Dunia Kepenulisan I (The Writ...

By Ariestanabirah

1.7K 205 0

Sraylira Melati, adalah calon penulis novel yang menyukai genre misteri. Suatu hari ia bertemu dengan Dilly P... More

Chapter I.B
Chapter II.A
Chapter II.B
Chapter III.A
Chapter III.B
Chapter IV.A
Chapter IV.B
Chapter V.A
Chapter V.B
Chapter VI.A
Chapter VI.B
Chapter VII.A
Chapter VII.B
Chapter VIII.A
Chapter VIII.B
Chapter IX.A
Chapter IX.B
Chapter X.A
Chapter X.B
Chapter XI.A
Chapter XI.B
Chapter XII.A
Chapter XII.B
Chapter XIII.A
Chapter XIII.B
Spesial I: Erika
Spesial II: Blueray

Chapter I.A

621 24 0
By Ariestanabirah

-Sraylira Melati-

Seorang laki-laki berpenampilan necis mengenalkan diri sebagai seorang editor dari sebuah penerbit kecil yang terkenal, dia bilang namanya Dilly. Saat ini ia tersenyum penuh keyakinan sambil menyerahkan kartu nama berisi nama, pekerjaan, alamat kantor, alamat rumah, alamat sosial media, nomor telepon yang bisa dihubungi serta foto yang tertera di samping identitas diri.

Dan aku mengabaikannya.

Aku sama sekali tak tertarik dengan tawarannya menjadi seorang novelis –meski sebenarnya ada setengah jiwaku yang langsung mengiyakan dan berjingkrak-jingkrak ketika tahu Dilly adalah seorang editor-. Aku memang suka menulis tapi tidak suka dirongrong untuk menyelesaikan ini, itu, ini, itu, seperti yang aku baca di sebuah blog seorang novelis beberapa waktu lalu. Ia bercerita setiap tahun penerbit menargetkan ia menulis sepuluh buah novel. Waw gila!, pikirku. Tak ada yang bisa menjamin dalam jangka waktu satu tahun, sepuluh buah novel yang memang matang bisa ditulis dengan sangat baik, berkualitas maksudku -setidaknya jika itu aku, aku tidak bisa. Satu novel dalam setahun pun aku tidak bisa menjamin akan terselesaikan.

Dilly menatapku lekat-lekat dengan matanya yang besar, "Kau pasti bisa! Aku akan menjadikanmu seorang novelis yang handal." Si Editor itu lantas membusungkan badan, berkata dengan penuh percaya diri seolah-olah dia adalah penulis cerita dan aku tokoh utamanya. "Percaya padaku! Di tanganku kau dan karya-karyamu akan menjadi masterpiece." Aku menghela napas malas, orang ini sudah gila.

"Kenapa aku? Kau pikir tak ada calon penulis yang lebih potensial dibanding aku? Aku ini penulis pemula. Ceritaku tidak pasaran sehingga susah diterima penerbit -mungkin tak ada yang mau terima-" Aku menghentikan ucapanku sebentar, "aku pasti membuatmu gagal."

Dilly tetap menjaga senyum di wajah lembutnya seolah-olah penolakanku barusan hanyalah angin lalu. Oke, senyumannya berhasil membuatku getir. Aku merendahkan volume suara dan kembali melontarkan orasi padanya, "Aku tidak ingin menjadi novelis milik penerbit. Aku ingin menjadi aku yang bebas menulis. Aku menulis karena aku suka dan aku mencintai dunia penulisan. Aku bukan budak yang menulis karena uang atau ketenaran seperti novelis yang itu atau itu –mungkin sebenarnya aku kurang berhasrat menjadi penulis pro, aku hanya penulis lepas," seruku.

Aku teringat dengan beberapa novelis yang karya-karyanya aku baca di perpustakaan daerah. Pada awalnya tulisan mereka menarik, tapi lambat laun tulisan itu terasa hambar dan sama saja, mereka menelurkan 7-13 novel dalam satu tahun dan beberapa novel mereka kemudian difilmkan meski tidak laku di pasaran, mereka seperti mengejar uang dan ketenaran saja tanpa menomorsatukan kualitas tulisan atau mungkin kualitas mereka hanya berkisar di situ-situ saja tanpa ada perkembangan.

Dilly menyunggingkan senyum lagi, kulit wajah bersihnya yang tertimpa sinar matahari membuatnya tampak begitu bening seperti wajah model-model pembersih wajah. "Ya, aku tahu. Aku akan mengabulkan permintaanmu. Jadilah penulisku, jadikan aku editormu. Kita akan menjadikan genre misteri dan horror menduduki genre terlaris abad ini dan pionirnya adalah kau, Sraylira Melati." Dilly membungkukkan badan tegap tingginya, suara yang ringan kembali mencapai telingaku, "Kamu akan menjadi simbol genre misteri dan horror di Indonesia!"

Aku melirik Dilly cuek. Tak habis pikir mengapa ada orang aneh seperti dia yang mendatangi kampusku, memanggilku memakai pengeras suara di halaman kampus kemudian setelah melihatku dia menarik tanganku, membawaku ke sebuah kafe lantas menyodorkan kartu nama. Dan sekarang ia menyatakan hal yang membuatku geli, 'simbol misteri dan horror'. Jangan bercanda! Cukup (Almh) Suzanna saja yang menjadi simbol horror di Indonesia. Satu genre saja aku tak mau –di antara misteri atau horror-, apalagi kedua-duanya. Bisa-bisa orang takut padaku! Lebih parah lagi, bagaimana kalau sampai cowok-cowok takut padaku? Kehidupan menikah yang aku impikan terjadi di usia dua puluh lima akan pupus! Tidak!

"Jangan khawatir, meski semua orang takut padamu. Ada satu orang yang akan selalu menganggapmu lucu kok."

Mataku dan Dilly bertemu sepersekian detik.

Ia lantas menunjuk ke dirinya sendiri, "Aku akan menjadi satu orang itu."

Cih!.

"Oh ya. Apa kau pernah membaca tulisanku? Kau dan aku tidak saling kenal sebelumnya. Tiba-tiba kau datang mencariku, menawarkan diri menjadi editor. Aku tak mengerti," aku terdiam sejenak sembari mengingat-ingat nama penerbit yang pernah menolak atau menjadi target pengiriman naskahku, seingatku penerbit tempat Dilly bernaung tak ada di daftarku karena penerbitnya hanya fokus pada genre romansa sementara genreku misteri dan horror. Mata Dilly masih memandangku fokus. "Kau bukan penculik, kan?" Bola mataku turun naik menatap Dilly dari atas ke bawah dengan seksama dan penuh selidik.

Dilly tertawa kecil, "Kau pasti bahagia apabila aku benar-benar seorang penculik," jawabnya. Hah? Mengapa aku harus bahagia jika diculik?.

"Seorang penculik yang tampan seperti aku kan jarang-jarang."

GUBRAK.

Orang ini narsis sekali. Kulirik wajahnya sekilas. Walaupun narsis, apa yang ia katakan memang berdasarkan fakta yang ada. Wajahnya memang masuk dalam jajaran apa yang gadis-gadis normal bilang 'tampan', enak dilihat.

"Karena kau penculik. Aku akan pergi sambil menarikmu ke kantor polisi." Aku menarik tangan kanan Dilly yang lebih besar dua kali lipat dari tanganku tapi Dilly menarikku balik, "Mari kita masuk ke kafe ini, mengobrol sambil menyeruput kopi hangat. Para pelayan sedari tadi menunggu kita."

"Bundaku berkata aku tak boleh bersama orang asing."

"Kemudian mengapa barusan kau menarik tanganku?" tanyanya licik. Aku menelan ludah karena menyadari kesalahan fatal yang ku perbuat beberapa detik yang lalu. "Namaku Dilly, aku bukan orang asing. Aku editormu."

"Aku tidak punya editor. Maaf, aku harus pergi dan lepaskan tanganmu." Aku meminta dengan nada suara kasar.

Dilly menaikkan alisnya yang lumayan tebal dan menerobos ke dalam mataku, "Baiklah, mari kita pergi."

Aku menoleh sebal pada Dilly. Ia sama sekali tak melepaskan tanganku, dia malah semakin menguatkan genggamannya yang membuat tanganku seperti terkunci dengan sebuah borgol. "Maaf, tolong lepaskan aku. Aku bukan anak kecil yang harus dituntun. Aku bukan kekasihmu, dan juga bukan orang tua yang akan menyeberang jalan."

Cih! Dilly benar-benar tak peduli dengan ucapanku. Ia terus saja berjalan sambil menarik tangan kananku. "Nah Sraylira, menurutmu kita lebih baik bicara berdua di mana?"

Aku mendengus kesal dan melemparkan pandangan yang membuatku tak melihat wajahnya, "Siapa yang mau bicara berdua? Aku mau pulang! Aku tak mau jadi novelis kalau editornya orang aneh sepertimu!" lanjutku kasar.

Langkah-langkah kaki Dilly akhirnya terhenti di depan sebuah game center. Beberapa anak sekolah terlihat keluar masuk sambil membahas apa saja yang terjadi dalam permainan. Setiap kali melihat game center, yang ada di pikiranku hanyalah 'apa pengunjungnya nggak ada kerjaan lain selain bermain-main?'. Aku bukan penikmat game sehingga tidak tahu apa asyiknya bermain game. Jika untuk mengisi waktu atau melepaskan stress, aku cukup berada di depan laptop, menonton anime, membaca komik online atau mendengarkan musik. Bagiku, orang yang kecanduan game tidak bisa akrab denganku.

Dilly menolehkan kepala kepadaku dan melontarkan pertanyaan yang tambah membuatku keki, "Apa kau mau bermain dulu? Anak kecil biasanya luluh setelah diajak bermain. Atau kau mau permen? Coklat? Atau bahkan sebuah balon? Pilihlah sesukamu."

Tubuhku bergetar, rasanya aku ingin menonjok Dilly meski aku tak pernah melakukan kekerasan pada seseorang, walau hanya mencubit. Aku berprinsip rasa sakit itu menyakitkan, aku tak suka rasa sakit karena itu aku tak ingin memberi rasa sakit pada orang lain. Dan, sekalipun aku ingin melakukan sesuatu untuk melampiaskan rasa kesal, aku harus menahannya sebisa mungkin.

"Aku bukan anak kecil!" tukasku geram.

Dilly tertawa hingga matanya menyempit, "Marah dibilangin anak kecil?" Tanpa kusadari Dilly menjitak kepalaku pelan, meski tidak terasa sakit tapi jitakannya berhasil membuat darahku semakin naik ke kepala. Hello, ini hari pertama kami bertemu! Dia sudah mengejekku dengan sebutan anak kecil, menarik tanganku, memaksaku menjadi novelis dan sekarang menjitakku? Dia pikir dia siapa? Dia orang aneh dan menyebalkan!

"Aku benci padamu!" Sekuat tenaga aku melepas tanganku dari cengkraman Dilly dan melengos. "Sraylira, kau marah? Maaf, aku hanya ingin kita lebih akrab."

Aku tak mengubrisnya, lagian kalimat 'lebih akrab' itu kesalahan. Memangnya dia dan aku pernah 'akrab' sehingga bisa 'lebih akrab'?

"Aku membaca bab satu Girl's Play, aku menyukainya." Dilly berteriak. Tapi, aku tak peduli.

Continue Reading

You'll Also Like

1.4K 1K 35
[BELUM DIEDIT] Felicia yang baru saja kehilangan sang kakak dipertemukan dengan sebuah sosok tembus pandang. Sosok yang selalu menemaninya ke mana pu...
17.8K 692 24
Jika disuruh memilih Amaliya Zahra lebih baik tidak sama sekali terlahir kedunia ini. Terlahir sebagai anak haram yang tak pernah diharapkan oleh pi...
6.5M 333K 60
[SEBAGIAN DIPRIVATE, FOLLOW AUTHOR DULU SEBELUM BACA] Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusakny...
3.4M 35K 31
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) [MASIH ON GOING] [HATI-HATI MEMILIH BACAAN] [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan satu kecac...