Antipole

By nunizzy

2.1M 232K 31K

•Completed• Kita ada di kutub yang berbeda. Sekolah yang terkenal disiplin dan memiliki segudang presta... More

Prolog
1st Pole
2nd Pole
3rd Pole
4th Pole
5th Pole
6th Pole
7th Pole
8th Pole
9th Pole
10th Pole
11th Pole
12th Pole
13th Pole
14th Pole
15th Pole
16th Pole
17th Pole
18th Pole
19th Pole & QnA
20th Pole & Giveaway Time
21st Pole
22nd Pole
23rd Pole & Disclaimer
24th Pole
25th Pole
27th Pole
28th Pole
QnA
29th Pole
30th Pole
31st Pole
32nd Pole
33rd Pole
34th Pole
35th Pole
36th Pole & Promotion
37th Pole
38th Pole
Fun Facts
39th Pole
40th Pole
41st Pole
42nd Pole
43th Pole
44th Pole
45th Pole
46th Pole
47th Pole
48th Pole
49th Pole
50th Pole
51th Pole
52nd Pole & QnA#2
53th Pole
54th Pole
55th Pole
Sekilas Promo
QnA#2 (Part 1)
QnA#2 (Part 2)
56th Pole
57th Pole
58th Pole
Epilog
Pidato Kenegaraan Antipole

26th Pole

30.5K 3.5K 729
By nunizzy

A/N

Bacanya pelan-pelan, ya. Dihayati sepenuh hati sepenuh jiwa. Kalo mau lebih afdhol lagi, bisa baca dari awal wkwk.

26th POLE

~~||~~

"Tumben banget lo maksa-maksa minta ke rumah gue. Biasanya juga gue yang susah setiap kali ngajak lo ke sini."

Dua gadis itu sudah sampai di depan rumah Wira–yang kini ditempati Inara.

"Bosen gue di rumah. Sekalian gue mau belajar buat ujian. Lo harus jadi guru privat gue pokoknya!" ucap Sabrina berapi-api.

"Iya, iya." Inara melepas sepatunya di teras rumah, diikuti oleh Sabrina.

Perempuan itu menekan bel beberapa kali.

"Kok nggak dibukain, ya, Sab?" tanya Inara heran.

"Lagi nggak ada orang mungkin?" tanya Sabrina.

"Jarang-jarang banget nggak ada orang."

"Who knows?" tanya Sabrina skeptis seraya mengangkat bahunya sekilas. "Lo nggak punya kunci cadangannya emang?" tanya Sabrina.

Inara menggeleng seraya menekan ganggang pintu utama tersebut–karena iseng.

"Eh, nggak dikunci?" gadis itu menoleh ke arah Sabrina bingung seraya mendorong pintu rumahnya,

Sabrina menatapnya dengan tatapan ingin tahu.

"Gelap, Sab," gumam Inara.

"Serem juga ya rumah segede ini kalo gelap."

Setelah mengunci pintu, Inara mencari tombol lampu. Ia berjalan meraba-raba.

"Sab?" panggilnya.

"Ya?" tanya Sabrina. Kalau didengar dari suaranya, posisi Sabrina tidak berada jauh darinya.

"Lo di mana? Pake ngilang segala lo."

"Di sini!"

"Di sini di mana? Bantuin gue cari tombol lampu. Aduh!" suara meja yang tergeser mengiringi ringisan Inara. Lututnya baru saja menyenggol meja ruang tamu.

Gadis itu rasanya ingin bersorak ketika menemukan tombol lampu. Tepat saat lampu hidup, suara sorakan membuatnya terkejut setengah mati.

"Happy sweet seventeen!"

Gafar menekan confetti ke arah Inara, membuat gadis itu menutup matanya ketika kertas-kertas confetti berjatuhan. Di hadapannya, berdiri orang-orang yang disayanginya.

Tyas, Wira, Naya, Gafar, Bayu, Rahagi, Gala, dan Sabrina. Tak pernah Inara bayangkan akan mendapat kejutan seperti ini. Ia bahkan lupa kalau hari ini ulang tahunnya.

"Ya ampun. Sekarang tanggal berapa Inara lupa masa." gadis itu terkekeh.

"Dua Desember, Inaraa!" seru Gafar gemas.

Naya–yang memegang kue–maju beberapa langkah mendekati Inara.

"Tiup dulu lilinnya," ucap kakaknya itu.

Inara menatap Naya sejenak, sebelum akhirnya meniup lilin di kue tersebut.

"Cie, legal tu," goda Gafar.

"Legal apa nih, Bang?" pancing Sabrina.

"Punya pacar, hahaha."

Inara yang mendengar itu hanya bisa memberengut. Malu di hadapan kedua orang tuanya.

"Sekarang potong kuenya," kata Tyas.

Gadis itu mengambil pisau kue dengan senyuman yang tidak lepas dari wajahnya. Ia sangat bahagia.

"Kue pertama buat mama!" Inara mendekat ke arah Tyas dan menyuapi wanita itu kue potongannya. Setelah itu, inara memeluk Tyas.

"Makasih, Ma." hanya itu yang bisa disampaikan oleh gadis itu–walaupun Tyas tahu, banyak kata-kata terangkai di otak anaknya itu.

"Sama-sama, Sayang." Tyas mengelus rambut Inara. "Tetap jadi Inara yang baik. Jangan nakal."

Gadis itu tertawa. "Iya, Ma. Iya."

"Selamat ulang tahun, Nara." Wira mengulurkan tangannya. Inara menyambut uluran tangan itu dan membawanya ke dahinya–salam.

Entah mendapat gerakan dari mana, Inara memeluk papa tirinya itu. Wira yang terkejut mendapat perlakuan seperti itu, terdiam sejenak sebelum akhirnya membalas pelukan Inara. Lelaki itu tersenyum hingga kedua matanya melengkung seperti bulan sabit.

"Makasih ya, Pa. Maaf kalo dulu Inara menolak papa."

Sudah lama rasanya ia tidak merasakan pelukan seperti ini. Pelukan hangat dari seorang ayah–meskipun Wira bukan ayah kandungnya.

Wira hanya mengangguk. "Yang rajin ya, Nak."

"Kapan sih, Inara nggak rajin, Pa?" gadis itu melepaskan pelukannya. Ia menatap wajah Wira. "Papa semangat kerjanya. Tetap inget kesehatan, jangan keasyikan kerja."

Lelaki paruh baya itu mengelus rambut anak tirinya. "Duh, biasanya kalo ngelus rambut anak, rambutnya pendek-pendek," ujar Wira jenaka.

Semua yang ada di sana tertawa.

"Jadi papa mau Bayu manjangin rambut?" tanya Bayu.

"Ya nggak gitu juga," jawab Wira.

"Mau juga dong dipeluk." Gafar tiba-tiba mendekat dan menarik Inara ke pelukannya. "Selamat menua ya. Semoga sisa umurnya berkah." lelaki itu mengacak gemas rambut adiknya.

"Ih, berantakan, Bang!"

"Biarin." bukannya menghentikan gerakannya, Gafar malah semakin mengacak-acak rambut Inara.

Saat itu, Inara mendapati Sabrina pamit ke belakang untuk buang air kecil. Kebiasaan emang pipis mulu, batinnya geli.

Naya yang baru saja meletakkan kue yang tadi ia pegang ke atas meja, kini memeluk kedua adiknya itu. "Selamat legal. Jangan nakal-nakal ya di sekolah."

Gafar membuka tangannya dan memeluk kedua perempuan yang ia sayangi itu. "Iya, Kakak," jawabnya dengan suara yang sok imut.

"Lo juga, Gaf! Jangan godain cewek mulu di sana. Yang rajin biar cepet skripsi."

"Ya Allah, Kak. Jangan diingetin napa."

Naya hanya tersenyum geli.

Setelah itu, Inara menghampiri Gala kemudian memeluknya. Inginnya, pelukan bertiga bersama Sabrina. Tapi, perempuan itu sepertinya masih lama.

"Makasih, Gal!" ucapnya.

Gala tersenyum dan membalas pelukan Inara. "Makasih kembali, Na. Happy birthday."

Tanpa mereka sadari, Rahagi menatap mereka dengan tatapan tajam. Mood-nya tiba-tiba buruk. Entah kenapa, sebagian dari dirinya tidak rela.

Sabrina yang baru datang terdiam melihat kedua sahabatnya. Sakit, itulah yang dirasakannya. Akan tetapi, ia berusaha menutupinya dengan senyuman, kemudian berlari ke arah kedua sahabatnya.

Lagi pula, itu cuma pelukan sahabat biasa kan, Sab? Sama kayak pelukan yang sering Gala kasih ke lo di saat lo sedih pas galauin Bang Gafar dulu. Nggak usah baper, lah, batinnya.

Mereka berdua itu sahabat gue.

"Selamat ulang tahun, Nara!" serunya seraya memeluk Gala dan Inara.

Gala dan Inara membuka pelukan mereka, dan ikut memeluk Sabrina.

"Udah lama ya, nggak pelukan bertiga gini," gumam Inara.

"Iya. Terakhir waktu mau masuk SD kalo nggak salah. Karena kita bakal pisah. Tinggal jauh-jauhan," kata Gala sambil berusaha mengingat.

"Eh ternyata, pas masuk SMA gue malah nggak ngenalin lo, Na."

Inara tertawa kecil. "Iya juga, ya... Gue juga nggak ngenalin lo, Sab. Bentukan lo udah beda aja gitu."

"Apa pun yang terjadi, jangan tinggalin gue ya, Gengs," ucap Sabrina.

"Emang apa yang bakal terjadi, Sab? Kalo lo berencana ngebom rumah gue, nggak janji ya." ucapan Gala menyebabkan kedua sahabat perempuannya terkekeh.

"Yah, gagal deh rencana kita ngebom rumah Gala, Sab."

"Iya nih. Ketahuan duluan," sambut Sabrina.

Mereka bertiga melepas pelukannya.

"Ini pasti ide kalian, kan?" tanya Inara yakin.

Gala dan Sabrina saling melirik sebelum akhirnya mengangguk.

"Tau aja," kata Sabrina.

"Apa yang nggak gue tahu tentang lo, Sab." Inara memutar bola mata. "Pantes, mencurigakan banget. Segala minta nginap. Mana sering berdua ke mana-mana."

"Sebenarnya pas lo ketemu Gala malam itu, gue sama Gala udah janjian di sana. Tapi batal gara-gara gue sakit perut." Sabrina tertawa.

"Saat itu gue bersyukur lo nggak jadi dateng, Sab."

"Hah? Masa? Gue se-nggak peka itu, ya?" Inara tertawa.

"Susah emang ngurusin dua anak. Yang satu hiperaktif, yang satu polos banget."

"Heh, jadi maksud lo gue anak-anak?" tanya Sabrina galak.

"Nggak, Mak. Ampun. Galak amat." Gala menyatukan kedua tangannya, meminta ampun kepada Sabrina.

Mereka bertiga tertawa.

Sementara itu, Bayu masih memperhatikan Rahagi yang terus menatap Gala tajam. Lelaki itu sangat menyadari bahwa adik laki-lakinya cemburu pada Gala, meskipun jauh di dalam lubuk hatinya, Bayu juga cemburu.

Di sisi lain yang tidak mereka ketahui, Naya diam-diam memperhatikan apa yang terjadi di ruangan ini. Gadis itu memang terkesan cuek–dan sekalinya ngomong nusuk. Kadang, juga bisa menjadi sangat cerewet. Namun, skill mengamatinya boleh diacungi jempol.

Perempuan itu bisa menyimpulkan isi hati seseorang melalui pancaran di matanya. Tentang perasaan Sabrina, isi hati Rahagi dan Bayu, serta tentang Inara yang masih belum menyadari semuanya. Naya bisa merasakannya.

Lo polos banget emang, Na, batin Naya. Namun, di sisi lain, ia kasihan pada Rahagi dan Bayu yang menyimpan perasaan itu. Gadis itu juga khawatir terhadap apa yang akan dilalui Inara ke depannya.

Ia sudah mencoba mencari informasi dari berbagai sumber mengenai kasus serupa. Akan tetapi, ia ragu dengan informasi yang ia dapat.

Naya tidak bisa berbuat banyak. Ia tahu, cepat atau lambat Inara akan menghadapi masalah-masalah itu dalam rangka proses pendewasaan diri. Yang terpenting, Naya siap menjadi tempat untuk adiknya berkeluh kesah.

Setelah berbincang-bincang sedikit tentang masa kecil bersama Gala dan Sabrina, Inara menghampiri Rahagi dan Bayu.

"Makasih ya, Rag, Bang," ucapnya tulus.

Bayu mengangguk. "Happy birthday sekali lagi, Na." lelaki itu memberanikan diri menepuk-nepuk pundak adik tirinya.

Inara tersenyum. Namun, tanpa disangka-sangka, Rahagi pergi dari keramaian tanpa mengucapkan sepatah kata–meninggalkan Inara yang menatap Bayu bertanya-tanya.

"Doi lagi pms kayaknya," ujar Bayu–berusaha mencairkan suasana.

Inara tersenyum maklum.

# # #

Setelah semalam merayakan ulang tahun Inara, hari ini Gafar akan kembali ke Jerman. Inara sempat memeluk kakak laki-lakinya itu sangat lama. Ia sebenarnya tidak rela. Tapi, mau bagaimana lagi?

"Gue rajin-rajin kuliah deh, biar bisa cepet skripsi. Lulus dan balik ke sini. Udah, jangan nangis lagi. Ntar gue jadi nggak fokus kuliah, nih."

Kata-kata Gafar terus terngiang di pikirannya. Bahkan, ia masih bisa merasakan usapan yang diberikan Gafar di rambutnya.

"Pokoknya bilang ke gue kalo lo nangis. Biar gue teror dia lewat sosial media yang dia punya. Gue tonjok secara virtual."

Inara masih belum bisa menghentikan tangisnya. Di ujung sana, Gafar melambaikan tangannya. Sementara, Naya sedari tadi sibuk menjadi sandaran adiknya. Tangan kirinya sibuk mengelus pundak Inara yang menghapus air matanya, sedangkan tangan kanannya membalas lambaian tangan Gafar.

Setelah lelaki itu hilang dari pandangan, Wira membuka suara.

"Kita makan siang di luar aja ya. Anak-anak papa pada suka sushi nggak?" tanyanya lebih kepada Naya dan Inara.

"Naya suka, Pa. Tapi Inara nggak," ucap Naya seakan-akan menjadi juru bicara Inara yang masih sibuk mengendalikan rasa sedihnya.

"Papa lagi pengen sushi? Kalo gitu ke restoran jepang punya Tante Jian aja, Pa. Kalo Inara nggak suka sushi, di sana ada ramen dan nasi katsu juga," tawar Bayu.

"Boleh." Wira mengangguk kemudian menoleh ke arah Tyas–meminta pendapat. Tyas mengangguk.

"Makasih, Kak." Inara menegapkan punggungnya dan tersenyum kepada Naya.

"Kayak sama siapa aja." Naya tertawa. Gadis itu tidak sengaja melirik Rahagi yang berjalan di samping kanannya. Ia baru menyadari, bahwa kini ia berada di antara Inara dan Rahagi.

Sekali lagi, Naya melirik adik tirinya itu. Rahagi sedari tadi tampak gelisah sendiri. Matanya juga sesekali melirik Inara. Diam-diam, Naya tersenyum kecil.

"Ma, besok pas liburan semester, Naya pergi sama temen-temen ya, ke Jogja? Sekalian studi komparatif juga ke fakultas hukum salah satu universitas di sana." gadis itu menyusul Tyas yang berjalan tidak jauh di depannya, meninggalkan Rahagi, Inara, dan Bayu, yang sebelumnya mereka berempat berjalan sejajar.

"Boleh dong. Tumben nih izin dulu biasanya..." Tyas sengaja menggantungkan ucapannya.

"Ih, mama mah gitu." gadis itu menggandeng tangan Tyas.

Di sisi lain, Inara merasa canggung berjalan di antara Bayu dan Rahagi–terutama Rahagi. Mengingat semalam lelaki itu pergi tanpa mengucapkan sepatah kata, dan sepertinya lelaki itu masih enggan berbicara. Inara sendiri tidak tahu penyebabnya apa.

"Wah, gue jalan di sebelah kepiting rebus. Mukanya merah, ingusan, air mata di mana-mana." Rahagi tiba-tiba membuka suara.

Inara langsung menoleh. Nyatanya, lelaki itu sama sekali tidak menatapnya. Pandangannya lurus ke depan dengan satu tangan masuk ke saku celana.

"Mana jelek lagi." tambahnya.

Tanpa berpikir panjang, gadis itu memukul lengan Rahagi.

"Sok iye," balas Inara.

"Ngerasa, Neng?" goda Rahagi seraya menunjukkan smirk-nya.

Inara memberengut. "Bodo amat! Gue lagi sedih juga malah digituin." gadis itu melipat tangannya di depan dada.

Lagi-lagi, Bayu hanya bisa diam. Ia selalu bingung untuk membuka pembicaraan dengan Inara. Oleh karena itu, diputuskannya untuk menyusul Wira yang sepertinya jadi obat nyamuk di antara Naya dan ibunya–Tyas.

"Justru setiap lo sedih, gue turn into seseorang yang nyebelin."

"Bisa gitu ya."

"Bisalah," jawab Rahagi pede. Makanya jangan sedih-sedih.

Inara memutar bola mata.

"Oh ya, untuk bulan ini kayaknya gue nggak bisa ikut pertemuan Blackpole dulu," bisik Inara–takut jika Naya mendengarnya walaupun kakaknya itu sudah jauh di depan.

Rahagi menoleh ke arahnya seraya menaikkan sebelah alis. Seakan-akan bertanya mengapa.

"Olimpiade Integral dilaksanain setelah ujian semester. Kayaknya... gue bakal sibuk banget ngurusin ini-itunya."

"Sok sibuk banget."

Lagi-lagi, jawaban Rahagi membuat Inara ingin melempar wajahnya dengan sepatu.

"Kan biasanya OSIS sibuk, gitu," jawabnya pelan dan hati-hati. Ia tahu, Blackpole dan OSIS sangat bertolak belakang. Gadis itu juga tidak tahu bagaimana pandangan anggota Blackpole terhadap SMA Integral dan terhadap OSIS. Ia takut Rahagi menyangka yang bukan-bukan.

Rahagi tergelak. "Tenang aja. Gue emang nggak terlalu pro sama beberapa anggota OSIS, tapi bukan berarti gue menyamaratakan semuanya," ucapnya lembut.

Tiba-tiba, Rahagi menjelma menjadi prince charming yang bisa membaca pikiran.

"Yah, walaupun kadang gue nggak pro sama OSIS. Apalagi pembinanya Bu Aminah." lelaki itu menambahkan seraya mengangkat bahu.

Inara tersenyum. "Makasih ya, kakak tiri!"

"Anytime, adik tiri," jawabnya.

Mungkin memang semestinya ia mengubur dalam-dalam perasaannya.

~~||~~

A/N

Terlalu banyak rahasia di chapter ini aing nggak sangguppp.

Ini kenapa Rahaginya semakin semakin sih. Rasanya nggak rela cepat-cepat ending dan berpisah :(

Anyway, makasih atas jawaban kalian mengenai pertanyaan di chapter sebelumnya. It means a lot buat aku yang pelupa ini! Mungkin aku lagi dejavu gitu.

Sebenarnya chapter ini nggak se-gonjang-ganjing itu sih. Kalian taulah, aku orangnya kadang emang hiperbola jadi, ya, gitu.

Selain itu, aku mau nyari cast buat Roleplayer. Aku belum open Roleplayer buat Antipole. Cuma mau nanya & minta saran cast dulu, hehe.

Comment in line di bawah ini :

-Inara

-Rahagi

-Naya

-Gafar

-Bayu

-Gala

-Sabrina

-Putra

-Dimas

-Gavin

-Vara

-aduh, ternyata tokoh di Antipole itu banyak ya

-tambah aja di sini buat tokoh lainnya. Misal: Wira - Gerard Way, gitu.

Btw lagi, Marhaban Ya Ramadhan! Maaf kalo selama ini aku ada salah kata dan perbuatan, bikin kalian kesal karena digantungin sampai seabad he he.

Semoga kualitas ibadah kita meningkat dari hari ke hari. Selamat berpuasa (besok) bagi yang menjalankan, manteman!

Terima kasih dan maaf author's note-nya selalu panjang ehe.

26 Mei 2017

Continue Reading

You'll Also Like

1.8K 5K 33
|| Rumit- Rumit, judul yang sangat sesuai dengan skenario yang diatur oleh Tuhan untuk seorang gadis sederhana bernama Ayesha. Rumit, adalah cerita t...
155K 23K 48
Siapa yang tak mengenal Shanindya Violetta? Gadis berparas menawan dengan kepala berhias rambut ungu terangnya itu, tentu sangat mudah untuk dikenali...
1.6M 117K 47
Aneta Almeera. Seorang penulis novel terkenal yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwanya...
519K 54.2K 58
[FOLLOW SEBELUM MEMBACA! BIASAKAN HARGAI KARYA ORANG DENGAN MEMBERIKAN DUKUNGAN KEPADA PENULISNYA] [PLAGIAT AKAN MENDAPATKAN SANKSI, JADI HATI-HATI^^...