Down There Is What You Called...

By Atikribo

91.9K 10K 2.6K

Kepergian sahabatnya meninggalkan sebuah tanda tanya besar dalam diri Raka. Ketika semua orang mengatakan pen... More

Sebelum Menjelajah
Chara Profile
Surface - 1
Surface - 2
Surface - 3
Surface - 4
14 Years Ago, Capital City
Somewhere - 1
Somewhere - 2
Surface - 5
Surface - 6
1st Floor
2nd Floor
3rd Floor
4th Floor
5th Floor
At The Corner Of His Memories
6th Floor
10K READS: GIVE-FRICKIN-AWAY!! (Closed)
7th Floor
GIVEAWAY CLOSED
GIVE-FRICKIN-AWAY WINNER
8th Floor
9th Floor
11th Floor
12th Floor
13th Floor
14th Floor
15th Floor
Somewhere - 3
16th Floor
17th Floor
18th Floor
19th Floor
20th Floor
Antarkasma - 4
Antarkasma - 5
21st Floor
Antarkasma - 6
Antarkasma - 7
22nd Floor
23rd Floor
Orenda, 14 Years Before
Orenda - 7 Years Before
24th Floor
Antarkasma - 8
25th Floor
26th Floor
27th Floor
28th Floor
Antarkasma - 9
29th Floor
30th Floor
31st Floor
Epilog
Afterwords & Surat Cinta
Bincang Ubin Vol.1
FLOOR NEW YEAR SPECIAL: College AU
Bincang Ubin Vol. 2
Maps & Glossarium

10th Floor

958 142 102
By Atikribo

JUJUR SAJA, ini makan siang paling enak setelah Raka tiba di Floor. Berbeda dengan buatan Dee, masakan Zadia tidak bisa dibandingkan. Masakannya sederhana, tetapi terasa cinta dari setiap suapannya. Raka tersenyum lebar setiap kali makan siangnya masuk ke dalam kerongkongan.

Meski Raka tampak penuh semangat, sosok Zadia di hadapannya malah menyipitkan mata. Wajahnya berkeriput, rambutnya putih secara natural digelung di atas kepala. Wanita itu terlalu tua, mungkin seumuran neneknya yang tinggal di Permukaan Atas. Akan tetapi Zadia masih aktif melakukan segala sesuatunya sendiri tanpa terlihat kelelahan dan hidup di kabin besar seorang diri. Tubuh jangkung dan setiap gerakannya tampak elegan.

Wanita itu tidak banyak bicara. Relung matanya tampak dalam dan bibirnya yang tipis memberikan kesan wajah yang dingin. Ketika Indhi membantu perempuan tua itu membongkar pesanannya, Raka mengutarakan pertanyaannya mengenai Orenda.

Mengenakan kacamata yang disampirkan pada kerah bajunya, Zadia menatapnya dari bawah ke atas. Perempuan itu bertanya galak, "Kau dari Permukaan Atas? Datang dari Permukaan Atas dan masih utuh?"

"Ya."

"Kenapa kau bertanya mengenai Orenda? Bukankah kau tahu Orenda itu apa?"

"Haruskah saya beralasan?" tanya Raka cukup penasaran dengan respon ofensifnya.

"Serius? Kau datang dari Permukaan Atas, masih utuh, lalu ingin mencari tahu tentang Orenda?" Zadia menghela napas panjang dan melanjutkan, "Orang bodoh macam apa yang mau mengulangi mimpi buruknya? Pergi saja ke Haven dan jalani hidup yang lebih baik."

Menyipitkan mata, Raka bertanya, "Anda pikir saya mengambil keputusan yang sama dengan Indhi? Saya ke sini atas kemauan dan kesadaran sendiri, bukan karena perasaan depresi yang menumpuk lalu ditipu-tipu demi mencari kebahagiaan!" Indhira mendelik mendengar ucapan Raka, pemuda itu meminta maaf, "Saya tidak pernah masuk ke dalam Orenda dan saya punya alasan sendiri untuk pergi ke sana."

Memijat pangkal hidungnya, Zadia menggeleng-geleng lemah, "Ya Tuhan...ternyata kau ini lebih bodoh daripada orang bodoh. Dasar dungu. Aku tidak akan menceritakan hal itu padamu. Kau bisa membacanya di seluruh buku sejarah kalau kau mau, tetapi aku tidak akan menceritakan apapun padamu."

"Saya tidak suka baca buku," ucap Raka masih tidak bisa terima keputusan Zadia.

"Bagus dan tetaplah bodoh."

Raka dan Zadia saling tatap, sama-sama memendam kekesalan. Sudah lama ia tidak berbicara dengan nenek-nenek ngotot seperti ini. Ibunya saja tidak serewel ini. Keras kepala sudah pasti menjadi nama tengah setiap orang yang sudah lanjut usia. Raka memohon sekali lagi, tapi dengan cepat ditolak, membuat Raka sebisa mungkin menahan rasa jengkelnya.

"Kenapa saya lebih baik tidak usah mengetahui hal-hal mengenai Orenda? Saya pikir tuntutlah ilmu sampai Negeri Cina berlaku sampai sini juga."

"Negeri Cina? Dan kalaupun aku menjawab pertanyaanmu, apa yang akan kau lakukan mengenai informasi itu? Menghancurkan mereka? Menjungkirbalikkan keadaan?"

Menghancurkan? Menjungkirbalikkan?

"Saya sama sekali enggak mengerti apa yang Anda bicarakan," Raka memang tidak terpikir sampai sana. Setidaknya ia tahu siapa yang terlibat dalam kematian Jun. "Saya pun mempunyai alasan untuk tidak melakukan keduanya."

"Saya juga punya alasan untuk berkata 'tidak'," wanita tua itu terdengar kukuh dan angkuh, "Aku lelah mendengar anak muda mengemis-ngemis tanpa ada usaha terlebih dulu."

Mendesah, Raka mengusap telapak tangannya ke wajah. "Pembicaraan ini tidak akan ke mana-mana, enggak sih?" ia bergumam lebih ke dirinya sendiri.

Meskipun begitu, Zadia menjawabnya, "Setidaknya kau cukup pintar untuk bisa berpikir ke sana."

Menyandarkan tubuh sambil melipat tangan di depan dada, Raka sudah tidak tertarik untuk membicarakan hal itu lagi. Ia berpikir pasti ada banyak orang yang mengetahui hal-hal mengenai Orenda. Bangkit dari duduk, pemuda itu mengatakan kepada Indhi bahwa dia akan menunggu di dalam mobil.

Mengulum senyum, Indhi pun beranjak dari kursi, "Terima kasih banyak, Prof. Kami akan melanjutkan perjalanan."

"Aku bukan professor lagi, ingat? Maaf karena kau harus melihatku bertindak tegas padanya, Indhira. Dia laki-laki yang sempat kau ceritakan padaku 'kan?"

"Iya," jawabnya, "Sahabatnya baru-baru ini meninggal dan orang-orang mengatakan bahwa dia bunuh diri. Aku pun tahu sahabatnya itu cukup lama. Rasanya tidak mungkin dia mencabut nyawanya sendiri. Raka menemukan sebotol ruska dekat dengan tubuhnya."

"Sudahlah Indhi, tidak usah menceritakan itu semua," ucap Raka masih separuh jalan ke pintu. Ia tidak mau alasan personalnya disebarluaskan begitu saja. "Mungkin aku memang harus baca buku sejarahmu itu."

Terkekeh Indhi berkata sembari mendorong kursi masuk ke meja, "Aku akan menceritakan padamu apa yang sudah kutahu, Ka. Tenang saja."

Berbalik sekali lagi untuk berpamitan, mereka mendapati Zadia yang tengah berpikir. Ia memanggil Raka dan menanyakan namanya. Mengerutkan alis karena perubahan perilaku wanita tua itu, Raka pun menyebutkan nama lengkapnya.

"Hiraka...," Wanita tua itu tampak berpikir. "Aku pernah mendengar seseorang menyebut namamu dulu."

Menyipitkan mata, Raka berkata, "Mungkin Hiraka yang lain."

"Mungkin, siapa pula yang tahu. Tapi aku punya ingatan yang bagus meskipun sudah tua begini," Entah mengapa, wanita tua itu kini terdengar lembut. Zadia menyandarkan tubuhnya di kabinet yang terletak di belakang meja makan. Suara wanita itu kembali terdengar dingin. "Cepat pergi sana. Orang bodoh seharusnya berhimpun dengan orang-orang bodoh lainnya agar tidak menular ke mana-mana."

Mengerling, Raka menghentakkan kaki ke pintu keluar, meninggalkan kabin yang sesungguhnya tampak begitu nyaman. Indhira berterima kasih sekali lagi sebelum menapakkan kakinya di luar pintu.

"Ayo," ajaknya ke mobil.

Pintu kabin itu sudah hampir tertutup dan Raka cepat-cepat menahannya dengan kaki. Ia melongokkan tubuhnya ke dalam, melihat Zadia yang ternyata menangkap keberadaan Raka. "Makasih ya, Nek!"

"Siapa yang nenekmu? Pergi sana! Dasar anak tidak tahu sopan santun."

*

Kelopak mata Raka terasa berat. Taka lama setelah Indhira menyalakan mesinnya, pemuda itu tertidur. Di tengah-tengah perjalanan, sepertinya Indhira tidak memerhatikan penumpang satu-satunya telah jatuh ke alam mimpi. Samar-samar ia mendengar temannya itu mengatakan sesuatu tentang apoteker, azuline, Floor, Orenda, pagna dan juga hal mengenai ingin melebihi langit. Setelah itu Raka tak ingat Indhira bercerita apa lagi. Segala ocehan perempuan itu telah melewati kapasitas otaknya.

"Ka," panggil Indhira entah setelah berapa lama ia tertidur. Mengerang, Raka tak mau membuka mata, "kamu dengerin enggak sih?"

"Kupingku panas dengerin kamu ngomong, Dhi," rengek Raka masih ingin terlelap. Beberapa hari terakhir ia tidak bisa menikmati tidurnya; yang pertama karena ia pingsan, yang kedua karena ia tertidur di lantai, badannya sakit semua.

"Katanya kamu ingin tahu tentang Orenda."

"Aku berubah pikiran," ucapnya masih memejamkan mata. Jalanan berbatu membuat Raka sadar ia masih belum sampai tujuan. Menyugar rambut, ia menambahkan, "Hal-hal yang detil membuatku sakit kepala. Seperti mendengarkan kuliah pagi dan aku enggak suka kuliah, apalagi pagi hari. Ibaratnya aku lebih senang dilepas di alam rimba dan belajar sambil jalan daripada mempersiapkan segala sesuatunya dari awal. Ribet."

"Kamu bisa mati."

"Orang-orang pasti mati," ucap Raka, menompang dagunya di pinggir jendela, "Kamu yang bilang begitu 'kan?"

Indhi memperlambat laju mobilnya dengan menginjak rem, mereka mulai memasuki jalan menurun. Floor sudah jauh di belakang dan pohon-pohon tinggi masih tumbuh mengitari gunung itu. Kerutan tampak di dahi gadis itu, ia tersenyum getir, "Aku enggak mau kehilangan kamu lagi, Ka."

"Bukannya dua tahun rasanya seperti sudah selamanya?" tanya Raka, "Apa bedanya dengan hidup tanpaku untuk selamanya? Jika aku enggak ke sini, tidak akan ada perubahan lain di hidupmu yang sekarang kan?"

Mobil itu berhenti mendadak. Indhi memandangnya nanar dan Raka tak tahu apabila perkataannya telah menyakiti hatinya. "Jangan bicara seperti itu lagi," perempuan itu terdengar marah, "Kamu enggak ngerti bagaimana rasanya. Kamu hanya kehilangan satu sahabatmu, aku kehilangan semua teman-temanku, sahabat, keluarga, orang-orang yang aku sayang. Semuanya. Termasuk kamu."

Raka tidak menjawab maupun menyanggah. Pemuda itu kebingungan dengan reaksi Indhira yang marah sekaligus sedih. Apa dia telah salah berucap?

Ia melanjutkan, "Tinggal selama dua tahun di sini, tidak menghilangkan rasa penyesalan atas keputusanku. Aku sempat berpikir bahwa lebih baik aku menyerahkan diri ke Tuhan saja, tetapi...aku masih hidup. Hidup! Aku diberi kesempatan kedua dana aku tidak mau menyia-nyiakannya untuk kecerobohan yang sama. Jadi tolong...tolong hargai hidupmu."

"Kamu...berubah, ya," komentar Raka. Indhi memang sudah mengalami banyak hal, tentu saja banyak perubahan signifikan pada dirinya. Raka pun merasa gelisah dengan perasaan sentimental yang muncul tiba-tiba dari perempuan itu.

Menghela napas, Raka mengulurkan tangan kemudian mengacak-acak rambut pendek Indhira. "Maaf," katanya, "Aku enggak pernah ngerti dengan kalian-kalian yang begitu mencemaskan keberadaanku. Baik kamu, Cecil maupun Iyas."

"Aku ingin melihatmu pulang, Raka. Entah kembali ke Permukaan Atas atau tetap di sini," tutur Indhi, melepas tangan Raka yang masih menepuk kepalanya, "Utuh."

Mendengus, permuda itu tersenyum simpul. Ia sudah berjanji pulang pada Iyas, tetapi apakah ia bisa pulang? Sejauh ini sudah berapa kali ia terluka dan tak sadarkan diri? Hilangnya kesadaran yang paling memalukan sudah jelas ketika ia datang ke tempat sang raksaka beberapa hari yang lalu. Belum lagi ketika tubuhnya kena pukul dan dikejar oleh pagna hingga nyaris mati.

Jika ia masih kecil, Raka pasti tidak akan bisa tidur tenang untuk satu bulan ke depan. Imaji makhluk itu mengejar dan hendak menyantapnya masih begitu jelas terpatri di kepalanya. Ia tidak tahu kejadian apa lagi yang menantinya. Mencari fakta mengenai kematian sahabatnya itu, jelas saja menanggung risiko yang sama dengannya. Belum lagi dengan penjelasan tak masuk akal oleh Dee dan Kei. Pulang bisa jadi alasan termudah untuk meninggalkan semua kegilaan ini, tetapi untuk sekarang, hal itu masih belum menjadi prioritasnya.

"Akan kucoba," ucap Raka menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Memang seharusnya begitu," gumam gadis itu kembali menginjak pedal gas.

Mengejutkannya, pemandangan di bawah bukit tidak sama dengan lingkungan di sekitar Floor. Kepadatan kota itu terlihat ketika Raka berada di kabin Zadia. Namun di balik gunung, jalanan berundak mulai berubah menjadi jalanan beraspal yang melebar. Lembah di kaki gunung cukup lapang, tampak hijau dengan rerumputan liar yang tumbuh. Alam tampak seimbang dengan satu-dua rumah yang terletak berjauhan; mungkin peternakan atau mungkin pertanian.

Setelah beberapa menit, Raka memejamkan matanya lagi, meniggalkan Indhira yang tak lama bersenadung mengikuti lagu dari radio mobilnya. Lagu itu tentunya terdengar asing di telinga Raka. Ia belum pernah mendengarkan nada-nada itu, tetapi lantunan musiknya menenangkan, sangat mendukung semilir angin yang masuk melalui celah jendela. Tak ada lagi udara busuk yang mengekang paru-parunya meskipun langit masih tampak kelabu. Dengan cepat Raka terlelap.

Ia menyipitkan mata ketika mendengar kaca mobil diketuk. Indhi menempelkan wajahnya dari luar mobil dan memberi isyarat agar Raka menurunkan kaca jendelanya. Mereka berada di sebuah pom bensin kecil di antah berantah dengan sebuah minimarket tak jauh dari sana. Ah benar, Raka harus buang air kecil. Alih-alih membuka jendela, Raka membuka pintu mobil dan membuat Indhi terkejut dan tersentak ke belakang.

"Sori."

"Kamu tidur kayak sapi," gerutu Indhi. Menyipitkan mata seolah-olah berkata, maksudmu apa sih, Raka mengusap wajahnya dan mengatakan bahwa ia mau ke toilet.

"Ah, Ka," panggil Indhira. Ia mengeluarkan dompet dan memberikan Raka selembar uang yang ia tidak tahu sebutannya. Indhi menunjuk minimarket itu. "Itu ori. Mungkin kamu mau beli sesuatu di sana. Mata uang Permukaan Atas enggak berlaku di sini," jelasnya.

"Kau memberikanku uang?"

"Aku meminjamkanmu uang!" serunya, "Balikin lho ya!"

"Kalau engga ikhlas jangan minjemin dong," cibir Raka seiring ia membalikkan badan.

Minimarket yang ia masuki lebih kecil dari minimarket yang biasa ia temui di tempat asalnya. Cat pada dindingnya pun sudah pudar dan mengelupas; penanda berupa kotak lampu tak menyala, menampilkan nama minimarket yang tak terbaca. Ketika ia masuk ke dalam, rak-rak besi setinggi satu meter berjajar di sisi tembok, berisikan botol-botol air mineral dan juga makanan ringan. Denging televisi mengalihkan perhatian Raka ke konter kasir.

Seorang perempuan berambut hitam mengunyah permen karet, memandang Raka dari atas ke bawah. Riasan yang dipakainya cukup tebal, apalagi celak berwarna hitam yang mengelilingi mata. "Selamat datang," ucapnya malas.

Raka mengangguk, menanyakan di mana letak toilet. Perempuan pramuniaga itu menunjuk ke pintu belakang dan Raka mengikutinya. Setelah buang air kecil, ia kembali ke dalam mini market dan mendapati perempuan itu tengah mengganti-ganti saluran televisi. Di salah satu pojokan terdapat sebuah konter berisi makanan-makanan siap saji meskipun jumlahnya tidak banyak. Penataannya tidak menggugah selera. Sosis-sosis yang diletakkan di penghangat tampak keriput, menumbahkan keraguan pada diri Raka.

"Ini masih bisa dimakan?" tanya Raka, menunjuk daging olahan itu, cukup latang hingga terdengar oleh si petugas kasir.

"Kalau tidak mau dimakan ya tidak usah dibeli," jawab gadis itu jutek, melihat Raka dari sudut mata saja.

"Saran bagus," gumamnya, meninggalkan konter makanan itu. Raka berjalan ke arah kasir, melihat jajaran rokok dan juga batangan cokelat di kasir. Ia melihat merk rokok yang dibeli oleh Indhi dan menanyakan jenis apa yang paling enak.

Perempuan itu mengambil tiga buah kotak rokok jenis berbeda, salah satunya yang dibeli oleh Indhi. "Kalau kau mau yang kuat, orang-orang biasanya beli ini," ia menunjuk kotak berwarna merah bertuliskan Pommel kemudian kotak berwarna kuning keemasan bertuliskan 'Vincent Smoke' dan berkata, "Vincent Smoke punya bau yang khas, dia yang paling popular dibandingkan yang lainnya. Sementara yang itu untuk mereka yang suka menthol."

"Pommel deh," ucap Raka. Perempuan itu mengembalikan kedua kotak sisanya ke kabinet di belakangnya dan menanyakan apa lagi yang mau ia beli. Raka melihat harian surat kabar di salah satu rak di kasir dan membacanya sekilas. Rasanya percuma jika Raka membeli koran itu pasti ia hanya melihat halaman paling depan dan tidak membaca sisanya. "Oh, coba ceritakan tentang daerah ini."

Perempuan itu menghela napas panjang, malas. "Ini tempat antah berantah. Enggak ada hal yang menarik kecuali kamu suka melihat yelk memakan rumput," katanya sambil mengucapkan total harga barang yang dibeli Raka, "Kalau kau mau menikmati kehidupan kota, pergi saja ke Floor. Orenda mempunyai banyak sarana untuk melepas penat dan segala pikiran keruhmu. Kota itu terletak di balik gunung. Sungai di timur akan mengantarmu ke bagian selatan Floor."

"Bagaimana dengan tempat lain selain Floor?" Raka mengulurkan uangnya dan menunggu kembalian.

"Maaf ya, aku bukan pemandu wisata. Beli saja peta kalau perlu," ucapnya sembari membuka mesin kasir. Perempuan itu memberikan koin dan pecahan ori pada Raka, meniupkan balon karetnya dan meletus sebelum berkata, "Ada kabar angin, orang-orang di Haven katanya sedang mempersiapkan hal yang besar. Kalau mau ke sana saja."

"Hal besar apa?" tanya Raka, tertarik.

"Hmm, entahlah," ia memiringkan kepala, mengunyah permen karetnya yang lama-lama terdengar menjijikkan, "Aku tidak tahu banyak tentang tempat itu."

Mengangkat bahu, pemuda itu berterima kasih sambil melambaikan tangannya dan berpapasan dengan Indhi ketika keluar dari toko. Perempuan itu berkata bahwa ia hendak membayar bensin terlebih dahulu sebelum melanjutkan perjalanan. Mengiyakan, Raka menunggunya sambil bersandar di mobil, menepuk-nepuk kotak rokoknya dan membuka air mineral yang baru ia beli.

Tegukan air dingin menyegarkan kerongkongannya yang kering. Sosok Indhi tampak dari kaca jendela, tengah berbincang dengan petugas kasir berpenampilan gotik itu. Mereka cukup akrab, sepertinya, terlihat dari Indhira yang tertawa dan si pramuniaga yang tersenyum miring. Ia sadar dirinya diperhatikan ketika perempuan gotik itu menunjuk Raka. Merasa tidak nyaman, Raka menenggak lagi air mineralnya. Melirik sekali lagi ke jendela, Indhi tampak geram dan malu.

Sepertinya ia perlu rokok.

Pemuda itu berjalan menjauhi pom bensin kecil itu, membiarkan Indhi dan si pramuniaga untuk berbincang lebih lama. Menghirup asap nikotinnya dalam-dalam, Raka mengakui kenikmatan Pommel menjadikannya yang terbaik untuk para perokok berat. Mungkin jika ia pulang nanti, ia harus membeli Pommel dalam jumlah yang banyak. Jika ia pulang nanti.

Menengadah, Raka baru menyadari langit tampak kelabu tanpa adanya awan yang menggantung rendah. Semenjak pertama kali ia menginjakkan kakinya di tempat asing ini, Raka tak pernah merasakan sorotan mentari yang langsung menerpa wajah. Seolah-olah Bumiapara terletak di bawah sebuah kanopi yang menyaring seluruh cahaya. Mungkin Raka baru mengetahui alasan mengapa hanya warna pucat yang dihasilkan oleh tanaman yang tumbuh di sekitarnya dan kecenderungan suhu yang dingin. Apakah karena itu Nova mengatakan bahwa tempat ini berada di 'bawah sana'? Ah, dia tidak paham.

Raka menghirup rokoknya lagi, memerhatikan sekeliling yang tampak begitu lapang. Kekosongan jalan raya di sekitarnya terasa begitu senyap, apalagi tak terlihat satu pun kendaraan yang lewat. Nampaknya jalur yang perempuan itu pilih bukanlah jalur yang biasa dilewati banyak orang. Mereka sudah turun gunung dan horizon, mungkin ia bisa melihat aliran sungai biru kelabu. Terdengar suara Indhira memanggilnya untuk melanjutkan perjalanan.

Tak kurang dari setengah jam kemudian, mereka sudah sampai tujuan. Tak terlihat pagar maupun tembok tinggi yang melindungi tempat pengungsian itu. Seseorang beseragam sama dengan penjaga di perbatasan Disposal Floor datang menghampiri. Indhi membuka jendela dan raut wajah penjaga itu melembut. Setelah sedikit berbasa-basi dengan penjaga itu, mobil kembali melaju.

Haven, dibandingkan sebuah tempat pengungsian yang penuh dengan tenda, telah bermukim menjadi pedesaan. Bangunannya masih tampak sederhana meskipun sudah terbuat dari batu bata. Semakin memasuki Haven, semakin banyak orang yang terlihat, berhimpun dan berdiskusi. Mereka semua tampak berbeda, baik dari warna kulit maupun karakter fisik lainnya; yang berhidung mancung hingga orang-orang bermata almond, seolah-olah tempat ini adalah muara seluruh dunia. Hanya satu hal yang membuat mereka homogen secara fisik, lingkaran hitam di belakang leher dan juga bekas-bekas luka baik sabetan maupun jahitan yang tampak jelas di tubuhnya.

"Dhi," panggil Raka masih melihat jendela. Ia melanjutkan setelah perempuan itu menyahut, "mereka mempunyai tanda yang sama dengan yang ada di belakang lehermu."

"Ya, aku sadar kok. Mereka patcher," jelas Indhi, "Sama denganku, mereka orang-orang atas yang terjebak di Orenda dan masih bisa diselamatkan. Kau sendiri tahu bagaimana nasib mereka yang tidak selamat."

Tentu saja. Pemandangan itu masih menjadi mimpi buruknya. "Mereka semua orang-orang atas?" Indhira mengangguk. "Tunggu, tunggu. Aku bisa melihat beragam orang asing di sini. Mereka tidak berasal dari kota kita 'kan? Orenda mengambil orang-orang atas dari seluruh dunia? Bagaimana caranya?"

"Kalau itu, aku tidak tahu," Indhi menjawab seketika, "Mungkin mereka mempunyai agen atau semacamnya. Pada dasarnya, Orenda menarik orang-orang yang perlu hiburan instan."

"Kamu pikir ponsel dan segala tetek bengeknya enggak berpengaruh ya?"

"Kalau pengaruhnya sebesar itu, aku enggak akan di sini 'kan?"

Jalan utama membawa mereka ke bangunan yang berukuran lebih besar dibandingkan rumah yang lain. Didirikan di atas undakan, bangunan itu lebih tinggi dibandingkan yang lainnya. Gelondong kayu merupakan material utama; membedakannya dengan yang lain. Indhi memarkirkan mobilnya tak jauh dari sana, menjelaskan bahwa tempat itu merupakan sebuah aula tempat di mana mereka biasa mengadakan pertemuan.

Dalam perjalanan singkatnya menuju pusat Haven, beberapa rumah tampak ambruk dengan lubang selebar tiga meter di tanah. Pemandangan itu cukup mengerikan, sesungguhnya. Lubang yang lebar dan dalam bisa menjerumuskan siapapun ke sana. Peluang untuk keluarnya pun kecil. Ketika mobil melewati rumah hunian, ia mendapati beberapa pasang mata mengikuti ke mana mereka pergi. Seutas senyum menghiasi wajah, beberapa menghela napas lega. Ketika Indhi meminta Raka untuk menurunkan barang dan membawanya ke aula, tiga orang penduduk datang menghampirinya dan ikut membantu.

Raka mendapatkan informasi mengenai keadaan Haven saat itu. Sepasang pagna liar menyerang mereka dalam ritual kawinnya, menghancurkan lima rumah, membuat tujuh orang terluka, dan tiga orang tewas di tempat. Salah satu di antara yang terluka dan kondisnya cukup parah adalah seorang patcher yang masih belum mendapatkan perasaannya lagi. Orang itu bersikukuh bahwa dirinya baik-baik saja meskipun sesungguhnya tidak sama sekali. Tabib menyuruhnya untuk tetap beristirahat, tetapi dia tetap menolak.

"Dia di mana?" tanya Indhi.

"Kami tidak tahu," jawab pria yang lebih pendek daripada Indhira, "terakhir melihatnya, orang itu ada di dekat sungai." Menghela napas, Indhi mengeluhkan lokasi sungai cukup jauh dan perempuan itu akan berurusan dengannya nanti.

Mengangkat barang-barang yang Indhi turunkan dari mobil tidak menghabiskan waktu lama; ketiga pria itu mempermudah segalanya. Seorang pria, Ling, yang lebih pendek dari Indhi bertanya pada Raka tentang lingkaran gelap yang tak tampak di tengkuknya. Menjelaskan mengenai tujuannya datang ke sini malah mendapatkan celaan seorang pria yang dipanggil Abu. Ia berkulit gelap, berambut ikal dan berjanggut lebat. Tatapan seolah-olah telah melihat orang aneh sudah terlalu sering ia dapat hingga bosan rasanya.

"Yah, semua orang mempunyai alasannya sendiri untuk datang kemari 'kan?" ucap pria berkacamata yang rambutnya mulai dipenuhi uban. Mereka memasuki aula yang ternyata dipenuhi oleh penduduk Haven, menunggu instruksi, berkumpul menemani yang terluka dan berduka. Meletakkan kotak-kotak itu di dalam ruangan yang berada di ujung aula, Mato si pria berkaca mata berkata, "Sayangnya kau menggali kuburanmu sendiri, Raka."

"Heh, lebih baik mati karena mencoba daripada tidak sama sekali."

"Semangat yang bagus," komentar Abu, "Kuharap apimu masih bisa menyala meskipun sudah tersiram air."

Raka kembali ke aula dan mencari sosok Indhira yang dengan mudah ditemukan. Perempuan itu tengah berbincang dengan seorang perempuan. Mata mereka bertemu dan Indhi melambaikan tangannya agar Raka mendekat.

Meskipun penduduk Haven rata-rata mengenakan jaket, ada beberapa orang yang menggulung tangannya menampilkan bekas luka yang dalam dan juga jahitan, beberapa biru karena lebam. Walaupun Indhi mengatakan bahwa dirinya pun seorang patcher, ia tidak melihat adanya bekas luka di tangan maupun bagian tubuh yang lain. Rata-rata, mereka yang duduk di dalam aula tengah berbicara, entah apa, tetapi kebanyakan orang datang menghampiri Indhira; mengelilinginya dan bertanya banyak hal, membuat temannya itu cukup kewalahan.

"Indhi, di mana dokter Dee? Aku benar-benar harus bertemu dengannya."

"Indhi, kondisi Val semakin memburuk sejak terakhir kamu ke sini!"

"Indhi, kau harus tahu bagaimana perilaku dia kepadaku kemarin!"

"Indhi!"

"Indhi!"

Semua orang memanggilnya; Raka jelas ikut pusing mendengar mereka berbicara seperti burung yang saling menyahut di dalam hutan. Sayangnya, suara mereka tidak semerdu binatang bersayap itu. Yang ada mereka membuahkan penat dan telinga pekak.

"Indhi itu cuma seorang perempuan, lho," ucap Raka cukup lantang, berjalan ke tengah kerumunan, membuat mereka berhenti berbicara walaupun sejenak, "Dia enggak bisa menjawab kalian kalau kalian ngomong seperti kucing kelaparan. Sebagai tambahan, kalau ada yang mencari dokter Dee maupun Kei, mereka tidak ikut hari ini."

"Dan kau ini siapa bisa bilang begitu?" tanya seorang remaja dengan wajah berbintik.

"Temannya."

"Aku tidak tahu Indhi mempunyai teman sepertimu."

Menaikkan alisnya, Raka mencibir, "Memangnya kau pacarnya harus tahu siapa semua teman Indhira, hah?"

Indhira mengusap wajahnya, menarik napas dalam-dalam. Ia menggenggam pergelangan tangan Raka sambil berkata gemas, "Makasih Raka, tapi tolong jangan kekanakan begitu." Indhi memperkenalkan Raka kepada mereka meskipun orang-orang yang mengerubungi Indhi kebanyakan memicingkan mata, tidak terima. "Seperti yang Raka bilang, dokter Kei dan Dee tidak bisa datang ke sini. Ada yang harus mereka kerjakan."

Orang-orang itu kembali ribut, bertanya banyak hal yang bahkan, Indhi sendiri terlihat kebingungan bagaimana menjawabnya. Beruntungnya ada seorang pemuda melambai dari kejauhan, memanggil Indhi karena urusan yang terlihat darurat. Raka mencolek bahu Indhi dan mengarahkan dagunya ke pemuda itu. Menghela napas lega, cepat-cepat Indhi menarik diri dari kerumunan, menarik lengan Raka sekalian.

"Mereka edan," gerutu Raka.

"Siapa yang bilang enggak?" Mereka kini berhadapan dengan seorang pemuda berhidung mancung dengan tulang pipi tinggi. Ia meminta maaf karena telah memanggil mereka di tengah kesibukan.

"Enggak kok," kata Indhira, "kamu malah menyelamatkanku. Ada apa Hertz?"

"Kei atau Dee tidak bersamamu? Shen benar-benar membutuhkan kehadiran salah satu di antara mereka dalam urusan ini," pemuda itu berhenti berbicara dan menatap Raka dari atas ke bawah. Ia heran kenapa semua orang yang ia jumpai belakangan ini selalu mengamati tubuhnya secara keseluruhan. "Orang baru?"

"Semacam," jawab Raka sebelum Indhi membuka mulutnya. Pemuda itu mengulurkan tangannya yang disambut oleh Hertz, "Raka."

"Hertz," ia mengangguk, "kalian harus bertemu Shen secepatnya. Dia sedang beradu mulut dengan seorang perempuan. Aku enggak tahu apakah kamu bisa memasukkan sedikit akal sehat ke perempuan itu, Dhi. Tapi, setidaknya kamu mungkin tahu apa kiranya tanggapan Kei atau Dee mengenai hal ini."

"Hal ini apa?" tanya Indhira. Mereka kini berjalan meninggalkan aula, menuruni tangga yang terletak di bagian belakang.

Hertz menggeleng, menyerah setelah mendesah, menyusun kata-kata. Pemuda itu berkata pada Raka, "Kau pun harus bicara dengan Shen jika mau tinggal di sini, Raka."

"Tinggal?" Raka mengerutkan alis, heran, "Gua enggak mau tinggal di sini."

"Enggak mau?" ulang Hertz, lagi-lagi dengan tatapan seperti baru melihat makhluk luar angkasa untuk pertama kali.

Bangunan yang mereka datangi memiliki kerangka yang hampir sama dengan aula, meskipun tidak sama luasnya. Pintunya sedikit terbuka dan Raka bisa dengar dua suara: seorang wanita dan juga pria, berdebat. Dari celah, sesaat ia kira ia melihat sosok yang baru ia kenali beberapa hari yang lalu. Meskipun dari tinggi badan, wanita di dalam ruangan itu tidaklah lebih pendek daripada Nova. Kulit wanita itu sama pucatnya, tetapi rambut bergelombang yang melebihi bahu tidaklah berwarna burgundi.

*

//Buat yang sebelumnya baca versi lama, aku mengubah mata uangnya dari appas menjadi ori (aku bahkan lupa appas awal mulanya apa wk). Lalu kujuga memotong beberapa paragraf di chapter ini. Hahaha. Boy, that's feels good. Nulis cerita panjang gampang, nulis yang compact tapi padet itu susah. huhuhuh

Anu, sebenernya kalian lebih prefer cerita panjang per bab nya atau pendek sih, saya agak gelisah tbh. Meskipun begitu saya akan selalu mengucapkan terimakasih seperti ucapan ulang tahun yang kami ucapkan. jir ga jelas. Intinya makasih banyak untuk segala bentuk dukungannya. Aku hapal kamu-kamu yang selalu nongol di setiap update an haha. Atau yg seperti hantu, tau2 jumlah viewer nambah, still, thanks a lot!

Mudah-mudahan minggu depan bisa update lagi ya! dan minggu depannya dan minggu depannya lagi haha! Btw map Floor ala ala sudah ada lho, cek di bab terakhir ya. Thx guys, Floor crew loves you all.//

Continue Reading

You'll Also Like

3.6M 357K 95
Bercerita tentang Labelina si bocah kematian dan keluarga barunya. ************************************************* Labelina. Atau, sebut dia Lala...
176K 11.2K 19
Ini dia jadinya kalo gadis bar-bar seperti Joana transmigrasi ke dalam sebuah novel romansa dan menjadi anak perempuan dari protagonis yang digambark...
105K 15.7K 61
[BOOK #1 OF THE JOURNAL SERIES] Mendapatkan beasiswa selama setahun di Inggris pastinya diterima baik oleh Zevania Sylvianna, seorang gadis pecinta k...
3.4K 254 25
[R12+] [√ TAMAT] Latum Alterum Entity © 2020, Ennvelys Dover, All right reserved. Cover Ilustration & Designer: Ennvelys Dover Symbol Illustration...