Antipole

By nunizzy

2.1M 232K 31K

•Completed• Kita ada di kutub yang berbeda. Sekolah yang terkenal disiplin dan memiliki segudang presta... More

Prolog
1st Pole
2nd Pole
3rd Pole
4th Pole
5th Pole
6th Pole
7th Pole
8th Pole
9th Pole
10th Pole
11th Pole
12th Pole
13th Pole
14th Pole
15th Pole
16th Pole
17th Pole
18th Pole
19th Pole & QnA
20th Pole & Giveaway Time
21st Pole
22nd Pole
23rd Pole & Disclaimer
24th Pole
25th Pole
26th Pole
27th Pole
28th Pole
QnA
30th Pole
31st Pole
32nd Pole
33rd Pole
34th Pole
35th Pole
36th Pole & Promotion
37th Pole
38th Pole
Fun Facts
39th Pole
40th Pole
41st Pole
42nd Pole
43th Pole
44th Pole
45th Pole
46th Pole
47th Pole
48th Pole
49th Pole
50th Pole
51th Pole
52nd Pole & QnA#2
53th Pole
54th Pole
55th Pole
Sekilas Promo
QnA#2 (Part 1)
QnA#2 (Part 2)
56th Pole
57th Pole
58th Pole
Epilog
Pidato Kenegaraan Antipole

29th Pole

29.3K 3.4K 570
By nunizzy

29th POLE

~~||~~

"Lo apa-apaan, sih!" bentak Sabrina kesal karena seseorang baru saja menumpahkan air mineral ke bajunya.

"Gue kan udah bilang, nggak sengaja! Lagian lo juga yang jalannya nggak lihat-lihat," elak lelaki itu.

"Lo kan juga nggak lihat-lihat makanya nyenggol!" jawab Sabrina tak terima.

"Aduh, udah dong! Nggak enak tahu, dilihatin yang lain." Inara berusaha menengahi.

"Iya. Lo maafin ajalah, Sab. Lo juga, Lar. Minta maaf, gih," timpal Gala–selaku saksi kejadian sekaligus sahabat Kylar, laki-laki yang menumpahkan air ke pakaian Sabrina.

"Nggak bisa, Na! Ini masih pagi dan hari ini hari pertama SKA. Belum juga berangkat udah nyari masalah nih anak."

"Yaelah. Iya-iya, gue minta maaf."

"Minta maaf nggak bisa ngeringin baju gue yang basah kena air!"

"Ya terus lo mau apa? Gue cuciin baju lo, gue jemurin baju lo, gitu?"

"Iya!"

"Yaudah, buka gih baju lo," ucap lelaki itu seraya tersenyum miring.

Sabrina melotot mendengarnya. "Mesum banget otak lo!" gadis itu memukul Kylar tanpa ampun.

"Aduh! Iya, iya, maaf. Sakit, Woi! Udah!" Kylar berusaha melindungi tubuhnya–dengan tangan–dari pukulan Sabrina.

"Perhatian! Ibu akan segera mengumumkan pembagian bus." suara Bu Aminah yang lantang–ditambah dengan toa yang dipakainya–terdengar hingga ke gerbang sekolah, tempat kejadian perkara antara Sabrina dan Kylar.

"Urusan kita belum selesai!" Sabrina memicingkan matanya seraya berbalik mendekati sumber suara yang sudah dikelilingi oleh murid-murid yang akan mengikuti studi komparatif angkatan.

"Maafin sahabat gue ya, Kylar." Inara tersenyum kalem.

"Ngapa jadi lo yang minta maaf, Na?!" tanya Sabrina galak seraya berbalik.

Inara menunjukkan cengirannya kemudian setengah berlari menyusul Sabrina.

"Gue heran. Kok bisa ya, mereka deket. Yang satu ganas, yang satu kalem banget."

"Heh! Gue masih bisa denger," seru Sabrina.

"Tuh, kan," bisik Kylar kepada Gala. "Sahabat lo absurd banget, Gal."

Untungnya, Sabrina sudah berjalan cukup jauh sehingga gadis itu tidak mendengar ucapan Kylar.

"Yah, begitulah." Gala tersenyum kecil. Lelaki itu menepuk pundak Kylar sebelum mereka berdua berjalan mendekati Bu Aminah.

"Tapi Sabrina boleh juga."

"Apa tuh maksudnya?" tanya Gala seraya memicingkan mata. "Jangan main-main sama dia," finalnya.

Lelaki itu sangat memahami bagaimana Kylar. Kylar adalah sahabatnya sejak SMP. Sekarang, ia sekelas dengannya dan satu ekskul di baseball. Sahabatnya itu tidak pernah serius dengan perempuan. Istilah bekennya, player.

"Ampun, Gal. Bercanda." Kylar terkekeh seraya menyatukan kedua tangannya. "Tapi, kalo seandainya gue mau first move, gue dapat restu, nggak?"

"Kalo buat main-main, lebih baik lo cari mangsa lain, Lar."

# # #

"XI IPS 1 - XI IPA 3 - XI IPA 4, bus 2," teriak Bu Aminah.

"Hah?! Kenapa harus sama IPA 4?" gerutu Sabrina sedikit berteriak. Orang-orang yang berdiri di sekelilingnya menoleh ke arahnya.

Inara menarik Sabrina keluar dari kerumunan.

"Ngeselin banget tahu nggak, Na? Pake satu bus segala sama Kylar."

"Lihat dari sisi positifnya aja, Sab. Kita satu bus sama Gala." Inara berusaha mengalihkan pikiran Sabrina dari lelaki itu.

"Dia itu biang rusuh. Gue benci sama dia, Na! Ih, males banget tau nggak."

"Benci-benci, ujungnya cinta loh."

"Lo malah ngedoain!"

Inara tertawa kecil.

"Eh! Kita juga satu bus sama IPA 3, ya?"

Yang ditanya hanya mengangguk. "Kenapa emang?" tanya Inara.

"Oh, nggak apa-apa, sih. Temenin gue beli minum, yuk, Na. Haus gue."

"Ya iyalah haus. Lo dari tadi nggak berhenti ngomong, tau nggak." Inara memutar bola mata.

Sabrina tertawa geli. "Jangan ingetin gue lagi sama si Kunyuk." gadis itu menarik Inara menuju kedai yang ada di seberang sekolah untuk membeli minum.

Di sana, mereka bertemu dengan Rahagi dan teman-temannya. Yang Inara tahu, mereka adalah anggota Blackpole.

"Inara!" sapanya.

"Eh, iya," balas Inara dengan senyuman.

Beberapa siswi yang berada di sana menatap mereka heran. Bagaimana bisa anggota Blackpole menyapa ketua DisPara?

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, keanggotaan Blackpole memang dirahasiakan, tetapi rata-rata sudah menjadi rahasia umum di Integral.

Lagi dan lagi, Sabrina memergoki Rahagi yang sedang memperhatikan Inara.

Rahagi kan, IPA 3.

# # #

Inara berjalan keluar dari kamar hotel. Siang ini, ia sudah mengunjungi salah satu universitas terkenal di Jogjakarta–dan itu membuatnya lelah. Hari ini adalah hari kelimanya mengikuti studi komparatif. Besok, ia akan terbang ke Bali untuk menghabiskan dua hari tersisa dari kegiatan SKA-nya.

Namun, seperti biasa, gadis itu selalu terbangun tengah malam. Awalnya, ia ingin minta ditemani oleh Sabrina atau Aneke–teman sekamarnya, tetapi Inara mengurungkan niatnya ketika melihat dua temannya itu tertidur pulas di atas tempat tidur.

Mana di kamarnya nggak ada balkon, lagi, batin gadis itu. Ia butuh udara segar.

Inara berjalan menuju lift dengan piyamanya–baju lengan panjang berwarna biru muda lengkap dengan celana panjangnya. Tidak lupa, sendal hotel yang didapatnya di lemari.

Tepat saat lift terbuka, dua orang laki-laki melihat ke arahnya secara bersamaan dengan tatapan terkejut. Mereka berdiri berjauhan, yang satu di sisi kiri, yang satu di sisi kanan.

"Nggak tidur lo, Na?!" tanya Gala terkejut ketika gadis itu masuk ke dalam lift.

Inara menggeleng. Ia berdiri di antara Gala dan lelaki yang lainnya–Rahagi.

"Terus sekarang mau ke mana?" tanya Gala lagi.

Inara menimang-nimang. Kira-kira kalau ia beritahu Gala perihal dirinya yang ingin ke rooftop hotel, lelaki itu akan melarangnya, kah? Untungnya, ia belum menekan tombol lantai berapa yang akan ia tuju.

"Mau ke kamar temen gue hehe." Inara nyengir.

Gala mengangguk. Tepat satu detik setelah itu, terdengar bunyi lift. Tertulis angka lima di layar.

"Gue balik dulu," ucap Gala seraya melirik Rahagi sekilas. Yang dilirik berpura-pura tidak peduli.

Inara mengangguk, setelah itu pintu lift tertutup.

"Kalo menurut gue, lo nggak ke kamar temen lo." Rahagi membuka suara.

Inara memiringkan kepalanya. Sejak kapan dia mau mulai pembicaraan duluan?

"Terus?"

"Hmm. Rooftop, i guess?" tanya Rahagi dengan ekspresi antara yakin dan tidak yakin. "Gue juga mau ke sana, sih."

Mata gadis itu membulat, kemudian melihat tombol bertuliskan angka yang ada di sisi kanan lift tersebut. Tujuan lift yang mereka tempati adalah lantai 12, yaitu lantai tertinggi di hotel ini.

"Ntar, dari lantai 12, naik tangga buat ke rooftop," jelas Rahagi seakan mengerti apa yang dipikirkan gadis di hadapannya.

"Emang kamar lo di lantai berapa?"

Rahagi tersenyum miring. "Kepo?"

Inara menatap Rahagi aneh kemudian memukulnya pelan. "Sembarangan. Gue kan cuma nanya. Siapa tahu lo cuma ikut-ikutan gue doang ke rooftop-nya."

"Geer."

"Hu," cibir Inara.

"Gue lantai tujuh."

Inara manggut-manggut. "Di sini nggak ada cokelat panas, ya." gadis itu terkekeh.

"Setahu gue di deket sini ada minimarket. Lo bisa beli susu coklat sachet."

"Kalo gue minta tolong kakak tiri gue beliin, dia mau nggak, ya?" ucap Inara dengan nada jenaka seraya memasang tampang sedang berpikir keras.

"Hmm." Rahagi bergumam. "Tapi kayaknya dia males," sambungnya datar.

"Kakak tiri yang jahat." Inara menggeleng-gelengkan kepalanya.

Mereka berdua sampai di lantai dua belas. Inara hanya mengikuti Rahagi yang berjalan agak cepat di depan.

"Kok lo tahu tangganya ada di mana?" tanya Inara curiga. Pasalnya, hari ini adalah hari pertama mereka menginap di hotel ini.

"Feeling."

"Punya feeling juga ternyata. Kirain nggak ada."

"Ada," jawab Rahagi datar.

Inara yang samar-samar mendengar balasan Rahagi, hanya mengangkat bahunya cuek dan memperhatikan pintu-pintu kamar di koridor yang ia lewati.

Gadis itu terus mengekori kakak tirinya–bahkan ketika Rahagi berbelok ke pintu tempat tangga darurat. Pencahayaan di ruangan tangga darurat membuat Inara sedikit kesulitan menapaki anak tangga.

"Lo jalannya cepet banget sih. Tungguin, kenapa?" tanya gadis itu.

"Takut, heh?" dari nada suaranya, Inara bisa menyimpulkan bahwa lelaki itu sedang mengejeknya.

"Nggak," jawab gadis itu seraya memutar bola mata meski ia tahu Rahagi tidak akan bisa melihatnya. "Aduh." ringisan gadis itu disusul suara gedebug yang cukup keras.

Kaki Inara menyenggol kaki yang lainnya, sehingga gadis itu jatuh tersungkur. Kedua tangannya ia jadikan penahan agar wajahnya tidak mencium lantai.

Tiba-tiba, sebuah tangan menarik tangannya kemudian menggenggamnya erat, membuat gadis itu refleks berdiri.

"Makanya kalau jalan pake mata," ucap Rahagi datar.

Inara hanya mendengus. Ia mengikuti langkah Rahagi yang berada di depannya, dengan tangan kanannya yang masih di dalam genggaman kakak tirinya itu.

"Kok nggak sampai-sampai ya...," ucap Inara berusaha mengisi keheningan.

Detik selanjutnya, tangan kanan Rahagi mendorong sebuah pintu yang kalau Inara tidak salah lihat berwarna merah. Angin malam berhembus masuk–seakan menyerang mereka.

Genggaman Rahagi mengerat. Lelaki itu segera menarik Inara untuk mengikutinya.

"Wuah!" gumam Inara saat kakinya menginjak rooftop gedung. Pemandangan lampu-lampu kota memang selalu menarik untuk disaksikan.

Tanpa sadar, gadis itu melepas genggaman Rahagi dan berlari ke tepi rooftop–yang membuat lelaki itu sedikit merasa kehilangan.

Inara menaikkan tangannya tinggi-tinggi, menikmati semilir angin malam yang sudah biasa ia rasakan. Rahagi yang melihat itu hanya bisa tersenyum.

Suara gemuruh dari langit terdengar. Keduanya mendongakkan kepala. Mereka pikir, hujan akan turun. Nyatanya, suara tersebut berasal dari pesawat yang baru saja lepas landas.

Tanpa Inara minta, ingatannya terlempar ke masa lalu. Saat semua masih baik-baik saja. Saat ia bahagia bersama ayahnya. Saat mimpinya untuk menjadi pilot masih ada dan masih mungkin untuk ia tapaki.

Rahagi menolehkan kepalanya pada Inara yang masih memperhatikan pesawat itu. Lelaki itu segera menghampiri adik tirinya.

"Kangen bokap?" tanya Rahagi.

Inara menoleh ke arahnya dengan tatapan sendu kemudian mengangguk. "Gue pengen jadi pilot. Tapi masih trauma." gadis itu tergelak. "Gue takut berakhir kayak ayah."

"Ayah lo pergi bukan karena dia pilot. Tapi karena emang udah ajalnya di sana." lelaki itu duduk.

Inara mengikuti Rahagi. Ia duduk bersila di sebelahnya.

"Tapi, sekarang kayaknya gue nggak mungkin ngambil sekolah penerbangan."

"Kenapa?"

"Emang yang dari IPS bisa, ya?"

Rahagi terdiam. "Nggak tahu juga. Mungkin bisa? Setahu gue nggak ada batasan IPA-IPS-nya."

Inara tersenyum. "Kalo lo pengen jadi apa?"

Lagi-lagi, lelaki itu terdiam. Ia tidak pernah memikirkan ingin menjadi apa, sehingga yang dilakukannya hanyalah mengangkat bahu.

"Lah?" Inara menatapnya heran. "Terus, kok lo bisa nentuin mau masuk IPA?"

"Karena Bayu juga IPA?" jawabnya ragu.

"Kalo lo jadi pilot, kayaknya keren juga. Ntar jadi idola pramugari-pramugari cantik. Ahahaha." Inara tertawa. "Tipe-tipe dingin nyeremin nyebelin gitu. Bad boy unch," ledeknya

Rahagi hanya mendengus. "Lo kenapa nggak jadi ambil sekolah penerbangan?"

"Mimpinya udah gue kubur. Sekarang gue punya fokus lain."

Rahagi mengangkat sebelah alisnya.

"Hubungan internasional. Gue pengen kerja di kedutaan besar."

Lelaki itu hanya mengangguk. "Kayak Dimas, dong."

Inara mengangguk. "Ketemu sama orang-orang besar setiap negara. Bule-bule." gadis itu tertawa kecil.

"Kenapa sama bule-bule?"

"Kan biasanya ganteng-ganteng, gitu."

Rahagi tersenyum kecil melihat mata Inara yang menyipit membentuk bulan sabit. Manis.

"Gue sekarang udah punya cita-cita."

"Apaan tuh?"

"Jadi pilot. Ntar gue yang nganterin kalo lo bolak-balik ke luar negeri."

Inara terkekeh. "Gratisin ya!"

"Enak aja. Bensin pesawat mahal."

"Idih. Nggak bisa pake harga pertemanan gitu? Eh, harga persaudaraan."

Lelaki itu menggeleng.

"Nggak jadi, deh. Gue ntar nyari pesawat yang pilotnya selain lo aja. Siapa tahu dapet gratis."

"Nikah sama pilot aja sono!"

Tawa gadis itu pecah mendengarnya.

~~||~~

A/N

Ah, aku kehilangan inspirasi.

Semoga feel-nya dapat.

Udah tradisi banget ini, setiap mau puncak konflik, tiba-tiba kehilangan ide dan inspirasi.

Padahal, bayangan klimaksnya udah ada. Tapi, jalan menuju ke sana susah ya dirangkai dengan kata-kata.

Btw, masa ya dibayangan uwe Kylar itu ganteng banget. Jadi move on deh ke Kylar. Dibikin spin-off-nya keren kali ya.

Btw lagi, besok aku ada kegiatan di kampus buat mahasiswa baru. Jadi kemungkinan update lagi lusa.

Jangan kangen ya.

Apalagi sama Rahagi.

Soalnya rindu itu berat :( (Copyright Dylan-nya Milea)

5 Juni 2017

8yy}t4

Continue Reading

You'll Also Like

645K 30.9K 97
(Attention!!) -Cerita ditulis secara profesional dengan mengikuti potrait-potrait kehidupan yang ada seperti konflik bullyan di sekolah elit, status...
401K 69.4K 39
❝Riddle was made to be solved, are you ready to solve it together?❞ Bukan tanpa alasan murid sepintar Dycal Alvredo memutuskan pindah dari sekolahnya...
27.2K 1.4K 54
Follow dulu sebelum baca .. + .
1.2M 29.4K 37
Redhiza Taufano Abimanyu, seorang mahasiswa tingkat akhir dengan reputasinya yang buruk di kampus. Suka berkelahi, gemar mencari masalah dan pembuat...