Antipole

By nunizzy

2.1M 232K 31K

•Completed• Kita ada di kutub yang berbeda. Sekolah yang terkenal disiplin dan memiliki segudang presta... More

Prolog
1st Pole
2nd Pole
3rd Pole
4th Pole
5th Pole
6th Pole
7th Pole
8th Pole
9th Pole
10th Pole
11th Pole
12th Pole
13th Pole
14th Pole
15th Pole
16th Pole
17th Pole
18th Pole
19th Pole & QnA
20th Pole & Giveaway Time
21st Pole
22nd Pole
24th Pole
25th Pole
26th Pole
27th Pole
28th Pole
QnA
29th Pole
30th Pole
31st Pole
32nd Pole
33rd Pole
34th Pole
35th Pole
36th Pole & Promotion
37th Pole
38th Pole
Fun Facts
39th Pole
40th Pole
41st Pole
42nd Pole
43th Pole
44th Pole
45th Pole
46th Pole
47th Pole
48th Pole
49th Pole
50th Pole
51th Pole
52nd Pole & QnA#2
53th Pole
54th Pole
55th Pole
Sekilas Promo
QnA#2 (Part 1)
QnA#2 (Part 2)
56th Pole
57th Pole
58th Pole
Epilog
Pidato Kenegaraan Antipole

23rd Pole & Disclaimer

30.8K 3.6K 339
By nunizzy

           

23rd POLE

~~||~~

"Dari penampilannya pas ketemu di minimarker malam itu, dia emang kelihatan lagi sakit sih... dan emang kurus banget."

Sepertinya, bangun dini hari sudah menjadi kebiasaan dua insan itu. Siapa lagi kalau bukan Inara dan Rahagi.

Keduanya tengah menyesap cokelat panas buatan Inara. Rahagi tidak tahan harus menyimpannya sendirian. Ia merasa beban masa lalunya sangat berat. Seperti sinetron yang terlalu berbelit-belit.

Apalagi, kata-kata dan wajah Vara terus membayangi tidurnya.

Tak ada yang Rahagi lewatkan ketika menceritakannya ke Inara–termasuk pernyataan tentang perasaan yang masih Vara simpan untuknya.

"Terus, perasaan lo ke dia sekarang, gimana?" tanya Inara hati-hati. Gadis itu meletakkan cangkirnya yang sudah kosong ke atas meja.

Rahagi menatap Inara dengan pandangan yang sulit diartikan. Lelaki itu hanya bisa mengangkat bahunya.

Jika hatinya adalah tarik tambang, mungkin kini tengah berada di garis putih. Tidak berat ke kiri atau ke kanan. Ia belum bisa memastikan hatinya masih di masa lalu atau sudah pindah ke masa sekarang.

"Satu-satunya cara, kalian bertiga emang harus ketemu."

"Tapi gue udah terlanjur benci sama Gavin. Lo lihat sendiri, kan, sifatnya sekarang. Dia bukan sahabat lama yang gue kenal."

"Nggak ada salahnya nyoba, kan?"

Rahagi menghela napas kemudian meletakkan cangkirnya ke atas meja. Entah mendapat keberanian dari mana, lelaki itu menggenggam tangan Inara sebentar, sebelum akhirnya beranjak dari sofa ruang tengah dan berjalan menuju kamarnya.

"Temenin gue tapi."

Inara gelagapan dengan gerakan tiba-tiba Rahagi. Apa-apaan...

Selama ini, rasanya belum ada seorang lelaki pun yang menggenggam tangannya seperti itu selain Gafar–kecuali dalam keadaan terdesak.

Genggaman kakak tirinya itu terlalu lembut dan terasa hangat. Meskipun Inara enggan mengakuinya.

"Lancang ya lo megang-megang!" seru Inara.

Rahagi menoleh dan tersenyum geli. "Biasanya lebih juga, biasa aja."

"Eh, apa tuh maksudnya!" gadis itu berlari mengejar Rahagi.

Lelaki itu tertawa seraya menghindar dari Inara. "Nggak ada maksud apa-apa."

"Sini lo! Iseng banget jadi orang," teriaknya gemas.

"Ampun, Kak! Udah malem kasihan yang lain."

"Bodo amat!"

"Kabur!" Rahagi lari menuju kamarnya sambil tertawa kecil.

Rasa sakit di kepalanya menguap entah ke mana.

# # #

Kondisi Rahagi sudah cukup membaik setelah dua hari. Oleh karena itu, Sabtu ini ia bisa mengikuti pertemuan Blackpole–meskipun Inara yang harus menyetir mobil karena Gafar masih cemas dengan kondisi Rahagi.

"Ini yang terakhir kalinya lo nyetir sebelum dapat SIM ya, Inara."

Begitu yang diucapkan Gafar sebelum mereka pergi menuju rumah Putra. Gafar belum sempat singgah sebentar untuk ikut dalam pertemuan. Lelaki itu masih harus mengurus berkas-berkas kepulangannya ke Jerman.

"Parah nih. Masa Inara yang nyetir?" komentar Keenan ketika melihat Inara dan Rahagi yang turun dari mobil. Lelaki itu baru saja keluar dari mobilnya yang terparkir di depan mobil milik Rahagi.

"Apa? Inara nyetir?" Dimas tiba-tiba muncul dari balik punggung Keenan. Di susul oleh Karel yang keluar dari bangku penumpang depan mobil Keenan.

"Gimana, Rag, rasanya disetirin cewek?" tanya Karel.

"Sialan lo pada!" Rahagi meninju bahu Karel.

"Wops, santai, Mas." Karel terkekeh.

"Bisa juga lo sakit," komentar Dimas.

Mereka berlima masuk ke rumah Putra. Setelah Radit memberi peringatan agar semuanya tenang, Rahagi mulai membuka pertemuan.

"Hari ini, kita mulai kegiatan sesuai kelompok piket yang udah dibagi. Setiap kelompok bakal dapat satu daerah yang akan jadi tanggung jawab masing-masing anggota kelompok."

Rahagi menghela napas.

"Kelompok piket kita ada sepuluh. Yang ikut kegiatan hari ini kelompok satu sampai tujuh. Tiga kelompok yang tersisa tetap di sini buat jaga-jaga kalo bahan pangan yang bakal kita bagiin habis atau misalnya ada tambahan–seperti biasa."

Inara yang dari awal mendengarkan dengan saksama, masih belum mengerti dengan maksud ucapan Rahagi.

Social & Care.

Tiba-tiba frasa itu terlintas di pikirannya. Sosial dan peduli?, batin Inara. Sepertinya, sebentar lagi ia akan menemukan titik terang mengenai komunitas apa Blackpole sebenarnya.

"Kita bakal jalan pake motor. Yang punya mobil, tinggalin aja kuncinya ke anak-anak yang nunggu di rumah. Dan yang sebelumnya nggak bawa motor, bisa pinjem motor anaj-anak yang tinggal."

"Kotak-kotak yang akan kita bagikan, udah ada di rumah anggota terdekat dari daerah masing-masing. Misalnya, kelompok Putra, Dimas, gue, dan Inara kebagian di daerah yang deket dari rumah Radit. Di sana, udah ada sekitar dua puluh kotak makanan yang harus gue dan kelompok bagiin. Kalo kurang, gue bisa menghubungi anak-anak yang tinggal buat re-stock ke rumah Radit. Sejauh ini ada yang belum paham?"

Rata-rata semuanya menggeleng. Rahagi mengangguk kecil melihat respon mereka.

"Untuk anak-anak baru, kalo nggak paham tanya aja ke senior-senior di kelompoknya. Berhubung ini kegiatan piket pertama, gue harap kalian semangat. Jangan lupa senyum."

Inara mengerutkan keningnya. Jangan lupa senyum, katanya?

"Nara." panggilan Rahagi membuatnya mendongak.

Orang-orang yang duduk di sampingnya sudah bubar menuju teras. Mengeluarkan motor masing-masing.

"Cepet. Malah bengong." tanpa aba-aba, Rahagi meraih pergelangan tangan Inara dan menariknya mengikuti rombongan yang beberapa sudah pergi dan menyebar ke daerah bagiannya.

Inara hanya memperhatikan tangan Rahagi yang menarik pergelangan tangannya. Tidak begitu erat, malah terkesan lembut. Kayak yang tadi pagi–aduh Inara lo mikir apa sih.

"Lo ngebonceng Inara, Rag?" tanya Dimas seraya melirik Inara yang berada di belakang Rahagi.

Yang ditanya hanya mengangguk. Lelaki itu bergeser ke samping untuk menggeser motor milik Karel yang akan dikendarainya–berhubung ia tidak membawa motor.

"Hati-hati lo," nasihat Dimas.

"Kapan gue nggak hati-hati?" jawab Rahagi sambil tergelak.

"Kakak tiri yang baik, hm?" Putra tersenyum simpul.

Rahagi hanya membalas dengan senyuman kepercayaan diri, meskipun di dalam hati ia merasa aneh dengan sebutan kakak tiri yang dilontarkan Putra. Lelaki itu sepertinya menyadari sesuatu mengenai perasaan Rahagi.

"Inara! Bengong aja lo," panggil Dimas gemas.

Inara yang sedari tadi hanya memperhatikan anggota yang lain ribut kayak orang mau tawuran, kini menoleh ke Dimas dengan matanya yang membulat seakan bertanya 'kenapa, Kak?'.

Tidak tahan dengan wajah Inara yang cuteness overload, lelaki itu mengacak-acak rambut Inara.

"Fokus. Butuh aqua nih anak."

Inara hanya cengengesan.

Putra yang melihat itu tiba-tiba teringat akan sesuatu yang tidak mau ia ingat.

"Fokus, Nay. Gue ngomong apa, lo bales apa."

Gadis itu hanya cengengesan, menunjukkan deretan giginya yang rapi.

"Pusing gue. Banyak pikiran. Belum lagi urusan OSIS. Ribet banget dah. Ampun gue jadi ketos. Nggak lagi-lagi," ucapnya seraya memegang kepala.

Putra tersenyum seraya menyingkirkan tangan gadis itu dari kepalanya. Meskipun sebentar, disempatkannya mengusap rambut gadis itu. "Di kuliah nggak ada ketos juga kali. Ini pengalaman lo yang terakhir. Jangan disia-siain."

"Iya sih. Jadi, tadi lo ngomong apa?"

"Gue mau buat pengakuan. Gue nggak jamin sih... setelah ini kita bakal baik-baik aja atau nggak."

Gadis yang duduk di hadapannya hanya menatapnya dengan tatapan ingin tahu.

"Tapi harapan gue sih, kita tetap baik-baik aja."

"Apa?" tanya gadis itu penasaran.

"Sebenernya gue..."

Gadis itu memiringkan kepalanya ke kanan, menunggu pengakuan apa yang akan disampaikan oleh Putra. Sementara, Putra yang ditatap begitu semakin gugup. Dalam satu tarikan napas, lelaki itu mengutarakan semuanya.

"Gue ketua..."

"Ayo pergi." tepukan Dimas di pundaknya menyadarkan Putra.

Lelaki itu segera naik di boncengan Dimas.

"Gue duluan nih?" tanya Rahagi–dengan Inara yang sudah duduk di belakangnya.

Dimas mengangguk.

# # #

"Ini, Pak." Rahagi memberikan nasi kotak kepada bapak-bapak yang duduk di pinggir jalan. Ia tersenyum dan mengelus pundak bapak itu.

"Makasih, Nak." lelaki itu menatap Rahagi, sebelum mengucapkan syukur seraya menengadahkan kepala ke langit senja yang mulai kebiruan.

Rahagi mengajaknya berbincang, bertanya perihal keluarga atau sanak saudara yang dimiliki bapak tersebut. Inara yang melihat hal itu hanya bisa terdiam. Tatapannya terpaku pada wajah Rahagi yang terkesan hangat dengan senyumannya.

Gadis itu seperti melihat sisi lain dari Rahagi. Sisi yang hangat, ramah, dan sangat family oriented. Cara ia merangkul bapak dengan baju compang-camping tersebut, cara ia salam dan menunjukkan rasa hormat.

Sejak tadi, sudah ada lima pengemis dan pengamen jalanan yang mereka temui. Inara merasa haru dengan apa yang telah ia lakukan hari ini. Tentu, ini pengalaman pertama baginya. Sebelumnya, ia tidak pernah turun langsung ke jalanan. Paling jauh ya ke panti asuhan. Membantu ibunya dalam acara halal bi halal butik milik ibunya.

"Nara?" panggil Rahagi.

"Eh?" Inara mendongak begitu menyadari bahwa Rahagi sudah berdiri tepat di hadapannya.

"Masih ada tujuh lagi."

Inara mengangguk dan mengekori Rahagi yang berjalan menuju motor.

"Kayaknya kita masih bisa ngejarin dua lagi. Habis itu singgah di masjid terdekat. Maghrib mau masuk. Di sana ketemu sama anggota yang lain juga–kayaknya."

Inara hanya mengangguk. Hari ini, ia memang lebih irit bicara. Justru, Rahagi yang terkesan banyak bicara dan menjelaskan apa yang hendak Inara tanya. Lelaki itu tiba-tiba menjelma menjadi seorang pembaca pikiran.

Gadis itu terlalu speechless. Tidak bisa berkata-kata melihat apa yang terjadi hari ini.

"Jadi, sekarang udah tahu, kan?" tanya Rahagi sedikit berteriak. "Tahu tentang Blackpole dan Social & Care-nya?"

Inara tersenyum kemudian mengangguk. "Udah!"

Mendengar itu, Rahagi hanya diam seraya memacu kecepatan motornya. Tanpa sepengetahuan Inara, lelaki itu tersenyum di balik helmnya.

~~||~~

A/N

Di sini, aku mau buat disclaimer tentang Antipole.

Aku dapat inspirasi Antipole bukan dari cerita siapa-siapa. Cerita ini terinspirasi dari lingkungan SMA-ku. Idenya udah aku tulis dan aku buat plotnya tahun 2016 awal, dan sebelumnya aku nggak pernah baca tulisan sejenis ini (malah, waktu itu aku masih hiatus dari Wattpad kalo nggak salah).

Kalau di sini ada adik-adik kelasku di SMA dulu, mungkin rata-rata pada nyadar karena emang kentara banget idenya muncul dari mana–walaupun bumbu cerita lebih banyak karena balik lagi, ini cuma Fiksi.

Akhir-akhir ini, ada beberapa yang ngasih tahu kalo cerita ini mirip ini, mirip itu, terinspirasi dari ini, dari itu. Kalo soal mirip, mohon dimaklumi karena originality is dead. Cerita mainstream itu biasa. Susah nyari cerita yang nggak mainstream di Wattpad–karena itu yang aku alami sejak gabung di Wattpad tahun 2013. Waktu itu, nggak terlalu banyak cerita yang mirip, karena penguni dunia oren belum serame sekarang.

Tapi, kalo soal terinspirasi, ini murni ceritanya kepikiran waktu ada sesuatu yang menggemparkan sekolahku (halah ini hiperbola)–kenyataannya nggak se-menggemparkan itu. But to be honest, cerita ini terinspirasi dari kehidupan, lingkungan, dan kejadian yang terjadi semasa aku di SMA–walaupun nggak semua.

Itu aja sih. Maaf ngomong panjang lebar dan diulang-ulang ahaha. Stay positive dan selamat hari Senin hihi!

23 Mei 2016

Continue Reading

You'll Also Like

1.5K 107 5
Hidup dengan dua pria tampan membuat Ana membenci takdir hidupnya... tidak, bukan berarti Ana membenci Papa dan adik kembarnya yang memiliki paras ta...
1.2M 29.4K 37
Redhiza Taufano Abimanyu, seorang mahasiswa tingkat akhir dengan reputasinya yang buruk di kampus. Suka berkelahi, gemar mencari masalah dan pembuat...
505K 35.2K 62
#1-hurt story 20/11/2019 #1 - keren 20/11/2019 #1-teka-teki 12/03/2020 Sean hanya sibuk, dan Gledys hanya ingin bahagia ... Ini tentang Gledys yan...
38.4K 5.3K 32
"Nggak mau minta maaf?" Shalka mendongak. "Maaf?" ulangnya bingung. "Maaf karena Io udah cium gue dua kali." Shalka melotot, apa cowok itu bilang?! ...