Not Me

By KuroyukiRyu

13.4K 168 54

Saat aku kembali bertemu denganmu, kau berkata jika semuanya selesai. Kau dan dia. Saat itulah pancaran hara... More

Not Me in Your Eyes

13.4K 168 54
By KuroyukiRyu

Not Me

By Kuroyuki Ryu

.

.

.

Ini sudah tahun kelima sejak terakhir kali aku melihat dirinya. Aku bertanya-tanya bagaimana kabar dirinya sekarang.

Seharusnya aku sudah melupakannya, tapi apa ini? Ia masih jelas dalam ingatanku. Desah napasnya, tatapan tajamnya, sentuhan lembutnya, semuanya.

Sial.

Aku mengumpat untuk kesekian kalinya.

Kubalikkan tubuhku ke kanan, punggung telanjang seorang pria menyapa pagiku. Aku mendengus pelan karena hal itu.

Kalian tentu mengerti apa yang telah terjadi sebelum ini tanpa perlu kujelaskan.

Aku pun memutuskan untuk menarik diri, bangkit dari nyamannya kasur putih yang menggoda. Aku memungut bebarapa potong pakaian yang berserakan di lantai. Pakaianku.

Aku memakai pakaianku kembali tanpa pergi ke kamar mandi. Selesai dengan itu, kumelangkah mendekati nakas di samping ranjang. Menarik salah satu laci di sana dan dapat kutemukan sesuatu yang kucari.

Selembar kertas dan pulpen.

Ekor mataku melirik untuk terakhir kali pada sosok yang masih tergelung dalam mimpi di sana, tepatnya di atas ranjang. Aku tidak ingat dia pria keberapa selama 5 tahun ini. Lagipula aku juga tidak serius dengannya.

Pelarian? Ya, kalian bisa menyebutnya seperti itu.

Kubawa pulpen itu dalam genggamanku dan menuliskan sesuatu diatas kertas yang kudapatkan. Biasanya jika aku tidak mendapatkan benda itu, aku akan membuat pesan melalui ponsel.

Tulisanku selesai dan aku pun selesai. Kuletakkan kertas itu di atas nakas, bukan di dalam laci.

'Maaf, kita selesai. Terima kasih.'

Dan aku berlalu pergi setelah menyambar tas milikku di sofa.

Tangan kananku terangkat ke udara, dapat kulihat arlojiku menunjukkan pukul 11 siang.

Ah, aku bangun sesiang ini.

Aku membawa langkahku di trotoar kota, tidak ada taksi saat ini. Maksudku, aku hanya ingin berjalan-jalan menikmati kota sebelum kembali mengurung diriku.

Beberapa aroma manisnya kue dan kopi mengguar bersamaan mengiringi langkahku. Menenangkan dan aku menyukainya. Mungkin sebelum tiba di rumah, aku akan mampir di salah satu toko atau kafe untuk membeli sesuatu.

Tiramisu cake misalnya.

'Brukk!' lamunanku buyar kala sesuatu menabrak bahuku cukup keras hingga membuatku terhuyung ke belakang, namun tidak sampai membuatku terjembab di atas trotoar.

"Maaf, apa kau tidak apa-apa, Nona?" suara seorang pria menyapa indra pendengaranku.

'Deg!' Suara ini.

Suara yang kurindukan.

Kepalaku mendongak dengan dada bergemuruh, tanganku gemetar di sisi tubuhku.

"Alice?!" dia terkejut melihatku. Tidak terkecuali aku.

Dia di sini. Pria di depanku benar-benar dia. Wajahnya sama sekali tidak berubah, hanya saja ia lebih terlihat dewasa sekarang.

"Hei, Alice?!" dia kembali memanggilku, ini membuatku sadar.

Tidak, aku tidak berharap secepat ini bertemu denganya. Aku belum siap.

Kedua kakiku tergerak mundur perlahan tanpa kusadari, tapi ia menyadari hal itu. Aku harus segera pergi dan lari sekuat mungkin untuk menghindarinya.

Tapi- 'grepp!'

Pergerakkanku kalah cepat darinya. Ia mencekal pergelangan tanganku sebelum aku berhasil kabur.

Oh, Tuhan.

Gemuruh di dadaku semakin bertalu-talu, tubuhku bergetar hebat, dan lidahku kelu.

Tak ada satu pun kata yang dapat kukeluarkan.

"Alice, kau tidak apa?" ia kembali bersuara untuk kesekian kalinya.

"Le-lepaskan," gumamku dengan suara bergetar. Aku mencoba menarik tanganku, tapi cengkramannya tidak membiarkanku lepas. Ia malah menarik tanganku ke arahnya, menabrakan diriku padanya.

Dan entah bagaimana caranya aku berakhir dalam dekapannya.

"Aku merindukanmu," itulah kalimat yang ia bisikan.

Kalimat yang begitu cepat mengusik tubuhku. Membuat memoriku kembali terlempar pada lima tahun yang lalu. Sesuatu yang sudah kucoba simpan rapat-rapat. Menjadikannya pandora manis di dalam pikiran sendiri.

Aku ingin menolaknya, tapi tak bisa. Rasa lain yang lebih besar mengalahkan egoku, menampik segala yang sudah kucoba untuk menahannya.

Jahat sekali.

"A-aku..." kalimatku tercekat dalam tenggorokanku sendiri. Ia mengeratkan pelukannya padaku.

Aku yakin orang-orang yang berlalu lalang menangkap pandang ke arah kami, berpikir jika kami adalah sepasang kekasih yang tengah meluapkan kerinduannya.

Ya, kami meluapkan rindu, namun kami bukanlah sepasang kekasih.

"Ikut aku," ia melepaskan dekapannya dan menarik tanganku agar mengikuti langkahnya. Dia membawaku ke gedung apartement yang baru saja kutinggalkan.

Tak ada kata-kata yang mengudara di antara kami. Hanya langkah kami yang terdengar gaduh beradu dengan lantai.

Ia membawaku dalam sebuah kamar dan entah bagimana kami berakhir dengan beradu lidah.

Kedua lengannya mendorongku, menabrakkan diriku pada dinding dingin bercat putih di belakangku. Menghimpitku dalam kuasanya.

Salah satu tangannya terangkat, menarik kepalaku semakin dekat padanya, membuat pagutan kami semakin dalam. Bibir candu yang begitu kurindukan, dan aku menikmati ini.

Tidak, ini salah.

Bukan ini yang seharusnya terjadi ketika kawan lama berjumpa, bukan? Seharusnya kami duduk bersama dengan secangkir teh hangat menemani obrolan ringan.

Bukan saling melumat bibir dan mendorong diri satu sama lain.

Aku menggelengkan kepalaku, berusaha melepaskan pagutannya dan mendorong dadanya pelan agar menjauh dariku. Tapi kuasanya lebih besar dariku, apa yang kulakukan tidak berarti apapun padanya.

"Aku merindukanmu," ia mengulang kalimatnya lagi.

Entah bagaimana yang harus kurasakan. Senang kah? Atau marah?

Senang karena ia merindukanku, dan marah karena aku yang kembali jatuh begitu mendapati dirinya di hadapanku.

Aku mendorong bahunya lebih kuat dan itu berhasil. Ia mengambil jarak namun tidak melepaskanku.

"Maaf, tidak seharusnya kita seperti ini," tuturku dengan mencoba mengulas senyum tipis. Namun, kulihat ia hanya menundukkan wajahnya, mencoba menyembunyikan wajahnya dariku.

Aku bertanya-tanya ada apa dengannya.

"Apa yang terjadi?" tanyaku sarat dengan nada khawatir. Tangan kananku terangkat, menyentuh rahangnya dan membuatnya mendongak. Menatapku.

Dan mata kami saling bertatapan.

"Kami bercerai setahun lalu," ucapnya singkat. Aku mengerti dengan kata yang ia maksud dengan 'kami'. Tentu saja ia dan istrinya yang dinikahinya lima tahun lalu.

Tak ada kata yang dapat kukeluarkan sebagai respon. Aku hanya terdiam menatapnya, menuntut penjelasan melalui tatapanku.

"Dia berselingkuh." Benar-benar alasan yang klise.

Lalu, apa yang harus kulakukan?

Ia kembali menarikku, membawaku dalam lumatan memabukkan.

Sial, aku tidak dapat menahan diriku kala salah satu tangannya meremas pinggulku, menghantarkan sengatan listrik yang berefek besar pada kesadaranku.

Pikiranku kosong. Tak ada lagi yang kupikirkan saat aku memutuskan mengangkat kedua tanganku, meremas surai legamnya.

Dan kali ini, bibirnya mencari jajahan baru. Menyusuri tengkuk leherku dan menghujaminya dengan kecupan-kecupan ringan. Aku tau ia masih mencari titik lemahku.

"Enghh...." erangan pelan lolos begitu saja dari mulutku ketika kurasakan bibirnya menyesap kulit leherku dalam-dalam di satu titik.

Satu tanda berhasil dibuatnya.

Tidak hanya di sana, ia melanjutkannya ke titik lain.

Aku kembali tersadar saat tubuhku terdorong kasar ke atas ranjang dengan dia mengukung tubuhku dengan dirinya di atasku. Ekspresinya sama seperti saat itu.

Ia terengah, begitu pun denganku. Napas kami terdengar beradu pelan.

"Aku...tidak dapat menahannya," ucapnya setengah menggeram pelan.

Aku tidak tau apakah yang kulakukan salah atau tidak. Aku menarik dirinya padaku.

Kami kembali mengeliminasi jarak, menyesap satu sama lain. Biarlah hari ini aku menjadi miliknya dan dia menjadi milikku.

Belaian lembut yang terasa di perutku membuat tubuhku menegang, erangan pelan lolos tanpa kusadari. Berlanjut hingga ia berhasil meraih dadaku dan membawanya dalam permainan tangannya.

"Anhhh...emnnhh..." aku tidak menahan eranganku, membiarkannya lolos agar ia dapat mendengarnya.

Bolehkah aku kembali berharap dengan semua ini? Ia bukan milik 'dia' lagi atau milik siapapun.

Tolong, lihat aku.

Aku merasa ada air mata yang menggenang di pelupuk air mataku.

"Alice? Kau menangis," aku tersentak mendengar pertanyaan dari suara baritonenya. Semua pergerakkannya terhenti, tapi ia tidak mengubah posisinya.

Mengapa aku menangis? Aku tidak tau.

Aku hanya menggelengkan kepalaku beberapa kali, menunjukkan seulas senyum manis padanya, mengatakan bahwa aku baik-baik saja melalui tatapanku.

"Jangan menangis karena aku," kalimat itu membuatku terdiam kaku dan ia melanjutkan aksinya yang sempat tertunda.

Menarik lolos blouse dan rok spanku, meninggalkanku dalam sepotong pakaian yang tidak dapat menutupi sebagian besar tubuhku. Rasa dingin dapat kurasakan sebelum ia mendekap diriku, membawaku ke dalam kehangatannya.

"Aku ingin berada di dalammu," bisiknya kala bibirnya menjelajah di pusatku. Membuat tubuhku menggelinjang resah karenanya.

Hingga tidak lama, ia benar-benar meloloskanku, menanggalkan potongan pakaian tersisa dan membuangnya melalui bahunya.

"Akhhh...annkhhh~" desahanku mengeras dan kumerasakan denyutan tak asing di bawah sana.

Ada sesuatu mengalir di sana.

Dan itu karena perbuatannya.

Ia merangkak naik, mensejajarkan wajahnya padaku. Aku dapat menangkap bayanganku dalam bola matanya. Namun aku merasa tatapannya kosong.

Bibirku yang sudah membengkak kembali diraupnya. Memiringkan kepalanya ke kanan dan ke kiri seraya memperdalam cumbuan kami.

Hei, sesuatu yang keras kurasakan tengah menekan titik pusatku, menerobos masuk ke dalam.

Aku menggigit bibirku tanpa menahan desahanku.

"Akhh...akhhh...akhhhhh...."

Ia berhasil memasukiku. Berada dalam diriku. Lagi.

Pinggulnya bergerak tanpa menunggu tanda dariku. Tubuhku berguncang mengikuti iramanya.

Ia menjadi lebih kasar dari sebelumnya.

Telapak tangan besarnya kembali merayap ke dadaku, meremas dadaku keras dan memilinnya tanpa perasaan.

Sakit. Tentu saja.

Apa yang terjadi? Aku merasakan emosinya meluap.

Gerakkan menggebunya tak dapat lagi kuimbangi, aku pasrah membiarkan ia memainkan tubuhku. Memaksa tubuhku mengikuti tempo tidak beraturannya.

"Nghh...annhhh....akkhhh..." tidak ada protes yang kulontarkan padanya. Aku menerima semua emosinya.

Ada satu hal yang tidak ingin kuyakini.

Aku takut.

Aku mengerti dirinya lebih dari dirinya sendiri.

Hingga pada akhirnya bahuku melemas kala mendengar—

"Ashley...."

Dan air mataku jatuh tanpa kuminta ketiks mendengar nama itu terucap dari bibirnya.

Bukan namaku.

'Aku tau, bukan aku yang kau lihat.'

END (?)
.
.
.
.
.

Duh, saya merasa bejat karena ngetik cerita ini dibulan ini, apalagi sebagian adegan 'anu' nya diketik siang siang :")

Ini hanya cerpen, ya sekedar mempergunakan ide yang lewat.

Sebenernya ini didedikasikan buat sequel dari remake ceritaku 'Your Last Touch' di fandom SasuSaku oleh Ruvianna xD

Terima kasih jika kalian sudah membacanya :")

Kritik dan saran sangat kubutuhkan^^

Continue Reading

You'll Also Like

40.6M 1.1M 42
When Arianna marries billionaire Zach Price to save her family, she doesn't expect to fall in love with a man who'd always consider her a second choi...