Antipole

Bởi nunizzy

2.1M 232K 31K

•Completed• Kita ada di kutub yang berbeda. Sekolah yang terkenal disiplin dan memiliki segudang presta... Xem Thêm

Prolog
1st Pole
2nd Pole
3rd Pole
4th Pole
5th Pole
6th Pole
7th Pole
8th Pole
9th Pole
10th Pole
11th Pole
12th Pole
13th Pole
14th Pole
15th Pole
16th Pole
17th Pole
18th Pole
19th Pole & QnA
20th Pole & Giveaway Time
21st Pole
22nd Pole
23rd Pole & Disclaimer
24th Pole
25th Pole
26th Pole
27th Pole
QnA
29th Pole
30th Pole
31st Pole
32nd Pole
33rd Pole
34th Pole
35th Pole
36th Pole & Promotion
37th Pole
38th Pole
Fun Facts
39th Pole
40th Pole
41st Pole
42nd Pole
43th Pole
44th Pole
45th Pole
46th Pole
47th Pole
48th Pole
49th Pole
50th Pole
51th Pole
52nd Pole & QnA#2
53th Pole
54th Pole
55th Pole
Sekilas Promo
QnA#2 (Part 1)
QnA#2 (Part 2)
56th Pole
57th Pole
58th Pole
Epilog
Pidato Kenegaraan Antipole

28th Pole

28.4K 3.3K 198
Bởi nunizzy

28th POLE

~~||~~

"Males ah, Kak! Pergi aja sendiri sana." Inara menggeleng seraya menghempaskan tubuhnya ke atas kasur.

"Ih, tega lo ya sama gue? Masa biarin gue pergi sendiri kayak kambing congek." Naya duduk bersila di tepi ranjang, menarik-narik tangan adiknya agar bangun dan menemaninya mencari dress untuk acara kampusnya.

"Ya lo ajak temen lo kek. Sahabat lo kek. Pacar lo kek. Makanya cari pacar biar nggak ngerepotin gue." gadis itu memejamkan matanya, tidak memerdulikan Naya yang terus menarik-narik tangannya. "Gravitasi yang gue rasain di atas kasur ini udah gede banget nggak terkontrol lagi."

"Jahat banget lo jadi adik," gerutu Naya.

Inara membuka matanya dan memperhatikan Naya yang menatapnya dengan tatapan memelas. Gadis itu menghembuskan napas panjang. Ia tidak suka jika harus menemani Naya membeli pakaian. Kakaknya itu akan berubah menjadi sangat menyebalkan karena pada akhirnya baju yang pertama kali ia pegang yang akan dibelinya.

Inara juga capek. Ia baru sampai di rumah sekitar setengah jam lalu–pukul tujuh malam–karena mengurus kegiatan studi komparatif angkatan atau SKA yang akan dilaksanakan kurang dari seminggu lagi.

"Ke butik mama aja, nggak usah ke mall. Lagian, mama masih di butik juga, kan." gadis itu bangkit.

"Ke mall aja. Sekalian gue traktir lo makan malam," ucap Naya tidak terbantahkan.

"Untung yang kayak lo cuma satu, Kak," tuturnya yang mengundang tawa Naya.

# # #

"Gue bingung, nih, Na."

Inara memutar bola matanya. "Semua dress yang lo tunjukin ke gue itu udah ada di rumah. Di lemari gue. Terpendam, saking penuhnya lemari lo itu sama dress-dress."

"Gue udah bosen pake yang itu, Na. Lo ngerti gue dikitlah. Badan cewek tapi kok nggak mengerti cewek banget," gerutu Naya.

"Lo yang terlalu cewek, Kak," tandas Inara. "Lagian, lo ngampus juga biasanya pake jeans. Buat apa punya dress banyak-banyak? Setiap ada acara, musti beli baru. Heran gue."

"Ya-ya. Lo berisik banget. Mending lo bantuin gue milih."

"Yang peach aja. Buru."

"Naya?" sapa seseorang.

Kakak beradik itu serempak menoleh ke sumber suara. Naya melotot kaget. Begitu juga dengan Inara, tidak menyangka akan bertemu lelaki itu di sini.

"Eh, Dimas? Udah lama banget nggak ketemu. Lo ngapain di... bagian pakaian wanita?" tanya Naya aneh.

Mata Dimas membulat kemudian menggaruk tengkuknya. "Hmm, sebenernya gue nyari adik gue ke sini. Dia tadi lari-larian terus ngilang deh."

Naya manggut-manggut. "Anyway, seneng ketemu lo di sini." gadis itu tersenyum ramah. Ia dan Dimas satu angkatan dulu di SMA Integral. Selain itu, Naya juga satu SMP dengan Dimas. Mereka berteman baik–walaupun dulu Naya sempat kaget begitu mengetahui bahwa Dimas adalah anggota Blackpole.

"Dim. Adik lo udah sama nyokap lo." suara seseorang lagi-lagi membuat Naya dan Inara menoleh bersamaan.

Naya membeku. Begitu juga dengan lelaki yang detik sebelumnya menepuk pundak Dimas.

"Ngg... btw ini siapa, Nay?" tanya Dimas berusaha keluar dari suasana canggung.

"Oh. Ini adik gue. Kenalin, Inara. Inara, ini Dimas, temen SMA gue."

Inara tersenyum kikuk seraya menyambut uluran tangan Dimas.

"Dimas Satria."

"Inara, Bang."

Dimas menatap Inara cukup lama. Hingga gadis itu menyadari bahwa Dimas sedang mengodenya agar gadis itu mengikuti permainan yang ia ciptakan. Pura-pura baru kenal dengannya dan Putra.

"Kalo ini Putra." Dimas merangkul Putra yang masih membeku karena pertemuannya dengan Naya yang tidak disangka-sangka.

Inara menatap Putra seraya mengulurkan tangannya. "Inara, Bang."

Putra berusaha tersenyum–dengan susah payah–sembari menyambut uluran tangan Inara. "Putra Abraham."

"Mantan kakak lo," bisik Dimas.

Naya melotot mendengar itu. Yang dipelototi hanya terkekeh seraya menyatukan kedua tangannya.

Mantan?, batin Inara.

Gadis itu menarik tangannya. Kata-kata Gafar terlintas di pikirannya.

"Jangan sampai Kak Naya tahu."

"Kenapa Bang?"

"Dia udah nge-blacklist Blackpole dari hidupnya."

Apa hubungan Naya dengan Putra menjadi alasannya mem-blacklist Blackpole dari hidupnya?

"Eh, kalian udah pada makan belum?" tanya Dimas.

Inara menggeleng pelan, sedangkan Naya hanya diam. Perasaannya mendadak tidak enak.

"Kalau gitu makan malem bareng, yuk! Sama nyokap dan adik gue juga."

Mata Naya membulat kaget kemudian menggeleng dengan cepat. "Gue sama adik gue buru-buru, harus pulang cepet."

"Halah. Nggak mungkin lo buru-buru, Nay. Udahlah, ayo! Nggak ada salahnya, kan? Lo nggak mau nostalgia sama Put–ehm, gue?"

Naya memberi tatapan tajam kepada Dimas. "Sialan lo, Dim! Kalo ada kesempatan gue lempar juga lo ke lantai bawah", ucapnya melalui tatapan mata.

Dimas hanya cengengesan.

"Ayo, Inara! Lo laper, kan?" tanpa canggung Dimas menarik lengan Inara.

"Eh, berani ya lo megang-megang adik gue?!" ucap Naya galak.

Dimas berbalik. "Minta gandengan sama Putra aja tuh." lelaki itu mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya membentuk huruf V.

Naya menatapnya dengan ekspresi aneh. Gadis itu menoleh ke arah Putra yang sedari tadi enggan menatapnya, tetapi masih senantiasa berdiri di tempatnya–tidak beranjak ke mana pun.

"Gue bayar ini dulu, Woi! Dim!" panggilnya.

"Gue tunggu di Lollita Ice and Co!"

Gadis itu mendengus seraya berjalan membawa dress-nya menuju kasir, meninggalkan Putra yang belum mau beranjak dari tempatnya.

# # #

"Gue baru tahu kalo arena bermain anak-anak masih buka sampai jam setengah sembilan," komentar Dimas.

Mereka berempat makan malam tanpa ibu dan adik Dimas. Adiknya yang bernama Bianka itu menarik-narik Nita–ibunya–untuk ditemani ke arena bermain anak-anak.

"Kalau nggak salah, tutupnya jam sebelas, Bang," ucap Inara sebelum menyuapkan makannya ke dalam mulut.

Dimas manggut-manggut. "Kira-kira anak kecil mana, ya, yang diizinin main sampai semalem itu."

Sedari tadi, hanya Dimas dan Inara yang mengisi pembicaraan. Putra dan Naya memilih diam. Entah sedang tidak mood berbicara, atau sedang menyelami masa lalu dengan pikiran mereka.

"Gue ketua Blackpole," ucap Putra dengan nada pasrah. Lelaki itu sepertinya sudah sangat siap menerima apa pun reaksi Naya setelah mendengar pengakuannya.

Mata Naya membesar, tetapi sesaat kemudian, tawanya pecah dan disusul dengan pukulan ringan di pundak Putra.

"Apa sih lo. Bercandanya nggak lucu." ekspresi Naya berubah datar.

"Gue serius, Nay."

Gadis itu mengerutkan kening.

"Itu alasannya setiap Kamis dan Sabtu gue nggak bisa nganterin lo pulang. Gue pertemuan."

Dada Naya terasa sesak. "Tapi kenapa?"

Putra menatapnya bingung.

"Kenapa lo bohongin gue, Tra?"

Lelaki itu hanya diam.

Emosi Naya rasanya sudah sampai di kepala. Namun, gadis itu berusaha menahannya agar tidak meledak di sini. Ia masih punya malu untuk membuat keributan di restoran orang.

"Selama ini gue selalu berkeluh kesah sama member Blakcpole yang kayaknya dendam banget sama gue. Lo bahkan tahu beberapa bulan yang lalu, ban mobil gue dikempesin pas gue di supermarket hari Minggu." Naya berhenti sejenak untuk mengatur emosinya.

"Lo juga tahu mengenai foto-foto aib gue yang dipampang di mading dan dicoret-coret, ditusuk-tusuk. Lo juga tahu tentang sampah-sampah yang ada di loker gue."

Putra menghela napas. Saat ia ingin membuka suara, Naya melanjutkan ucapannya.

"Lo sebenarnya tahu, kan, itu ulah member Blackpole? Mereka dendam kesumat sama gue gara-gara kampanye #AntiBlackpole yang gue buat. Apalagi, gue terlalu blak-blakan bilang kalo itu komunitas nggak baik di depan semua murid Integral. Setelah gue pikir-pikir, pantes aja lo nyuruh gue maafin siapa pun yang jahilin gue. Udah pasti dong, lo belain anggota lo. Kenapa, Tra. Kenapa?"

Jangan salahkan jika sifat dramatisnya mulai keluar. Gadis itu sewaktu-waktu bisa menjadi sangat emosional.

Putra memilih untuk tidak menjawab. Ia tahu, anggota Blackpole-lah yang melakukan itu. Namun, ia juga lebih tahu kalau oknum-oknum tersebut sudah dikeluarkan karena merusak nama Blackpole.

Di tahun sebelum Putra menjabat dan saat Putra menjabat, nama Blackpole mulai buruk dengan tingkah oknum-oknum yang lebih mengedepankan egoisme mereka. Mereka terlalu fanatik dengan komunitas ini dan tidak suka jika orang-orang menilai Blackpole sesuatu yang buruk–padahal mereka yang menyebabkan pandangan itu ada.

"Gue mau kita putus," ucap Naya final.

"Tapi, Nay..." lelaki itu kehilangan kata-kata saat melihat setetes air mata jatuh dari mata gadis di hadapannya.

Cukup lama mereka diselimuti keheningan.

"Apa, Tra? Lo nggak bisa jelasin, kan? Karena apa yang gue bilang itu bener. Enam bulan ke belakang, lo cuma bohongin gue. Entah lo yang terlalu pinter nutupin atau gue yang nggak peka." air matanya semakin deras.

"Gue nggak mau putus." Putra menggeleng.

"Kalau seandainya sejak lama lo bilang ini sama gue, mungkin gue nggak akan semarah ini, Tra. Mungkin gue juga nggak akan jadi ketua OSIS. Karena gue udah janji sama Bang Zio–ketua OSIS sebelumnya–untuk membasmi Blackpole dan nggak pandang bulu sama member-nya. Dan itu berarti, kita ini kesalahan, Tra." andai lelaki itu tahu, betapa sakitnya ia ketika mengatakan hal itu.

"Blackpole juga udah masuk dalam daftar blacklist gue. Lo tau gue sebenci apa sama mereka." gadis itu diam sejenak.

"Makasih atas kebohongan lo selama enam bulan ini, Tra. Kita putus." Naya menghapus air matanya sebelum beranjak dari tempat duduknya.

Putra hanya bisa memperhatikan punggung Naya yang semakin jauh. Perempuan itu menghentikan taksi biru yang lewat, kemudian masuk ke dalamnya.

Maaf, Nay. Emang nggak seharusnya kita punya hubungan ini dengan jabatan yang kita punya, batin Putra menyesal. Ia menyesal kenapa harus menerima tawaran menjadi ketua Blackpole.

Lelaki itu menyesal karena terlambat memberitahu.

Dan lelaki itu menyesal sudah membohongi Naya selama itu.

Putra melirik Naya yang masih terjebak dalam lamunannya.

Andai gue diberi kesempatan buat jelasin semuanya, gue pasti bakal jelasin sejelas-jelasnya. Tapi, gue terlalu takut ngelihat air mata itu jatuh lagi, Nay, batin Putra.

"Eh, Nay. Gimana kuliah lo? Udah semester enam ya. Ntar kalo udah dapet gelar sarjana hukum, traktir gue bisa kali," tanya Dimas sebelum menyeruput minumannya. Makanan yang ia pesan sudah habis, ludes tak bersisa.

Naya tersentak, seakan-akan baru saja jatuh dari gedung yang sangat tinggi. Lamunannya seketika buyar.

"Eh, iya." meskipun gadis itu masih belum sepenuhnya sadar terhadap apa yang baru saja dikatakan Dimas.

"Serius, nih, ntar kalo lo udah lulus gue ditraktir?!" tanya Dimas heboh.

"Hah? Siapa bilang?!" jawab Naya kaget.

Beberapa pengunjung kafe menoleh ke arah mereka. Setelah mengangguk singkat sebagai tanda permintaan maaf, Naya kembali menatap Dimas galak.

"Lo sih."

"Lah, elo yang teriak."

"Kan lo yang mancing, lo teriak makanya gue teriak. Btw, kuliah lo gimana?"

"Yah, begitu-begitu aja." Dimas mengangkat bahunya cuek. Lelaki itu sedang berusaha survive di jurusan hubungan internasional semester empatnya. Ia memang terpaksa menganggur setahun karena tidak lulus di universitas mana pun.

"Kalian berdua nggak ada niatan membuka pembicaraan, gitu? Apalagi lo berdua kan sekarang satu kampus. Bedanya lo hukum, sedangkan Putra bisnis. Bicarain apa kek. Hukum dan bisnis kayaknya ada korelasinya."

Naya sukses dibuat panas dingin oleh kalimat yang Dimas lontarkan sejak tadi. Lelaki itu sepertinya senang sekali membuatnya mati kutu.

"Lo ngawur banget, tau nggak."

"Tau lo. Nggak jelas banget."

"Cie, kompakan nih ye."

Naya memukul kepala Dimas pelan. "Ngeselin ya lo!"

~~||~~

A/N

Pertama dan utama,

Maaf karena update-nya lama karena beberapa hari belakangan aku sibuk sama kegiatan di dunia nyata jadinya waktu buat nulis (atau sekedar buka laptop) jadi kurang banget.

Kalau dilihat-lihat dari plot, ini konflik utamanya udah deket. Kalo nggak ada halangan–dan nggak ada plot twist yang tiba-tiba muncul–ini cerita mungkin tamat di chapter 40, bisa kurang bisa lebih :(

Jadi sedih.

Nggak pengen pisah sama Rahagi.

4 Juni 2017

Đọc tiếp

Bạn Cũng Sẽ Thích

14.3K 1.6K 9
Agha Wijaya adalah sekolah elit dengan fasilitas yang mewah. Namun, 75% muridnya berasal dari kalangan anak miskin. Dianara Aretha salah satunya. Men...
27.2K 1.4K 54
Follow dulu sebelum baca .. + .
38.6K 5.3K 32
"Nggak mau minta maaf?" Shalka mendongak. "Maaf?" ulangnya bingung. "Maaf karena Io udah cium gue dua kali." Shalka melotot, apa cowok itu bilang?! ...
13.6K 1.7K 26
c o m p l e t e d Jungwon itu cuma tetangga, yang sering dateng ke rumah buat numpang makan kalau mama papa-nya lagi 'honeymoon', cuma anak basket ke...