Shadow Tamer

Oleh TsubasaKEI

45.6K 3.3K 639

Di mana ada cahaya pasti ada kegelapan. Bagaimana kalau kegelapan itu lepas kendali? Terlalu banyak hingga me... Lebih Banyak

Shadow Tamer
Rest My Little Shadow..
Shadow Encounter
Cookies and Promises
Seeking the Truth (1)
Seeking the Truth (2)
Two Hearts Voices
By The Fire We Sing
His Shadow, My Shadow

[FINAL] A Heart's Completion

4.9K 315 115
Oleh TsubasaKEI

~Shadow Tamer~

By: TsubasaKEI

Don't try to make it yours!

A/N: untuk kebutuhuan cerita peran salah satu tokoh akan berbeda dari cerita aslinya

Enjoy~

-------------------------------------------------

Final: A Heart's Completion

Saat Fang pertama kali bertemu Boboiboy ia tahu ia akan membencinya. Senyum lebar yang mengambil setengah wajahnya, kelereng madu hangat yang selalu penuh kehidupan ditudungi bulu mata lentik, dan kulit mulus yang merona saat ia tertawa. Dan Tawanya; ringan namun berenergi di saat yang sama. Jika Fang ingin menggambarkan Boboiboy dalam satu kata, maka ia akan memilih Matahari.

Dan benar saja—Fang tidak menyukai Boboiboy. Kemanapun bocah bertopi itu pergi selalu ada satu-dua teman yang menyertainya. Fang suka memperhatikannya dari jauh dan ia jengkel dibuatnya. Entah mengapa Boboiboy bisa mengundang tawa di saat yang tidak terduga dan selalu bisa merubah keadaan menjadi lebih menyenangkan; pusat perhatian semua orang yang Fang tidak inginkan. Dan itu baru sebagian dari hal yang Fang tidak pernah punya. Bukan salah Boboiboy—yang memang dari asalnya sudah memiliki sifat baik seperti itu, namun apa yang dapat Fang perbuat ketika benih kecemburuan tumbuh saat dihadangkan sinar yang begitu kuat.

Tapi perlahan semua itu berubah. Bias cahaya itu lambat laun menerbos melewati celah dinding yang melebar dibuat waktu. Cahaya Boboiboy mulai dapat Fang lihat tanpa harus menutup mata. Intensitas itu tidak berubah, namun Fang menyadari perlahan ia bisa merasa nyaman dengar rasa hangat—nyaman dengan Boboiboy. 

Lalu ketika mereka melawan Ejo Jo, alien kepala kotak yang ingin menguasai bumi. Mereka berdua bersama-sama mengsinkronasikan dua pikiran yang sekilas tampak bertolak belakang. Namun jika eksterior itu semua dikelupasi, Fang menyadari bahwa ia dan Boboiboy tidak sebeda itu. Walaupun seusai pertarungan Fang sempat mengunci dirinya, hal itu tidak bertahan lama saat Si Pengendali Bayang berusaha menutup matanya dari kenyataan.

Karena untuk pertama Kalinya setelah sekian lama, Fang dapat kembali berada dalam naungan cahaya saat ia mengambil uluran tangan Boboiboy. Bocah bertopi itu bukan lagi sorot matahari yang terlalu panas. Sekarang Fang menganggapnya sebagai cahaya mentari lembut yang pertama kali muncul di subuh hari. Cahaya pertama setelah kegelapan. Tentu terkadang kompetisi antar rival mereka suka meledak tak tentu waktu, dan emosi sesaat suka mengambil alih. Namun Fang tidak akan menyangkal kalau justru momen seperti itulah yang ia nantikan dari Boboiboy. Waktu dimana ia bisa melepas semuanya sembari bercanda gurau. Terdapat kebebasan tersendiri saat ia menjadi 'marah' atau ketika mereka hanya sebatas berbincang. Dan ia menikmati setiap saatnya.

"Boboiboy?"

Tapi sekarang Fang harus kembali menghadapi kenyataan. Kali ini kenyataan pahit. Dimana bocah bertopi di depannya bukan lagi Boboiboy. Nuansa jingga yang membalutinya kini berubah ungu gelap hampir hitam, senada dengan makhluk malam bermata darah. Manik madu yang selalu hangat kini menjadi merah, dingin tanpa nyawa.

Si pengendali elemen tidak menggubris panggilan Fang. Ia hanya diam, layaknya patung yang tampak seperti manusia. Percikan hitam sekilas muncul dan hilang di sekitar tangan Boboiboy, mengingatkan Fang terhadap Halilintar. Boboiboy tampak seperti penjahat di film-film superhero yang dulu pernah ia tonton. Tapi ini bukanlah film. Tidak ada direktor yang meneriakkan 'cut!' lalu Boboiboy akan bertingkah seperti semula, tidak lagi berakting. Tidak, ini adalah realita yang Fang tidak inginkan. Dan Boboiboy adalah penjahat yang harus ia lawan.

"H-hoi! Kau mendengarku 'kan?"

Boboiboy tersenyum. Kenapa dia tersenyum? Bertolak belakang dengan matanya yang hampa. Tubuh berdiri lesu, menatap jauh ke ujung sana tanpa tujuan kecuali tersenyum tanpa hati. Seolah dia hanya boneka yang diciptakan untuk tersenyum saja.

Fang diam, tercengang. Ia tidak bisa mengalihkan pandangannya dari mata 'Boboiboy' yang juga bertindak sama ke arahnya. Mata Fang menyusuri pakaian yang berubah warna, seolah Boboiboy mendapat kuasa baru. Boboiboy berdiri cukup dekat darinya, namun bagi Fang Boboiboy terasa sangat jauh di sebrang sana.

Fang membiarkan duplikatnya menghampiri Boboiboy, yang sama sekali tidak memutus kontak mata dengan Fang walaupun duplikatnya menyentuh pundak si pengendali element. Walaupun Fang berdiri di belakangnya, kepala bersinggah di bahu yang satunya. Pipi pucat keunguan terlalu dekat dengan leher Boboiboy. Sekarang dua pasang manik merah menatap Fang. Si Pengendali Bayang baru tersentak dari lamunan saat duplikatnya kembali menyeringai.

"Halo, perkenalkan namaku Boboiboy." Ucap Fang, menggerakan tangan Boboiboy agar melambai-lambai. Boboiboy tidak memberontak.

"Aku selalu sendirian. Semua orang membenciku." Ucap Fang. Suara terdengar menyedihkan, meminta simpati dari pendengar yang tidak akan memberikannya.

Itu nggak benar! Fang memprotes. Tangan terkepal erat. Beraninya dia berkata seperti itu. Itu bukanlah kata-kata yang akan keluar dari mulut seorang Boboiboy. Fang ingin sekali melihat Boboiboy kembali seperti semula dan menonjok duplikatnya tepat di wajah dengan kecepatan Halilintar.

"Tapi sekarang, aku sudah tidak sendirian lagi." Fang tersenyum dan menggerakan tangan Boboiboy agar dia merangkul dirinya sendiri, yang membolehkan Fang memeluk Boboiboy dalam prosesnya. Ia tersenyum puas saat melihat ekspresi Si Pengendali Bayang berubah murka.

Mulut Fang hanya berjarak senti dari telinga Boboiboy. Mata merah mendelik ke arah Fang lalu berbisik, "Karena sekarang, aku dan Fang tidak lagi berbeda."

Tidak! "Boboiboy!" Teriak Fang. Perut berbalut perban bayang berdenyut saat ia menuangkan emosinya pada nama itu. "Dari dulu kau dan aku nggak berbeda! Jangan dengarkan dia! Bangun, bodoh!" Fang melihat Boboiboy tersentak sesaat. Perubahan yang halus, namun itu menandakan kalau Boboiboy yang ia kenal masih ada di dalam sana. Perlahan Fang berjalan mendekat. Melangkah, sedikit demi sedikit.

"Kau bilang kau ingin membantuku mengatasi masalah bayangan ini, sialan! Kau bilang kalau kita bersama pasti bisa menang melawan mereka!"

Alis itu mengkerung. Kepala Boboiboy mulai tergoda untuk memiringkan dirinya, sama seperti ketika dia sedang bingung.

"Aku percaya kau kuat, dan aku akan tetap percaya itu apapun yang terjadi!" Kakinya memberat. Fang merasakan jari bayang duplikatnya masih ingin mencegahnya bergerak. Namun Fang tetap maju. Sedikit demi sedikit.

Sedikit demi sedikit, Fang kembali merasa dekat dengan Boboiboy.

Fang menarik nafas dalam, dan berteriak sekuat mungkin. "Kembalilah! Boboiboy!"

Boboiboy bergudik. Tapi kemudian ia kembali diam tidak bergerak. Namun Fang melihatnya. Mata merah itu bergerak-gerak walau masih tampak hampa. Mulut terbuka sedikit, membentuk kata dengan ragu.

"...Boboi...boy..?..Aku...Boboi..?" Boboiboy berbalut hitam mengerutkan alisnya, terdengar tidak yakin dengan suaranya sendiri.

"Ya. Dan kau adalah milikku." Kopian Fang menyela. Segera mengeratkan rangkulan pada propertinya yang masih tampak kebingungan dari belakang. "Kau teman baikku sekarang."

"Milik...mu?" Bibir gemetar berucap tidak yakin. Boboiboy menengok kebelakang mencari kepastian pada mata merah Fang. Namun mata hampanya sendiri tidak benar-benar melihat. "Ya, kau milikku.Fang tersenyum, lalu mengangguk.

Boboiboy berpindah melihat kedua tangannya bingung. Melihat mereka seolah anggota tubuh itu bukan miliknya. "Milikmu? Milik..Fang....Fang? Fang?—Akh!" Mendadak Boboiboy mencengkram kepalanya. Secara tidak sengaja pula ia mendorong dada duplikat Fang. Kepala bertopi menggeleng-geleng, seperti berusaha mengusir pusing yang kerap menyangkut di kepala. Lalu Fang melihatnya. Ketika kepala Boboiboy terangkat dan wajah yang kembali berwarna itu menatap dirinya dengan ekspresi bingung. Menatap dengan mata coklat madu.

Detik itu juga Fang melihat Boboiboy yang ia kenal kembali.

"Hoo, menarik juga." Fang yang melihat perubahan itu bergumam kagum dari belakang.

"A-ada apa ini? Fang? Kau—Aagh!" Boboiboy jatuh berlutut, tangan masih mencengkram kepalanya seperti mau pecah. Kepalanya tertunduk sampai-sampai bersujud menyentuh tanah. Mengerang menghembuskan nafas berat. Fang melihat Boboiboy melakukan sesuatu dengan tangannya, namun tubuh si pengendali element menghalangi apapun itu yang ada di tangannya. Duplikatnya tampak tidak menyadarinya. Fang malah terkekeh kecil, dengan suara yang tidak menyamai senyum lebarnya, dan merundukan badannya. Tangan dengan kelembutan palsu memegangi pundak Boboiboy yang bergetar.

"Hush.. Tenang, semuanya baik-baik saja Boboiboy. Pejamkan matamu dan istirahatlah di dalam sana." Pundak itu kembali tenang dalam hitungan detik. Fang sepertinya berhasil membujuk Boboiboy untuk kembali berdiri, dan hati Fang kembali jatuh ketika melihat manik merah darah kembali menyala di wajah tanpa ekspresi Boboiboy.

"Oh, jangan - Boboiboy! Bangun—!" Mendengus jengkel, Fang mendelik tajam dan mengayunkan tangannya. Bayangan hitam membungkan mulut Fang dari berteriak lebih banyak.

"Hush, berisik sekali 'sih. Lama-lama aku jadi nggak suka suaramu." Fang berdiam sebentar. "Ah, serba salah ngomong. Suaramu 'kan suaraku juga. Tapi itu nggak penting.

Fang meronta dari belenggunya. Menyumpah serapahkan kopiannya  dengan emosi yang meledak-ledak. Namun yang terdengar hanyalah sebatas erangan putus asa yang teredam.

Di timur sana langit menerang. Fang melirik ke arah Sang mentari yang mulai terbit dan Fang mengikuti arah pandangnya. Si Pengendali Bayang melihat kopiannya merengutkan dahi menatap matahari terbit, lidah berdecak. Fang membenarkan kacamatanya.

"Aah, waktu bermainku sudah habis." Desah Fang. Entah mengapa Fang menghela lega mendengar itu.

"Tapi jangan khawatir. Kita akan bertemu lagi ketika bulan memanggil."  Sinar mentari menyusup dari pinggir lapangan. Memberikan kehangatan saat menyentuh pipi Fang. Ia bisa melihat dengan jelas sekarang; semua tenda yang hancur dan rumput yang menghitam. Barang-barang berserakan menyampahi penjuru lapangan, dan abu yang menghitam melapisi udara. Sebelum malam benar-benar habis Fang mengeluarkan bayangannya yang terakhir. Kubangan hitam muncul di bawah Fang dan Boboiboy. Sulur-sulur hitam naik ke atas mengelilingi kedua pemuda, menutupi mereka dari pandangan.

"Hmm!" Fang melihat Boboiboy semakin terbungkus, dan ia tidak bisa melakukan apapun untuk mencegahnya. Sekeras apapun ia berusaha menarik kedua tangannya bebas sampai ototnya menjerit.

"Sampai waktu itu tiba aku yakin Boboiboy nggak keberatan menemaniku."

Sulur terakhir menutupi mata hampa Boboiboy dari pandangan Fang. Dan ketika matahari datang, kepompong hitam itu menguap. Tidak menyisakan Boboiboy maupun kopiannya.

.

~Shadow Tamer~

.

Kedai Tok Aba sepi dari pembeli. Tidak seperti biasa di mana pelanggan berbondong-bondong ingin menyicip coklat panas yang terbilang legendaris enaknya. Kali ini kedai sunyi senyap. Terkecuali Fang, Ying, Yaya, Gopal, dan Ochobot yang duduk tidak berbincang sejak 15 menit yang lalu mereka berkumpul.

Semua orang di Pulau Rintis mengetahui apa yang terjadi malam itu. Tragedi yang menghanguskan lapangan sekolah dan menanamkan trauma pada anak-anak. Tok Aba juga mengetahui berita itu, walaupun Fang dan kawan-kawannya tanpa di minta sudah membuat kesepakatan untuk tidak memberitahu Tok Aba tentang hal ini—tentang Boboiboy. Tapi wajah tua yang tertunduk khawatir itu menunjukan kalau usaha mereka sia-sia.

Ochobot memberikan mereka segelas coklat panas. Gratis, katanya. Namun bahkan Gopal saja  tidak menyentuh gelasnya sedikit pun. Fang menyangga dagunya lesu. Secara reflek tangan kiri masuk ke dalam bajunya, meraba-raba perban yang menutupi bukti kekalahannya. Fang mendesis, ia tidak sengaja menggaruknya terlalu keras.

"...hei..." Semua menoleh ke arah Ying. Fang hanya mendongakkan sedikit kepalanya ke kanan. Gadis itu sudah berhasil menyisip coklatnya setelah berubah dingin. Sekarang cangkir itu Ying genggam erat, dengan mata kelabu itu memandang tak fokus ke dalam cangkir.

"Apa kita tidak akan berbuat apa-apa? Kita harus menemukan cara untuk menolong Boboiboy! Masa kita diam saja 'ma?" Suara Ying pecah di akhir. Malapetaka ini merupakan pukulan telak baginya dan orang lain. Namun bukan berarti Ying harus diam menerima kekalahannya begitu saja. Ia tidak suka, ia benci ketika teman yang menjadi alasannya tertawa berubah menjadi alasannya bersedih. Dan yang membuatnya lebih kesal lagi, ia bukan satu-satunya yang merasakan emosi ini.

"Bukan berarti kita tidak ingin bertindak, Ying." Yaya menghela lelah. Dirinya juga merasakan beban emosi yang sama. "Tapi kita tidak tahu kemana bayangan itu menculik Boboiboy. Dan kalau kita memang berhasil menemukannya, apa yang bisa kita lakukan untuk mengambil kembali Boboiboy?"

Ying membuka mulutnya ingin berteriak kalau dengan bersama-sama mereka pasti bisa merebut kembali Boboiboy. Tapi Ying tahu itu tidak cukup. Kemarin malam adalah buktinya. Jadi ia membungkam mulutnya, tangan disilang di depan dada Ying menggerutu menghadap cangkir minumannya.

Kedai kembali sunyi. Hanya untuk beberapa detik.

"....Yaya benar..." Semua kepala menoleh ke arah suara pertama Si Pengendali Bayang semenjak mereka berkumpul. "Bayangan itu bilang 'ketika bulan memanggil'. Jadi aku rasa mereka nggak akan muncul sampai bulan ada. Paling nggak dia nggak akan muncul sekarang." Ucap Fang. Lalu suaranya berubah kelam. "Tapi dia mungkin akan keluar malam ini."

Semua orang menegang. Tapi sebelum muncul kepanikan, Yaya menyela. "Tapi mungkin saja tidak. Kemarin bulan tidak ada, tapi mereka tetap saja muncul. Dan dalam jumlah besar pula. Jadi kita tidak tahu pasti kapan dan dimana bayangan-bayangan itu akan muncul."

Gopal menjatuhkan kepala beratnya di atas kedua tangannya dan mengerang. "Bagus sangat, makin rumit masalah ni. Kalau saja Boboiboy ada, pasti kita bisa menemukan solusinya."

"Boboiboy nggak ada di sini, 'kan?" Sentak Fang yang kemudian membuat semua orang menciut. "Boboiboy nggak ada di sini dan itu faktanya. Dia nggak bisa apa-apa sampai kita menemukan solusi yang mungkin dapat menyelamatkan dia—dan kalau kita beruntung—bisa menghancurkan b-bayanganku dalam prosesnya." Ucapan itu meninggalkan rasa pahit di lidah Fang dan membuat si Pengendali Bayang ingin mungubur dirinya jauh ke dalam tanah. Lagi pula, ini semua terjadi karenanya. Tapi Fang tidak akan mengutuk dirinya lebih dari ini. Boboiboy tidak mau itu, kalau dia ada disini pasti dia akan menegurnya dan berusaha meyakinkan Fang akan kebalikannya. Kalau ini bukan salahnya.

Kalau dia ada di sini.

Harapan itu hanya sebatas angan.

"Lalu apa, hah? Kau mau kita diam terus? Nunggu sampai bayangan kau tu ngegancurin kita, ke?" Gopal balik menyolot. Yaya menarik nafas tajam dan menutup mulutnya. Mata membesar kaget, dia cepat-cepat melihat ekspresi Fang. Pemuda itu masih memasang raut tenang yang terkendali. Namun kepalan tangan menggali telapak tangan dengan kuku-kukunya.

"Gopal! Tak baik kau berkata seperti tu!" Yaya menahan Gopal sebelum temannya itu bisa melakukan hal yang nanti dia sesali.

"Yaya," suara Fang meminta—lelah. "Gopal nggak salah. Dia berhak untuk membenciku."

Yaya tentu tidak menyukai apa yang Fang katakan. Mereka sudah masuk ke tahap dimana mereka mencari kambing hitam yang akan disalahkan. Yaya tidak ingin terjadi demikian, begitu pula dengan Ying. Kedua gadis itu saling tatap, mengirim pesan sunyi dengan mata mereka. Ying mengangguk setuju.

"Fang, kemarin aku tidak sengaja dengar kalau kau adalah 'tuhan' mereka."  Ucap Yaya. Fang mengangguk tidak rela, namun ia tidak menolak maupun membantah. Ia tidak punyak hak. Karena apa yang dikatakan Yaya memang benar. Yaya melanjutkan ucapannya dengan hati-hati.

"Dengan kata lain..kau itu sumbernya. Konflik dalam dirimulah yang memunculkan mereka, sama halnya ketika masalah aku dan Gopal mengakibatkan bayangan muncul."

Roda gigi dalam benak Fang mulai berputar. Ia dapat melihat akhir dari  pembicaraan. Tapi ia ingin memastikan. "...maksudmu?"

"Maksudku adalah; yang mengambil Boboiboy adalah bayanganmu, Fang. Kegelapanmu. Dan kalau mereka tidak bisa dihancurkan secara fisik, mau tidak mau kau harus bisa menyelesaikan konflik batinmu, Fang. Apapun itu." Jelas Yaya, dan Fang merasakan harapan muncul setelah sekian lama.

"Apa kau tahu apa permasalahanmu? Mungkin kita bisa membantumu menyelesaikannya." Tawar Yaya. Namun Fang menggeleng.

"Aku tahu masalahku, tapi aku nggak yakin kalian bisa membantuku. Ini...Terlalu personal." Sangat personal malahan. Kalau apa yang Yaya bilang benar, berarti ini semua berawal dari tempat itu. Seberapa tidak inginnya Fang untuk mengakui. Namun apa lagi jawabannya kalau bukan penjara lamanya?

Yaya mengangguk mengerti. "Kalau begitu mau tidak mau kau harus bisa menyelesaikan masalah ini sebelum bayanganmu kembali muncul."

"Tapi kapan dia akan muncul 'ma?" Tanya Ying. Fang berpikir sejenak.

"Yaya, malam kapan yang cuacanya nggak terlalu mendung dan bulan bisa terlihat?" Tanya Fang. Yaya menaikkan alisnya bingung. Namun gadis itu mengambil ponselnya untuk mencari jawaban.

"Tiga hari lagi. Tidak akan ada awan di langit. Memangnya kenapa, Fang?" Yaya berubah khawatir saat si Pengendali Bayang mengkerung, berpikir keras.

"Tiga hari lagi.....bayanganku akan muncul." Serentak Ying, Yaya, dan Gopal terlonjak kaget di kursi mereka. Segera mereka mengerubungi Fang panik.

"T-tunggu Fang apa kau yakin?"

"Apasal kau bilang tiga hari 'wo?!"

"Dei! Macam mana kita bisa siap dalam tiga hari? Dan dari mane kau tahu bayanganmu tu dateng pas tiga hari lagi?" Gopal membantah frustasi. Walau ada waktu dua hari tapi Fang masih belum bisa menyelesaikan masalahnya, usaha mereka sama saja sia-sia. Dan Boboiboy tidak akan kembali lagi.

Fang sendiri juga tampak tidak suka dengan jawabannya. Tapi kalau ini adalah bayangannya, maka dia pasti akan datang tepat dua hari lagi, dimana bulan muncul di langit.

"Karena aku bukan pembohong." Jawab Fang tegas. Teman-temannya  segera diam, tidak lagi memprotes. Kalau bayangan fang adalah cerminan dirinya, maka dia pula bukanlah seorang pembohong. Dia pasti tanpa gagal akan memenuhi janjinya.

"Lalu apa yang akan kau lakukan?" Tanya Ying setelah tidak lagi merenung. Fang turun dari kursinya  dan mengambil tas selempang yang ia letakan di atas meja.

"Kalian, selama aku pergi tolong jaga Ochobot dan Tok Aba. Untuk jaga-jaga lebih baik kalian patroli kalau ternyata memang ada bayangan lain yang muncul." Jelas Fang. Dengan tas ungu diselempangkan ia mulai melangkah menjauhi kedai.

"Tunggu! Kau mau kemana?" Ucapan Yaya memberhentikan langkah Fang. Untuk sesaat ragu itu kembali muncul. Tapi saat Fang melihat ke atas ia kembali di ingatkan oleh langit  biru. Sejuk dan menenangkan. Tidak lagi terbakar dengan api hitam membara seperti kemarin. Mengingat itu membuat Fang menguatkan tekadnya.

"Aku akan pulang."

.

~Shadow Tamer~

.

Fang menyenderkan kepalanya ke jendela untuk mendadahi teman-temannya di luar kereta. Pintu gerbong mendesis tutup, dan perlahan derum mesin menyala. Ying, Yaya, Gopal, dan Ochobot sekarang sudah menjadi titik kecil di kejauhan.

Fang menghela lelah. Ia mengambil headphone dan menyumbal telinganya. Ia tidak tahu apa yang ia pikirkan untuk kembali pulang. Padahal sejak berhasil kabur Fang bersumpah untuk tidak menjejalkan  kakinya kembali ke tempat itu.

Ini demi Boboiboy. Fang mengingatkan dirinya. Di saat yang sama, mengingat Boboiboy sama dengan mengingat kekalahannya. Dan Fang tidak yakin kalau itu hal yang baik atau tidak. Jari mengetuk mengikuti irama. Fang melirik ke kursi di sebrang kanannya yang diisi rombongan keluarga. Hendak liburan. Mungkin ke pantai, terlihat dari sendal jepit dan baju yang mereka kenakan.

'Ayah ayah kapan kita pergi ke pantai? Fang ingin main air!'

'Itu tergantung ibumu,'

'Kalau ibu 'sih ingin di rumah saja.'

'Ah jahat! Fang ingin main aiiir!'

Fang memejamkan matanya rapat dan mengubur memori itu jauh-jauh, dimana Fang kecil dapat menikmati hari-hari bersama 'keluarga'. Tidak baik menggali masa lalu. Kenangan itu tidak akan terulang. Kereta berjalan turun, masuk ke dalam terowongan bawah tanah. Fang menemukan ketenangan dalam kegelapan sementara ini. Lampu kuning terowongan yang berlalu melewatinya dengan cepat mengingatkan Fang akan kunang-kunang di Pulau Rintis. Yang waktu dulu pernah ia dan Boboiboy tangkap dan masukan ke dalam toples untuk semalam menjadi lampu tidur. Kenangan itu menarik senyum ke wajah Fang. Si Pengendali Bayang membiarkan getaran kereta dan musik lembut di telinga menggiringnya tidur. Fang harus menyimpan energinya, entah apa yang akan dihadapinya nanti. Ia yakin berhadapan dengan keluarganya lebih sulit ketimbang melawan bayangan Yaya dan Gopal sekaligus. Tapi untuk saat ini Fang mengijinkan tubuhnya untuk beristirahat dan pergi ke alam mimpi. Mungkin saja dengan begitu ia bisa melihat senyum Boboiboy sekali lagi.

Fang bermimpi Boboiboy menangis di atasnya, dengan iris semerah darah.

.

.

"—Kuala Lumpur. Kuala Lumpur. Penumpang dengan tujuan Kuala Lumpur harap turun di stasiun."

Fang terbangun dengan keringat dingin di lehernya. Cepat-cepat ia mengambil tas dan keluar gerbong. Punggung kaku dari posisi tidur yang tidak memadai membuat suasana hati Fang berubah masam. Bukan awal yang baik. Butuh waktu sekitar 15 menit untuk mencapai rumah lamanya dengan jalan kaki. Fang mengingat-ingat daerah sekitarnya yang pernah ia tinggali dulu, tidak banyak yang berubah selain dekorasi yang menunjukan kemajuan zaman.

Saat daerah perumahan elit terlihat kaki Fang berhenti ragu. Daerah perumahan itu sejak dulu memang sepi. Penghuni rumah yang sibuk dengan urusan sendiri tidak pernah bersosialisasi dengan tetangganya. Ia tidak terlalu ingat detil-detil kecil mansion pamannya itu. Sejak pertama kali dibawa masuk Fang hanya ingat ia melihat bangunan putih besar dan orang-orang yang berlalu-lalang dengan sigap. Tapi ia ingat jelas pintu gerbang masuk yang menjulang tinggi bak jeruji penjara dan air mancur yang berada tepat di depan mansion,  cukup luas untuk menampung satu mobil kecil. Petugas keamanan hanya dapat melongo saat Fang dengan santai masuk ke dalam tanpa ijin. Keberadaannya menarik perhatian tukang kebun yang tengah menyiram rumput, satpam yang berpatroli, hingga pelayan di depan pintu mansion. Semua berhenti beraktifitas untuk menatap bocah yang dulu pernah terkunci di kamarnya sendiri. Fang mendengar setiap bisikan.

"Siapa itu?"

"H-hei, bukannya dia anaknya Tuan?"

"Kenapa dia kembali—?"

Fang memaksakan dirinya untuk tidak menunduk. Ia tidak perlu malu akan keberadaannya, Fang akan tunjukkan pada mereka. Dua pelayan yang berdiri di samping pintu cepat-cepat berhenti berbisik dan segera menegakkan punggung mereka. Pandangan berusaha tampak netral dan menutupi kebingungan. Fang membusungkan dadanya dan menatap mereka tepat di mata.

"Kalian tahu siapa aku. Biarkan aku masuk." Ucap Fang tegas. Ia tidak akan mundur menjadi pengecut. Fang akan melewati semua penghalang yang ada. Kedua pelayan saling tatap, kebingungan. Jelas-jelas tidak menyangka satu-satunya putra Tuan rumah mereka akan kembali ke penjaranya setelah berhasil kabur beberapa tahun lalu. Fang menekankan ucapannya.

"Walau sudah lama aku tidak kemari, aku masih keponakan dari pemilik tanah ini dan anak dari bos kalian. Apa kalian akan mencegahku masuk ke rumahku sendiri?" Suara Fang tenang dan kolektif. Namun di saat yang sama, menusuk seperti es.

"Fang?" Kaget, Fang berputar ke belakang dengan siaga. Sekilas Fang melihat ayahnya. Namun perlahan gambaran itu berubah menjadi pria lain yang melihat Fang seperti baru melihat hantu.

"Paman. Lama nggak bertemu." Sapa Fang. Tubuh Fang kembali rileks saat melihat sosok yang familiar itu. Fang membiarkan Pamannya berjalan ragu mendekat. Selangkah demi selangkah sampai tangan besar itu menyetuh pundaknya, meraba pipi Fang gemetar.

"F-fang?" Pamannya terbata, mencari detil-detil keponakannya di wajah putih Fang. Dia tertawa tidak percaya. "I..ini benar dirimu?"

"Siapa lagi?" Fang menyatakan seolah itu adalah hal paling jelas di dunia. Lalu Fang dikagetkan dengan pelukan erat yang mengambil nafas dari dadanya.

"Puji tuhan! Kau kembali! Aku khawatir kau sudah tidak akan ditemukan - tapi kau kembali dengan utuh! Sedikit babak belur, tampaknya, tapi utuh! Oh, tuhan terkasih. Aku sangat merindukanmu Fang." Pelukan itu mengerat sampai ke tahap Fang merasa tidak nyaman. Tapi tangan Fang perlahan berusaha mengembalikan pelukan itu sama eratnya. Tulus. Kepala Fang bertumpu di pundak pamannya.

"Aku pulang, Paman Kaizo." Fang mengulas senyum kecil. Ia tidak pernah membeci pamannya itu. Selain dia adalah keluarga, pamannya selalu berusaha diam-diam mengeluarkan Fang dari kamar untuk bermain diluar. Tapi mereka tidak pernah keluar lebih dari 10 meter sebelum ayah Fang kembali menyeretnya masuk ke dalam kamar. Kaizo mengendorkan pelukannya untuk melihat Fang lebih jelas.

"Tidak pernah berubah, selalu saja memanggilku paman. Panggil aku Kaizo, aku tidak setua itu." Kaizo terkekeh. Dia lalu menginspeksi Fang dari atas ke bawah. "Lihat dirimu. Semakin cakap dan gagah - aku yakin banyak wanita yang merebutkanmu."

Wajah Fang memerah, menggembungkan pipinya membangkang. "Agh, paman jangan begitu." Sudah 6 tahun tidak pernah bertemu dan hal pertama yang pamannya itu komentari adalah kemungkinan apakah wajahnya cukup enak dipandang untuk mengikat hati wanita. Fang terkekeh dalam hati. Sesuatu memang tidak bisa berubah. Ekspresi Fang lalu berubah kelam.

"Aku di sini mencari ayah. Di mana dia? Aku harus membicarakan sesuatu dengannya." Fang berucap serius. Tapi ia sendiri merasa tidak yakin dengan ucapannya. Kaizo membeku. Senyumnya perlahan jatuh dan ekspresi yang dulu selalu muncul setiap kali ayah merebut Fang dari genggaman pamannya pun kembali; sedih.

Kaizo melepaskan tangannya dari kedua lengan Fang. Mata enggan untuk menatap keponakannya. Dia menarik nafas dalam. "Ikut aku sebentar Fang." Pintanya—Fang tidak ingat kapan pamannya itu bisa terdengar begitu rapuh.

"Kemana? Tunggu, memangnya ada apa, paman?" Fang menatap pamannya curiga. Mau dibawa kemana dia? Namun Kaizo hanya memberikan tangannya untuk Fang ambil, mengajaknya untuk keluar dari mansion entah ke mana.

"Sebentar saja. Kumohon?" Tatapan Kaizo memelas—dia tidak pernah memelas—dan Fang menurut di bawahnya. Ia mengangguk tidak yakin, namun tetap mengikuti Kaizo berjalan keluar mansion di belakangnya. Fang baru saja bertemu Kaizo setelah begitu lama hilang kontak, secara teknis mereka orang asing. Namun Fang bersyukur adik ayahnya itu tetap baik padanya seperti dulu. Dia langsung menyapa Fang dengan hangat dan tidak mengusirnya seperti yang Fang takutkan. Kalau tidak ada Kaizo, mungkin saja  Fang tidak akan punya atap rumah yang menutupi kepalanya. Dan nasibnya akan sama seperti kucing jalanan yang mengemis minta makan pada orang yang berlalu-lalang.

Tapi melihat pundak Kaizo begitu tegang tidak memberikan ketenangan pada Fang, justru sebaliknya. Tampaknya pamannya itu akan menunjukkan sesuatu yang penting kepadanya. Ia memberikan perintah kepada petugas keamanan untuk membukakan gerbang. Wajah yang terbilang muda itu mengkerung serius.

Fang punya perasaan buruk tentang ini.

.

.

Fang punya dugaan kemana mereka akan pergi setelah mereka melewati blok sepi yang familiar, dan apa yang akan pamannya itu lakukan dengan kembang putih yang ia beli di tengah perjalanan. Langkah Fang memberat saat mereka memasuki gerbang berkarat pemakaman umum yang berjarak 10 menit dari daerah perumahannya. Batu nisan abu membentang luas berjejer nan rapih, lebih padat dibandingkan sejak Fang terakhir kemari bertahun-tahun lalu.

Fang berjalan di belakang Kaizo, dan kemudian mengkerung heran ketika mereka masuk ke wilayah pemakaman yang tidak ia kenali. "Kita bukan ke makam ibu?"

"Oh, kita memang pergi ke makam ibumu." Jawab Kaizo. Fang tidak mengerti. Jari menunjuk ragu ke arah makam ibunya yang sudah terlewat jauh.

"Tapi makam ibu di sana..." Kaizo berhenti si hadapan dua nisan abu. Hampir bermodel sama seperti nisan lainnya. Fang menyadari warna salah satu nisan sudah pudar teruras waktu dan cuaca sementara yang satu tidak sekotor itu. Pamannya meletakan dua buket itu di masing-masing nisan dengan mengulas senyum lembut. Fang memandang Kaizo meminta jawaban. Ia butuh jawaban. Terutama ketika ia mengenali kedua nama yang terukir. Fang merasa ia mendapat pukulan telak tepat di dada yang mengambil paksa nafasnya.

"A-ayah?" Fang terbata. Mendekati nisan itu dan meyakinkan dirinya kalau ia salah lihat. Tapi nama ayahnya itu seolah mengejeknya untuk melakukan hal yang percuma.

"Dan ibumu...ibu kandungmu." Fang menarik nafas tajam. Ia dapat merasakan keringat dingin menggantung di lehernya. Dunia seolah berputar dan berputar tanpa henti, Fang merasa dirinya mulai mual.

"I-ibuk-ku? Ibuku?" Kaizo mengangguk.

Lutut Fang seolah kehilangan tenaga, dan tubuh itu jatuh berlutut ke tanah. Tangan bergetar berusaha meraih batu itu. Meraba dua nama yang ia kenal sampai ke hati. Kaizo masih punya simpati untuk memalingkan pandangannya, memberikan Fang ilusi akan privasi.

"Kapan ayah...?"

"Dua tahun setelah kau pergi."

Fang menggigit gigir bawahnya, menatap langit. Sudah selama itu kah? Fang kemudian mengalihkan pandangannya ke nisan yang lain. Nama yang tertera sama seperti nama ibu-nya.

"Wanita itu mengambil identitas ibumu, termasuk namanya." Kaizo menjelaskan tanpa diminta dan Fang berterima kasih untuk itu. Ia tidak yakin ia sanggup untuk bertanya. Kaizo ikut berlutut di samping Fang.

"Kita doa dulu, sehabis itu kita pulang. Bagaimana?" Fang mengangguk kaku. Kaizo sudah menyatukan kedua tangan dan menundukkan kepalanya. Berdoa dengan sangat khusyu untuk kedua jiwa yang sudah beristirahat di seberang sana. Fang tidak bisa fokus. Pikirannya melayang jauh, manik amethyst tidak fokus terus terpaku ke depan. Walau Kaizo sudah menarik lengannya untuk berdiri dan menawarkan senyum sendu. Walau dirinya digiring menjauh dari nisan kedua orang tuanya. Pikirannya menetap di atas sana, membayangkan wajah seorang wanita yang tidak pernah, dan tidak akan, ia temui.

.

.

Fang tidak ingat kapan dirinya dibawa masuk ke dalam mansion. Ia juga tidak sadar kapan ia duduk di ruang tamu sembari memegang secangkir teh hangat. Fang melihat ke sekeliling. Walau ini adalah rumahnya, Fang merasa asing. Ia tidak pernah menjejalkan kakinya keluar dari rumah, keluar kamarnya saja sudah merupakan perjuangan. Fang tidak tahu wangi apa yang ia akan cium ketika memasuki dapur, atau bahkan seperti apakah rasanya duduk di sofa ruang tamu. Hingga saat ini.

"Kau sudah tenang?" Kaizo memunculkan dirinya dari lorong. Setelan jas hitam yang ia kenakan tadi sudah dicopot, menyisakan kemeja ungu gelap di baliknya.  Fang merasakan sofa di sebelahnya bergerak saat Kaizo duduk di sebelahnya. Fang menjawab dengan anggukan dan menyeruput tehnya, secara otomatis membandingkan dengan teh melati di rumah Boboiboy. Tapi Fang tidak akan mengungkapkannya keras-keras.

Kaizo tampak kebingungan ingin bicara apa. Ia tidak punya pengalaman untuk berbicara dengan orang yang hampir syok. Apa lagi ketika orang itu adalah keponakannya yang hilang. "Aku berharap kita bisa bertemu di kondisi yang lebih mendukung." Desah Kaizo. Fang meletakan gelasnya ke atas meja di depannya. Jari masih gemetar. Fang meremas tangannya dan mendengus.

"Nggak ada ungkapan kondisi yang mendukung untukku, Paman." Kaizo seperti ingin membantah ucapan Fang. Tapi dia membungkam mulutnya saat menyadari kebenaran yang diucap. Fang tersenyum, miris. "Aku masih ingat ketika aku berhasil kabur ke gerbang belakang dan menyadari mereka terkunci. Aku panik setengah mati. Tapi paman ada di sana, dan kau membukakan gerbang itu dan memberiku uang agar dapat bertahan. Aku berterima kasih untuk itu."

Kaizo menatap pedih keponakannya. "Fang, ayahmu—"

"—sudah mati. Aku tahu itu." Fang otomatis menyentak. Kaizo meringis. Fang segera menyesal, ucapan itu meninggalkan rasa pahit di lidahnya. Kaizo mencoba untuk memulai. Pelan, hati-hati.

"Fang," Kaizo berucap lembut. "Apa kau ingin tahu apa yang terjadi ketika kau pergi?" Tawaran itu menggelitik minat Fang. Sejujurnya Fang sedikit enggan untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Namun Kaizo yang kenal sifat Fang sudah lebih dulu melanjutkan ucapannya sebelum Fang dapat menolak.

"Setelah kamu kabur ayahmu tidak langsung mengabarkan polisi. Aku membujuknya untuk melakukan pencarian selama beberapa hari, baru setelah seminggu ia setuju." Kaizo mengingat-ingat malam itu. Ketika semua staff berhamburan mencari Fang sementara bocah berkacamata itu tengah berusaha mengguncangkan gerbang belakang yang terkunci. Ia ingat mata Fang yang terbelalak kaget saat melihat Kaizo. Kaki menjangkar ke tanah, takut diseret kembali. Dan Kaizo juga ingat keponakannya itu melongo saat Kaizo malah membukakan gerbang dan memberikan kartu kredit, uang, dan secarik kertas dengan nomer telepon di tangan kecil yang gemetar.

Ambil, aku akan mencarimu nanti. Hubungi aku. Bisik Kaizo tergesa-gesa. Fang kecil menganggukkan kepalanya gelagapan beberapa kali dan memeluk pamannya erat. Kaki kecil melesat menuju malam. Setelah itu, walau Kaizo meminta Fang untuk menghubungi secepatnya dia tidak pernah mendapat kabar. Seolah Fang menghilang dari muka bumi. Hanya jumlah rekening yang berkurang menjadi satu-satunya indikasi kalau keponakannya masih hidup.

Kaizo mencengkram tangannya, berusaha menahan emosi. Kaizo sudah berkali-kali memohon agar kakaknya itu melakukan pencarian. Dia tidak boleh terus buta akan keadaan, kalau anaknya itu sudah kabur dari rumah. Dalam hatinya Kaizo merasa bersalah. Ia tidak sanggup jika keponakannya dikurung di rumah sendiri. Ketika kekacauan itu meledak, tanpa pikir panjang Kaizo segera mengambil kunci untuk setiap pintu dan jendela. Ia yang membukakan gerbang untuk Fang, ia juga ikut bertanggung jawab akan kepergian Fang. Dalam satu sisi ia lega Fang bisa bebas. Tapi setelah 6 hari tidak ada komunikasi, Kaizo mulai khawatir.

"Hah! Itu terdengar seperti ayah. Buat apa dia membuang waktu untuk mencariku? 'Kan memang sejak dulu aku nggak begitu penting." Ucap Fang, setengah menyindir. Namun otaknya segera menyediakan memori ketika ayah masih bertingkah sebagai ayah dan dia selalu memberikan senyuman hangat untuk Fang di wajah yang biasanya kekurangan ekspresi.  Fang mendecih, menepis ingatan itu jauh. Lagipula tidak ada gunanya mengingat hal seperti itu lagi. Yang berbekas di kepala Fang hanyalah punggung yang berjalan menjauh sekeras apapun Fang memanggil ayahnya untuk kembali.

"Kau itu penting Fang, percaya itu. Aku tidak akan membenarkan tindakan kakakku terhadap dirimu. Dia memang sudah keterlaluan. Dan aku juga...minta maaf karena tidak berusaha lebih untukmu seperti yang seharusnya." Iris amethyst yang sewarna dengan Fang itu mengkelam. Fang cepat-cepat menggelengkan kepalanya dan menggenggam tangan Kaizo untuk menghiburnya.

"Hei, aku nggak nyalahin paman. Bagiku paman sudah menjadi satu-satunya anggota keluarga yang bertingkah sebagai keluarga. Aku nggak peduli sama ayah, tapi aku sayang paman, kok"

"Dan ayahmu juga sayang kepadamu." Genggaman tangan Fang mengerat tidak nyaman. Ia mendengus. Ayah tidak sayang kepadanya, bagaimana mungkin? Pria dingin itu tidak berpikir dua kali untuk mengurungnya. Tindakan seperti itu tidak mungkin disebut sebagai tanda 'sayang'. Kaizo menatapnya penuh perhitungan. Rasa kekanak-kanakkan Fang tidak membiarkan dirinya untuk mundur dari pandangan itu begitu saja. Ia balik menatap Kaizo keras. Kaizo menyunggingkan senyum kecil saat melihat sifat yang ia sering lihat di diri Fang saat dia masih kecil. Hal itu mengundang rasa hangat ke hatinya. Kaizo memajukan duduknya, menyempitkan jarak antara dia dan Fang yang sudah tinggal tersisa sedikit.

"Coba beritahu kepadaku, Fang. Apa itu 'sayang'?" Kaizo bertanya tepat di wajah Fang. Fang tidak mengerti kenapa mendadak wajahnya terasa hangat dan kepalanya cepat-cepat menunduk menghindari mata Kaizo yang melihatnya seperti ingin menertawai reaksi Fang.

"Buat apa paman tanya itu?" Fang menahan suaranya agar tidak terdengar seperti merengek. Tapi sepertinya itu tidak berhasil taktala Kaizo malah tertawa disampingnya.

"Awwh, kenapa? Kamu malu?" Goda Kaizo, mengacak-acak rambut Fang penuh kasih sayang. "Tapi serius, kira-kira kamu mengerti tidak seperti apa rasa sayang itu?" Fang menggeram kesal. Cara Kaizo bertanya membuat Fang seolah adalah anak kecil yang baru mengenali keindahan dunia. Sialan Kaizo, ia sudah bukan anak kecil lagi. Fang memutuskan untuk menjawab pamannya dengan tidak rela.

"Tahu." Jawabnya singkat. Memangnya siapa Fang yang tidak mengerti hal sesimpel kata 'sayang'? Sayang adalah dimana kau peduli kepada seseorang. Dimana kau ingin seseorang itu berbahagia dan apapun yang terjadi kau ingin bisa membuat orang itu tersenyum. Sayang adalah ketika kau bersama sang terkasih dan rasa cinta menggebukan hatimu. Sayang adalah ketika dimana seorang orang tua merawat anaknya penuh dedikasi, tidak menyerah walau anak itu memberikan waktu yang sulit untuk mereka. Sayang adalah ketika Fang bersama sahabatnya dan bisa tertawa lepas. Sayang adalah dimana ia merasa bahagia ketika Kaizo masuk ke dalam kamar untuk mendongenginya tentang seorang penjelajah yang menjinakan naga sebelum tidur. Sayang adalah rasa nyaman dan bahagia ketika Fang makan malam bersama dengan 'keluarganya', sehari sebelum ayahnya pergi tanpa sebab. Tapi, ketika Fang memikirkannya lebih jauh ia tidak begitu kenal dengan apa yang namanya 'sayang'. Perasaan itu begitu abstrak, tidak bisa diatur kapan dia bisa muncul sampai kadang membuat Fang greget dengan diri sendiri.

"Kalau kamu tahu itu, coba mengertilah Fang. Ayahmu terlalu menyayangi ibu kandungmu, dia cinta mati padanya. Dia bilang kalau dia akhirnya menemukan cahaya di hidupnya yang gelap dan tak berarah. Aku tidak pernah melihatnya sebahagia itu. "

"Lalu? Kenapa dia pergi meninggalkanku? Kenapa ayah membenciku, paman? Apa dia bosan berpura-pura hidup bahagia sejak 'cahaya di hidupnya' hilang? Apa karena aku pembawa sial? A-apa karena aku anak t-terkutuk?" Suaranya mulai pecah, Fang tidak suka kalau dirinya mulai terbawa emosi. Kaizo mendekatkan dirinya ke samping Fang, merangkul keponakannya dekat, mengusap-usap punggung Fang. Fang ingin memejamkan mata dan membayangkan kalau sekarang ayahnyalah yang melakukan gerakan lembut itu. Tapi, yah. Gestur selembut itu hanya bisa diangankan saja oleh Fang sejak lama.

"Jangan pernah menganggap dirimu serendah itu, kau mendengarku? Kamu itu penting, dan kamu tidak salah apa-apa, kami seharusnya yang meminta maaf kepadamu." Kaizo terus mengusap punggung Fang. Fang tidak keberatan mendapat afeksi dari orang yang paling mendekati sosok orang tua itu. Mungkin bertahun-tahun kehilangan peran penting itu dari hidupnya membuat Fang mendambakan mereka. Dan entah bagaimana di tengah lautan emosi Fang menemukan humor di situasi sedih ini.

"Apa kita akan terus menyalahkan diri sendiri, paman?"

"Hmm, sayangnya mungkin. Menyalahkan diri sendiri sepertinya sudah mengakar ke DNA kita." Fang tertawa serak. Telunjuk menghapus setitik air mata yang tidak jadi jatuh.

Setelah beberapa menit diam suara pamannya menangkap perhatian Fang. "Kau tahu? Ibumu mirip sekali denganmu."  Kaizo memindai penampilannya dari atas ke bawah, memperhatikan detil yang sempat ia lewatkan. Si Pengendali Bayang menaikkan alisnya. "Bukan...wanita itu. Maksudku ibu kandungmu."

"Ibuku?" Fang berucap heran. Pamannya mengangguk.

"Wanita itu memang berusaha tampil semirip mungkin dengan ibumu, namun tetap saja berbeda. Ibumu itu unik, tidak ada yang bisa menandinginya." Ah, ia mengerti. Mungkin sebab itu wajah ibunya yang diambil ketika Fang belum lahir tidak terlihat begitu mirip dengan yang sekarang. Pantas saja ketika dulu Fang polos masih tinggal dengan sebuah keluarga bertanya, wanita itu memberikan alasan bodoh seperti 'ooh, waktu diambil fotonya 'kan ibu masih muda. Tentu saja mukanya pasti berbeda' yang Fang percayai dengan mudah. Ia telan bulat-bulat informasi itu, tidak bertanya lebih.

"Paman...ibu itu...orang yang seperti apa?" Tanya Fang. Apa yang Kaizo ucapkan membuat Fang penasaran. Ia tidak pernah tahu seperti apa ibu aslinya itu. Fang tidak ingin berharap banyak, tapi ketika ia melihat wajah Kaizo merekah senyum Fang merasa seperti anak kecil lagi. Dimana Kaizo akan menyelimutinya sebelum mulai mendongeng, dan Fang akan mendengarkan suara Kaizo yang berbisik-bisik dengan semangat tak terbendung.

"Ibumu wanita beda dari yang lain. Dia bisa memecahkan cangkang keras ayahmu dan membuatnya luluh. Sebelum bertemu ibumu, aku suka memanggil ayahmu 'Si Manusia Batu' hanya karena prilakunya keras ke semua orang. Cuman dia satu-satunya orang yang berani menegur ayahmu ketika dia menyakiti orang lain dengan ucapannya. Hah! Aku tidak pernah melihatnya kehabisan kata-kata sebelumnya." Kaizo mencoba menahan tawanya. Fang akui, mengetahui ayahnya dari sisi yang berbeda membuat pria dingin itu terkesan lucu. Lebih berekspresi, lebih manusiawi.

"Ibumu itu teman sekampusku dulu. Hampir semua orang tahu dirinya. Dia itu pintar, cantik, dan baiknya bukan main. Makanya aku sempat kaget ketika temanku yang selalu ramah setiap saat itu mendadak marah ketika bertemu dengan ayahmu. Sungguh kesan pertama yang bagus bukan?" Waktu itu Kaizo ingin mengundang sahabatnya ke rumahnya, berhubung wanita itu sering mengusik dirinya karena ia memiliki rumah yang besar dan tidak pernah mengajaknya berkunjung ke sana. Kaizo memutuskan kenapa tidak? Sekaligus mengenalkan sahabat baik yang sering ia sombongkan ke kakaknya yang tidak punya teman itu. Mungkin karena waktu yang tidak tepat atau mungkin karena takdir, ketika mereka baru masuk ke dalam mansion sahabatnya itu langsung melihat kakaknya tengah membentak staff yang dituduh lalai hingga dia menangis. Tidak sempat Kaizo memberhentikan tindakan kakaknya yang memalukan, sahabatnya sudah lebih dulu menempatkan dirinya di antara staff yang menangis dan kakaknya dengan wajah manis itu mengkerung marah. Segera dia melontarkan berbagai alasan dan tata cara menegur orang yang baik dan benar, tangan bergerak ekspresif dan wajah putihnya memerah. Kakaknya tidak akan mengakui kekalahan begitu saja tentunya. Kaizo dan staff yang sudah berhenti menangis hanya dapat menonton tak mengomentari debat sengit itu dari pinggir.

"Ah, waktu-waktu yang canggung. Ibumu tidak berhenti mengomeli kelakuan ayahmu setelah itu. Aku cuman bisa duduk mendengarkan dan tertawa dalam hati. Tapi, apa kau pernah mendengar istilah 'benci lama-lama jadi suka'?" Sahabat baiknya itu punya kebiasaan mengepak-ngepakan lengan jaketnya yang panjang sebelah ketika dia kesal. Kurang lebih selama seminggu Kaizo melihat temannya itu hampir menjelma menjadi burung saking seringnya ia mengoceh dan mengepak-ngepakkan tangannya. Kadang dia juga memukul punggung Kaizo dengan jaketnya ketika Kaizo tidak bisa menahan tawanya. Kaizo pasrah saat dirinya dijadikan bantal pukul selama seminggu lebih. Namun pada akhirnya semua itu terbayar ketika kakaknya mendadak datang ke kampus tanpa sepengetahuan siapapun dan meminta maaf pada sahabatnya itu. Wajah sang gadis memerah, kali ini untuk alasan yang berbeda. Sejak saat itu Kaizo melihat benih perasaan mereka tertanam dan disiram setiap kali mereka tertawa bersama. Kaizo tidak merasa kehilangan sahabat baiknya. Malahan ia mendapatkan calon kakak ipar. Pernikahan mereka adalah salah satu yang Kaizo tidak pernah lupakan.

"Ah! Sebelum aku lupa," Kaizo beranjak dari sofa dan menghampiri lemari mahogani di belakang Fang. Fang memutar badannya kebelakang, penasaran. Kaizo mengambil sesuatu dan melemparnya ke arah Fang. Secara reflek Fang menangkapnya, dan manik amethyst terbelalak.

"Lang-lang? Aku kira ayah sudah membuangnya." Fang menginspeksi bonekanya tidak percaya, jari meraba tekstur kain yang kasar. Boneka elang itu tidak berubah, tetap kotor dan babak belur seperti dulu.

"Tidak pernah. Ia menyimpan semuanya." Kaizo melambaikan boneka kucing yang sama kusamnya sebelum melemparkannya ke Fang. Pemuda berkacamata itu menatap kedua bonekanya tidak mengerti. Semua prilaku Ayah terhadapnya tidak menunjukkan kemungkinan kalau Fang akan mendapatkan kembali boneka kesayangannya. "Penyesalan selalu datang terlambat, Fang. Ayahmu tahu hal itu lebih baik dari orang lain."

Fang tetap diam. Matanya yang memburam tetap memandang kedua totem masa lalunya. Sebuah dorongan mendadak membuat Fang memeluk kedua bonekanya erat."Fang, aku tahu kamu tidak bisa memaafkannya dengan mudah. Tapi..."

"...tolong pertimbangkan sekali lagi."

.

.

Malam itu Fang menyelinap keluar. Saat langit berbintang menjadi saksi sunyi yang tidak akan menghakimi dirinya dan angin menusuk tulang menjadi selimut yang keberadaanya tidak Fang tolak. Seharusnya ia tidak ke sini—untuk apa ia kembali? Suara malam menggiringnya untuk pergi diam-diam ke depan nisan orang tuanya tanpa sepengetahuan Kaizo. Dan dalam kesunyian ini Fang merasa sendirian.

"Hai," Fang menyapa—berbisik. Entah mengapa menanti jawaban yang tak akan kunjung datang. Fang duduk bersila di atas tanah, alang-alang membelai pipinya pelan. Bunga Lily tadi siang masih pada posisinya, masih segar tak tersentuh.

"Tadi siang aku nggak sempat ngomong apa-apa, sori." Ah, berbicara seperti ini membuatnya canggung. Ia tidak yakin apakah ada tatakrama tertentu untuk berbicara dengan yang sudah mati. Angin membalas ucapan Fang dengan mengacak-acak surai jabriknya. Gerakan yang hangat untuk sesuatu yang dingin. Fang melihat ke arah nisan ibunya.

"Uhm, halo...ibu. Kita belum pernah bertemu sebelumnya, ya." Fang bergerak-gerak tidak bisa diam di tempat. Tangan memainkan jam tangannya resah. "Uh, aku sehat kok. Hidupku juga membaik sejak—" nafasnya tercekat. Fang tertunduk. Ia merangkul lututnya erat. Tidak, dia tidak 'tidak kenapa-napa'. Fang tidak bisa membohongi dirinya lebih lama. Dan rasanya ia sudah tidak perlu menyangkal apa yang sebenarnya terjadi. Matanya panas. Ia sangat ingin mengucek kedua matanya, tapi ia tidak akan. Ia tidak mau. Mengakui keberadaan air mata itu sama saja mengakui kelemahannya. Dan di depan makam sang ibu Fang tidak ingin terlihat lemah.

"...Aku...rindu ibu." Aku ingin bertemu ibu. Bertahun-tahun hidup Fang diisi oleh kebohongan manis. Tapi karena itulah paling tidak Fang memiliki suatu gambaran akan seorang ibu. Walaupun wanita itu bukanlah ibunya, dan ia juga bukan anaknya. Tapi Fang ingat akan tangan yang membelai kepalanya lembut dan kehangatan yang mengiringinya tidur. Akan tawa yang ikut menarik senyum dari wajahnya di hari tergelap pun. Ah, persetan.

Fang mencabut kasar kacamatanya. Tangan menggosok hingga jejak air mata itu terhapus bersih. Bibir kecil gemetar sesenggukan, dan Fang hanya ingin membuat suara menyedihkan itu menghilang.

Kenapa ibu harus pergi? Kenapa hal buruk selalu mengikuti kemana pun ia pergi? Kenapa harus dia? Memangnya dia salah apa? Di belakang benak Fang ada suara yang mengingatkannya untuk tidak menggali pemikiran macam itu lebih dalam. Remas mereka menjadi bola dan lempar jauh-jauh. Tapi apa yang Fang lakukan? Ia simpan bola-bola sampah itu hingga menggunung, dan sekarang ia tidak punya ruang lagi untuk menyimpan.

Wajah merah, emosi Fang hampir meluber dari wadahnya. Semua kesedihan itu berubah menjadi sesuatu yang lain—amarah. Fang ingin mengamuk. Ia ingin berteriak dan menyuarakan ketidakadilan yang selama ini selalu ia pendam, menggerogotinya dari dalam. Emosi itu terfokus pada satu titik. Fang mengangkat kepalanya, menatap tajam ke nama yang terukir di sebelah nisan ibu. Ia menggeram, dan sedetik kemudian sulur-sulur hitam keluar meresonasi emosi itu. Mereka tidak mengamuk. Hanya diam, menudungi Fang, memeluknya dalam dekapan yang dingin. Fang menyapa kegelapan seperti teman lamanya. Lalu—

"Ayah brengsek! K-kenapa ayah memperlakukan ku seperti sampah? Aku anak ayah atau anak terkutuk, 'sih?" Nafas Fang memburu, tangannya mencakar tanah. "Mendadak berubah sifat, ngurung aku di kamar, nggak pernah ngomong apa-apa ke aku. Gimana aku tahu aku salah apa kalau ayah nggak ngomong, sialan! Aku sudah muak nyalahin diri aku sendiri akan masalah yang aku nggak tahu sebabnya. Aku benci ayah!"

Sudah. Hal yang selama ini ia pendam keluar sudah. Tidak tersaring. Semua kebencian yang Fang pendam untuk ayahnya tumpah tak terbendung. Nafas Fang terengah-engah. Kepalanya terasa ringan dan dingin, entah mengapa seperti mati rasa. Perasaan yang sudah lama tidak Fang temui. "Aku...benci...aku...nggak s-suka.. kenapa k-kalian harus pergi duluan, 'sih?"

Namun pada akhirnya, mungkin ini semua salah mereka berdua. Masing-masing ingin memendam masalahnya sendiri dengan harapan suatu saat dapat terpecahkan dengan sendirinya. Fang menyadari betapa sama ia dengan ayahnya. Mereka berdua sama-sama pengecut, takut untuk mencoba. Mereka berdua adalah bayangan, yang membutuhkan cahaya terang agar menjadi lebih kuat. Ayah sudah menemukan cahaya pada diri ibu, yang kemudian direbut paksa darinya. Dan seperti bayangan tanpa cahaya, ia tidak bisa hidup. 'Penyesalan selalu datang terlambat' kata Kaizo. Fang tahu itu lebih dari yang lain. Ia sudah berteman baik dengan penyesalan, dan Fang rasa tidak ada kata mundur dari jalan yang ia tempuh. Ayah dan ibu sudah ada di atas sana. Dan Fang, sejauh apapun ia menjulurkan tangannya, tidak akan pernah merasakan apa yang namanya keluarga untuk yang kedua kalinya.

Di balik surai hitam yang menjadi gorden untuk manik amethyst sendu, sebuah senyum kecil terukir. Lemah, namun tetap sebuah senyuman. Fang menggelengkan kepalanya, dan terkekeh akan pemikirannya sendiri.

"Nggak punya keluarga? Lalu kau anggap apa Kaizo dan teman-temanmu itu?" Fang berucap keras-keras ke arah langit —berucap pada dirinya. Dan sekali lagi angin mengacak-acak rambut hitam-ungunya penuh kasih sayang. Fang terbutakan dengan masa lalunya dan ignoran terhadap kehidupan yang ia jalani saat ini. Ia bisa saja tetap terpaku seperti itu kalau ia tidak bertemu dengan Boboiboy. Ia tidak akan menemukan jalan yang membawa ke tempatnya ia berdiri sekarang.

Sepertinya Fang mulai mengerti apa yang Ayahnya lalui. Ketika orang sepertinya kehilangan tangan hangat yang menggiring dia keluar dari cangkang kerasnya. Tersesat dan tidak bisa menemukan jalan keluar. Ayahnya tidak berhasil keluar, oleh sebab itu ia menjadi lelaki dingin yang Fang kenal. Bayangan tanpa cahaya. Fang paham kalau sekarang ia berada di posisi yang serupa. Ia adalah bayangan yang kehilangan cahayanya, dan kalau ia menyerah sekarang ia bisa benar-benar kehilangan cahaya itu selamanya. Tidak dalam seribu tahun atau kapan pun Fang akan menyerahkan Boboiboy begitu saja. Tidak akan.

.

.

Hari pertama terlewati begitu saja. Kali ini Fang berpamitan dengan pamannya tanpa segerombolan staff berhamburan memburu dirinya. Ia berjanji kepada Kaizo untuk kembali lagi menjenguk. Kaizo meminta nomer teleponnya dengan paksa, dia tidak ingin mengulang kesalahan masa lalu walaupun Fang berusaha meyakinkannya kalau hal itu tidak akan terjadi. Perjalanan di kereta tidak sedepresi sebelumnya. Fang bisa ikut menggumam dan menganggukkan kepalanya mengikuti irama lagu tanpa beban, Lang-lang dan Si Kucing tersimpan dalam ranselnya yang ia peluk selama perjalanan. Fang ingat ia belum menghubungi teman-temannya kalau ia sudah dalam perjalanan pulang. Handphone dikeluarkan dari saku, namun jarinya berhenti sebelum ia mengetik sepatah kata. Fang merenungkan tindakannya dan kembali memasukkan telepon genggam itu ke saku celananya.

Fang tidak memberitahu kepulangannya. Ia sampai saat sore dan tidak ada wajah familiar ketika ia keluar dari kereta. Fang meyakinkan dirinya kalau ia hanya tidak ingin merepotkan sahabat-sahabatnya. Dan ia juga meyakinkan dirinya kalau dirinya yang berjalan ke arah sekolah adalah sebab di bujuk impuls dan bukan karena keinginan aslinya untuk pergi ke sana. Teror itu kembali menyerang Fang bak pukulan telak di dada saat ia melihat kondisi lapangan sekolah yang hancur. Rumput sehitam arang, dan samar Fang masih bisa mencium bau terbakar terbawa angin. Fang menendang gelondung kayu kecil selagi ia berjalan menyusuri lapangan. Matanya terpaku ke daerah yang spesifik; lokasi dimana terakhir ia melihat Boboiboy sebelum bayangannya mengambil Si Pengendali Elemen pergi.

Tanpa sadar Fang menendang sedikit lebih keras saat melihatnya. Ia berjalan meninggalkan gelondong kayu yang ia tendangi selama 10 menit terakhir ke tengah lapangan yang kehilangan rumputnya. Sebuah lingkaran kosong, tempat terakhir Fang melihat Boboiboy. Berdiri di atasnya membuat dirinya marah kepada dirinya sendiri yang membiarkan sahabatnya diambil begitu saja. Ia tidak bisa membayangkan apa yang dilalui oleh Boboiboy setelah ia menghilang.

Fang berhenti melangkah saat kakinya tidak sengaja menginjak sesuatu yang keras. Ia mengangkat kakinya dan terkejut. Jam tangan kuasa Boboiboy, kotor dan ditinggalkan pemiliknya. Fang cepat-cepat berjongkok dan mengambil jam itu, mengecek kondisinya. Warna jingganya tidak seterang biasa dan layarnya kotor tertutup tanah, namun Fang menghela nafas lega saat layarnya masih menyala.

"Kenapa bisa ada di sini?" Seingat Fang ia belum pernah melihat Boboiboy berpisah dari jam tangannya. Ia juga tidak melihat bayangannya membuang jam tangan Boboiboy. Fang berpikir sejenak dan mengingat ketika kesadaran Boboiboy kembali untuk sesat ia sempat meringkuk dan menyembunyikan tangannya dari pandangan. Fang tidak memperhatikan tangan Boboiboy waktu itu, jadi mungkin saja dengan kesadaran yang tersisa Boboiboy sengaja melepaskan jam tangannya. Sumber kekuatan Si Pahlawan Pulau Rintis yang membuatnya mampu memberantas segala jenis kejahatan. 

Tanpa pikir panjang Fang segera mengenakan jam tangan Boboiboy di tangan kanannya. Kedua jam menyala redup. Anehnya Fang tidak merasa ganjil dengan dua jam di tangannya. Rasa bersalah menggunakan benda personal milik orang lain itu tidak muncul. Jam tangan Boboiboy seperti menganggap dirinya pantas untuk dipinjami kekuatannya dengan cara memberikan denyutan hangat. Fang tersenyum.

Ramalan cuaca memprediksikan kalau bulan tidak akan terlihat hari ini. Dan memang benar, saat Fang memandang ke atas ia hanya melihat tumpukan awan abu dan langit biru tua.  Angin tidak berhembus ganas. Tiupan dingin yang Fang rasakan ketika berdiri depan di nisan kedua orangtuanya kembali hadir. Fang menjatuhkan tasnya ke tanah. Mata terpejam, ia merentangkan tangannya; merangkul angin. Ia menarik nafas dalam, menghirup udara malam yang menyegarkan tubuh lelahnya. Akan sangat bagus kalau ketenangan ini abadi. Fang ingin seperti ini selama mungkin.

"Kenapa kau berbohong?" Tapi seperti hal bagus lainnya, tidak ada yang abadi.

"Maksudmu?" Fang membuka matanya perlahan. Namun  ia tidak menoleh ke arah suara di belakangnya. Ia sudah tahu siapa yang berbicara.

"Kau tahu maksudku. Kau bilang pada mereka kalau aku akan muncul tiga hari lagi, padahal kamu tahu aku muncul dua hari lagi."  Ia bisa merasakan senyum di suaranya. Fang  berpindah menghadap wajahnya. Tangan yang menyentuh pundak Fang serasa dingin, lebih dingin dan menusuk dari angin malam.

"Aku nggak tahu kapan kau mau muncul, sebenarnya." Fang berucap tanpa bergudik dari mata merah duplikatnya. "Tapi aku ingin kau muncul tepat hari ini."

"Dan katakan padaku kenapa aku bisa muncul sesuai keinginanmu?" Fang memiringkan kepalanya. Surai hitam sehalus sutra bergoyang teriup angin. Kali ini  Si Pengendali Bayang  bisa melihat jelas senyum memuakkan itu.

"Karena kau adalah bayanganku." Jawaban Fang mengundang senyum yang lebih lebar lagi, dan bayangan itu terlihat sangat puas dengan apa yang ia dengar.

"AHAHAH! Kau mengakuiku! Sekarang kau sudah nggak bisa kabur lagi. Kenapa kau nggak mengakui itu dari kemarin, hah?" Fang tertawa lepas, memegangi perutnya hingga perlu menjaga jarak dari Fang.

Fang menatap datar kopiannya. "Apa tujuanmu ada di sini?" Fang berhenti tertawa lalu menatap Fang dengan simpati yang hanya dimiliki seorang pemburu terhadap hewan buruannya. Senyum masih diwajah, ia berjingkat kembali ke Fang dan menusuk-nusuk manja dada Si Pengendali Bayang dengan telunjuk. Menatapnya tepat di mata.

"Lebih tepatnya, 'apa tujuanmu', Fang?' hingga aku sampai bisa ada di sini?" Fang kembali tertawa lepas. "Ah, tapi aku nggak terlalu peduli jawabanmu. Yang pasti aku ingin membuatmu membuat ekspresi yang sama ketika kuambil Boboiboy darimu."

Nama sahabatnya itu memicu perubahan ekspresi Fang. Tangan mengepal erat, sulur hitam merayap keluar kubangan bayang di bawah Fang. Tatapannya mengeras, namun Fang berusaha menyalurkan emosinya pada suara datar tersirat benci.

"Kalau kau macam-macam dengan Boboiboy ku bunuh kau."

Seringai Fang melebar. "Bukan aku yang akan menyakiti Boboiboy." Dari ujung matanya, Fang melihat ada kubangan bayangan baru terbentuk. Dari dalamnya sulur hitam naik ke atas, berputar liar membentuk lingkaran. Lalu mendadak sulur itu pecah menjadi buliran kecil di udara, dan Boboiboy berbalut hitam muncul, berdiri tak bergerak menatap Fang dengan mata merah. Fang tidak sempat bereaksi ketika duplikatnya sudah berpindah lokasi ke belakang Boboiboy, tangan memegangi belakang kepala dan pundak Boboiboy. "Kau yang akan menyakitinya."

Fang berteriak. Ia mengaktifkan gerakan bayang secepat mungkin, bersamaan dengan duplikatnya yang melebur menjadi bayangan dan diserap oleh tubuh Boboiboy yang sedari tadi tidak responsif. Untuk sedetik tidak ada perubahan pada Boboiboy, sebelum mendadak tubuh bak patung itu melesat maju menerjang Fang. Bayangan mengekori langkahnya dan Boboiboy menarik tangan raksasa dari dalam kubangan dan meninjukannya ke arah Fang. Si Pengendali Bayang mengutuk, dengan sigap memanggil jari bayang untuk menangkap tinju Boboiboy. Fang menggerutu saat kekuatan tangan raksasa itu hampir mendekati kuatnya Golum tanah Boboiboy Gempa. Fang melihat wajah Boboiboy; pucat dan iris semerah darah. Dia tersenyum, namun tidak mendekati senyuman hangat yang Fang lihat setiap harinya. Terlalu lebar dan salah.

"Ada apa Fang? Kau tidak senang melihatku?" Fang menarik nafas tajam saat suara yang ia dengar adalah suara Boboiboy. Tidak ada alterasi bayangan yang membuatnya terdengar salah. Benar-benar suara Boboiboy. Tapi sosok ini bukanlah Boboiboy—sangatlah bukan Boboiboy. Keraguan sesaat itu melemahkan pertahanan Fang, membuat Boboiboy berhasil melepaskan lilitan jari bayang dari tangan raksasanya dan menghantam Fang.

Si Pengendali Bayang terbuyar dari ragunya ketika wajahnya menghantam tanah dengan kasar dan suara Boboiboy yang menertawai dirinya. "Ahahaha! Aku nggak percaya kamu tertipu sama itu. Kamu bodoh ya?" Fang menyeka wajahnya dari tanah, melihat Boboiboy berdiri dengan angkuhnya. Tangan di pinggang dan melihat Fang dengan simpati palsu. Fang tersadar, kalau yang di depannya adalah monster yang menggunakan tubuh Boboiboy.

Itu bukan Boboiboy yang sebenarnya, Benar. Boboiboy hanya terjebak di dalam sana dan tidak bisa berbuat apa-apa ketika tubuhnya diambil alih.

"Sialan kau pengecut! Jangan sembunyi di dalam sana!" Fang kembali berdiri, sulur bayang melilitkan dirinya ke tangan Fang. Boboiboy tertawa saat melihat usaha sia-sia Fang untuk berusaha bangkit kembali. Dengan kemenangannya kemarin, tentunya jika lawannya hanya satu orang ia pasti menang telak. Tapi tak apa, ia suka kalau mangsanya berusaha keras untuk tetap hidup. Langkah ringan Boboiboy meninggalkan petakkan bayangan hitam di jejaknya, layaknya tinta yang menetes, jatuh mengotori tanah. Layaknya bayangan yang membaluti tubuh Boboiboy dan mengkorupsinya. Fang melihat titik-titik hitam jatuh menetes dari tubuh Boboiboy seperti air dan melukisi jalan yang ia lalui dengan hitam.

"Terserah aku mau apa 'kan? Lagipula lebih asyik melihatmu kesusahan melawanku. Apa wajahku terlalu imut sampai kamu nggak rela ngelukainnya?" Ejek Boboiboy. Ia mencubit gemas pipinya sendiri, memamerkannya ke Fang. "Aku penasaran, apakah pada akhirnya kau nggak bisa melawan dan membiarkanku menghancurkanmu," Boboiboy tampak sedikit kecewa akan kurangnya tantangan. Namun anggapan itu segera dibantah taktala Fang mencambukkan sulur-sulur bayang yang terikat di kedua tangannya, sukses untuk membeset pipi Boboiboy hingga berdarah sedikit. Boboiboy menyeka darah hitam pekat dengan rasa kagum. Sebuah peringatan untuk tidak meremehkan Fang.

"Yakin kamu mau menyerangku seperti itu? Kalau begitu terus kau akan membunuh Boboiboy." Boboiboy mengelapkan darahnya ke celana. Lukanya mengeluarkan uap hitam, dan perlahan kulit pucat itu mulus seperti semula. Ia menanti luapan amarah Fang yang emosian, namun si Pengendali Bayang hanya menatapnya dengan fokus. Tidak menunjukan dirinya menyesal sedikit pun ketika sudah melukai sahabatnya sendiri. Otak itu tengah berpikir keras, mencari cara agar ia bisa menang dan menyelamatkan Boboiboy dalam keadaan utuh. Boboiboy tampak tertarik melihat itu.

"Kamu banyak omong." Ucap Fang datar.

"Dan kamu asal bertindak," Fang mengkerungkan alisnya bingung. Ia melihat Boboiboy mengayunkan kedua tangannya, menciptakan bayangan besar tepat di atas. Sesuatu yang panjang, lancip, dan benda itu jatuh dengan kecepatan tinggi dengan Boboiboy tepat di bawahnya. Tersenyum tidak bergerak, tangan direntangkan lebar untuk menerima tusukan mematikan itu.

"Apa yang kau lakukan?!"Fang mengutuk keras-keras dan menggunakan gerakan bayang untuk mencapai Boboiboy. Mendorong pemuda itu sebelum pisau raksasa bisa membelahnya menjadi dua. Fang mendarat dengan Boboiboy dibawahnya, pisau raksasa tadi menancap di tanah dan menguap. Ekspresi yang sedari tadi berusaha tetap datar mendadak berganti menjadi panik. Dengan cemas Fang memastikan kalau pisau bayang tadi tidak melukai Boboiboy dan bernafas lega ketika tidak menemukan apapun. Di bawahnya Boboiboy tertawa. Jari dingin  Boboiboy menyentuh pipi Fang, lalu berpindah untuk menyelipkan surai hitam Fang ke belakang telinganya. Boboiboy menepuk pipi Fang, menatap pemuda di atasnya dengan kasihan.

"Mengerti maksudku? Nggak konsisten. Kalau ingin menyakitiku lakukanlah dengan serius, seperti ini. " Fang melihat tangan di pipinya menyala hitam, dan sedetik kemudian Boboiboy meninju dada Fang telak. Fang terpental ke atas dan terbatuk, rusuknya nyilu dan ia bisa merasakan memar yang akan terbentuk. Jam tangan Fang menyala ungu, dan sedetik kemudian elang bayang muncul menangkap Fang. Si Pengendali Bayang membisikkan terima kasih dan mengintip ke bawah. Hatinya jatuh saat melihat Boboiboy dengan santainya menepuk-nepuk dari baju dan membuka portal bayangan yang baru, memanggil hewan-hewan bayang untuk menemaninya. Dia tidak tampak menyesal sedikitpun, atau bahkan sudah tidak ingat kalau dia baru saja menonjoknya. Fang menggeram. Ia tidak yakin mengalahkan Boboiboy secara fisik adalah tindakan yang benar. Ia tidak ingin melukai Boboiboy, tapi untuk saat ini Boboiboy di depannya sangat ingin menusuknya menjadi sate. Bertarung setengah hati tidak bisa menjamin keselamatannya. Bagaimana ia bisa menyeret keluar bayangannya yang bersembunyi di dalam Boboiboy kalau mencoba menghindar saja adalah hal yang sulit?

Di bawah, Boboiboy melempar tangannya ke atas. Segerombolan gagak bayang menyerbu mengikuti arah yang ditunjuk —ke arah Fang. Elang bayang yang Fang naiki memekik tajam dan berbalik arah. Gerombolan hitam bak semut terbang mengekori mereka. Fang teringat strateginya di kemarin hari untuk menggunakan jari Bayang yang saling melilit untuk membuat jaring raksasa. Tapi rasanya duplikatnya bukan keledai yang jatuh dua kali di lubang yang sama. Elang bayang menukik turun dan gagak-gagak bayang mengikuti. Fang berpegangan erat pada leher elangnya. Angin mendesis di telinga, Fang melihat daratan semakin dekat. Sebelum ia bisa menghantam tanah elang bayang mendadak naik. Gerombolan gagak yang tidak mempunyai kontrol segera menabrak tanah dengan kecepatan tinggi dan hancur berkeping-keping. Beberapa yang selamat kembali mengekori Fang. Elang bayang terbang rendah, Fang melompat turun dan segera mengomando bayangannya untuk terbang menghadang bayangan Boboiboy. Telapak tangan berbalut aura ungu dibuka selebar mungkin, dan ketika elang bayang hampir dipatok para gagak tubuhnya berubah. Seperti kain yang terbuka begitu lebar dan membungkus seluruh gagak yang tidak dapat berhenti menerjang masuk.  Fang menutup tangan dan bungkusan bayang itu ikut menutup. Menciut hingga akhirnya meledak menjadi kembang api hitam dilangit.

Melihat kagum ke atas, Boboiboy bersiul penuh apresiasi, tangan diselipkan di saku jaketnya. "Waw, pintar juga."

"Aku belajar dari pengalaman." Jelas Fang. Daripada mencoba dikurung lebih baik segera dihancurkan. Fang mendesah resah. "Apa kita harus bertarung? Nggak ada cara lain?"

Boboiboy menatap Fang heran dan terkekeh. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kepala kamu kebentur terlalu keras ya? Tujuanku itu tujuan mu, kalau aku ingin membunuhmu berarti kau juga ingin." Boboiboy mengangkat dagunya percaya diri. Fang ragu akan pendapat Boboiboy.

"Kalau...kalau itu bukan tujuanku bagaimana? Kalau tujuanku itu untuk berdamai denganmu bagaimana? Lihat, aku nggak akan menyerang." Untuk membuktikan ucapannya Fang mengangkat tangan, menyerah. Dia melangkah hati-hati, tidak memutus kontak mata. Sejujurnya Fang benci melihat bayangannya itu bersembunyi di balik sosok Boboiboy. Yang ia inginkan adalah menghabisi bayangannya dalam suatu pertempuran epik yang akan memberikan kepuasan absolut ketika ia menang nanti. Tapi Fang sadar diri, setidakinginnya ia mengakui, Fang tidak sekuat bayangannya. Fang tahu kekuatan yang mengandalkan amarah dan benci memang meggiurkan dan terbukti kuatnya. Sama seperti Fang merasa bebas dan liar ketika dulu ia mengerahkan seluruh rasa iri dan bencinya untuk mengalahkan Boboiboy. Dan saat ini Boboiboy ditenagai oleh emosi negatif itu, sama layaknya bayangan yang Fang hadapi sebelumnya. Fang bisa melihat bayangan yang sedari tadi mengelilingi tubuh Boboiboy sudah sekental aspal, dan tampaknya Boboiboy tidak menyadari itu —atau tidak peduli. Alis pemuda bertopi itu mengerung —Ekspresi yang terkadang juga muncul di wajah Fang. Boboiboy tidak suka dengan yang ia ucapkan, tampaknya. 

"Nggak!" Pemuda itu berteriak, "kalau aku ingin bertarung berarti kamu juga ingin!" Kedua tangan Boboiboy terkepal di sampingnya. Dia menggembungkan pipinya kesal, merengek. Kalau ini bukan situasi serius Fang bisa saja menertawai Boboiboy karena berlagak kekanak-kanakkan. Tapi bayangan yang emosian bukanlah hal yang bagus. Tanpa basa-basi Boboiboy mengaktifkan gerakan bayang, dua tangan bayang raksasa dalam kendalinya. Dia langsung melontarkan tinju bertubi-tubi yang Fang berusaha hindari. Melompat kesana- kemari, meninggalkan cahaya ungu di setiap pijakkannya.

"Aku nggak akan melawan!" Fang menghindari tangan bayang yang hampir meratakan wajahnya. Gerakan Boboiboy sulit ditebak. Semakin lama semakin kalut, seperti Boboiboy harus bisa melukai Fang apapun yang terjadi.

"Kamu harus. Kalau nggak, kamu mati. Dan aku nggak ingin mainanku hancur begitu saja."  Suara Boboiboy terdengar terdesak. Tinjunya ditahan oleh perisai bayang Fang dan si Pengendali Bayang merasakan getaran energinya merambat hingga ke dalam tulang. Boboiboy berteriak frustasi. Poros manis berubah menjadi hewan buas saat api hitam tersulut dari tubuhnya. Mata merah  terbelalak lebar tak logis, Fang bisa melihat bola mata hampir mau keluar dari tempatnya. Angin hitam berpacu liar menyelimuti dua tangan raksasa Boboiboy. Ketika mereka terbuka dua mata tombak sudah mengganti dua tangan Boboiboy, dan mereka berputar layaknya sebuah bor. Mereka mendesis, dan retakan bermunculan di perisai Fang lebih cepat dari yang bisa mata Fang ikuti sebelum mendadak perisainya pecah dan ujung yang tajam menerjang ke wajahnya,

Fang melihat kilasan merah, tubuhnya serasa melayang untuk kurang dari sedetik dan mendadak Fang melihat Boboiboy berada jauh darinya. Tombak menancap di tanah dengan ekspresi pemegangnya terkejut bukan main. 

"Ba-bagaimana kamu bisa pindah ke situ?" Boboiboy menggeram pada Fang, tapi itu tidak bisa menutupi rasa heran di suaranya. Pertanyaan Boboiboy menjadi pertanyaannya juga. Bagaimana ia bisa berpindah secepat itu? Fang ingat ia tidak sempat kabur ke dalam bayangan dan ia juga tidak sempat menggunakan gerakan bayang.

Pandangan Boboiboy berpindah ke tangan kanannya, Fang pun mengikuti. Cahaya merah dari layar jam tangan Boboiboy membuat Fang melongo takjub, merah Boboiboy Halilintar yang sepertinya sudah lama tidak ia lihat. Denyutan hangat yang konstan, layaknya detak jantung. Hangatnya merambat dari tangan hingga ke dada Fang. Si Pengendali Bayang hampir tidak bisa mengontrol luapan emosinya.

Ia dapat merasakan kehadiran Boboiboy di sampingnya. Tidak, bukan merasakan. Ia melihat Boboiboy ada di sampingnya. Tersenyum sembari memegang lembut jam tangan kuasa miliknya di pergelangan tangan Fang. Menggiringnya agar terangkat ke atas, mengarahkannya ke Boboiboy berbalut hitam yang menatap jam tangan itu dengan khawatir. Namun berusaha tidak menunjukan kalau ia terintimidasi dengan perubahan itu. Fang tidak terlalu mempedulikannya, karena sekarang perhatiannya diambil alih oleh sosok rivalnya yang tampak seperti hantu. Tubuh transparan dan hanya bisa terlihat oleh dirinya—melihat Boboiboy yang satunya tidak meneriakkan kehadiran Boboiboy yang ini. Anehnya Fang tidak merasa takut. Tangan Fang gemetar, manik amethyst kembali bertemu dengan warna coklat madu Boboiboy. Bibir Fang naik sedikit, senyum penuh ragu dan ketidak pastian, tapi sangat lega karena Fang tahu kalau sosok yang ia lihat di depannya adalah Boboiboy yang sesungguhnya.  Suci dan tidak tersentuh kedengkian, Fang sudah lama merindukan cahaya itu.

Boboiboy berjalan ke depan Fang, menggiring tangan Fang tepat ke dadanya. Fang tidak menunjukan rasa kecewanya ketika ia hanya menyentuh udara. Boboiboy yang menyadari itu hanya tersenyum tipis, dia mengeratkan genggaman pada kedua tangannya. Cahaya merah kembali berkedip, Boboiboy menarik-narik tangan Fang dan dengan setiap tarikan Fang melihat cahaya merah menjalar bak akar di tubuh Boboiboy. Cahaya itu berpusat tepat di dadanya, hangat. Fang mengerungkan alis. Ia tidak merasa nyaman dengan apa yang Boboiboy tunjukkan, apa lagi ketika tangan Fang menembus dada Boboiboy seolah ia menusuknya.

Kamu yakin? Boboiboy mengangguk, puas saat Fang mengerti apa maksudnya. Aku  nggak mau melukaimu, Boboiboy menatapnya sebentar. Ia melepaskan genggamannya di tangan Fang, dan si Pengendali Bayang hanya bisa diam terpaku ketika sosok itu memeluknya. Fang tidak merasakan sentuhan apapun, sama seperti dipeluk udara. Tapi Fang tidak ragu untuk membalas pelukan itu, tangan melayang dekat punggung Boboiboy.

Boboiboy mengehela lega di telinganya —nafasnya seperti gema dalam gua. Dalam beberapa saat kemudian tubuhnya melebur menjadi cahaya remang-remang di udara. Fang mengikuti cahaya itu hingga mereka percikan terakhit menghilang sebelum kembali menatap bayangannya. Ada rasa kepercayaan diri yang baru mengalir dalam dirinya. Dan Boboiboy di depannya menyadari hal itu. Dia menggeram frustasi.

"Jam mainan itu nggak akan merubah apa-apa. Apapun yang kau lakukan akan tetap berakhir dengan kau dan Boboiboy nggak lagi bernafas." Ejeknya. Namun Fang tidak bergeming dari celaannya.  Boboiboy geram, bayangan disekitarnya membalut tubuhnya posesif.  Angin hitam berpacu mengelilinginya, sulur hitam mencambuki tanah dengan liar.

"Sombong hah? Kalau gitu ihat saja!" Boboiboy memanggil harimau, beruang, dan serigala bayang. Tangannya kembali menjadi tangan bayang raksasa. Tidak hanya itu, segerombolan gagak bayang terbang di atas menutupi langit. Kicauan melengking mengambil alih indra pendengaran Fang. Boboiboy melesat, lebih cepat dari sebelumnya. Gerakan kaki Boboiboy seolah membelah bumi dengan langkahnya, mengiris tanah dengan bayangan hitam. Ada begitu banyak amarah di mata Boboiboy. Manik darah membara menjadi kilasan merah.

Fang tidak pernah ingin melihat Boboiboy seperti itu. Bocah yang begitu lembut dan baik hati terkorupsi oleh perasaan yang Fang susah payah belenggu. Untuk seseorang yang dinaungi cahaya, tidak layaklah ia masuk ke dalam kegelapan. Fang tidak akan pernah memaafkan dirinya kalau ia membiarkan Boboiboy terjebak selamanya. Karena bayangan itu adalah dirinya, bayangan itu adalah kegelapan yang Fang tidak ingin akui. Dan sekarang kegelapan itu menghantuinya dalam wujud Boboiboy yang berlari kearahnya. Tepat di belakang Boboiboy ombak hitam melahap semua yang menghalang jalurnya. Sebuah tampilan kekuatan penghancur yang luar biasa. Jam tangan Boboiboy di tangan Fang menyala merah dan waktu serasa berhenti. Rasa hangat itu Fang terima dengan lapang dada. Memejamkan matanya, fang berbisik. Namun suaranya tajam dan terdengar dengan jelas.

"Kuasa elementer; Halilintar." Boboiboy berhenti mendadak taktala lambang berwarna merah muncul di atas Fang. Angin berpacu, dan Fang tidak pernah merasakan kekuatan sebesar ini mengalir dalam dirinya.  Kilatan petir merah menyambar di sekeliling Fang. Sepasang bilah petir melayang didepan Fang, menunggu untuk ia ambil. Fang tersenyum lebar dan menyabetnya.  Energi listrik menyengat tangan, namun Fang malah tertawa lepas. Kegembiraan meluap dari dadanya saat Fang meneriakan apa yang selalu Boboiboy Halilintar teriakan.

"Gerakan Halilintar!" Boboiboy terbelalak. Kilasan merah bergerak cepat dari satu bayangan ke bayangan lain. Boboiboy hanya dapat membeku saat satu-per-satu bayangannya hancur, serpihan kaca hitam berhamburan di udara. Dan Fang bergerak lincah membelah bayangan dengan dua pedang  halilintar di tangan. Sebuah tarian mematikan yang awalnya hanya bisa dilakukan oleh Boboiboy Halilintar seorang. Kini Boboiboy berbalut hitam menatap benci plagiat Boboiboy Halilintar itu. Begitu bebasnya memberantas  bayangan yang tidak cukup cepat untuk mengikuti gerakan Fang yang berpindah tiap detiknya. 

Boboiboy mengaum frustasi. Api hitam sekali lagi tersulut emosi. Mendapati sesuatu tidak dalam kendalinya memuatnya jangar. Ia mengomando gerombolan gagak di atas untuk terjun ke bawah, Fang sebagai target. Fang mendengar lengkingan tajam, ia menghancurkan seekor beruang bayang  dan mendongak ke atas. Para gagak terbang sebagai satu kesatuan tepat ke arah Fang, dan si Pengendali Bayang melihat mereka seolah ia mendapat hadiah ulang tahun. Jam tangan Boboiboy menyala sekali lagi, kali ini cahaya kuning menyorot keluar.

"Kuasa elementer; Gempa! Tanah pelindung!" Angin lembut berhembus. Tanah di bawah Fang bergetar dan melonjak naik, menempel dan membungkus kedua tangan Fang. Untuk sekilas Fang melihat Boboiboy Gempa tersenyum dan mengangguk sebelum kembali menghilang ditiup angin.  Fang meninju tanah di bawahnya, memunculkan dinding tanah yang melindungi Fang dari paruh-paruh gagak bayang. Fang dapat merasakan kekuatan Gempa mengalir dalam tanah, seolah menjadi satu. Tangan si Pengendali Tanah seperti sedang membimbingnya dalam bertindak. Fang menyatukan tangannya. Sarung tangan tanah beradu, dan sekali lagi Fang meninju tanah di bawahnya. Jam tangan milik Fang ikut menyala ungu, berdampingan dengan jam tangan Boboiboy. Suara Gempa bergema dalam pikirannya, menyuruh Fang untuk memanggil boneka raksasa kesayangannya.

"Golum tanah!" Raksasa menaikkan dirinya. Berbeda dengan golum tanah milik Boboiboy Gempa, kuasa bayang Fang ikut mengambil peran. Terdapat kristal ungu tersebar di tubuhnya dan aura khas bayang menguap di sekitarnya. Fang membiarkan golum bayang berkeliaran menginjak serigala bayang yang berusaha kabur sementara dirinya sendiri pergi untuk menghadapi Boboiboy.

"Harusnya kuasa itu bukan milikmu!" Bantah Boboiboy saat melihat beruang terakhirnya di remukkan golum bayang. Boboiboy memanggil sulur-sulur hitam dan melempar mereka ke arah golum. Mulut Boboiboy menganga lebar saat makhluk sebesar itu mendadak menghilang sesaat sebelum serangan Boboiboy mampu membuat kerusakan dan muncul kembali tanpa luka. Fang berlari menghadang Boboiboy. Tanah bergetar di bawahnya.

"Memang bukan. Kekuatan ini milik tubuh yang kamu gunakan. Dan aku ingin kau mengembalikannya." Tangan tanah mencengkram kedua kaki Boboiboy, menjangkarnya di tempat. Boboiboy melihat kebawah panik. Ia berusaha memanggil jari bayang untuk menggerogoti belenggunya. Ketika boboiboy kembali melihat ke atas Fang sudah berada dekat dengannya. Tangan kiri dilengkapi dengan tombak bayang berbalut listrik merah halilintar. Tatapan Fang yang mengeras menunjukan kalau tidak ada keraguan di hal yang akan ia lakukan.

Dalam jarak ini tidak mungkin menghindari serangan Fang. Tombak itu pasti akan menusuk dada Boboiboy. Pemuda bertopi itu tersenyum lebar. Fang tidak akan keluar sebagai pemenang kalau Boboiboy mati. Ia menang.

Tapi ketika Boboiboy sudah bertatapan dengan Fang dan kemenangan sudah terasa dekat, Fang  memulutkan sesuatu padanya sebelum melebur menjadi kabut ungu. Boboiboy merasakan bulu kuduknya berdiri, berusaha meyakinkan dirinya kalau ia salah memahami apa yang baru saja Fang ucapkan.

Lalu mendadak dadanya merasakan sakit yang luar biasa, seperti ada pisau yang menusuk. Dunia seolah bergerak melewatinya, dan Boboiboy bisa melihat tubuhnya entah bagaimana ada di depannya sebelum ia jatuh menghantam tanah dengan keras. Telinganya mendengar bunyi kernyau yang memuakkan.

Tombak itu tertanam dalam di dadanya. Fang bisa merasakannya menembus setiap daging dan tulang yang ada, sangat berbeda dibandingkan bayangan normal bak kaca itu. Ini...rasanya seperti membunuh manusia.

Manik merah terbelalak. Tangan kikuk berusaha mengenali benda apa yang menempel di dadanya itu. Sebelum mendadak ia terbatuk, mengeluarkan cairan hitam pekat dari mulutnya, tersedak dengan 'darah'-nya sendiri. Ia mengerang, meronta berusaha mencabut tombak itu namun Fang yang menindihnya mendorong lebih dalam. Tidak peduli kalau ia mendengar suaranya sendiri sedang menjerit kesakitan. Fang harus mengingatkan dirinya kalau dirinya bukan yang ditusuk.

"K-kau pikir kau bisa menyingkirkan ku? Aku bagian dirimu—aku akan selalu ada dalam dirimu!—uwagh!" Ocehan kopiannya tenggelam dalam jeritan rasa sakit saat Fang menekan lebih dalam. Tombak menancap kedalam tanah. Fang memalingkan pandangan dari kopiannya untuk melirik ke belakang. Tubuh Boboiboy yang tidak lagi di tahan oleh tanah pencengkram kini tergeletak menghadap langit. Tidak ada lubang di dadanya yang mengindikasi kalau Fang menusuknya. Warna hitam meluluh terganti jingga yang familiar. Wajah Boboiboy kembali berwarna. Bibir tidak lagi pucat, begitu juga dengan wajahnya. Tapi yang paling penting dari tanda-tanda kehidupan itu adalah dada Boboiboy yang naik turun. Nafas berhembus dari mulutnya yang terbuka sedikit.

Boboiboy masih hidup.

Fang kembali melihat kopiannya. Meronta dan mengerang begitu menyedihkan, masih berusaha mencabut tombak itu dari dadanya walau jarinya sudah mulai kaku. Fang tahu itu percumah, dia sudah tidak memiliki tenaga tersisa dan tidak memiliki waktu lama jika tempat yang Fang tusuk adalah titik vital. Dan sama seperti bayangan lainnya, Fang akan menghilang menjadi serpihan hitam yang terbawa angin. Tidak meninggalkan jejaknya di bumi.

Perlahan Fang mendekatkan bibirnya pada telinga kopiannya. Si bayangan menarik nafas tajam, postur tubuhnya waspada. Fang dapat mendengar nafasnya yang memburu, bau pahit darah hitam, dan bahu yang gemetar. Semuanya terasa jelas sekali. Fang tidak merasakan ciri khas bak manusia itu sebelumnya. 

"Ng-nggak, jangan dekat-dekat!" Mau bagaimanapun Fang mencoba menjauh tubuhnya sudah tidak dapat digerakan. Kakinya sudah kaku, dan jarinya tidak lagi bisa bergudik. Dadanya pecah, bagian yang tertusuk tombak berubah hitam dan rapuh, sama seperti pecahan kaca.

"Aku tahu kalau kau adalah bagian dari diriku..." Fang berbisik—Dingin, lelah, pengertian—"Tapi.."

Kopian Fang berubah bingung. Mata merah itu tampak lugu untuk pertama kalinya. Sama seperti anak kecil yang tersesat, sama seperti Fang dulu. "Kali ini aku nggak akan menghadapinya sendiri."

Teringat waktu itu ketika ia terjebak di ruangan putih, terkurung bersama rasa takutnya. Berharap seseorang bisa membawanya kabur, membebaskannya. Berharap agar ayahnya dapat kembali senyum dan melihatnya tanpa merasa jijik.

Tidak, sekarang Fang tidak sendiri lagi.

"Kau sudah nggak perlu khawatir lagi, Fang. Aku baik-baik saja di sini, aku punya teman. Aku punya keluargaku kembali. Mereka peduli denganku, sama seperti aku peduli dengan mereka." Tubuh itu berhenti gemetar. Manik darah terbuka lebar, membeku.

"Yang terjadi bukan salah-mu. Bukan salah-mu wanita itu melakukan apa yang dia lakukan. Bukan salah-mu ayah nggak lagi tersenyum. Aku memaafkanmu, Fang. Kau dengar itu? Aku memaafkan-mu, makanya....hapus air mata itu. Menangis nggak keren buatmu."

Fang mengangkat kembali kepalanya, menghadap wajah Fang yang terjebak di satu ekspresi kaget saja. Dua manik merah terancam menitikkan air mata, membanjiri pipinya dengan jejak hitam saat Fang mencoba berkedip. Sebuah retakan menjalar melewati mata kanan Fang, salah satu dari sekian banyak retakan yang mulai bermunculan di tubuh si Bayangan. Rasanya aneh melihat cerminan dirimu hancur perlahan-lahan. Tapi entah mengapa melihat seuntai senyum tulus pertama di wajah pucat itu membuatnya sepadan untuk melalui semua neraka di kemarin hari. Senyuman itu membuatnya tampak lebih muda —atau bayangan itu memang berubah lebih muda. Terlepas dari semua amarah dan benci yang menggunung. Untuk pertama kalinya mata yang sudah melihat terlalu banyak kepedihan itu menyala dengan kehidupan. Fang merasa bangga melihatnya.

"Terima kasih." Fang berucap tulus.

Suara kaca pecah, dan bayangan Fang melebur menjadi serpihan kecil di udara. Bayangan yang masih tersisa segera mengikuti. Kali ini mereka bergemerlap layaknya galaksi di langit malam. Melayang ke atas melewati Fang menuju bintang, tempat mereka seharusnya berada. Hal itu membuat rambut Fang bercahaya seperti ditumpahi glitter. Perpisahan terakhir, tanpa tangis sakit hati yang menderu. Tidak ada rasa sakit ketika kedua belah pihak diringankan bebannya. Beban di hati Fang yang mengganjal selama 6 tahun akhirnya diangkat bersama debu bintang ke atas. Setetes air mata jatuh dari pipi Fang, dan si Pengendali Bayang tidak pernah tersenyum selebar ini sebelumnya. 

"Aku memaafkanmu."

.

.

Boboiboy tidak suka gelap. Bahkan ketika ia mematikan lampu kamarnya sebelum tidur, selalu ada cahaya dari langit menerobos masuk melewati jendela. Entah itu bintang atau lampu jalan sekali pun.

Tapi sekarang ia tidak menemukan sedikit pun cahaya. Mungkin kalau ia bisa membuka matanya ia akan menemukan cahaya, namun apapun yang Boboiboy lakukan kedua matanya tidak bisa terbuka seolah mereka direkatkan oleh lem. Semuanya gelap dan Boboiboy tidak bisa mendengar apapun kecuali dengungan yang samar, seperti dirinya sedang berada di ruangan tertutup tanpa bunyi. Mungkin saja memang begitu. Boboiboy tidak bisa memastikannya karena ketika ia mencoba bergerak sesuatu menahannya diam dalam posisi terlentang. Tapi ia tidak merasakan apapun menahan tubuhnya kecuali udara yang tidak bergerak, membuatnya melayang di ruang hampa. Boboiboy tidak tahu sudah berapa lama ia berada di sini. Ia tidak bisa mengecek jam kuasa  dan tidak bisa pula mengaktifkannya. Paling tidak ia bisa berbicara. Namun bergumam pelan saja sepertinya sudah menguras banyak energi. Dan tampaknya Boboiboy tidak merasa keberatan untuk diam.

Ini aneh. Seharusnya ia sudah panik dan memberontak. Berusaha melawan belenggu tak terlihat yang menjangkarnya di ruangan ini, apapun ini. Tapi Boboiboy tidak melakukan apapun. Ia tidak panik, ataupun marah. Ia hanya...menunggu. Menunggu entah apa yang mungkin akan memberhentikan stagnansi ini.

Selama entah berapa lama akhirnya terjadi sesuatu yang berbeda. Boboiboy mendengar langkah kaki. Terdengar teredam, namun bukan berarti suaranya kecil. Langkah menggetarkan udara di sekitarnya, yang juga menggetarkan Boboiboy. Hal itu hanya berlangsung beberapa detik sebelum langkah itu menjauh dan ruangan hitam kembali tenang.

Tak lama setelah itu Boboiboy kembali mendengar sesuatu. Suara orang, yang melesat cepat dari ujung ke ujung. Boboiboy tidak bisa mengerti ucapan mereka, sepintas hanya terdengar seperti volume yang mendadak diperbesar dan langsung dikecilkan lagi. Namun lambat laun telinga Boboiboy mulai bisa mengikuti suara itu, dan mengindentifikasi apa yang mereka katakan.

"...oi....y...si..a...an!" Tidak terdengar jelas dan terpotong-potong. Tapi entah mengapa mengingatkannya pada suara Fang.

Fang.

Nama itu memberikan sensasi menggelitik di dadanya. Memberikan sedikit energi untuk membuat bibirnya naik se-centi dan juga energi untuk menggerakan jarinya, sedikit demi sedikit sampai ia dapat mengepalkan kedua tangannya. Iya, sekarang suara itu menjadi lebih jelas. Boboiboy tidak begitu ingat apa yang terjadi. Tapi ia ingat kalau ada kaitannya dengan Fang. Dan bayangan, dan acara berkemah, dan api...

Ah, aku sudah mati, ya? Boboiboy ingin tertawa. Setelah semua yang ia lakukan, ia tetap kalah dan gagal membantu Fang. Ia penasaran apakah rivalnya itu akan merindukannya. Tapi kalau ia benar-benar mati, bagaimana ia bisa ada di sini? Apakah ini dunia diantara hidup dan mati?

Itu sebuah kemungkinan, tapi Boboiboy tidak yakin itu yang terjadi. Karena sekarang ia menyadari kalau tadi itu memang benar suara Fang—yang entah bagaimana seperti sedang memarahinya dari atas, memintanya untuk bangun. Boboiboy mendengus dalam hati. Bukannya dia tidak ingin, tapi membuka mata saja susah, apa lagi bangun. Hal yang menahannya juga tampak tidak ingin melepaskannya dengan suka rela.

"..Bang...n, p...malas!" Malas dia kata? Ia baru saja menganggap dirinya sudah mati beberapa detik yang lalu, apakah Fang tidak mendengar apa yang baru saja dia pikirkan? Ia tidak bisa bergerak dan Fang memaksanya untuk melakukan hal yang jelas-jelas tidak bisa ia lakukan.

Oke, ini benar-benar aneh. Kenapa ia bisa mudah sewot seperti ini? Terpancing emosi dengan perbincangan dalam kepalanya. Mungkinkah ini semacam uji ketangkasan? Ruangan hampa ini pasti mulai mempengaruhinya. Ia harus bangun, bagaimanapun caranya. Kalau saja ia bisa membuka mata...

"Buka matamu, Boboiboy.

Dan Boboiboy membuka matanya. Ruangan serba putih menyambutnya. Yang membelenggunya hilang dan Boboiboy merasakan kalau dia sudah kembali berdiri. Matanya berkedip beberapa kali untuk menyesuaikan dengan cahaya—meski Boboiboy tidak bisa melihat lampu di sekitarnya. Tidak yakin, Boboiboy menghentakkan kakinya ke lantai. Tidak runtuh. Paling tidak aman untuk dilangkahi. Boboiboy mulai berjalan tak tentu arah. Ia tidak bisa melihat ujung dari tempat ini, jadi paling tidak ia harus mulai bergerak dan mencari jalan keluar, bukan? Langit-langit tidaklah jauh dari kepala Boboiboy, hampir setinggi dengan langit-langit rumahnya sendiri.

Ia kembali berjalan selama beberapa menit sampai sesuatu jatuh di kanan Boboiboy. Ia bisa melihatnya dari pinggiran matanya, namun ia tidak melihat kapan benda itu—pintu kayu putih yang Boboiboy yakin tidak ada sebelumnya—muncul. Setelah kemunculan gaib itu Boboiboy menyimpulkan kalau tempat tidak masuk akal ini pasti bukan lah dunia aslinya. Dan pintu putih itu akan menjadi jalan keluar satu-satunya.

Dengan semangat baru Boboiboy berlari cepat. Ia bisa mendengar samar suara Fang; di luar memanggilnya untuk bangun. Boboiboy berdiri menghadap pintu. Tangan kanan melayang di atas kenop pintu silver, hanya tinggal menurunkan sedikit dan memutar gagang itu Boboiboy yakin ia bisa keluar. Namun sesuatu memberhentikannya. Sebuah tarikan kecil. Memintanya untuk menyisihkan waktu sebentar, memutarkan badannya sedikit kebelakang. Dan lagi-lagi, Boboiboy mendengarkan suara kecil itu.

Sepintas Boboiboy melihat Fang. Rivalnya itu menjadi noda hitam di dinding putih. Diam berdiri menatapnya.

Dengan mata merah.

Tapi kali ini Boboiboy tidak terdorong untuk melawan. Ia tidak perlu. Boboiboy tidak menemukan kegilaan yang sama di kopian Fang yang ini. Seolah semua nafsu membunuh itu menguap, menghilang meninggalkan seorang pemuda berkulit pucat ungu yang  meremas lengan jaketnya tidak nyaman.

"Kau akan pergi?" Bayangan itu bertanya. Dan setelah Boboiboy lihat lebih teliti, Fang di depannya tampak lebih muda.

"Iya. Tempatku di dunia seberang sana." Fang mengangguk. Ia menunjuk pintu di belakang Boboiboy. Cahaya putih menyisip dari pinggiran pintu, dan Boboiboy dapat mendengar suara Fang lebih keras. Bocah bertopi itu berbalik dan meletakan tangannya di gagang pintu. Ia berhenti sejenak.

"Apapun yang terjadi.....aku akan tetap menjadi temanmu, Fang. Apapun masa lalumu, walau orang lain tidak menyukainya," Lalu Boboiboy berbalik, menatap ekspresi terkejut di wajah yang mulai berwarna. "Aku akan tetap berdiri di sampingmu. "

Dengan raut terkejut, Fang menatap wajah Boboiboy. Bocah bertopi itu melihat perlahan warna merah di mata Fang meluluh, digantikan amethyst yang familiar. Bibir terangkat naik, menampilkan senyum manis yang Boboiboy belum pernah lihat sebelumnya. Si Pengendali Element sempat mengira berhalusinasi saat melihat tubuh Fang bercahaya, perlahan menghilang dari tempatnya berdiri.

Boboiboy tersenyum. Ia memutar kenop pintu dan mendorongnya terbuka. Ia melangkah masuk menuju ke dalam gumpalan cahaya putih. Semuanya kembali menjadi samar dan Boboiboy merasa dirinya ditarik ke atas. Tapi tidak sebelum ia mendengar suara lembut bergema di telinganya.

"Terima kasih.

.

.

"Oke, kalau kamu nggak bangun, Boboiboy, aku akan tampar mukamu!"

Tidak ada tanggapan. Tubuh yang tergeletak di depan Fang masih tetap diam. Fang mendengus kesal. Sedikit khawatir akan kurangnya reaksi, tapi ia tahu kalau Boboiboy ada di dalam sana.

Fang mengangkat tangan kanannya. Membunyikan jari-jarinya yang kaku. "Oke, kamu yang minta."

PLAK

Tidak ada reaksi. Fang menunggu beberapa detik lagi.

PLAK PLAK PLAK PLAK— 

"..ugh..."

Tangan Fang berhenti tengah bergerak. Manik amethyst terbuka lebar saat telinganya menangkap erangan kecil itu. Dengan hati berdegup ia menunggu, memperhatikan bibir itu bergumam tidak jelas, bola mata yang bergerak-gerak di balik kelopak mata. Tangan mulai merayap lemas ke atas, mengucek kantuk dari kedua matanya. Mata madu itu terbuka kecil, berkedip beberapa kali sebelum melihat ke atas, menemukan langit biru gelap. Boboiboy tampak belum menyadari keberadaan Fang yang duduk di sampingnya, namun ia terlihat terpesona dengan langit. Fang mengawasinya dengan diam. Wajah yang sedari tadi terlihat keji, sedih, dan penuh amarah, sekarang kembali merekah senyum. Begitu lebar, penuh kehidupan. Manik madunya ikut melebar. Hangat.

"Selamat pagi tuan putri," menyadari ada seseorang di sampingnya Boboiboy menengok ke kiri, dan ia kembali berhadapan dengan iris amethyst yang familiar. Boboiboy merasa senyumnya melebar, sama seperti sahabat berkacamata di depannya.

"Kamu babak belur banget, 'sih." Ucap Boboiboy. Fang mengangkat bahunya.

"Kamu juga, ngaca dong." Boboiboy terkekeh kecil. Di saat itu ia merasakan perih di pipinya. Boboiboy menyentuh pipinya yang merah.

"Kau menamparku?"

"Kamu nggak bangun-bangun. Masih mending dari pada ketika bangun langsung di arak-arak sebagai dadar gulung ke meja makan." Boboiboy tertawa renyah, dan Fang menyadari betapa rindunya ia mendengar suara itu. Boboiboy menghela lega dan kembali menatap langit setelah tawanya mereda, Fang melakukan hal yang sama. Mereka diam sejenak. Sekedar untuk menarik nafas, dan menghargai indahnya langit dan bintang yang tidak sempat mereka kagumi tadi. Fang memejamkan matanya saat angin sejuk berhembus melewati mereka.

"Apapun ini...sudah selesai, ya?"

"Sudah," Fang menjawab.

"Selesai?"

"Selesai."

"Tidak akan ada bayangan liar lagi?"

"Iya." Boboiboy terdiam. Dadanya terasa ringan. Boboiboy dapat merasakan semuanya sekarang. Tidak seperti di ruangan putih tadi. Ia membiarkan tubuhnya meresap dinginnya angin lalu menarik nafas, menghirup wangi rumput dan tanah yang segar. Merasakan tekstur mereka di telapak tangannya, merasakan angin lembut yang menerpa wajah dan rambutnya.

Ia masih hidup.

"Kau masih hidup, Boboiboy."

"Aku tahu itu." Balas Boboiboy. Memanyunkan bibirnya. Ia lalu menyengir. "Kau tahu, Fang. Kau berhutang permintaan maaf padaku."

Fang mengangguk. "Iya, aku tahu itu." Ia menolehkan kepalanya ke arah Boboiboy dan menunggu si pengendali element untuk melakukan hal yang sama. Boboiboy tidak menoleh, masih jual mahal rupanya. Fang mengambil nafas sedalam mungkin.

"Maafkan aku Boboiboy, sudah menyeretmu—menyeret kalian ke dalam masalah ini. Maafkan aku, yang nggak mau mengakui kesalahanku waktu dulu dan mengakibatkan kalian semua terluka. Maafkan aku, yang nggak bisa ngelindungin kamu dengan baik." Fang tidak tergagap saat berbicara. Ia juga tidak berbisik malu saat mengakuinya. Ia salah, dan ia memang malu akan kesalahannya. Tapi Fang ingin Boboiboy tahu kalau ia sungguh-sungguh mengucapkan permohonan maaf ini. Ia ingin Boboiboy tahu kalau ia bisa berubah menjadi lebih baik.

Boboiboy menoleh, melihat Fang tepat di mata.

—jangan khawatir—aku maafkan—terima kasih—

"Apa kau sudah memaafkan dirimu sendiri?" Wajah Fang merona malu. Ia menutup wajah dengan kedua tangannya, memberikan anggukan kecil yang menjawab pertanyaan Boboiboy. Si Pengendali Element tertawa geli.

"Ahaha, syukurlah kalau begitu." Kemudian Boboiboy menyengir nakal. Fang bisa memprediksi apapun yang Boboiboy lakukan tidak akan menguntungkan Fang. "Hmm, aku masih belum puas dengan permintaan maaf saja. Setelah ini aku ingin ditraktir. Jangan makanan murah, kalau bisa di restoran bintang michelin." Boboiboy menyengir. Fang ikut menaikkan bibirnya. Senyum Boboiboy tampaknya selalu berhasil menyeret Fang ikut tersenyum.

"Kau tahu kalau uangku nggak akan cukup. Kalau traktir di kedaimu boleh?" Gurau Fang. Bohong, ia punya tabungan melebihi uang jajan teman-temannya walau digabung sekali pun. Tapi Boboiboy tidak perlu tahu hal itu.

"Ahaha! Sama saja seperti makan di rumah sendiri kalau begitu." Fang memutar otaknya mencari jalan lain. Ia lalu mendapat ide.

"Kalau masak di rumahku bagaimana? Kamu belum pernah, 'kan? Tapi kita harus beli bahan makanan dulu."

Boboiboy tampak sedang memikirkan tawaran Fang. Tapi Boboiboy sudah tahu jawaban apa yang akan ia berikan. Jari menggaruk-garuk dagu seolah sedang berpikir keras. Sengaja mengulur waktu, membuat Fang gelisah menanti jawaban sampai akhirnya Boboiboy mengangguk setuju.  "Aku suka itu."

Fang berbinar. Ia dapat merasakan cahaya hangat itu kembali. Memandikannya dalam euforia yang sejak dulu memiliki tempat spesial di hatinya. Boboiboy berdiri, merengangkan sendinya yang kaku dan menepuk-nepuk celananya yang kotor. Ia berbalik menghadap Fang yang masih duduk di bawah. Bocah bertopi itu tersenyum. Dan di bawah naungan cahaya itu, Fang meraih uluran tangan Boboiboy.

.

.

.

"—terima kasih—"

.

.

.

END


A/N:

Akhirnyaa!! Perjalan tiga tahun ini berakhir sudaaah! XD

Pertama, makasih untuk semua yang sudah meluangkan waktu untuk ngebaca fic ini dan mau nungguin hingga sekarang. Penuh suka duka, sungguh.

Aku bener-bener bisa ngelihat perkembangan gaya tulisku hahaha X) kayaknya aku nggak bisa nyelesain fic ini kalau nggak ada tugas b.indo yang ngeharusin aku nulis novel deh hehehe. Temen-temen kelasku parada kaget aku nulis cerita 200 halaman lebih dalam sebulan wkwkwk. (yup, shadow tamer 200 hal lebih kalo di kertas b5)

Pokoknya terima kasih banyak atas dukungan kaliaan! comment,vote, dan follow sangat nge-boost aku nulis ^^. Maaf banget aku perlu tiga tahun buat nyelesein nih fic, but I hope you like an happy ending.

Soal KAIZO. Akuu pertama nulis cerita ini pas tahun 2014, aku nggak tahu kalau Fang itu alien, apa lagi kalau dia punya kakak. Jadi untuk pamannya Fang awalnya aku niatnya nggak sebut nama, tapi entah napa ngerasa kalau Kaizo kalo di otak-atik asa bisa jadi paman juga deh hehe.

Namanya juga Fanfic jadi boleh di otak-atik ya :). ohya, sama maaf kalau actionnya ga banyak, soalnya jatahnya kyk udah di ambil sama chapter sebelumnya. jadi kurang lebih chapter inikyk penyelesaiannya sajaa.

mungkin itu sekian dari saya saja. semoga kita bisa bertemu lagi di cerita lain ^^

Terima kasih,
TsubasaKEI, out.

Lanjutkan Membaca

Kamu Akan Menyukai Ini

300K 10.7K 19
fakechat; bambam, lisa, tzuyu ✖️random pairing✖️ kindly vomment on my story 26/09/16 #331 Short Story 07/11/16 #222 Short Story 10/11/16 #133 Short...
1.9M 263K 51
Masuk kedalam novel dan menjadi tokoh antagonis di dalamnya. Bagaimana dia menghindar dari nasib buruknya? Di sepanjang koridor, dia pun terus meyaki...
9.6M 1.1M 67
Tidak ada perlawanan ketika tubuhnya dihempaskan ke lautan luas tersebut. Otaknya tidak merespon bahwa ia berada dalam keadaan berbahaya, tidak ada r...
535K 21K 200
•Capricorn: 22Des-20Jan •Aquarius: 21Jan-19Feb •Pisces: 20Feb-20Mar •Aries: 21Mar-19Apr •Taurus: 20Apr-20Mai •Gemini: 21Mai-21Jun •Cancer: 22Jun-23Ju...