Sudah, Jangan ke Jatinangor

By sweatertowns

4.1K 509 187

[1/1] "Sudah, jangan ke Jatinangor. Ia sudah ada yang punya. Lebih baik tetap di sini, temani Aa' bernyanyi d... More

ia sudah ada yang punya.

4.1K 509 187
By sweatertowns

a/n; in which gue, seorang mahasiswa jogja yang gapernah main ke jatingor, emang sosoan nulis tentang unpar x unpad disini wkwk. yha gimana, habisnya lagu "sudah jangan ke jatinangor" yang ada di mulmed itu sangat catchy dan meminta dibikinin songfic sih. jadi yha. gitude. 

padahal lagu aslinya tentang itb x unpad. au ah. 

btw, makasih yha sobat-sobat unpadku teasetroll dan kapaskepes untuk segala insight-nya. ehe.

[]

"BUSET, KUCEL BANGET lo. Habis dari mana?"

Aruna hanya tersenyum kecil setelah ditanyai sahabat sekaligus rekan kerjanya, Nugraha, begitu ia tiba di bar Hari Esok Coffee, sebuah coffee shop di bilangan Dago tempat ia bekerja paruh waktu, tiga puluh menit terlambat. Berkuliah di kampus swasta macam Universitas Parahyangan meskipun ia berasal dari keluarga yang nggak tajir-tajir amat menyebabkan Aru harus banting tulang untuk menyambung hidup. Agak hiperbolis, memang. Tapi Bandung semakin lama semakin mahal untuk mahasiswa, dan kiriman bulanan dari orangtuanya pas-pasan gara-gara harus membayar UKT Unpar yang mahal itu. Mau tidak mau, Aru harus bekerja paruh waktu untuk mennambah penghasilannya.

Meskipun belakangan ini kinerjanya sebagai kasir di Hari Esok mulai tidak becus. Seringkali, Aru nggak fokus saat harus menyerahkan kembalian atau memilah-milah uang berdasarkan nominalnya di mesin kasir. Nggak jarang juga pemuda itu datang terlambat ke shift-nya.

Alasannya karena satu orang.

"Habis ngapelin si Bidadari Unpad, ya, jangan-jangan?"

"Kagak," bantah Aru sambil mengutak-atik mesin kasir, meski tebakan Nug benar adanya. Barista bergaya rambut comma hair ala artis-artis Korea itu selama ini memang kerap menjadi tempat sampah Aruna untuk segala hal—termasuk, dan yang paling sering, tentang cewek. Tidak heran kalau Nug sudah tahu banyak tentang si Bidadari Unpad yang dimaksud Aru meskipun ia nggak pernah bertemu dengan sosoknya secara langsung.

Nug hanya tertawa kecil. "Anying. Lo nggak usah pake acara bo'ong juga, kali. Kentara pisan, maneh teh, kalo lagi bo'ong mah (Kamu tuh kentara banget kalo lagi bohong)." Meskipun sebenarnya ia asli Ngamprah, sebuah kecamatan kecil yang agak jauh dari pusat kota itu, Nug memang kerap memaksakan diri untuk ber-"lo-gue" dengan Aru yang anak Jakarta. Namun, mau bagaimanapun juga, tetap saja aksen Sunda bawaannya nggak bisa disembunyikan. "Shanaya Kusumaningtyas. Shanaya Kusumaningtyas." Nug semakin memanas-manasi Aruna dengan menyebut nama lengkap si Bidadari Unpad berkali-kali, yang membuat Aru senyum-senyum salah tingkah. "Tuh, kan, senyum-senyum sendiri."

"Emang kelihatan banget, ya, kalo gue abis ngapelin si Naya?"

"Kentara, lah!" jawab Nug penuh keyakinan sambil menyiapkan es kopi susu pesanan salah satu pelanggan. "Lo kucel gitu, sampe telat masuk kerja, kenapa lagi kalo bukan gara-gara kejebak macet di Cibiru?" Perjalanan dari pusat kota Bandung ke Jatinangor, tempat kampus Naya sang bidadari itu berada, memang kerap kali diperlama oleh macet di sekitar daerah Cibiru.

Aru hanya terkekeh. "Demi cinta, Nug, demi cinta. Lo anak kecil, nggak bakal ngerti." Nug memang adik tingkat Aru—ia masih semester tiga sementara Aru semester tujuh—meskipun mereka beda jurusan. Nug itu anak Arsitektur, sementara Aru kuliah Manajemen. Dari kluster saja sudah beda, satunya saintek satunya soshum. Mereka nggak terlalu sering bertemu di kampus. Mungkin, kalau keduanya nggak sama-sama kerja di Hari Esok, mereka nggak akan saling mengenal.

"Lagian nyari cewek meuni jauh pisan, nepi ka Nangor sagala (Lagian nyari cewek jauh banget, sampai ke Nangor segala)," gumam Nug sambil menyerahkan es kopi susu kreasinya ke pelanggan yang sedari tadi menunggu di depan konter. "Bucin, bucin."

[]

Sebenarnya, kalau Aruna bisa memilih, ia sebenarnya tidak mau harus repot-repot ke Jatinangor—kecamatan antah berantah yang dipenuhi dengan polusi dari truk-truk yang berlalu-lalang itu—hanya demi mengejar cinta. Namun, apa daya, susah kalau hati sudah menentukan pilihannya.

Aru bertemu dengan Naya di dalam bus Damri, saat ia hendak berangkat ke Unpad untuk menjadi perwakilan studi banding UKM-nya. Gara-gara motornya waktu itu dipinjam oleh teman kosan, mau tidak mau Aru harus naik Damri. Yang berarti ia tidak bisa menyalip di sana-sini kalau jalanan macet.

Merasa pasrah—ia pasti jadi yang paling terlambat sampai ke kampus Unpad nanti, belum lagi jalur bus Damri suka berbelok-belok—Aru mengambil tempat duduk di paling belakang. Saat itulah, seorang gadis dengan rambut berponi sebahu menepuk bahunya.

"Punten," gadis itu mengucapkan permisi. "Di sebelah kamu kosong, nggak?"

Saat itu, bus Damri yang mereka tunggangi memang sudah dalam keadaan agak penuh. "Nggak, kok," Aru mengangguk sambil menyingkirkan tasnya, yang tadinya ia letakkan di sampingnya. Kalau dilihat-lihat, cewek ini lumayan juga. Toh nggak ada salahnya menghabiskan sejam-dua jam duduk di sebelah cewek cantik di Damri.

Aru memperhatikan cewek berambut sebahu itu mengenakan jaket Unpad. "Anak Unpad?" tanyanya, berusaha memulai percakapan basa-basi. Pemula percakapan yang bodoh, memang. Kan udah ditulis di jaketnya, goblok, batin Aru.

Namun cewek itu nggak merasa kalau Aru itu goblok. Ia hanya memamerkan senyum manisnya sambil menjawab, "Iya. Manajemen." (Rupanya jurusan mereka sama!) Kemudian, tanpa perlu ditanya, ia menjelaskan, "Tadi habis ada kuliah di DU. Ini mau balik ke Nangor."

Aru cuma manggut-manggut. "Nggak main-main dulu di Bandung? Nge-mall, kek, nonton gitu?" Crap, dia bisa dapat ilmu basa-basi ini dari mana, sih? Padahal, selama ini Aru—yang dari SMP hingga SMA bersekolah di sekolah khusus cowok—nggak pintar bersosialisasi dengan lawan jenis.

"Nggak, ah. Capek seharian kuliah."

"Aruna. Manajemen juga, di Unpar." Entah apa yang mendorong Aru untuk langsung mengajak gadis ini kenalan. "Tadinya pengen masuk Unpad juga, tapi nggak lolos lewat jalur mana-mana. SNM, SBM, ujian mandiri—gagal semua."

Cewek itu terkekeh. "Coba kamu lolos, mungkin kita udah satu jurusan kali, ya."

"Nggak pa-pa juga, sih, di Unpar. Toh cuma beda 1 huruf doang sama Unpad," Aru buru-buru ngeles. (Sial, belum-belum Aru sudah diajak flashback ke masa-masa suram pasca kelulusan SMA dulu.) "Makin ke sini disyukurin aja, sih. At least Unpar kan di kota. Kalo mau ke mana-mana mah deket. Nggak harus pakai acara naik Damri segala."

"Ih, Nangor lebih murah, tau, daripada Bandung." Cewek itu nampanya tersinggung saat Aru mengucapkan hal jelek mengenai Jatinangor. "Nangor punya tahu sumedang. Bandung punya apa, coba?"

"Kamu asli mana, sih, sampe ngebelain Nangor segitunya?"

Si cewek berponi langsung diam. Kemudian, dengan nada pelan ia mencicit, "Jogja." Melihat Aru yang seakan ingin menertawainya lagi, ia langsung memberi pembelaan diri. "Tapi tetep, ya, aku nggak terima harkat dan martabatku sebagai warga Unpad diinjek-injek." Ia pura-pura mendengus. Si Aru-Aru ini nampaknya enak diajak bercanda. "Eh, BTW, aku udah ngasih tahu aku asli mana tapi belum ngenalin nama, ya? Aku Naya." Kali ini, ia—Naya—lah yang menyodorkan tangannya.

Sambil membalas jabatan tangan Naya, Aru nggak bisa nggak mendengarkan sesuatu dari dalam dirinya yang berkata kalau nama "Naya" akan diingatnya dalam waktu yang lama.

[]

"Gue nggak yakin dia mau nerima gue, Nug."

Kesal, Nugraha menggebrak mejanya. "Terus mau kapan lo maju mundur mulu sama Naya, Ar?" tanyanya, frustrasi. Malam ini, shift Aru dan Nug di Hari Esok sudah selesai, namun mereka menyempatkan diri dulu untuk makan malam bareng di Crisbar sebelum pulang—Aru ke kosannya, sementara Nug nglaju ke rumahnya yang jauh itu. "Lo sama dia teh udah deket, udah sampe curhat-curhatan segala. Lo sampe rela jauh-jauh ngapelin dia di Nangor tiap minggu. Gemes, tau, gue, lama-lama liat perkembangan kalian nggak maju-maju."

Semenjak pertemuan pertama mereka di atas Damri itu, Aru memang mulai sering mencari-cari cara untuk bisa dekat dengan Naya. Naya yang hangat, ramah, dan mudah membuat siapa pun nyaman dengannya, namun entah kenapa tetap susah digapai oleh Aru. Awalnya, Aru memang hanya bisa mengaguminya di balik pepohonan kampus Unpad Dipati Ukur tiap dua minggu sekali dan laman Instagram-nya (rupanya Naya pernah masuk akun Unpad Geulis, yang sama sekali nggak mengagetkan Aru). Hingga pada akhirnya Aru si pemalu mulai memberanikan diri. Melalui DM di akun Instagram, ia mengajak Naya berbicara—awalnya lewat dunia maya, namun lama-kelamaan percakapan mereka mulai merambat ke dunia nyata. Naya mengajak Aru ke Jatinangor untuk ketemuan dan "ngopi-ngopi sambil ngobrol". Topik pembicaraan mereka beragam, mulai dari hal-hal akademis (ternyata jurusan Manajemen Unpad dan Unpar memiliki acuan literatur yang sama sekali berbeda meskipun akronim nama mereka hanya beda satu huruf) hingga urusan remeh-temeh seperti hewan yang paling mereka benci (rupanya Naya takut banget sama kucing, makhluk yang di mata Aru sangat menggemaskan itu).

Sejak mengenal Naya, Aru mulai menjadikan ngapelin-Naya-di-Jatinangor sebagai rutinitas. Sejak mengenal Naya, Jatinangor di mata Aru seakan bertransformasi menjadi tempat paling romantis di dunia. Harusnya istilah Paris van Java itu nggak disematkan kepada Bandung, tapi Jatinangor.

"Udah setahunan, lho, kalian PDKT doang." Ucapan Nug langsung membuyarkan lamunan Aru. "Dari lo masih semester lima sampai sekarang mau skripsian. Sumpah—" Nug berhenti sebentar untuk menenggak es teh manis yang tadi ia pesan. "—kadang-kadang aing nggak ngerti, maneh teh nu hayang naon (kadang-kadang aku nggak ngerti kamu maunya apa)? Nembus tawurannya geng motor Ujungberung demi nyamperin Naya berani, tapi giliran nembak—yang tinggal pake mulut doang—langsung ngacir. Udah, lo mah mending nggak usah ke Nangor sekalian kalo gitu caranya."

"Ha?"

[]

Aru menatap mata bulat Naya lekat-lekat, berusaha menerka apa yang tengah dipikirkan oleh cewek itu. Hari ini ia terlihat sangat cantik di mata Nug, asap dari truk-truk yang sering lalu-lalang di Jatinangor sama sekali nggak berpengaruh terhadap penampilannya. Naya tetap merona, wajahnya bersinar cerah bagaikan artis-artis Korea yang sering Aru lihat di etalase mall Paris Van Java.

Katanya, jika seorang cewek menyukaimu, tanda-tandanya bakal kelihatan. Cewek itu mungkin akan menatapmu sedikit lebih lama dari biasanya Mungkin, ia akan senyum-senyum sendiri. Mungkin, dalam usaha untuk mengenyahkan rasa groginya saat sedang bersamamu, ia akan iseng memainkan rambutnya.

Naya memang murah senyum. Tatapan matanya juga menyiratkan ketulusan yang hangat. Namun, agaknya Naya menatap semua orang dengan tatapan yang sama. Mungkin Aru saja yang terlalu mudah terbawa perasaan.

Jadi kamu tuh suka sama aku, nggak, sih, Nay?

Perkataan Nug tempo hari nggak bisa enyah dari pikiran Aru. Kalau ia masih belum berani mengakui perasaannya pada Naya, mending nggak usah bolak-balik Bandung-Jatinangor sekalian. Nanggung. Cinta, lanjut Nug malam itu, nggak ubahnya lampu merah di perempatan. Kita harus tahu kapan berhenti, kapan harus berhati-hati, dan kapan harus tancap gas dan maju. "Sekarang teh udah lampu ijo," katanya waktu itu. "Lo kudu maju, udah waktunya jalan. Kalo lo tetep di situ mah yang ada lo diklaksonin sama mobil dan motor yang di depan lo. Atau nggak disalip."

Halah, Nug kebanyakan bacot. Ngomongnya doang kencang. Nug-nya sendiri masih jomblo selama hampir dua puluh tahun ia hidup dan bernapas di bumi.

Tahu-tahu, Naya terkekeh setelah bertatapan dengan Aru sekian lama. "Muka kamu aneh, tau, kalo dipelototin lama-lama."

Dahi Aru mengernyit. Itu tadi hinaan atau apa? "Tapi ganteng, kan?" pancing Aru sambil mengangkat sebelah alisnya. Aru setengah berharap Naya akan memujinya ganteng—mungkin, dari sana, ia dapat menangkap tanda-tanda perasaannya berbalas.

"Biasa aja, ah." (Yah.) "Mikirin apa, sih, Ar?"

Kamu. "Kuliah," dustanya. "Aku tuh lagi pusing nentuin judul skripsi." Padahal skripsi merupakan

hal terakhir yang ada di benak Aru sekarang. Wong semester ini saja ia masih harus mengulang tiga mata kuliah.

"Oh." Senyum itu lagi. Senyumnya itu pertanda suka atau bukan, sih? "Aku juga, nih, kebetulan. Sampai bolak-balik ke DU, tahu, buat minjem buku di perpus fakultas. Nyari inspirasi teh susah pisan."

Tatapan itu. Tatapan yang membuat Aru luluh, namun juga bingung. Kalau ia mengakui perasaannya—apalagi di tengah-tengah suasana kafe yang ramai seperti sekarang ini—kira-kira seperti apa reaksi Naya nanti? Seberapa besar kemungkinannya diterima atau ditolak?

Aru menggeleng. Mereka sudah setahun saling kenal. Meskipun mereka dipisahkan oleh satu setengah jam perjalanan naik Damri, mereka sangat dekat dengan satu sama lain. Persahabatan mereka nggak mungkin hancur cuma karena Aru mengakui perasaannya, bukan?

"Nay," ucap Aru setelah ia diam untuk berpikir selama beberapa saat, "menurut kamu—kan anggap aja ada cowok sama cewek temenan deket, nih. Udah lama. Anggap aja setahunan gitu. Terus salah satu dari mereka, kayak, mendam rasa gitu sama yang lain. Menurut kamu pihak yang mendam perasaan ini harus ngasih tahu ke temannya yang dia suka, nggak?"

"Hm?" Naya langsung menelan roti bakar yang tengah ia kuyah. "Kasih tahu aja, sih. Nggak bakal hancur juga, kok, pertemanan mereka. Toh mereka udah deket juga, kan? Sesama temen emang udah harus saling jujur, kan?" Kemudian ia mengangkat bahunya. "Nggak tahu, ding. Aku nggak pernah di posisi kayak gitu soalnya."

Aru cuma bisa mengangguk-ngganguk mengerti. Dalam hati, ia agak menangkap perkataan Naya sebagai salah satu sinyal positif. "Jadi harus dibilang, ya...."

"Omong-omong kenapa, sih, kamu tiba-tiba nanya ginian?"

"Anu. Soalnya ada temen—" Nggak, Ar, lo kudu jujur. Udah dibilangin, juga, sama si Bidadari Unpad-mu ini. Aru menarik napas dalam-dalam. Mungkin, saat inilah ia harus tancap gas. Lampu hijau sudah nyala. "Soalnya aku suka sama—"

Perkataan Aru tahu-tahu dipotong oleh dering ponsel Naya. "Eh, tunggu, aku jawab telepon dulu, ya, Ar." Kemudian, Naya menekan tombol hijau di layar ponselnya dan menjawab teleponnya. "Oh, iya. Kamu udah di depan Upnormal? Aku lagi sama temen. Meja C19. Kamu ke sini aja."

Dahi Aru mengernyit. "Itu siapa, Nay?"

Namun, sebelum Naya sempat menjawab pertanyaan Aru, Aru sudah menemukan jawabannya sendiri. Seorang cowok bertubuh kurus datang menghampiri meja mereka dan menyambut Naya dengan gestur yang kelewat mesra—ia merangkul cewek itu, bidadari Unpad-nya Aru, dan iseng mengacak-acak rambutnya.

Setelah mempersilahkan cowok itu duduk, Naya menjawab, "Oh, iya, lupa ngenalin. Ini Jeremy. Anak FK, pacar aku." (Jeremy tersenyum melambaikan tangannya sedikit, seakan-akan berusaha mengucapkan "halo".) "Oh, iya, tadi tuh kamu pengen bilang apa, ya, Ar?"

"Nggak jadi," jawab Aru, yang mood-nya sudah telanjur jelek.

Kalau tahu ujung-ujungnya bakal seperti ini, tahu begitu mendingan ia nggak usah ke Jatinangor saja sekalian.

31 Juli 2019

Continue Reading

You'll Also Like

1.6K 78 10
back to ot12. ternyata member exo hanya terjebak di dunia kartun, beragam cerita kisah kusut mereka akan di rangkum di sini. . . . . tidak mengguna...
1.7M 125K 57
Ini tentang Jevano William. anak dari seorang wanita karier cantik bernama Tiffany William yang bekerja sebagai sekretaris pribadi Jeffrey Alexander...
100K 16.4K 49
cobaan hidup itu sebatas, malem laper mau masak mie, tapi gas malah habis.. | kpoplokal ©2019 syyouth- Parallel Universe}