Once Upon A Time : Love Me, Y...

By FoxyRibbit

1.3M 90.4K 2.7K

Livia Larodi, si bungsu dan wanita satu-satunya dalam keluarga, pergi ke Inggris untuk membuktikan pada kedua... More

Prolog
NOT UPDATE
1. YOU
2. STILL YOU
3. LOST?
4. LOST
5. FINALLY
6. FINALLY
7. WHO?
8. WHO?
9. REALLY?
10. OH NO
11. OH NO!! 2.0
12. OH NO! 3.0
13. LOVE??
14. EXCUSE
15. TROUBLE
16. FEARNESS
17. PROMISE
18. BROKEN HEART
19. TASTE
20. SECRET
21. RUN AWAY
22. BEGINNING
23. CONNECTION
24. IDENTITY
25. DONT...
26. GO..
27. FELT
28. PIECE
29. TRUTH
30. 1st MOVE..
31. 2nd MOVE..
32. 1st ORDER
33. 2nd ORDER
35. IM NOT...
36. AT LEAST..
37. OKAY
38. WHAT?!
39. FIRST NIGHT
40. MORNING
41. BEFORE STORM
PO

34. MIXED..

18.3K 1.6K 66
By FoxyRibbit

Nafas Livia tampak tak teratur sementara kepalanya bergerak ke kiri dan kanan dengan liar. Badannya yang berada di balik selimut ikut bergerak resah. Jarinya mencengkram tepi selimut saat titik keringat berkumpul di wajahnya.

"Tidak..tidak..." igaunya dalam
mimpi saat mulutnya meracau tak jelas.

Dolphie, yang sedang tertidur dengan posisi kedua kaki depannya tertekuk dan menopang wajahnya, terbangun saat menyadari suara Livia.

Anjing itu menggonggong, naik ke kasur dengan indah dan menatap Livia yang resah. Ia mengibaskan ekornya saat Livia tampak bernafas dengan susah payah.

Dolphie bukan hanya anjing peliharaan semata. Ia sudah dilatih oleh kedua lelaki Larodi bersaudara, kapan saja Livia mengalami mimpi buruk, Livia harus memeluk bantal awan buatan ibu mereka.

Sayangnya, saat ini bantal awan itu tak memiliki pengaruh apapun meski ada di sampingnya. Terbukti saat Livia justru malah terlihat semakin panik dan ia menangis dalam mimpi sementara kedua tangannya menggapai ke atas.

"Mama... Papa..."

Dolphie menggonggong lagi sebelum ia turun dan menuju kerah pintu. Anjing itu meregangkan tubuhnya sejauh yang ia bisa dan berjinjit dengan susah payah sambil menaruh kedua tangannya di kenop pintu.

Dolphie memutarnya dan menarik pintu lebih lebar sebelum melesat berlari ke bawah. Ia tiba di kamar Raphael dan menyalak cukup keras hingga membangunkan Salk.

Salk ikut mengonggong dan Dolphie mendenger rentetan umpatan cepat sebelum pintu dibuka.

Raphael menatap anjing terrier itu dingin, marah karna waktu tidurnya diganggu. "Dolphie? Berbaik hatilah. Aku sedang tidur."

Anjing itu menggigit ujung celana piyamanya. Raphael menggeleng, berpikir kalau Dolphie ingin mengajaknya main.

"Ini baru jam empat pagi. Kau akan membangunkan semua orang," ucapnya dengan nada yang tak bisa dibantah.

Dolphie semakin keras menggigit kain itu. Raphael mengerutkan dahinya, saat tampaknya anjing itu memiliki tujuan lain. Ia menatap waspada. "Dimana Livia?"

Dolphie menggongong dan seketika Raphael tahu ada yang tak benar, ada yang salah. Jadi ia melesat, menaiki tangga secepatnya dan matanya membelalak melihat pintu kamar Livia yang terbuka.

Tapi saat ia melangkah di depan pintu dan kakinya masuk ke dalam kamar untuk menyalakan lampu, ia sadar Livia masih disana. Dan itu membuat ia merasakan kelegaan yang luar biasa, selama hanya sedetik.

Karna kali berikutnya ia mendengar rengekan tertahan dari Livia dan tangan wanita itu masih menggapai ke atas, seakan mencoba memeluk udara. Raphael mendekatinya, ia menekuk sebelah lututnya saat duduk di tepi kasur, melihat Livia yang menangis dalam tidurnya.

"Jadi ini alasan Dolphie." Raphael memutuskan berbaring di sisi Livia dan menarik turun kedua tangan wanita itu. Dalam diam, ia memutar tubuhnya menyamping dan sebelah lengannya menyelusup masuk ke leher Livia, menaruh kepala wanita itu di lengannya.

Refleks Livia berbalik ke arahnya meski ia masih terisak. Raphael mengelus punggungnya dengan irama pelan dan teratur. "Psst...tenang Livia tenang.."

Detik demi detik berlalu, isakan Livia perlahan berkurang dan nafas wanita itu kembali normal. Raphael menatapnya dari atas puncak rambut Livia dan menyipitkan matanya saat Dolphie kembali ke kamar Livia.

"Lain kali, panggil aku lebih cepat saat dia mulai mengigau, paham?"

Dolphie mengaing lemah, seakan mengiyakan. Ia menatap Livia yang tampak tenang sementara lelaki itu bertahan disampingnya, dalam diam. Sebenarnya berapa malam yang sering Livia lewati? Sendirian, menghadapi mimpi buruknya?

Apa kakak-kakaknya bahkan tahu adik mereka mengalami mimpi buruk? Terlalu banyak rahasia Livia yang Raphael tak tahu, dan terlalu banyak rahasia Raphael yang wanita itu tahu. Hilang sudah niat terhormat Raphael untuk menunggu Livia membuka dirinya. Ia akan memaksanya.

***

Livia terbangun telat pagi itu. Ia mengerjapkan mata beberapa kali sebelum mengerang tertahan karna matanya silau menatap cahaya terang. Kepalanya otomatis bergerak ke samping, menghindari arah sinar dan mengerutkan dahinya.

Kenapa ia ada di pinggir? Kemarin kan dia tidur di tengah ranjang. Apa ia bergulingan kesana kemari? Tapi Livia tak pernah berguling sejauh ini. Menghembuskan nafas bingung, Livia melempar selimut saat kedua kakinya menjejak lantai.

Ia menuju ke kamar mandi, menyalakan keran dan memasukkan bath bomb ke bathtube. Livia membuka piyamanya, melepaskan kain itu dari badan dan menaruhnya di keranjang yang ada di sudut. Pakaian dalamnya pun ikut menyusul dan Livia mencelupkan badannya ke dalam, sembari mematikan keran.

Livia merosotkan punggungnya lebih jauh ke dalam, sampai mulutnya tertutup air. Ia memejamkan matanya saat secara perlahan membaringkan diri sepenuhnya dalam bathtube. Livia merilekskan pikirannya, sembari membiarkan air membasuh semua mimpi buruknya.

Tak bisa dipungkiri, hampir setiap malam Livia selalu bermimpi buruk. Tapi, kapanpun ia memeluk boneka bantal awan-nya, mimpinya akan berlalu. Hanya saja kali ini tidak. Dan ia tak paham kenapa, bantal awan itu tak berfungsi. Livia rasa ia harus menceritakan masalah ini pada kakaknya sebelum...

"Livia!!"

Teriakan keras itu diiringi dengan tarikan kuat yang menariknya ke atas. Ia membuka matanya cepat dan bertatapan dengan mata Raphael yang... cemas? Lalu ia menyadari kedua tangan lelaki itu meremas lengannya terlalu kuat.

"Raphael..." Livia hendak meminta lelaki itu melepas tangannya tapi sepertinya Raphael merasa ia yang harus berbicara disini.

"Apa kau gila?!" tanyanya kasar.

"Humm?"

"Siapa yang menyuruhmu bunuh diri? Kenapa kau mau membuang nyawamu?! Apa kau sangat takut?!"

Raphael tengah duduk di depannya, menatap liar, sementara pegangan tangannya semakin menguat. Livia terdiam, tak mampu membalas kata-kata Raphael. Bagaimana bisa? Saat Livia sendiri tak tahu apa yang dibicarakan lelaki itu? Tapi omelan Raphael tak kunjung berhenti.

"Kalau kau sangat takut seharusnya kau menangis saja! Panggil namaku! Apa kau sebodoh itu, menyia-nyiakan hidupmu?!"

Livia merasa kesalahpahaman ini akan terus berlanjut kalau lelaki itu terus memarahinya. Jadi ia memotong ucapan lelaki itu. "Aku tak mau bunuh diri. Aku tak ada niatan melakukan itu."

"Ohya? Tapi kenapa kau membaringkan tubuhmu di bak?!" tanya Raphael tak percaya.

"Aku berendam. Aku mau mandi, tepatnya sedang mandi, saat kau tiba-tiba menghambur kemari."

Mata Raphael menyipit tampak tak percaya, lalu ia meneliti sorot mata Livia, "Kau hanya berendam?" tanyanya memastikan sekali lagi.

Livia mengangguk. "Yep. Sepenuhnya sadar dan aku..." Livia berhenti bicara sewaktu merasakan badannya menggigil.

Ia menengok ke bawah, matanya membulat saat menyadari kalau bagian depan tubuhnya terangkat. Dadanya terekspos dan ia menutupi bagian depan tubuhnya, yang mana sangat terlambat, dengan kedua tangan menyilang.

Livia kembali menyurukkan badannya semakin dalam ke bak, hal yang kurang efektik karna lelaki itu masih memegangnya. Wajahnya memerah, campuran karna malu dan amarah sementara bibirnya bergetar. "Lepaskan aku! Aku mau pakai baju!"

Sejenak, Raphael terlihat bingung sebelum senyum jailnya tampak. Sinar geli menari di matanya, sementara kedua tangannya tetap di lengan Livia, dengan tekanan lembut tetapi tetap memaksa wanita itu disana.

"Kenapa kau harus malu? Aku sudah pernah melihatmu tanpa busana kan?"

"Itu saat aku pingsan! Sekarang aku sadar! Dan aku mau pakai baju!" sergah Livia jengah.

Raphael melepaskan pegangan tangannya dan menatap Livia yang merosotkan tubuhnya kembali ke bak, tapi hanya itu. Jelas lelaki itu tak berniat pergi dari sana, sepenuhnya menikmati hiburan lucu ini.

Sayangnya saat ini Livia merasa itu semua tak lucu! Tangannya mulai mengkeriput karna terlalu lama berendam di air. Dan musim dingin London seakan membekukan airnya.

Ia kedinginan dan butuh keluar secepatnya. Raphael tahu dan ia menunggu dengan sabar, tahu Livia akan keluar cepat atau lambat. Masalahnya, Livia malu! Jujur saja, kemarin ia menimbang dan timbangannya naik sebanyak tiga kilo! Ia memiliki lemak berlebih yang menggelantung di tubuh dan lengannya. Livia yakin, ini pasti karna ia banyak makan selama musim dingin dan jarang sekali bepergian kemanapun.

Beda dengan saat ia di Indonesia. Karna tak ada musim dingin, ia jadi tak sering merasa lapar dan ia hampir selalu bepergian setiap hari. Entah untuk membeli isi kulkas atau menjadi juri di beberapa acara lomba memasak.

Tapi ia juga tak mau mati kedinginan. Mungkin, mungkin kalau ia membujuk Raphael lelaki itu akan keluar.

"Raph? Aku mau memakai handuk. Tolong keluar?"

Raphael yang masih berjongkok, menampakkan wajah sesal dan menggeleng.

"Kakiku kesemutan. Mungkin kita harus menunggu?" tanyanya balik.

Kesemutan?? Tak adakah alasan lain yang mungkin lebih masuk akal? Bagaimana bisa lelaki itu kesemutan, di saat seperti ini, dalam situasi ini?!

"Aku bisa sakit Raph. Berbaliklah please."

"Baiklah aku akan menutup mataku. Cepat keluar."

Livia menatap wajah lelaki itu saat Raphael menutup kedua matanya. Tampak ragu, Livia menggoyangkan jemarinya di depan wajah Raphael. Saat ia yakin lelaki itu tak akan mengintip, Livia bangkit berdiri, membuat air berriak dan terjatuh dari tubuhnya.

Ia kembali menatap Raphael yang masih menutup matanya. Tapi wajah lelaki itu tampak keras. Livia buru-buru melilitkan handuk di sekitaran tubuhnya. Ia menatap air dan gayung di wastafel bergantian.

Senyumnya melebar saat ia mengambil gayung, menyeduk air dengan pelan.

"Livia?" tanya lelaki itu.

"Aku belum memakai handuk."
Dan Livia menuangkan air di gayung itu ke kepala Raphael. Lelaki itu terkejut dan membuka matanya sementara Livia tertawa keras.

Rambut Raphael sepenuhnya basah saat ia mencoba berdiri. Hampir seluruh baju Raphael menjadi korbannya dan Livia mundur sambil membuang gayung saat menjauh, sementara Raphael tampak tak percaya. 

"Itu balasanmu!"

"Livia..." ucap Raphael geram. Matanya menjanjikan pembalasan dan Livia buru-buru berlari, sambil tetap tertawa.

Livia berdiri di sisi kasur lain saat lelaki itu mendekatinya dalam langkah panjang. "Kemari. Dasar kau gadis nakal!"

Livia menggeleng, memegang handuk lebih erat dengan tangannya. "Tidak. Kau mungkin akan melemparku ke danau."

"Mungkin. Kemari Livia. Kau tak mau aku mengejarmu."

"Kau tak akan bisa menangkapku Raph. Kedua kakakku kalah gesit dariku."

"Apa itu tantangan?" Raphael menarik sebelah alisnya dan berkacak pinggang.

Livia tertawa lagi. Suara itu mengirimkan gelombang lembut ke indra pendengaran Raphael. "Tidak."

"Ya. Kau menantangku Livia dan kau akan menyesal karna saat aku menangkapmu, aku akan menghukummu."

"Kalau begitu, cobalah tangkap aku, suamiku."

________________________________

Suka cerita ini?

Tunjukkan apresiasi dan dukungan kalian ke authornya dengan cara ⬇️⬇️⬇️

Ikuti akun FoxyRibbit

Ketik komentar

Vote cerita ini

Follow akun IGnya di Livia_92 dan FoxyRibbit

Continue Reading

You'll Also Like

Anak Buangan Duke By Luna

Historical Fiction

29.8K 5.2K 15
[Brothership story!] "Padahal hanya anak buangan, tapi kamu seolah memiliki kuasa seperti seorang raja!" Kalimat itu ditujukan pada Arthevian Montros...
404 66 33
*"Mimpi, Takdir, dan Kehidupan yang Terbentuk oleh Nasib"* Bagaimana mungkin Pip Pirrip menyadari bahwa pertemuan takdirnya dengan seorang tahanan ya...
35.3K 1.7K 63
[Spin-off "ECCEDENTESIAST"] SILVERYEN #1 - BISA DIBACA TERPISAH! - Three years after "ECCEDENTESIAST"~ "Geino Lexander Hector Silveryen" adalah seora...
16.8K 3.6K 31
Blurb: Florence dan Axel terpaksa masuk ke sekolah asrama karena kesalahan yang mereka lakukan, sehingga membuat orang tua mereka marah besar. Saat p...