NaCl

By juunishi_master

32.6K 2.8K 816

Ini cerita dari teman online sepupuku. Katanya di kota tempatnya tinggal ada urban legend tentang sebuah apot... More

0. Castle
1. Insomnia
2. Genius
4. Wild
5. First Strike
6. Explosion
7. Shelter
7.5 Phone Call
8. Kids
8.5 Unwelcome
9. Third Eye
10. Old Teacher
11. Hellsing
12. Home Sweet Home
12.5 Garis Ley
13. Chaos Ensues
14. Jabberwocky
15. Reconnection

3. Mother

2.1K 187 71
By juunishi_master

Saltman melipat koran sore, lalu menyadari bahwa saat ini sudah jamnya apotek tutup. Pria botak itu menarik tali-tali tirai, hingga bilah-bilahnya menutup. Mengingat tingginya angka vandalisme di daerah pinggiran kota seperti ini, sebenarnya tirai saja tidak cukup melindungi kaca jendela lebar itu dari lemparan bata pemabuk atau perampok. Saltman hanya percaya bahwa si kembar telah melakukan sesuatu pada kaca jendela itu hingga tidak ada lemparan batu atau tembakan peluru mampu menembusnya.

Si kembar. Nate dan Chloe.

Saltman menghela napas panjang memikirkan kedua nama tersebut. Ia mematikan lampu setelah mengunci pintu rapat-rapat dan membalik tanda yang digantung di pintu hingga tulisan “TUTUP” menghadap ke luar. Kemudian lelaki botak itu membuka satu-satunya pintu lain di dalam ruangan. Alih-alih terkuak menampakkan serangkaian anak tangga menuju ruang bawah tanah, apa yang di balik pintu adalah ruangan besar yang dibagi sedemikian rupa dengan sekat-sekat hingga terlihat seperti terdiri atas beberapa ruangan; ruang tamu sekaligus ruang duduk dan ruang istirahat, dapur sekaligus ruang makan, dan kamar mandi sempit di bagian terujung.

Panci di atas kompor gas di dapur masih hangat ketika Saltman membuka tutupnya. Saltman menemukan kari kental berisi sayuran dan daging di dalam panci. Menoleh ke meja sempit di dapur, penanak nasi otomatis sudah tercolok dan sudah berisi nasi matang. Saltman menggumamkan terima kasih, lalu seotomatis robot yang diprogram, pergi mengambil piring dan gelas, menyajikan makan malam untuk dirinya sendiri.

Sudah berapa lama dia hidup seperti ini? Saltman mulai merasakan kemonotonan dalam hidupnya. Bukannya dia tidak bersyukur karena telah melihat begitu banyak hal selama masa hidupnya yang panjang, yang sebentar lagi memasuki usia seratusan tahun semenjak pertama kali ia meminum Ramuan Kehidupan. Hanya saja … banyak pertanyaan yang mengusiknya belakangan ini.

Mungkin sudah semestinya aku merasakan kejenuhan, kebosanan, bahkan kebingungan dan kebimbangan, pikir Saltman, menyantap makan malamnya pelan-pelan. Mungkin hidup abadi tidak cocok dengan jaman modern seperti sekarang ini.

Saltman mengangkat alis.

Kari buatan si kembar enak.

==++==

Meskipun status kepemilikan Apotek Saltman ada di bawah si kembar, Saltman adalah orang yang mengurus segala sesuatunya, mulai dari membersihkan apotek, membuka apotek, menjadi penjaganya, bahkan merelakan namanya dipakai untuk nama apotek ini. Ada banyak alasan untuk itu.

Saltman memanaskan kari sisa makan malamnya sebagai sarapan (dan sebenarnya untuk makan siang juga mengingat berapa banyak kari yang dibuatkan si kembar untuk Saltman). Ia menyantapnya dalam diam, lalu berganti pakaian, dan membuka apotek.

Apotek Saltman buka pukul sembilan pagi.

Dua orang petugas polisi mengetuk pintu depan apotek tak lama setelah Saltman membuka tirai-tirai. Kadang-kadang memang ada pengunjung yang datang sebelum apotek buka, tapi biasanya bukan polisi …

“Selamat pagi,” sapa sang petugas; seorang lelaki bertubuh tebal—Saltman tidak dapat menyebutnya “gemuk”, tidak terlalu cocok meskipun badan sang petugas tidak kurus—yang mengenakan jaket kulit imitasi.

“Selamat pagi,” balas Saltman. Dia menambahkan dengan kaku, “Ada yang bisa saya bantu?”

“Kami dari kepolisian,” kata si petugas, menunjukkan lencana sebagai bukti identitasnya; nyaris mengabaikan total kalimat Saltman setelah sapaan balik. “Jika Anda berkenan, kami ingin menanyakan beberapa pertanyaan kepada Anda. Sebelum toko buka setidaknya.”

“Oh, ya, ya.” Saltman mundur beberapa langkah, memberi ruang untuk kedua petugas. “Masuklah.”

Saltman menutup pintu, tanpa membalik tanda “Buka”/”Tutup” yang tergantung di pintu. Seandainya saja dia boleh menolak, dia pasti tidak mengijinkan kedua polisi itu masuk. Tapi Saltman tidak punya pilihan jika berhadapan dengan aparat penegak hukum. Orang benar tidak punya banyak pilihan jika berhadapan dengan polisi, orang jahat yang punya banyak pilihan.

“Kami sedang mencari seorang anak yang dilaporkan hilang oleh orang tuanya.” Si petugas mengeluarkan selembar foto dari dalam map plastik yang dibawanya. “Mark Hommund, 21 tahun, mahasiswa Universitas Tydbough.”

Tengkuk Saltman terasa dingin.

“Laporan yang kami dapat dari orang tuanya adalah anak ini terakhir kali mendatangi tempat ini hari Senin lalu. Ayahnya menguntit anak itu diam-diam dan melihatnya sendiri masuk kemari.”

Saltman mengulurkan tangan, meminta foto dari si petugas supaya dapat melihat sosok dalam foto lebih jelas.

“Hmm …”

Itu memang Mark Hommund. Klien terakhir si kembar. Saltman tak tahu apa yang si kembar lakukan pada tubuh pemuda malang itu setelah dinyatakan katatonik.

“Ya, dia memang ke sini,” kata Saltman akhirnya.

“Obat apa yang dia beli?”

“Obat sakit kepala.” Saltman berjalan ke balik konter, menuju mesin kasir. Rasa dingin dari tengkuknya telah merayap hingga sikunya. Tersembunyi dari pandangan kedua petugas, Saltman menyentuhkan ujung jari tangan kanannya ke sebuah stiker bergambarkan lingkaran sihir kecil yang kompleks dengan berbagai simbol di sisi mesin kasir. “Maaf, jam berapa katanya dia terakhir terlihat?”

Menggunakan sedikit sihir yang diajarkan padanya, Saltman mulai mengaktifkan kekuatan lingkaran sihir di mesin kasir.

“Kira-kira jam setengah tujuh malam.”

“Baiklah …”

Tentu saja, transaksi yang dilakukan oleh Mark tidak pernah tercatat di mesin kasir. Saltman menggunakan sihirnya untuk mengutak-atik data dalam mesin kasir dan mencetak rekaman transaksi palsu yang tak pernah ada.

Kedua petugas nampak cukup puas dengan rekaman transaksi yang diperlihatkan Saltman kepada keduanya, tapi, tentu saja, polisi tidak mudah diberi pancingan untuk membuat asumsi-asumsi yang dapat menyesatkan mereka.

“Ayah anak ini mengatakan bahwa dia tidak pernah keluar dari dalam apotek.”

“Benarkah? Seingat saya dia keluar lewat pintu depan juga. Apa mungkin karena anak itu mengenakan baju yang membuatnya kelihatan seperti berandalan sekitar makanya ayahnya sampai salah mengenali?”

“Dia melakukannya?”

“Dia mengenakan jaket katun yang bertudung seusai transaksi. Jenis yang banyak dipakai anak-anak sekarang.”

“Hoo, baiklah.”

Saltman memperhatikan bahwa sementara si petugas berbadan agak gemuk mengajukan pertanyaan, rekannya diam saja dan fokus pada pekerjaan mencatat. Melihat pucatnya si rekan, Saltman sedikit berharap bahwa dia sebenarnya adalah salah satu dari Kaum Tudung Merah. Sayangnya, Saltman tidak ingat ia pernah mendengar Kaum Tudung Merah mengutus salah satu anggotanya untuk membaur bersama manusia dengan menempatkannya bekerja di salah satu institusi pemerintah.

“Ruang di sana itu, apa?”

“Oh …”

Pintu yang ditunjuk oleh sang petugas adalah pintu menuju ruang bawah tanah.

“Bagian dalam rumah, Sir. Saya tinggal di sana.”

“Boleh saya lihat?”

“Silakan. Maaf berantakan.”

Sekali lagi, alih-alih terbuka menuju ruang bawah tanah, pintu itu membawa mereka ke tempat tinggal Saltman.

Kedua polisi itu pergi tak lama kemudian.

Saltman cukup yakin akan ada petugas lain yang dikirim untuk memeriksa atau minimal mengawasi apotek ini.

==++==

“Ya?”

“Ada apa Saltman?”

“Eheheheheheh.”

“Heheheheheheh.”

Ruang bawah tanah tempat deretan lemari-lemari obat berada bercabang menuju dua ruang lain yang lebih kecil.  Salah satu dari ruangan tersebut adalah tempat yang difungsikan si kembar sebagai tempat percobaan, meracik obat, sekaligus dapur. Di sanalah Saltman menemukan Nate dan Chloe, alih-alih duduk bermain kartu atau permainan lainnya di meja yang biasa.

“Ada masalah,” kata Saltman melapor.

Mengurangi kecurigaan dari polisi—yang kemungkinan besar masih mengintai apotek—Saltman sengaja turun ke ruang bawah tanah ketika jam makan siang. Ia berpura-pura keluar meninggalkan apotek, pergi membeli makanan (yang pada akhirnya dia berikan kepada Nate dan Chloe) dari restoran cepat saji terdekat lalu kembali ke apotek tanpa membalik tanda “Tutup”, meninggalkan sebuah ilusi sihir yang menggambarkan dirinya tengah menyantap makan siang dengan damai di balik konter padahal sebenarnya ia turun ke ruang bawah tanah.

“Tadi pagi ada polisi mendatangi apotek dan bertanya tentang Mark Hommund,” kata Saltman. Ia meletakkan bungkus kertas berisi burger di daerah yang lebih terlihat dapur ketimbang meja bedah atau meja percobaan. “Dan saat aku mengecek tadi, ada polisi yang ditugaskan mengawasi apotek.”

Chloe memegangi sesuatu yang terlihat seperti jarum besar dengan pegangan plastik. Ia menyentuhkan ujung jarum ke lampu kecil di tangan satunya. Lampu itu menyala sangat terang. Melihat itu, Nate menyodorkan lampu yang lebih besar, bertukar dengan lampu yang dibawa Chloe. Lampu yang lebih besar itu juga menyala ketika disentuhkan dengan ujung jarum.

Saltman melirik ke arah terjuntainya kabel.

Ada tubuh seseorang, ditutupi kain putih, di atas tempat tidur berangka besi tak jauh dari tempat Nate dan Chloe berdiri. Rasanya sekarang Saltman dapat mengira-ngira di mana Mark Hommund yang dicari-cari oleh kepolisian.

“Kalian menggunakannya untuk percobaan?” desis Saltman.

“Hanya mengetes sesuatu. Heheheheheh.”

“Ya, sedikit percobaan. Heheheh.”

Saltman mendekati tempat tidur dan menyingkap kain putih sedikit, melihat bagian tubuh lain tanpa mengusik kegiatan si kembar. Tubuh yang nyaris tanpa pakaian itu masih hidup. Perutnya masih naik turun oleh tarikan dan hembusan napas.

Tapi mungkin secara klinis, tubuh di atas sana tidak dapat dikatakan benar-benar hidup.

“Otak manusia menghasilkan listrik.” Nate terkekeh. “Cukup untuk mengirimkan sinyal-sinyal pada seluruh bagian tubuh. Mengatur pergerakannya. Heheheheheh.”

Tanpa disadari Saltman, Chloe telah mendekatinya dan menyentuhkan ujung jarum ke kulit lengan Saltman yang tak tertutup lengan baju. Lelaki botak itu berjengit kaget dan otomatis menjauh ketika merasakan sengatan listrik.

“Spesimen yang menggunakan obat peningkat kemampuan otak ini memiliki lebih banyak muatan listrik di otaknya.” Chloe menyeringai lebar ketika menyentuhkan ujung jarum kembali pada lampu yang masih dipegangnya. Lampu tersebut menyala dengan terangnya. “Sedikit pengaturan, dan listriknya bisa dialirkan.”

“Heheheheheh.”

“Heheheheheh.”

“Muatan listrik berlebih?” tanya Saltman.

“Ya.”

“Makanya dia korslet.”

Tawa Nate dan Chloe selanjutnya tidak jelas apakah mereka menertawakan lelucon kasar yang baru dilontarkan atau merupakan tawa-tawa standar mereka yang selalu tidak pada tempatnya.

“Kembalilah ke atas, Saltman.”

“Harus ada yang berjaga di atas.”

“Tapi,” protes Saltman, “polisi-polisi itu—“

“Cepat atau lambat mereka akan berusaha masuk.”

“Kami butuh waktu untuk membuat bahan distraksi.”

“Kembalilah ke atas, Saltman,” kata keduanya berbarengan.

Saltman menelan ludah. “Kalian akan … mematikan Mark Hommund?”

“Bukan mematikan. Heheheheh.”

“Kami sudah memastikan apa yang ingin kami ketahui, jadi akan kami kembalikan nanti. Hehehe.”

“Kalau tubuh Mark ditemukan, polisi akan benar-benar menggrebek tempat ini,” tukas Saltman.

“Sama saja.”

“Cepat atau lambat mereka akan kemari.”

“Heheheheheh.”

“Heheheheheh.”

Saltman menggigit bibir. Si kembar mungkin sinting, tapi mereka tidak bodoh dan ucapan mereka bisa dipercaya meskipun kadang terdengar seperti racauan orang mabuk.

“Baiklah,” gumam Saltman. “Panggil aku jika membutuhkan bantuanku.”

“Pasti.”

“Tentu.”

“Eheheheheheheheh.”

“Eheheheheheheheh.”

“Itu untuk kalian, ngomong-ngomong,” kata Saltman sebelum keluar, menunjuk ke kantong kertas di atas meja. “Burger beberapa potong saja.”

Sebelum Saltman menutup pintu, si kembar sudah menyerbu kantong kertas.

==++==

Jon Daryll sengaja memarkir mobilnya di blok lain dan berjalan kaki menuju tempat yang harus diawasi olehnya.

Lucu juga. Biasanya Jon mendapat tugas untuk mengawasi tempat-tempat yang memang mencurigakan atau berpotensi menyembunyikan sesuatu: hotel, apartemen, kasino, gudang-gudang di pelabuhan, bar, dan beberapa tempat lainnya. Sebuah apotek tidak terdapat dalam daftar tersebut dan, kalaupun ada, berada di urutan bawah.

Jon pendiam dan secara alamiah mudah membaur dengan lingkungan sekitar hingga sulit dideteksi keberadaannya, sempurna untuk tugas memata-matai aktivitas di suatu tempat.

Tidak ada hal mencurigakan selama pengamatan Jon hari ini hingga akhir gilirannya. Jon pergi untuk makan siang yang sangat terlambat bersama rekan kerjanya yang mengambil posisi pengawasan berbeda dengannya. Keduanya membahas lokasi yang mereka amati hari ini.

“Apotek itu sepi,” kata sang rekan. “Sampai-sampai kalau ada semut masuk ke sana pun kita akan mengetahuinya saking sepinya.”

“Kemungkinan besar karena hari ini memang tidak ada pengunjung,” kata Jon.

“Dan apotek itu, jujur saja, terlihat sangat salah tempat,” lanjut rekan Jon. “Dia berada di daerah pinggiran kota tempat kita sering dipanggil karena urusan vandalisme dan perkelahian. Bukan daerah bisnis yang bagus selain untuk minuman keras dan narkotika.”

Jon mengacungkan jari ke arah rekannya di bagian kata “narkotika”. “Kasus ini kemungkinan besar berkaitan dengan narkotika atau malpraktik. Meskipun sangat naif kita berasumsi demikian hanya karena disuruh mengawasi sebuah apotek. Ada tiga orang tewas dalam tiga bulan terakhir ini yang menurut saksi mata pernah mengunjungi apotek ini. Ketiganya mati secara tidak wajar. Otopsi menunjukkan kalau mereka mengkonsumsi sejenis obat yang tak diketahui bahan bakunya. Lalu ada satu orang menghilang. Malpraktik? Atau narkotika?”

“Salah satunya.”

Jon mendengus mendengar jawaban itu.

“Sebenarnya waktu kubilang apotek itu salah tempat, maksudku sama sekali bukan ke arah sana,” lanjut si rekan, jujur. Rekan Jon yang satu ini baru enam bulan bekerja bersama Jon yang lebih senior. Sikap naif dan polosnya kadang membuatnya terkesan bodoh. “Apotek itu kelihatan berbeda dari bangunan-bangunan sekitarnya.”

Jon mencondongkan tubuh ke depan, meletakkan siku di atas meja dan menyentuhkan ujung-ujung jemarinya, siap mendengarkan. Menyadari gestur Jon yang sudah menjadi kebiasaan, si rekan kerja meneruskan.

“Kacanya bening. Bukan jenis kaca buram. Dari seberang jalan saja bisa terlihat jelas aktivitas di dalamnya. Lalu tidak ada gerai logam untuk melindungi kaca tersebut, padahal sudah hampir pasti kan di daerah seperti ini kaca begitu seperti minta dilempar batu oleh anak-anak brengsek atau pemabuk.

“Lalu bata yang menyusun bangunannya juga seperti baru didirikan bulan lalu …”

“Besok,” kata Jon, “berkelilinglah sedikit dan tanyai orang-orang di sekitar sana mengenai apotek itu. Tanyakan kapan apotek itu didirikan.”

“Kapan didirikannya?” ulang si rekan.

“Ya.”

“Baiklah.”

Perasaan Jon tidak enak.

==++==

Saltman telah melihat berbagai jenis pengunjung mendatangi apoteknya, baik untuk urusan obat normal maupun obat “spesial”. Tua dan muda. Sehat dan sakit. Sembrono dan teratur.

Kadang-kadang ada pula tamu yang mengejutkan. Seperti sekarang ini.

Seorang anak lelaki, mungkin berusia sekitar sepuluh sampai dua belas tahun, mendorong pintu dan masuk ke dalam apotek. Rambutnya pirang kecokelatan dan wajahnya sedikit berbintik-bintik. Anak itu kelihatan gusar dan gugup sekaligus.

“Selamat sore,” sapa Saltman, menutup koran dan memberikan perhatian sepenuhnya pada si tamu.

“Ngg …”

“Ada yang bisa saya bantu?”

“Anu … saya dengar saya bisa menemukan obat-obatan yang tidak biasa di sini …”

Saltman terkesiap.

“Maaf?” tanyanya. Bukan reaksi yang bagus mengingat Saltman sudah sempat terdiam sesaat tadi. “Obat … seperti apa yang kau maksud?”

Anak itu bergumam. Saltman tak dapat mendengar jawabannya.

“Maaf?”

“Obat yang dapat menyembuhkan segala penyakit dan membuat peminumnya abadi,” ulang anak itu dengan kecepatan bicara yang mengakibatkan setiap kata dalam kalimatnya seperti tersambung.

Saltman tahu bahwa dia bahkan tak perlu menjalankan protokol selanjutnya yang mengharuskannya meminta identitas asli dari klien. Anak ini masih terlalu muda.

“Tidak ada obat seperti itu, Nak,” jawab Saltman.

“Oh …”

Wajah anak itu terlihat memerah. Ia memasukkan kedua tanganya dalam saku, menundukkan kepala dan menggumamkan “terima kasih” lemah. Anak itu melangkah gontai menuju pintu keluar.

KRIIIIINGGGG!

Saltman menoleh ke arah datangnya suara. Si anak berhenti berjalan.

KRIIIIINGGGG!

Telepon hitam dengan model kuno yang berasal dari nyaris seabad silam berada di atas etalase. Tidak ada panel digital apapun di permukaannya. Alih-alih tombol angka yang bisa ditekan, telepon itu masih menggunakan piringan putar berlubang-lubang untuk memasukkan nomor telepon yang dituju.

Seingat Saltman tidak pernah ada telepon di atas sana.

KRIIIIING—

“Halo?”

“Saltman.”

“Saltman.”

Suara si kembar terdengar dari ujung lain sambungan.

“Bawa anak itu turun. Hehe.”

“Turun? Tapi dia tidak memenuhi syarat.”

“Heheheheheh, anak ini perkecualian.”

“Bawa dia turun Saltman.”

“Heheheheh.”

“Heheheheh.”

Telepon ditutup. Saltman meletakkan gagang telepon dan berjalan meninggalkan tempatnya di balik konter.

“Telepon itu tadi tidak ada di sana,” celetuk si anak tiba-tiba. Anak itu rupanya masih berada di dalam apotek.

“Tidak. Telepon itu ada di sana sejak tadi,” kata Saltman berbohong.

“Aku tidak melihatnya.”

“Memang mudah meluputkan sesuatu yang sekuno itu.” Saltman mengangkat bahu. “Nak, ada yang ingin menemuimu. Ikutlah denganku sebentar.”

“Aku harus pulang.”

Si anak mengulurkan tangan untuk membuka pintu apotek. Detik selanjutnya ia tersentak mundur sembari mengibas-ngibaskan tangannya.

“Pegangannya nyetrum …”

“Nak, ada yang ingin menemuimu.”

“Tidak. Terima kasih.”

Anak itu kembali mencoba membuka pintu. Pegangan dari logam menyetrumnya kembali. Ia mencoba memegang bagian lain pintu lalu mendorong. Pintu bergeming. Dia mencoba menarik pintu. Pintu juga bergeming.

“Maafkan aku karena berbohong, Nak,” kata Saltman lagi. “Mereka berkenan mendengarkan permintaanmu. Kau tadi mencari ‘obat-obatan yang tidak biasa’ kan?”

“Itu cuma bualan di internet kan? Tidak usah ikut-ikutan membohongiku.”

Saltman mendorong anak itu hingga menyingkir dari depan pintu. Dengan cekatan ia mengunci pintu dan membalikkan papan penanda yang tergantung.

“Hei! Biarkan aku keluar!”

“Cobalah.”

Anak itu kembali menyentuh pegangan pintu dan tersentak kaget karena sengatan. Ia menatap Saltman dengan marah dan berusaha menangkap si pria botak, berupaya mengambil kunci pintu darinya. Saltman menghindar dan berkelit darinya, selalu menyisakan sedikit jarak yang kian membuat si anak berang.

“Aku akan melaporkanmu pada polisi!”

Saltman diam saja tak menanggapi. Tanpa perlu dilaporkan pun tempat ini sudah berada dalam pengawasan polisi.

Anak itu menghentikan usahanya mendapatkan kunci dari Saltman. Ia beralih pada kaca etalase dan kursi di balik konter. Saltman diam saja ketika si anak berlari ke balik konter, mengangkat kursi berkaki tinggi yang biasa diduduki Saltman, dan mengayunkannya ke kaca etalase yang terpampang tanpa perlindungan di dekatnya.

Saltman memikirkan sebuah judul bagus yang bisa dipakainya untuk bahan penelitian kalau-kalau dia perlu kembali ke bangku universitas:

“Pengaruh Televisi dan Video Game Pada Agresivitas Anak-anak dan Korelasinya dengan Pengambilan Keputusan”

Kursi yang diayunkan ke kaca etalase terpental seperti menghantam karet.

Saltman merasa judul penelitiannya terlalu panjang. Mungkin dia bisa menyingkatnya jadi:

“Pengaruh Media Elektronik Pada Agresivitas dan Korelasinya Dengan Pengambilan Keputusan”

Anak itu mencoba menghajar kaca etalase untuk kedua kalinya, berakhir dengan efek membal yang sama.

Saltman merevisi lagi:

“Pengaruh Media Elektronik Pada Pengambilan Keputusan Menghadapi Kondisi Ekstrim”

Setelah percobaan ketiga, bahu si anak turun. Akhirnya dia menyadari ketidakberdayaannya. Saltman membukakan pintu yang satu lagi.

“Silakan ikuti saya,” kata Saltman seraya mengeluarkan senter kecil dari saku.

==++==

Perasaan Tom Daryll tidak enak.

Pria yang menjaga apotek membawanya memasuki sebuah ruang bawah tanah. Tom tidak punya pilihan lain. Setelah gagal membuka pintu maupun merebut kuncinya dari si penjaga apotek, Tom—ia benar-benar tak mengerti bagaimana ini bisa terjadi—tidak berhasil menghancurkan kaca jendela etalase.

Tidak ada yang beres di tempat ini, batin Tom. Ia mulai menyesali keputusannya untuk datang kemari karena termakan berita yang dilihatnya di internet. Harusnya dia tetap di rumah. Harusnya dia tahu bahwa internet penuh dengan orang-orang yang menganggap memberikan harapan palsu dengan cerita-cerita aneh yang direkayasa dan didukung bukti-bukti palsu adalah suatu kesenangan.

Lalu Tom teringat pada ibunya. Lalu pada ayahnya.

Tom mulai berdoa di dalam hati. Dia bukan anak paling religius yang pernah ada, tapi keluarganya telah membimbing Tom untuk percaya pada agamanya dan membuatnya percaya akan adanya keajaiban serta mukjizat.

Mungkin justru hal terakhir itu yang membawa Tom tiba ke situasi ini.

“Tamu.”

“Tamu.”

Ruang bawah tanah itu aneh. Luasnya mungkin sama seperti sebuah lapangan bola, dengan penerangan minim dan deretan rak-rak panjang. Udara di dalam sana cenderung dingin dan kering, dengan aroma debu samar-samar. Tom melihat dua orang berjaket warna mencolok tengah duduk menghadapi meja yang diletakkan cukup jauh terpisah dari deretan rak. Orang-orang itu kelihatannya hanya lebih tua beberapa tahun dari Tom. Bulu kuduk Tom meremang ketika keduanya menoleh ke arahnya.

Tom belum pernah melihat langsung orang-orang yang teler akibat narkoba atau minuman keras, tapi ayahnya yang seorang polisi sering menceritakan padanya tentang itu. Bayangan Tom akan seorang pecandu berat sangat mirip dengan kedua sosok berjaket itu: seringai aneh permanen yang membuat ekspresi mengerikan sekaligus hilang akal pada saat bersamaan, lalu bagian bawah mata yang gelap seperti kurang tidur parah.

“Selamat datang, Sir.”

“Selamat datang, Master.”

“Heheheheh.”

“Silakan duduk, heh heh.”

Tom menatap kursi ketiga di antara kedua orang aneh tersebut. Ia menoleh ke belakang, mendapati si lelaki botak telah mengundurkan diri dan berjaga di dekat pintu keluar.

Merasa tak memiliki pilihan lain, Tom menarik kursi dan duduk. Tak berani menatap langsung ke salah satu dari kedua sosok di sampingnya, Tom memusatkan perhatiannya pada permukaan meja. Anak itu mendapati ada banyak kertas di sana, masing-masing dengan coretan rumus-rumus, perhitungan, skema berpenanda, dan sebagainya.

Tom tak tahu dia harus menganggapnya lucu, aneh atau justru mengagumkan ketika melihat bahwa semua tulisan di atas kertas ditulis terbalik, jenis terbalik yang baru dapat terbaca jelas jika dilihat melalui cermin. Ini membuat Tom berpikir kembali: apakah kedua orang ini teler atau memang penampilan mereka seperti itu? Rasanya mustahil orang mabuk atau teler bisa menulis terbalik seperti itu.

“Kami punya peraturan sebenarnya.” Si jaket hijau angkat bicara. Tom menoleh takut-takut ke arahnya tanpa mendongakkan wajah. Si jaket hijau—yang dari suaranya adalah seorang perempuan—mencondongkan tubuhnya ke arah meja dan melihat Tom dari sudut yang lebih rendah. Disinari cahaya lampu yang membuat lebih banyak bayang-bayang di bawah tudung jaket, Tom melihat keberadaan deretan gigi-gigi yang kecil namun rapi dan semuanya terlihat seperti gigi taring manusia.

“Harusnya hanya orang-orang yang kami anggap sudah bisa bertanggung jawab yang kami ijinkan turun ke sini,” lanjut si jaket biru. “Umur biasanya. Minimal mereka sudah tujuh belas tahun.”

“Ada perkecualian hari ini.”

“Heheheheheh.”

“Heheheheheh.”

“Aku Natrium,” kata si jaket biru. “Panggil saja Nate.”

“Aku Chlorine,” kata si jaket hijau. “Panggil saja Chloe.”

“Hehehehe.”

“Hehehehe.”

“Kenapa kau kemari?” Nate memiringkan kepalanya sedikit. “Nak?”

Tom sadar betul kalau di awal Nate dan Chloe menyapanya dengan sebutan “Sir” dan “Master”, sekarang mereka mengubah panggilannya menjadi “Nak”.

“Ibuku …,” kata Tom akhirnya.

“Ya?”

“Eheheh.”

“Kudengar banyak yang mengatakan bahwa apotek ini memiliki obat-obatan yang tidak biasa. Yang bisa melakukan hal-hal … mustahil.”

“Tidak, tidak. Kau salah, Nak.” Chloe mulai merapikan kertas-kertas yang berserakan di atas meja, diikuti oleh Nate. Tom menelan ludah ketika melihat pergelangan tangan keduanya diborgol.

“Kanker misalnya,” sambung Nate. “Itu cuma mutasi tak terkendali. Kami sudah membuat obatnya sejak pertama kali penyakit itu didiagnosa. Obat itu hanya menghentikan proses mutasinya.”

“Ya, ya, ya. Sesederhana itu. Hehehehe.”

“Ehe heh heh.”

“Tidak ada yang mustahil.”

Tom menjilat bibirnya dengan gugup. “Ibuku …,” bisiknya. Ia harus mengerahkan segenap keyakinannya bahwa dia sudah tidak bisa mundur lagi sekarang. “Ibu sakit. Dia … dia akan meninggal dalam sebulan ini.”

Mata Tom terasa panas.

Bocah berusia dua belas tahun itu menyaksikan bagaimana kondisi ibunya menurun, seperti bunga layu dalam rekaman video yang dipercepat. Segala sesuatunya terasa begitu cepat. Tiba-tiba saja Tom mendapati dirinya dan ayahnya berbagi pekerjaan rumah tangga. Tiba-tiba saja Tom harus menemukan rumah yang kosong tak berpenghuni setiap pulang sekolah. Tiba-tiba saja Tom dan ayahnya harus berjuang memasak makan malam yang enak tidak enak harus mereka makan. Suasana makan malam yang biasanya hidup tiba-tiba saja menghilang, digantikan keheningan tak nyaman di antara Tom dan ayahnya, hanya diselingi pertanyaan tentang sekolah dari ayahnya dan pertanyaan tentang pekerjaan dari Tom. Kedua pertanyaan itu biasanya ditanyakan oleh sang ibu.

“Ayah selalu bilang dia akan sembuh,” bisik Tom. Tetes-tetes air mata mulai bergulir dari sudut matanya. “Ayah bilang … dia akan baik-baik saja. Aku tahu itu bohong. Ibu tidak akan bertahan …”

Selanjutnya, isakan menahan Tom berkata-kata dengan jelas. Anak itu mengatupkan rahang, berusaha keras menahan tangisnya.

Sentuhan lembut mendarat di bahu Tom.

“Biarkan keluar,” kata Nate, menepuk perlahan bahu Tom. “Air matanya.”

“Menangis membuat manusia menghasilkan hormon yang bisa menenangkan,” kata Chloe.

Tom menangis, tapi dalam diam.

Beberapa saat kemudian, setelah tangisannya reda, Tom melanjutkan, “Aku … tidak ingin Ibu meninggal …”

“Kami paham, heheheheh.”

“Kami juga tidak ingin Ayah meninggal, ehehe.”

“Dapatkah kalian melakukan sesuatu?” tanya Tom. “Untuk ibuku?”

“Sakit apa dia?”

“Jabarkan kondisinya.”

“Minimal apa kata dokter.”

“Dokter … tidak dapat mendiagnosis apa persisnya penyakit Ibu.”

“Heh, dokter jaman sekarang,” ujar Nate.

“Heheheheh. Dokter jaman sekarang,” sambung Chloe menyetujui.

“Mereka, para dokter, cuma bilang kalau kondisi Ibu menurun drastis. Begitu saja.” Tom terlihat tidak nyaman dengan reaksi si kembar ketika ia mengatakan bahwa dokter tidak tahu apa yang terjadi pada ibunya. “Berat badan menurun, kondisi tubuh menurun. Tanpa sebab pasti. Salah satu dari mereka bahkan bilang kondisi ibu mirip karakter utama novel Steven Queen.”

“Steven Queen?”

“Novel?”

“Steven Queen penulis novel horor. Dia terkenal. Novelnya sudah banyak yang jadi film. Aku tahu yang dimaksud si dokter. Aku pernah nonton filmnya. Judulnya Slimmer.”

“Penyakit yang sangat aneh.”

“Kami mungkin harus melihatnya sendiri.”

“Heheheheh.”

“Heheheheh.”

“Akhir pekan kami akan berkunjung.”

“Beritahu kami nomor kamar tempat ibumu dirawat.”

Tom ragu-ragu.

Benarkah ini yang dia inginkan?

Apakah dia bisa mempercayai kedua orang misterius ini?

Perut Tom melilit oleh ketakutan dan keraguan. Dia tidak siap mengambil keputusan. Tidak sekarang. Tapi mungkin juga tidak nanti.

Tom harus memutuskan.

==++==

“Ada sesuatu yang aneh dengan semua ini.” Saltman berkata pada si kembar yang tengah sibuk mempersiapkan sesuatu. “Seperti … ada yang berusaha menjebak kita. Atau kalaupun bukan, seseorang merancang ini entah untuk tujuan apa.”

Saltman jarang turun ke ruang bawah tanah selepas apotek ditutup, apalagi sampai masuk ke dalam “ruangan khusus” tempat si kembar biasanya berada ketika malam tiba.

Ada satu ruangan lagi selain ruang yang dipergunakan si kembar sebagai laboratorium dan dapur. Saltman menyebutnya “ruangan khusus” sementara Nate dan Chloe menyebutnya “kamar Ayah”.

Hanya ada satu lampu di ruangan ini, menerangi sebagian besar ruangan, tapi tetap menyisakan sudut-sudut gelap serta berbayang-bayang. Tumpukan televisi dari berbagai jaman tersusun di salah satu sisi kamar: televisi hitam putih yang memiliki kenop pemutar untuk mengganti saluran, televisi tabung dengan layar cembung yang menyerupai perut seorang pria buncit jika dibandingkan dengan televisi tabung berlayar datar di sisinya, hingga yang paling mutakhir, LCD dan televisi plasma yang ketajaman gambarnya luar biasa. Masing-masing layar televisi menampilkan saluran yang berbeda dari berbagai belahan dunia, tanpa sedikit pun suara terdengar darinya.

Di bagian tengah ruangan, sosok seorang pria tua terbaring di atas ranjang logam rumah sakit. Lelaki itu nampak kelabu, ringkih, dan seandainya saja tidak ada gerakan naik turun perutnya ketika ia bernapas, siapapun akan mengira pria tersebut sudah meninggal dan sedang dalam proses termumifikasi. Tapi, tidak, pria itu masih hidup, atau setidaknya dipertahankan hidup dengan berbagai cara oleh si kembar.

Maksudnya benar-benar “dengan berbagai cara”.

Di kedua sisi ranjang terlihat berbagai alat penunjang kehidupan: monitor-monitor aktivitas tubuh, tabung oksigen, selusin atau bahkan lebih kantong infus yang digantung di tiang-tiang logam berkait atau cantelan kawat yang dipaku ke langit-langit. Sebuah lingkaran sihir besar dan rumit tergambar di lantai ruangan, dengan ranjang berada tepat di tengah-tengahnya. Ada sisa-sisa lelehan lilin di ujung-ujung lingkaran sihir yang digambar dengan kombinasi kapur, cat, dan spidol itu.

“Kami tahu, hehehe,” kata Nate yang berkutat dengan salah satu televisi kuno yang gambarnya bergaris-garis dan bergoyang. “Kami sudah tahu, heheheheh, sejak seminggu lalu. Eheheheheh.”

“Seminggu yang lalu itu kira-kira ketika Henry Griffith datang …,” gumam Saltman.

“Yang minta obat untuk tidak tidur,” kata Chloe yang meneliti setiap kantong infus dengan sangat berhati-hati. “Namanya Henry Griffith, eh?”

“Heheheheh.”

“Heheheheh.”

“Ada yang sepertinya mengarahkan orang-orang itu,” kata Nate, akhirnya berhasil membetulkan tampilan televisi. “Belakangan terlalu banyak pengunjung.”

“Padahal kita tidak memasang iklan,” imbuh Chloe. “Pertanyaannya, dari mana mereka tahu?”

“Internet,” jawab Saltman. Diam-diam ia sedikit kesal karena si kembar menerima dan mengadopsi perkembangan teknologi kedokteran dan farmasi, namun sangat kolot dan keras kepala jika terkait teknologi komputerisasi dan digital. Jika Saltman tidak mati-matian meyakinkan mereka untuk menggunakan mesin kasir “standar masa kini”, mesin kasir di apotek pasti masih menggunakan teknologi setengah abad lalu. Mungkin satu-satunya teknologi digital yang dipuja Nate dan Chloe hanyalah televisi, seperti yang terlihat di sisi lain ruangan saat ini. Itupun tak dapat sepenuhnya mereka nikmati karena mata mereka yang kelewat sensitif terhadap cahaya.

“Internet,” ulang Nate dan Chloe dengan nada meremehkan, nyaris seperti jijik.

“Kalian sebaiknya berhenti membenci komputer dan hal-hal yang berkaitan dengannya,” kata Saltman. “Aku pakai internet. Informasi yang tersebar di dalamnya jauh lebih banyak daripada televisi, radio atau koran. Kebanyakan orang yang mendengar tentang apotek ini juga mendapatkan sumbernya dari internet. Bukan dari koran atau televisi.” Saltman tiba-tiba menyadari sesuatu. Orang-orang yang lama berkubang di dunia maya biasanya tidak mudah termakan suatu berita, lebih-lebih dengan semua guyonan dan kebohongan tidak jelas yang beredar di internet. Harus ada sesuatu yang begitu meyakinkan hingga dapat menggerakkan orang-orang seperti si pengusaha, si penulis—Saltman lupa nama keduanya—Henry Griffith, dan Mark Hommund untuk datang dan mencari tempat ini.

Ada seseorang yang mengekspos keberadaan tempat ini sedemikian rupa.

Dan Saltman menyadari satu kekeliruan terbesarnya: ia membiarkan dua orang pengunjung datang bersamaan namun hanya membawa turun satu orang. Dia menyisakan saksi mata yang tak terkena pengaruh aroma ramuan “penjaga rahasia” yang disebar si kembar di ruang bawah tanah.

Itu salah. Salah sekali.

“Ada apa Saltman?”

Bulu kuduk Saltman meremang. Nate dan Chloe sudah berada sangat dekat dengannya, masing-masing berdiri dalam jarak kurang dari satu meter dari Saltman. Kedua sosok bertudung itu tidak lebih tinggi dari Saltman, tapi aura intimidatif menguar begitu kuat dari Nate maupun Chloe, memberikan tekanan batin yang membuat Saltman tiba-tiba merasa ingin muntah.

“Aku … Aku … sepertinya melakukan kekeliruan …” Saltman menunduk menatap lantai. Si kembar bergerak lebih mendekat, merendahkan badan hingga mereka masih dapat melihat wajah Saltman dengan sedikit mendongak. “Pertama kalinya Mark Hommund datang … Dia bersama-sama dengan ayahnya. Dan aku tidak mengajaknya turun ke bawah.”

“Ah.”

“Fatal.”

Ketakutan yang amat sangat menyiksa Saltman. Lebih-lebih ketika pria itu mendengar bagaimana nada suara si kembar berubah. Ia hampir menjerit ketika pergelangan tangannya masing-masing dicengkeram oleh Nate dan Chloe. Cengkeraman keduanya erat sekali seperti hendak mematahkan pergelangan tangan Saltman.

“Itu sebabnya ada yang aneh ketika kunjungan Mark Hommund.”

“Kami dapat merasakan keberadaan orang di atas sana.”

“Tapi kau harusnya tahu bahwa kami tidak dapat memastikan berapa orang yang ada di atas sana, kan?”

“Dan kau harusnya ingat sihir pemindai bukan keahlian kami.”

“Itu sebabnya kenapa masih terasa ada orang yang berada di atas ketika kunjungan Mark Hommund.”

“Itu sama sekali bukan bias pada sihir pemindai kami. Padahal kami kira itulah yang terjadi.”

Ketika seringai menghilang dari wajah Nate dan Chloe, hingga tahap tak menyisakan senyuman sedikit pun, dan ketika mereka tidak menyelingi kalimat mereka dengan tawa terkekeh, maka itu adalah tanda bahaya. Seperti yang terjadi sekarang ini.

“Maaf … maafkan aku …,” rengek Saltman.

“Kau murid kesayangan Ayah, Saltman. Kau adalah Murid Ayah Satu-satunya.”

“Tapi kami adalah Anak-anak Ayah.”

Mata hijau kekuningan si kembar berpendar dalam bayang-bayang tudung. Saltman melepaskan rengekan ketakutan melihat itu.

“Kami melindungi Ayah.”

“Kami memastikan Ayah tetap hidup.”

“Kami menjagamu tetap hidup karena Ayah menghendaki demikian.”

“Kami menjagamu tetap hidup karena kami membutuhkanmu.”

“Tapi jika Ayah menghendakinya, kami lebih dari senang hati mencabut nyawamu.”

“Kami lebih dari berhak melakukannya.”

“Karena kami Anak-anak Ayah.”

“Dan kau cuma Murid Ayah Satu-satunya.”

“Maafkan aku … Sungguh … aku tak akan melakukan kebodohan seperti itu lagi,” rengek Saltman.

Cengkeraman si kembar mengendur.

“Sebaiknya begitu.”

“Heheheheh.”

“Heheheheh.”

Saltman menunggu beberapa saat hingga si kembar kembali ke kegiatannya masing-masing, sesekali mengeluarkan tawa terkekeh pelan.

“Kalian tidak harus mendatangi ibu bocah itu.”

“Kami akan datang.”

“Kami harus datang.”

“Dan membahayakan diri kalian sendiri?”

“Ayah bilang,” kata Nate, “kita harus membantu orang yang berada dalam kesulitan.”

“Ayah bilang,” kata Chloe, “kita tidak boleh melanggar janji yang telah diucapkan.”

“Heheheh.”

“Heheheh.”

“Dan kami ingin tahu seorang ibu itu seperti apa,” sambung Nate.

“Kami kan tidak punya,” lanjut Chloe, mengangguk setuju.

“Heheheh.”

“Heheheh.”

Saltman tiba-tiba menyadari sesuatu: “Waktu Tom datang, si anak kecil yang terakhir. Kalian meneleponku. Bagaimana kalian tahu bahwa yang datang adalah seorang anak-anak waktu itu?”

“Sihir pemindaian kami buruk, tapi anak-anak memiliki aura kuat.” Nate mengetuk-ngetukkan jari ke atas salah satu televisi. “Gangguan distorsi yang ditimbulkan anak-anak sangat berisik. Eheheheh. Seperti radio atau televisi rusak.”

“Itu sebabnya kami langsung menyimak pembicaraan kalian, hehe.”

“Oh … begitu.”

Saltman merasa ini adalah suatu pola, mengingat bukan pertama kalinya si kembar menunjukkan ketertarikan pada anak-anak atau pada relasi keluarga. Dia punya hipotesa sendiri, tapi itu bisa menunggu untuk lain waktu.

==++==

“Kau benar waktu menyuruhku menanyai orang-orang tentang apotek itu.” Rekan Jon Daryll itu membuka pembicaraan setibanya di kantor.

Jon tersentak kaget dari kursinya. Sesaat yang lalu matanya sudah terpejam dan dia sudah nyaris tertidur di balik meja kerjanya.

“Hei, kenapa kau, Bung?”

“Sori.” Jon otomatis meraih gelas kertas di mejanya, mendapati bahwa ia sudah menghabiskan kopi di dalamnya.

“Berjaga di rumah sakit lagi semalam?” tanya rekan kerjanya.

“Susah tidur.” Jon menggosok matanya yang berair. “Oke, apa yang kau temukan soal apotek itu?”

“Well …” Rekan Jon mengernyitkan kening. “Sangat aneh. Aku bertanya ke sekitar … selusin orang. Mereka semua sudah lumayan lama tinggal di sana.” Rekan Jon mengeluarkan notes kecil dari saku dalam jasnya. Dia menyebutkan nama orang-orang yang ditanyainya—yang ternyata tepatnya berjumlah empat belas orang—sekaligus berapa lama mereka tinggal di daerah itu. “Nah, coba pikir Jon, bagian mana yang tidak aneh kalo orang-orang ini,” sambil berbicara, partner Jon itu mengetukkan jari ke notesnya, “memberiku jawaban berbeda-beda ketika kutanya sejak kapan apotek itu berdiri?”

“He?”

“Yeah. Orang yang ini, yang paling lama tinggal di sana, dan tinggal di seberang apotek, bersikeras mengatakan bahwa apotek itu adalah restoran milik mafia setempat sampai sebulan yang lalu. Lalu berandal-berandal di sekitar sana bilang bangunan merah itu sudah ada sejak awal tahun ini. Ketika kutanya ibu-ibu penggosip yang ini—baru tiga tahun lalu pindah ke daerah sana—dia bilang dia langganan membeli obat ke apotek itu sejak pindah. Kakek-kakek yang hobi nongkrong dan bermain kartu ini juga bilang kalau dia langganan membeli obat ke apotek itu, tapi baru sejak setahun atau dua tahun lalu.”

Jon diam-diam memuji tingkat kedetailan informasi yang diberikan rekan kerjanya ini. Dia menunjuk nama-nama yang dimaksud sambil menyebutkan orang seperti apa pemilik nama itu seolah-olah sudah mengenalnya sejak lama.

“Tidak ada kepastian kapan tepatnya tempat itu didirikan.”

“Tidak ada.” Partner Jon menggaruk belakang lehernya. “Seolah-olah apotek itu muncul di sana begitu saja. Bam.”

“Kita bisa mencoba mencari data di bagian kependudukan kalau-kalau bangunan yang tadinya restoran itu beralih fungsi menjadi apotek.” Jon memiringkan kepala sedikit. “Lucu sekali kalo mafia yang terlibat dalam bisnis obat-obatan terlarang—kemungkinan besar—malah mengganti restorannya dengan apotek. Itu seperti minta kepada polisi untuk diawasi, digeledah, dan diperiksa habis-habisan.”

“Oh, iya, Jon, anakmu namanya siapa?”

“Tom. Aslinya Thomas, tapi kami memanggilnya Tom.”

“Mungkin aku salah lihat, tapi sepertinya aku melihat anak itu keluar dari dalam apotek saat aku berkeliling dan bertanya kemarin.”

Wajah Jon langsung berubah kaku.

==++==

Tom sedang mengerjakan PR-nya di ruang tengah saat ayahnya pulang. Tidak tahan dengan suasana rumah yang sepi, anak itu memulai kebiasaan mengerjakan PR di ruang tengah ditemani televisi yang menyala, menayangkan apapun, tapi terutama sekali Tom akan menyetel saluran yang sedang menayangkan berita. Lebih banyak berita buruk daripada berita bagus, tapi Tom lebih suka mendengar suara pembaca berita ketimbang acara lawak atau reality show.

“Bau masakan,” celetuk ayahnya ketika melewati dapur. “Kau memasak?”

“Cuma sosis dan telur.”

Ayahnya menghilang ke dapur dan kembali lagi dengan makan malam yang dimasak Tom. Stok kentang beku mereka habis jadi Tom memasak lebih banyak sosis, terutama untuk ayahnya yang makannya banyak.

“Enak,” puji ayahnya sambil duduk di sofa di belakang Tom. “Dan tidak gosong. Kenapa kalau aku yang buat selalu gosong ya?”

“Soalnya ayah selalu menganggapnya kurang matang …”

“Daripada cacingan karena dagingnya kurang matang?”

Ayahnya pasti benar-benar kelaparan karena sosis dan telur yang banyak itu—menurut Tom sebagai yang memasak—habis dalam sekejap.

“PR?” tanya sang ayah setelah mencuci piring bekas makannya. Kali ini pria itu duduk di sebelah Tom, melihat apa yang tengah dikerjakannya. “Ada yang perlu kubantu?”

“Sudah hampir selesai.”

Tom menggerung kaget ketika tangan ayahnya mendarat di kepalanya, mengacak-acak rambutnya.

“Anak pintar.”

Tom dan ayahnya tidak banyak berbicara lagi setelah itu. Tom membereskan buku-buku dan alat tulisnya, menyimpannya dalam tas, lalu turun lagi ke bawah untuk menonton televisi bersama ayahnya. Selain komentar ayahnya atas beberapa berita yang dilihatnya, keduanya tak mengatakan sesuatu.

“Eh, Tom?”

“Ya?”

“Katanya temanku di kepolisian melihatmu di daerah Ventura kemarin.”

Tom menelan ludah.

Daerah Ventura? Kemarin? Saat dia pergi ke apotek aneh itu?

“Kau tahu kan itu daerah yang … bukan daerah orang baik-baik. Banyak masalah di sana, tahulah. Apa yang kau lakukan di sana?”

Ayahnya berusaha mengutarakan pertanyaannya dengan kasual dan santai, tapi Tom tahu ayahnya sedang menginterogasinya. Tom tidak ingin berbohong. Ia bahkan sebenarnya ingin membicarakan tempat aneh yang didatanginya itu dengan ayahnya.

Tom tidak bisa.

Tom tidak ingin berbohong, sungguh. Pikirannya mengatakan demikian. Hati kecilnya menyuruhnya demikian. Tapi lidahnya … lidahnya bergerak di luar kendali semua itu.

“Mampir ke rumah teman,” jawab Tom. “Ada temanku yang tinggal di sana.”

“Oh?”

“Daerah itu memang agak membuatku tidak tenang. Aku tidak lama-lama di sana.”

“Yeah, itu memang bukan daerah baik-baik.”

Ada yang sangat salah di sini, pikir Tom. Ayahnya selalu tahu kalau Tom berbohong. Profesi ayahnya sebagai polisi selama bertahun-tahun membuatnya dapat mendeteksi kebohongan-kebohongan amatir seperti yang biasa dilakukan anak-anak seperti Tom. Kenapa kali ini ayahnya bahkan tidak meragukan ucapannya?

“Lain kali kalau kau mau ke tempat temanmu itu, bilang padaku supaya aku bisa menemanimu,” lanjut ayahnya. “Memang siang hari lebih aman, tapi tetap saja.”

“Oke.”

Ayah Tom memulai kebiasaan jeleknya mengganti-ganti saluran televisi.

“Ehm, Tom?”

“Ya?”

“Akhir pekan nanti … mau ke rumah sakit?” tanya ayahnya. Kentara sekali kalau ia ragu-ragu menawarkan ajakan tersebut. “Menjenguk ibumu.”

Intensitas kunjungan Tom dan ayahnya ke rumah sakit untuk menjenguk sang ibu sudah jauh berkurang dibanding saat-saat awal beliau dirawat. Jika dulu Tom dan ayahnya berkunjung setiap hari, dua minggu kemudian berkurang menjadi dua hari sekali dan bergantian, lalu semakin berkurang hingga menjadi tak menentu. Tom benci mengakuinya, tapi baik ia maupun ayahnya sama-sama mulai merasa kehilangan harapan. Apalagi dengan kondisi sang ibu yang tak kunjung menunjukkan perubahan selain memburuk setiap minggunya, perasaan mencekik dan putus asa selalu menggelayut di hati keduanya setiap kali mereka usai menjenguk. Mereka berusaha menghindari tekanan itu tanpa sadar, dengan semakin jarang menjenguk.

“Boleh.”

Ingatan Tom melayang pada kedua sosok misterius di ruang bawah tanah apotek.

Kalau tidak salah mereka juga bilang tentang berkunjung menemui ibunya.

Kapan ya?

==++==

Si kembar mengutus Saltman untuk melihat posisi kamar yang hendak mereka kunjungi di rumah sakit. Sebagai penanda untuk Nate dan Chloe, Saltman diperintahkan untuk mengoleskan cairan tak kasat mata di jendela kamar tersebut.

Menyelinap dari satu bayangan ke bayangan lain, malam ini Nate dan Chloe bertandang ke rumah sakit tersebut, sesuai janji mereka pada Tom Daryll. Selain derap langkah kaki ketika mereka berpindah dan suara terkekeh pelan yang sesekali keluar dari mulut keduanya, Nate dan Chloe tak menimbulkan suara lainnya. Mereka sudah tiba di salah satu sisi luar rumah sakit.

“Di sini?” tanya Nate, mendongak ke deretan jendela-jendela di sisi rumah sakit tempat mereka berada.

“Mungkin,” jawab Chloe. “Heheheheheh.”

“Eheheheh. Saltman bilang dia sendirian di ruangannya kan?”

“Ya.”

“Heheheh.”

“Heheheh.”

Nate berjongkok, mengeluarkan sepotong kapur dari balik jaketnya, dan mulai menggambar sebuah lingkaran sihir di trotoar. Chloe berdiri di dekatnya, mengawasi keadaan sekitar.

Lingkaran sihir yang digambar Nate mengeluarkan pendar lemah.

“Kelihatan tidak?” tanya Nate.

“Tidak,” jawab Chloe setelah melihat ke jendela-jendela.

“Pindah lokasi kalau begitu.” Nate menjauhkan tangannya dari lingkaran sihir dan pendarnya pun menghilang. Sol tebal sepatunya berdetak ketika ia berlari-lari kecil menuju lokasi selanjutnya. “Heheheh.”

“Tunggu, tunggu, eheheheh.” Chloe membuka botol air kemasan yang dibawanya lalu menyiramkannya ke atas lingkaran sihir, melenyapkan bekasnya. Chloe mengeluarkan airnya tanpa memiringkan botolnya sama sekali. Selesai menghilangkan lingkaran sihir, ia bergegas menyusul Nate.

Sama seperti sebelumnya, Nate menggambar lingkaran sihir di trotoar kemudian mengaktifkannya.

“Ada?” tanya Nate.

“Ooh, ada, ada.” Chloe menunjuk ke salah satu jendela yang terletak di lantai atas. Sebuah tanda menyala dalam warna kehijauan pucat di kaca jendela.

“Heheheheh. Ayo.”

Kali ini Nate menunggu Chloe menghapus lingkaran sihir dengan air. Keduanya berdiri bersisian, membelakangi tembok rumah sakit.

“Ehehehe.”

“Ehehehe.”

Nate dan Chloe membungkuk bersamaan, menekuk lutut, mengambil ancang-ancang untuk melompat. Dengan satu sentakan, keduanya melenting melewati puncak tembok rumah sakit, bersalto satu kali di udara, dan mendarat dengan mulus nyaris tanpa suara di halaman dalam rumah sakit.

Keduanya langsung melesat menyeberangi halaman rumah sakit, menuju gedung. Sama seperti sebelumnya, Nate dan Chloe mengambil ancang-ancang kemudian melompat secara bersamaan. Keduanya mendarat di dinding rumah sakit, nyaris tidak ada bedanya dengan cicak atau pahlawan super yang dapat menempel di dinding, yang baru tahun lalu diangkat menjadi film bioskop.

“Heheheheh.”

“Heheheheh.”

Nate dan Chloe memanjat gedung dengan gerakan seperti berlari menggunakan kedua kaki dan tangan masing-masing. Tidak butuh waktu lama bagi keduanya untuk mencapai jendela yang telah ditandai Saltman. Saltman melakukan tugasnya dengan baik, membukakan gerendel jendela dari dalam sehingga Nate dan Chloe bisa langsung membukanya dari luar dan masuk ke dalam kamar.

Satu-satunya pasien yang ada di dalam sana adalah seorang wanita. Berdasarkan apa yang tertulis di papan di kaki tempat tidurnya, usia wanita itu masih di pertengahan tiga puluhan, tapi dari wujud fisik yang terbaring di atas tempat tidur, wanita itu kelihatan berkali-kali lebih tua. Tubuh wanita itu sangat kurus, hampir sungguh-sungguh memenuhi ungkapan “tulang terbalut kulit”. Ia sama sekali tak terbangun oleh kedatangan si kembar. Alat-alat penunjang kehidupan berderet di kiri kanan tempat tidur wanita itu; salah satu diantaranya mengeluarkan bunyi teratur yang tidak menenangkan hati.

Nate dan Chloe menurunkan tudung jaket masing-masing, menampakkan rambut pirang yang, selain kering dan kasar, samar-samar memiliki warna kehijauan kotor seperti mata mereka.

“Saatnya bekerja.”

“Eheheh.”

Si kembar menarik rantai kalung yang selama ini tersembunyi di balik jaket masing-masing. Sebuah kunci mungil nampak menggantung di rantai tersebut. Nate menggunakan kunci yang dikalunginya untuk membuka borgol Chloe dan Chloe menggunakan kunci yang dikalunginya untuk membuka borgol Nate. Selesai membuka borgol masing-masing, membiarkan satu cincin borgol tetap melingkari salah satu tangan, keduanya membuka sarung tangan masing-masing, menyimpannya ke dalam saku jaket. Tanpa sarung tangan, tato berbentuk lingkaran sihir rumit yang dilengkapi dengan huruf-huruf asing di kedua telapak tangan si kembar terlihat jelas.

Nate dan Chloe memeriksa tubuh yang terbaring di atas tempat tidur dalam diam. Nate memeriksa suhu tubuh sang “pasien” menggunakan punggung tangannya. Chloe memegang kaki si “pasien” dan merasakan suhunya. Nate membuka kelopak mata wanita itu, memperhatikan reaksi yang ditunjukkan pupil matanya. Chloe memijit jempol kaki wanita itu, mencari reaksi kesakitan atau sejenisnya. Nate mencondongkan tubuhnya melewati sisi tempat tidur, menempelkan telinga ke dada si wanita. Chloe menekan pergelangan tangan si wanita dengan dua jari. Lalu, bersama-sama, Nate dan Chloe menempatkan tangan masing-masing sekitar dua senti dari permukaan tubuh si wanita, sama-sama memulai dari kepala. Si kembar berjalan perlahan dari ujung tempat tidur ke ujung lainnya. Tangan mereka tetap berada beberapa senti dari tubuh si wanita, seperti detektor logam yang memindai di atas permukaan tanah.

“Hm.”

“Hm.”

Pintu kamar terbuka.

==++==

Rasa dingin merambati tengkuk Tom ketika ia melihat dua sosok yang telah berada di dalam kamar ibunya. Di sebelahnya, ayah Tom spontan bereaksi:

“Siapa kalian?”

Reaksi Nate dan Chloe sama sekali tidak membantu menjernihkan suasana. Keduanya menjauhi tempat tidur ibu Tom, mengangkat kedua tangan di udara seperti orang yang hendak menunjukkan bahwa ia tidak berniat jahat dan tidak membawa senjata, namun malah membuat ayah Tom melihat jelas borgol yang masih menggantung di tangan mereka. Ditambah lagi dengan tampang keduanya yang dalam kondisi tudung jaket tak dipakai seperti sekarang ini justru menambah kecurigaan.

“Apa yang kalian lakukan pada istriku?” cecar ayah Tom.

“Tidak ada, Sir.”

“Kami tak melakukan apapun, Master.”

“Heheheheh.”

“Heheheheh.”

“Tom!” Ayah Tom berpaling pada anak laki-lakinya. “Panggil keamanan!”

Tom membuka mulut, hendak mengatakan sesuatu untuk meluruskan masalah, namun tak terpikirkan sedikitpun olehnya apa yang harus ia ucapkan.

“Cepat!”

Desakan ayahnya menang. Tom berbalik menuju pintu ruangan, mengulurkan tangan hendak meraih gagang pintu.

Suara hentakan terdengar dari balik punggung Tom. Tangan Tom meraih gagang pintu. Anak lelaki itu menyentaknya dan mendapati bahwa pintunya sama sekali tidak bisa dibuka. Ayahnya tidak menyadari hal tersebut dan mendorong pintu, berusaha membukakan pintu untuk anaknya. Daun pintunya tidak terkuak sedikitpun.

Ketakutan merambati punggung Tom.

“Heheheheh.”

“Heheheheh.”

Teringat pada kejadian di apotek, Tom langsung tahu bahwa pintu ruangan ini mustahil dibuka tanpa ijin si kembar. Ayahnya masih berusaha membuka pintu, menabrakkan bahunya ke pintu selain mendorong dan menarik. Setelah beberapa percobaan sia-sia, sang ayah akhirnya berhenti.

Si kembar tengah berjongkok dengan telapak tangan menempel di lantai. Seperti di game yang pernah dilihat Tom, diagram-diagram aneh bercahaya terbentuk di lantai dan dinding ruangan; ada yang berputar konstan, ada yang berdetak seperti gerigi jam. Sementara si jaket hijau tetap dalam posisi demikian, si jaket biru—Nate—berdiri, kembali mengangkat tangan.

“Sir—” Nate memutus kalimatnya, meraih papan keterangan yang ada di kaki tempat tidur. “Sir Daryll? Eheheh. Maaf. Tidak berniat mencelakakan istri Anda. Heheheheh. Sumpah.”

“Siapa kalian?” tanya ayah Tom. Tom melihat tangan ayahnya menjangkau sarung pistol yang ada di balik jas, hanya untuk menjauhkannya kembali dengan ragu. Tangannya yang lain menarik Tom supaya berada di balik punggungnya.

“Aku Natrium,” jawab Nate. “Panggil saja Nate.” Jelas dari gaya bicaranya Nate tidak menanggapi serius suasana tegang di dalam ruangan. “Ini Chlorine,” lanjutnya sambil menunjuk si jaket hijau yang masih berjongkok mempertahankan diagram-diagram bercahaya. “Panggil saja Chloe. Heheheheheh.”

“Aku tidak tanya nama kalian!” hardik ayah Tom kesal. “Apa yang kalian lakukan di sini!? Apa yang kalian lakukan pada istriku!?”

“Kami memeriksanya,” jawab Nate, “dengan seksama dan menyeluruh.”

“Heheheheh.”

“Heheheheh.”

Wajah ayah Tom sudah merah padam oleh amarah. Selarik otot timbul di pelipisnya. Tom belum pernah melihat ayahnya semurka itu.

“Kondisi istri Anda parah, Sir Daryll,” kata Nate lagi sebelum ayah Tom sempat melakukan sesuatu.

“Nate, klien tidak boleh dibiarkan berdiri.”

“Aha, benar.” Nate mengambil kursi yang ada di dekat ranjang pasien, membawa dan meletakkannya lebih dekat dengan Tom dan ayahnya. “Silakan duduk dulu. Heheheheheh.”

“Eheheheheh.”

Tentu saja ayah Tom tidak segera duduk. Melihatnya, Nate kembali mengangkat kedua tangannya. Tom mulai berpikir bahwa itulah satu-satunya pendekatan yang dipahami Nate untuk menenangkan lawan bicaranya.

“Tenagaku mulai habis,” kata Chloe tiba-tiba. “Gantian, gantian.”

“Oke.”

Nate menggantikan posisi Chloe mempertahankan diagram-diagram bercahaya. Tidak ada bedanya dengan Nate, Chloe pun langsung mengangkat tangan untuk menunjukkan bahwa dia tidak bermaksud jahat.

“Aturannya, kalau Anda tidak duduk, Master Daryll, tidak ada pembicaraan,” kata Chloe. “Heheheheh.”

Sesaat, cengkeraman di tangan Tom mengetat. Lalu ayahnya duduk.

“Istri Anda, Master Daryll Senior, atau ibu Anda, Master Daryll Junior, tidak dapat ditolong lagi.”

Tidak ada pemanis sedikitpun dalam pemberitahuan itu. Chloe mengatakannya tanpa rasa simpatik tersirat dalam kata-katanya.

“Siapa kalian sampai bisa-bisanya memvonis begitu?” tuntut ayah Tom. “Para dokter saja tidak tahu apa penyebab penyakit—“

Chloe memotong ucapan Jon Daryll dengan decakan keras meremehkan.

“Dokter kalian tidak tahu apa yang terjadi kan?” Chloe terkekeh. “Kami tahu.”

“A-apa?”

“Eheheheh, Chloe, buat mereka bersumpah tidak berusaha kabur atau memanggil petugas keamanan,” kata Nate. “Mulai capek pasang sihir nih.”

“Heheheheh. Oke.” Chloe memiringkan kepala ke satu sisi. “Begitulah. Kalau Anda sekalian penasaran, kami bisa menjawabnya.”

“Asalkan kalian tidak kabur atau memanggil petugas keamanan.”

“Ya. Heheheheh.”

“Eheheheheh.”

Ayah Tom mendelik penuh ancaman pada Nate dan Chloe sebelum akhirnya berjanji bahwa ia akan tetap diam, tidak berusaha kabur, maupun memanggil keamanan.

“Baiklah.” Saat Nate berdiri, Tom menyadari kalau diagram-diagram yang tercetak di lantai dan dinding ruangan menghilang.

Tom merinding ketika melihat si kembar tidak lagi menyeringai. Saat berbicara pun keduanya tak menyelingi kalimat-kalimatnya dengan suara terkekeh.

“Ibumu tidak akan mati, Nak,” kata Nate.

“Ibumu—istri Anda, Master Daryll Senior—sudah mati,” kata Chloe.

Tom dapat merasakan darah menghilang dari wajahnya.

“Apa—apa maksud kalian?” desis Jon Daryll.

“Pernah dengar tentang zombi?” tanya Nate.

Tom dan ayahnya mengangguk.

“Kapan pun kalian menemukan beliau,” Nate mengarahkan pandangan pada sosok di atas tempat tidur, “beliau sudah mati pada saat itu.”

“Tapi dia bernapas—“

“Ya.” Kali ini Chloe yang menjawab. “Beliau bernapas, tapi itu karena sihir dari seseorang yang menghidupkannya kembali. Zombi tidak selalu berarti mayat yang bisa bergerak saja, tapi juga termasuk seseorang yang telah mati namun fungsi tubuhnya dipaksa untuk ‘hidup’.”

“Jadi …” Tom tergagap. “Jadi Ibu …”

Nate dan Chloe menggeleng.

“Tidak bisakah kalian menyelamatkannya?” desak Tom.

Gelengan lagi.

Tom merasa hatinya patah.

“Tapi kalian bilang tidak ada yang mustahil!” raung Tom. Ia menghambur ke arah Nate, mencengkeram jaketnya dan mengguncangnya keras-keras. “Kalian bilang tidak ada yang mustahil!”

“Tom!”

“Kalian bilang kalian tahu caranya menyembuhkan kanker! Kalian bilang tidak ada yang mustahil!”

Sepasang lengan kokoh melingkari bahu Tom, memeluknya, dan menariknya menjauh dari Nate. Ayahnya. Tom tak dapat menahan air matanya lagi saat menyadari bahwa ayahnya juga menangis.

“Kalian bilang …” Kalimat Tom tenggelam dalam isakan.

“Kami tidak bilang kami bisa menghidupkan orang mati,” bisik Nate. “Ingat? Kami bicara tentang menyembuhkan penyakit. Bukan menghidupkan orang mati.”

Rasa sakit di rusuk Tom tak tertahankan. Berani-beraninya … berani-beraninya dua orang di hadapannya ini memberinya harapan palsu …

“Siapa yang melakukan semua ini?” tanya ayah Tom.

“Seorang necromancer, pastinya,” kata Chloe.

“Kenapa dia melakukan ini?”

“Tidak tahu.”

“Jadi satu-satunya jalan keluar adalah dengan membiarkan istriku mati?” tanya ayah Tom.

“Ya.”

“Ya.”

“Kalau memang itu yang terbaik untuknya …”

Nate dan Chloe saling berpandangan, lalu merogoh ke balik saku jaket masing-masing dan mengeluarkan spidol. Tanpa meminta persetujuan lagi pada Tom atau ayahnya, kedua sosok berjaket itu menggambar sebuah lingkaran mengitari tempat tidur ibu Tom, menarik garis membentuk pola-pola, dan menuliskan simbol-simbol aneh.

“Jangan.” Tom tidak ingin berpisah dengan ibunya sekarang. Tidak, tidak. Dia belum siap. “Jangan …”

Pelukan ayah Tom kian erat. Pria yang lebih dewasa itu berbisik pada anaknya:

“Relakan, Tom … Relakan dia …”

“Tidak,” rengek Tom. “Tidak bisa. Mereka akan mengambil Ibu—“

“Mereka akan membebaskannya.”

“Tidak, tidak, tidak, tidak, tidak.”

Nate dan Chloe melangkah mundur. Mereka telah menyelesaikan sebuah gambar raksasa di lantai ruangan, sesuatu yang Tom pikir disebut sebagai “lingkaran sihir” jika sihir itu memang ada.

Sihir itu memang ada.

Lingkaran dan simbol-simbol yang digambar Nate dan Chloe berpendar dalam cahaya kehijauan.

“Rohnya masih ada di sini,” kata Chloe.

“Bicaralah. Waktu kalian tiga menit,” kata Nate.

Sosok di atas tempat tidur seperti berbayang-bayang. Bayang-bayang itu mewujud lebih nyata, akhirnya mengaburkan sosok fisik yang asli, menampakkan seorang wanita yang terlihat jauh lebih sehat dan lebih cantik daripada yang terbaring tak berdaya di atas tempat tidur. Wanita itu membuka matanya.

“Jon? Tom?”

==++==

Jon Daryll menatap tak percaya pada pemandangan di depan matanya saat ini.

Istrinya. Itu istrinya kan yang tersenyum padanya?

Tom lebih tidak ragu-ragu. Begitu tangan Jon yang memeluknya longgar, anak itu langsung menghambur ke arah ibunya. Tom berusaha memeluk sosok ibunya yang semi transparan, berujung dengan ia menubruk teralis besi di tepian tempat tidur.

“Aduh, Tom,” kata sosok semi transparan itu. “Kau tidak bisa menyentuhku sekarang.” Sosok itu tersenyum sedih. “Aku juga tidak bisa.”

Itu benar-benar Vero. Istri Jon. Ibu Tom.

“Vero …” Jon akhirnya berhasil menyebutkan namanya.

“Jon.” Vero berpaling padanya. “Maafkan aku. Aku membuat kalian semua khawatir kan?”

“Kau selalu membuatku khawatir.”

Vero menyeringai. “Iya yah. Maaf ya.”

Masih gagal mencerna apa yang sebenarnya terjadi, Jon bingung hendak mengatakan atau berbuat apa. Sementara Jon tercenung, sosok Vero sibuk menenangkan dan menghibur Tom.

“Vero?”

“Hm?”

“Maaf kalau selama ini aku terlalu sibuk.”

“Tugas polisi kan?”

“Harusnya aku lebih banyak meluangkan waktu.”

“Jangan disesali, Jon.” Vero tersenyum. Senyum yang dari dulu hingga sekarang selalu meluluhkan hati Jon. “Aku senang bersuamikan seorang penegak hukum.”

“Aku menyayangimu.” 

“Aku juga menyayangimu, Jon.”

Jon memaksakan senyum. “Aku mencintaimu.”

“Aku juga. Selalu, Jon, selalu.”

“Tiga menit,” potong si jaket biru.

“Waktunya habis,” sambung si jaket hijau.

Sosok Vero berpaling pada Nate dan Chloe yang telah bergeser ke kaki tempat tidur.

“Aku tak tahu apa yang kalian lakukan, tapi terima kasih,” kata Vero. “Terima kasih karena mengijinkan kami berbicara untuk terakhir kalinya.”

Dan tiba-tiba saja ketika diberitahu bahwa waktunya sudah habis, Jon memikirkan banyak hal untuk diucapkan pada Vero. Sepertinya selalu terjadi seperti itu. Ketika waktunya sudah habis, baru terpikirkan berapa banyak yang terlupakan atau hendak disampaikan.

“Aku akan menjaga Tom baik-baik!” kata Jon akhirnya, memilih apa yang paling ingin diucapkan dari begitu banyak hal. “Kau tidak perlu khawatir! Aku akan belajar memasak! Aku tidak akan keseringan lembur! Aku tidak akan mengajarinya merokok atau minum minuman keras!” Jon sampai kehabisan napas demi mengatakan semua itu. “Kami akan baik-baik saja, jadi kau tidak perlu khawatir!”

Vero tersenyum lebar mendengarnya. Sosoknya memudar hingga akhirnya lenyap sama sekali. Bersamaan dengan menghilangnya sosok Vero, lingkaran dan simbol-simbol aneh yang digambar si jaket biru dan si jaket hijau di lantai tidak lagi bercahaya. Ketika Jon melihat ke bawah, ia bahkan tidak menemukan tanda-tanda spidol di lantai.

Tubuh fisik Vero berhenti bernapas.

PIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIP—

Si jaket biru meraih pergelangan tangan Vero, memeriksa denyut nadinya dan mengangguk.

“Dia sudah beristirahat.”

—PIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIP—

Si jaket hijau meraih tombol bel di sisi tempat tidur dan menekannya.

“Dia sudah beristirahat.”

—PIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIP—

Nate dan Chloe menarik kembali tudung jaket masing-masing menutupi kepala, mengenakan sarung tangan, dan memasang borgol.

“Bisa minta tolong?” tanya Nate setelah menggeser jendela  hingga terbuka. Seringai ganjil telah kembali ke wajahnya. “Heheheh.”

“Ya?”

“Tolong tutup dan kunci jendelanya.”

“Heheheheh.”

Nate melompat keluar melalui jendela, diikuti oleh Chloe.

Jon spontan berlari ke arah jendela.

Sinting! Kenapa mereka melompat keluar begitu!? Ini lantai tujuh kan!?

Saat Jon melongok keluar, ia masih sempat menangkap dua sosok yang berlari melintasi halaman dalam rumah sakit sebelum akhirnya melompati dinding pagar rumah sakit.

Sesaat, hati Jon dihinggapi kengerian.

Makhluk apa mereka itu?

Jon mengunci jendela tepat ketika seorang perawat memasuki kamar.

Makhluk apapun mereka, pikir Jon. Mereka membebaskan Vero.

—PIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIP—

Continue Reading

You'll Also Like

614K 52.3K 26
(๐’๐ž๐ซ๐ข๐ž๐ฌ ๐“๐ซ๐š๐ง๐ฌ๐ฆ๐ข๐ ๐ซ๐š๐ฌ๐ข ๐Ÿ) า“แดสŸสŸแดแดก แด…แด€สœแดœสŸแดœ แด€แด‹แดœษด แด˜แดแด›แด€ ษชษดษช แดœษดแด›แดœแด‹ แดแด‡ษดแด…แดœแด‹แดœษดษข แดŠแด€สŸแด€ษดษดสแด€ แด„แด‡ส€ษชแด›แด€โ™ฅ๏ธŽ _______ (๐˜”๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜จ๐˜ข๐˜ถ๐˜ฎ ๐˜ฅ๐˜ช๐˜ฅ๐˜ฆ๐˜ฑ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ญ๐˜ข...
368K 21.5K 50
Selena Azaerin, walau dirinya bekerja sebagai agen intelijen negara, Selena tak pernah kehilangan sifat cerobohnya. Ketika gadis itu telah menyelesai...
230K 16.6K 22
Bagaimana jika kamu sedang tidur dengan nyaman, tiba tiba terbangun menjadi kembaran tidak identik antagonis?? Ngerinya adalah para tokoh malah tero...
156K 19.2K 49
Setelah setahun menjalani pengobatan di Singapura, Helena masih tetap belum bisa berjalan. Hatinya sedih apalagi orang tuanya jarang datang menemani...