banyak waktu dengan laki-laki itu.

"Lo ngapain sih bengong melulu? Itu bakso kalau dianggurin buat gue aja. Kasihan udah dibeli tapi nggak jadi dibelai sama mulut," cerocos Maya sambil mengamati semangkuk bakso Keya yang masih utuh, sedangkan miliknya sudah menyisakan mangkuk dan remah-remah bihunnya saja.

"Mas Jiper aneh."

"Huh?"

Maya menautkan alisnya. Mereka sedang berdua saat ini, tak ada Lily bersama mereka. Gadis itu sedang tes wawancara untuk seleksi anggota Badan Eksekutif Mahasiswa di tingkat Fakultas.

"Dia selalu pulang malem banget, terus pas gue bangun dia masih tidur. Gitu aja terus."

"Bukannya udah biasa?"

Keya mengerjapkan matanya beberapa kali.

"Kali ini beda. Gue ngerasa kita agak jauhan sekarang."

Maya mengetuk-ngetuk jemarinya di atas meja kantin. Sambil mengamati Keya dan sok sibuk memikirkan segala kemungkinan, mengapa sifat Jiver tiba-tiba saja berubah.

"Udah berapa lama?"
"Apanya?" Keya menatap Maya bingung, membuat Maya mendengus menatap Keya sebal. Tuh kan lemotnya kambuh.

"Lo ngerasa dia berubahlah."
"Oh...emh hampir sebulan sih."

Maya mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu sibuk berpikir lagi, barangkali ada salah satu teori Newton, Bandura, Freud atau siapalah itu yang bisa dikaitkan atas hipotesis sementaranya tentang Jiver.

"Gue sih punya hipotesis gini, Key. Hipotesis doang loh ya ini, yang artinya kebenarannya perlu diuji dulu. Jadi, kemungkinan itu..."

"Ishhh Mayyyy! Apaan?"
"Sabar atuh, gue minum dulu."
"Buruan!"
"Jadi, kayaknya Mas Jiper yang aduhai idaman semua pembaca itu s-e-l-i-n-g-k-u-h," kata Maya mengucapkan kata itu pelan dan penuh penekanan.

Keya menelan ludahnya susah payah. Jiver selingkuh? Kalau iya kurang aja banget sumpah. Akan Keya tendang asetnya biar tahu rasa. Keya serius. Keya tidak suka kalau mereka sudah membuat komitmen tapi ternodai dengan perselingkuhan. Tapi...dia kan juga pernah hampir mengkhianati Jiver? Keya menumpukan kepalanya di atas meja, mengabaikan baksonya yang sudah mendingin.

"Duh, Ke. Itu kan hipotesis doang, lo jangan nanggepin serius deh," ucap Maya merasa tidak enak. Mulut embernya sudah berhipotesis seenak udel dan membuat anak orang kehilangan nafsu makan baksonya. Mungkin ini efek semalam Maya dan Lily menonton sinetron di mana tokoh utamanya kawin lagi, jadi terbawa suasana ketika membuat hipotesis abalnya tadi.

"Lo bener, May. Apalagi kan lo tahu sendiri si Acha putri kampus yang aduhai, cantik, pinter, seksi idaman semua cowok suka sama laki gue?"
"Keyyy..."
"Nah gue apaan? Cuma daki kebo yang nggak cantik, nggak pinter, nggak dewasa. Nggak bisa masak lagi."

Keya masih nyerocos. Pikirannya sedang buruk saat ini.

"Lo dari dulu nggak berubah."

Suara Arsa membuat Keya kaget. Perempuan itu mendapati Arsa sudah berada di dekatnya.

"Kak Arsa?"

Terkejut. Keya bingung, kenapa tiba-tiba saja Arsa muncul di kantin fakultasnya. Padahal kan fakultas laki-laki ini ada di sebelah.

"Lo tuh dari dulu nggak pernah ngehargain diri lo. Suka jelek-jelekin fisik sendiri, bilang nggak cantik, bilang bodoh. Key...Key."

Arsa menarik salah satu kursi yang ada di kantin. Sifat Keyana yang satu ini, sudah dihafal benar oleh seorang Arsa Pratama Putra. Keya memang bukan gadis yang memiliki tingkat kecantikan setaraf para ratu yang mengikuti ajang kontes kecantikan dunia, tapi bukan berarti Keya jelek. Bagi Arsa, she has a natural beauty. Yang paling penting, Keyana ini orang yang apa adanya dan cenderung memiliki pikiran terbuka. Bukan seperti kebanyakan perempuan sok jaim di luar sana. Ketika Keya tidak suka ia akan mengatakannya, begitu pun ketika Keya suka.

"Kak Arsa kenapa di sini deh?" Keya menatap Arsa penasaran.

"Tadi ada rapat buat serah terima jabatan se-Univ. Terus habis itu gue ke sini, niatnya mau beli rokok sebelum balik, tapi malah ketemu lo. Lo, kapan berubah, Ke?"

"Berubah apaan? Power rangers?"
"Hahaha..."

Arsa tergelak. Ia benar-benar gemas melihat Keya.

"Ngerubah sifat lo, pikiran lo yang selalu negatif sama diri lo sendiri."

Keye membasahi bibirnya. Ia lupa tak memakai lipbam rasa cherrynya tadi.

"Cangcimen...cangcimennnn...seribu tiga, tadi aja galau gegara laki lo, nah sekarang?" celutuk Maya, setelah ia merasa menjadi tak kasat mata di depan dua manusia itu.

"Ish Mayaaaa!"

Arsa terkekeh, ia melirik Maya sekilas. Sadar, dirinya dan Keya sudah tak mengacuhkan gadis itu.

"Tadi temen lo bilang 'laki'? Maksudnya?"

Mata Keya terbeliak. Ia menatap Maya yang hanya meringis sambil mengacungkan dua jari tangannya. Kesal, Keya menginjak kaki Maya cukup keras, dengan kaki yang terbungkus sepatu kets miliknya.

"Adaw, sakettsss..."

"Emh anu itu, sebenernya gue itu Kak, umh udah nikah hehe iya udah nikah."

Keya menggaruk kepala bagian belakangnya yang tidak gatal, sambil menunggu macam ekspresi yang akan dikeluarkan oleh Arsa.

"Serius? Lo nikah muda? Nggak 'kecelakaan' kan?" Arsa memeragakan kedua jarinya membentuk tanda kutip.

Keya melotot, "ngawur aja. Mulut lo, Kak. Emang gue ada tampang cewek nggak bener gitu?"

Arsa tersenyum aneh. "Ya ngga sih. Tapi, menurut pengalaman gue banyak kok cewek pendiem atau yang kelihatannya baik eh tahunya 'gitu'."

Keya menggeplak Arsa, membuat Maya terbahak. Sisi asli Keya yang bar-bar sudah keluar.

"Kampretttt....Ihhh nyebeli lo, Kak!"
"Lagian lo nggak ngundang gue!"
"Ntar empat tahun lagi!"
"Hah?"

Obrolan mereka terinstrupsi oleh suara ponsel Arsa. Setelahnya laki-laki itu berpamitan pada Keya dan Maya karena ia harus segera kembali ke fakultasnya. Sebelum sempat menyelesaikan urusannya dengan Keya. Mungkin lain kali.

***

Seluruh badan Jiver ingin remuk. Tas di punggungnya seperti sebuah beban yang tampak berat, walau sejatinya tas itu hanya berisi sebuah laptop, dan beberapa bukunya saja. Mengerjakan skripsi membuat pikiran dan tenaganya terkuras habis, beruntung dia tak begitu banyak mendapati coretan dari dosen pembimbingnya sewaktu konsultasi tadi. Dan selain itu, ia juga tengah disibukkan untuk mengurus usahanya yang tengah berkembang, sehingga kadang membuatnya baru pulang ke apartemen pada tengah malam.

Melihat lagi-lagi Keya tertidur di atas sofa, membuat laki-laki itu menghela napasnya berat. Istrinya itu pasti menunggunya hingga larut. Dan, ia tidak sadar sudah mengabaikan Keya beberapa hari belakangan ini.

"Masih inget pulang?" Ujar Keya tiba-tiba. Mata gadis itu terbuka, menatap setengah malas pada Jiver.
"Ke?"
"Aku pikir kamu lupa jalan pulang."
"Keyana...aku lelah. Jangan mengajakku berdebat."
"Aku istri kamu loh. Kalau aja kamu lupa, Mas!"
"Maaf..."
"Huh?"
"Aku sibuk mengurus skripsiku."
"Tapi ngasih kabar bisa kan?"

Jiver diam. Oke, dia memang bersalah. Kesibukannya membuat ia mengabaikan Keya.

"Aku mau pulang ke rumah mama. Kamu, silakan selesein skripsimu. Mending kita sendiri-sendiri dulu. Hampir satu bulan, aku cuma bengong di sini nunggu kamu pulang hampir tiap hari. Nggak bisa, Mas. Aku nggak bisa begini terus. Toh bulan depan juga udah UAS dan liburan, pasti kalau kamu pergi, aku makin ngerasa kesepian."

"Kee...kamu bisa dewasa sedikit nggak? Jangan kabur kalau ada masalah. Kita bisa bicarain ini baik-baik!"
"Aku memang kekanak-kanakan! Aku nggak bisa dewasa kayak Acha, aku Keyana yang masih nganggep dirinya kayak anak kecil!"

Keya mulai terisak. "Aku tuh nggak siap nikah, Mas! Beneran...aku nggak bisa jadi istri disaat aku sendiri masih butuh bimbingan orang tuaku. Aku nggak sedewasa itu."

"Aku nggak suka sendiri, Mas. Aku mau pulang ke mama aja kalau kamu masih sibuk."

Jiver berjalan, ia membawa Keya dalam pelukannya. Ia memang sepenuhnya salah di sini. Mengabaikan Keyana adalah kesalahan besar. Ia lupa telah menikahi gadis di ujung masa remaja dengan pola emosi fluktuatif, yang tentu saja mudah baper, tersinggung dan sensitif.

"Maaf, Ke. Aku tahu seusiamu belum siap menikah. Maaf, sudah membuat masa remajamu terenggut."
"Udah nggak usah minta maaf, udah terlanjur juga."
"Ke...jangan pulang ke rumah mama, ya?"

Keyana menggeleng. Keya butuh menginstropeksi dirimya sendiri, di rumah mamanya, ia berharap bisa memikirkan semuanya.

"Kamu nggak selingkuh kan, Mas?"
"Demi Tuhan, Ke. Itu nggak mungkin."

Keya bernapas lega. "Aku tetap mau pulang ke rumah mama, sampai skripsimu seenggaknya selesai."

Jiver mengurai pelukannya. Ia menghela napasnya. Ada alasan lain mengapa ia sering pulang larut demi pekerjaan sampingannya, sebelum meninggalkan Keya beberapa bulan lagi, karena kemungkinan tidak ada kendala dengan skripsinya. Ia harus memastikan hidup Keya di sini, Keya adalah tanggung jawabnya. Lebih lagi, papanya sudah mulai menyuruhnya untuk apply pendaftaran program pasca sarjana di beberapa universitas di Eropa. Jiver tahu, ia tak punya banyak waktu bersama Keya.

"Lo harus ajarin Keya hidup mandiri, Ver. Lo nggak boleh bikin Keya bergantung sama lo. Karena kalau sampai iya, pas kalian LDR nanti, dia bakal susah," kata Amir sewaktu mereka sedang ngopi di Mbak Supik.
"Gue bingung harus gimana, Mir."

Amir berdecak. Jiver boleh pintar dalam urusan negosiasi dengan para petinggi kampus, tapi negosasi dengan istrinya atau soal urusan hati, nol besar. Sejak dulu, laki-laki itu ketika sudah menyayangi seseorang, ia akan sangat menjaga seorang tersebut, meski tak jarang hal tersebut membuat bumerang bagi dirinya.

"Pelan-pelan ajarin dia tanpa lo. Lo nggak boleh terlalu sering ketemu dia atau hubungin dia."
"Lo yakin?"
"Iyalah. Lo juga harus fokus sama skripsi dan usaha kita kan? Katanya lo mau bertanggung jawab atas hidup dia?"

Jiver mengangguk-anggukkan kepalanya. Amir ada benarnya juga.

"Kalau kejadiannya seperti kemarin? Bagaimana?"
"Halah...anggap aja ini ujian...haha."

Amir menyesap rokoknya, mengakhiri obrolan tidak pentingnya bersama Jiver.

"Kamu pegang ini ya, Ke. Jangan minta uang sama papa dan mama," ucap Jiver sambil menyerahkan sebuah kartu debit silver pada Keya.
"Ini apa? Eh buat apa maksudnya?"
"Buat kamu. Kamu istriku, sudah seharusnya aku menafkahimu kan?"
"Nggak usah. Aku punya uang sendiri kok."
"Sekali-kali kamu harus menurutiku, Keyana. Itu bukan yang dari orang tuaku, kalau itu yang kamu takutkan."
"Lalu?" Keya menatap Jiver sangsi.
"Aku punya usaha."

Keya beroh ria. Tidak bertanya lebih lanjut pada Jiver. Ia masih sedikit kesal pada laki-laki itu, tentu saja. Diabaikan itu nggak enak kan?

***

Keyana: skripsi sih boleh, tapi jangan lupa makan. Aku pergi ke rumah mama hari ini. Kamu kalau kangen ke sini ya.

Jiver menahan tawanya membaca isi pesan Keya. Mana mungkin ia tidak akan merindukan istrinya yang tukang ngambek itu?

Jiver Erlangga: nanti aku ke sana. Kamu mau dibawain apa? Dan jangan lupa belajar buat UAS.

Jiver menutup laptopnya, dan memberesi bukunya di ruang baca. Ia hendak pergi sebelum Acha datang mengistrupsinya.

"Kak Jiver, aku mau bicara. Bisa?"
"Kenapa, Cha? Ada masalah sama pelantikan BEM yang baru?"
"Bukan. Ini masalah pribadi."
"Oke."

Acha mengajak Jiver ke kafe di depan kampus. Ia harus segera mengatakan hal ini pada Jiver. Setidaknya Jiver harus tahu bagaimana perasaannya selama ini. Acha hanya tidak ingin hidup dalam penyesalan karena tak sempat mengatakan hal ini pada Jiver.

"Aku lolos program pertukaran mahasiswa selama satu tahun di luar negeri, Kak."
"Wah bagus, Cha. Selamat ya."

Acha membuang napasnya. Ia gugup, Jiver memang magis, wajahnya dewasa dan berwibawa, ia juga laki-laki yang baik. Tak salah jika Acha menyukai laki-laki ini.

"Sebelum aku pergi, dan sebelum kamu lulus. Aku mau ngomong  satu hal sama kamu."

Acha menelan ludahnya susah payah. Jiver hanya menatapnya dengan tenang. Seperti biasa, laki-laki ini memiliki ketengan luar biasa.

"Aku yakin kamu tahu perasaanku selama ini. Aku juga tahu kamu sudah menikah. Dan it's hurt me. Tapi aku nggak punya hak apa-apa buat marah."

Jiver menyesap kopinya.

"Aku selalu berusaha buat terlihat di mata kamu, ikut organisasi, ikut ajang putri kampus, ikut PKM dan hal-hal lainnya. Supaya, supaya kamu bisa lihat aku. Tapi..."

Acha membuang pandangannya. Ia tahu ia sudah menjatuhkan harga dirinya sendiri. Sekali ini saja.

"Kamu nggak pernah berbalik buat melihatku. Dan kenyataan kamu udah nikah, bikin aku sadar, sesadar-sadarnya, kesempatan buat sama kamu, sudah nggak ada. Tapi ngelupain kamu juga nggak mudah, Kak."

"Aku cinta sama kamu, sejak jadi maba dulu sampai hari ini."

Kata-kata yang sudah ia tahan pada akhirnya lepas juga. Acha menatap Jiver dengan muka pias.

"Maaf, Cha. Gue nggak tahu lo seterluka ini. Maaf, gue tahu lo perempuan hebat, teruslah jadi hebat, Cha, lo harus bisa lupain gue."

Jiver mengambil beberapa lembar uang untuk membayar kopinya. Keterlaluan? Itu adalah cara Jiver untuk menolak, karena ia tak ingin seseorang berharap padanya, ia sudah punya Keya, dan itu cukup. Ia mengulurkan tangannya pada Acha.

"Jadilah sukses, Cha. Masa depan yang baik sedang menunggu lo," katanya, ia menghapus sisa air mata Acha sebelum pergi. Meninggalkan sebongkah kelegaan sekaligus luka di hati Acha.

***
Cerita ini memasuki sesi drama. Namanya juga cerita, maklumin kalau ada dramanya. kalau enggak suka silakan left, komentlah dengan sopan.

Oiya doain gue supaya ip gue bagus ya wkwk, deg degan nunggu sisa nilai yang belum muncul.

Huft semoga cerita abal dan engga mutu ini nggak ada yang plagiat deh ya.

Continue Reading

You'll Also Like

2.4M 266K 47
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...
389K 14.8K 84
[Completed] Kalian tahu rasanya memperjuangkan seseorang tapi yang diperjuangkan sama sekali tidak mengerti artinya perjuangan? Dua orang yang selalu...
3.2M 175K 38
Siapa yang tak mengenal Gideon Leviero. Pengusaha sukses dengan beribu pencapaiannya. Jangan ditanyakan berapa jumlah kekayaannya. Nyatanya banyak pe...
8.3M 314K 39
[Sudah diterbitkan sejak September 2016 oleh Elex Media Komputindo] "Kenapa harus menyakiti jika kamu tau sesakit apa rasa kesakitan itu?" 11-07-2015...