Barista series

By acariba

118K 3.3K 219

*Warning! di peruntukkan untuk usia 18 tahun ke atas karena mengandung unsur erotisme baik secara eksplisit m... More

Barista series
Barista Series; Bab 2A
Barista Series; Bab 2B

Barista Series; Another story - Ingka

18.4K 806 75
By acariba

holaaaa olmaipreeennnn....cerita ini masih berhubungan sama barista series, tapi gak berhubungan sama bab kemaren. berhubung eke masih setres mikirin Diva, malem ini eke aplot cerita ini dulu. ini another story-nya keluarga Hendrik, si Pingkan a.k.a adek hendrik.

jangan lupa pada VOTE sama KOMEN ya! komen yang banyak biar eke bisa makin semangat lanjutin barista seriesnya. hope you like it OLMAIPREN!

ANOTHER Story-INGKA

Ini gawat!

Benar-benar gawat!

Hari pertama masuk kuliah di semester baru, aku kehujanan dan juga terlambat. Walaupun payung lumayan membantu, tapi tetap saja baju dan celanaku basah sebagian. Untung saja ini hari pertama kuliah, jadi tasku belum terisi buku dan juga laptop. Aku berlari sepanjang lorong kampus sekuat tenaga dan menyumpahi kelas pertamaku saat ini adalah kelas yang paling jauh dari area pintu masuk kampus.

Nafasku masih sesak saat aku sudah sampai di depan pintu kelas. Samar-samar terdengar suara dosen yang mengajar di dalam. Terlambat 15 menit dan itu masih dalam batas wajar. Dengan perlahan kuketuk pintu kelas dan membukanya perlahan.

“Bagi yang terlambat, silahkan menunggu di luar kelas karena Anda sudah terlambat lebih dari 16 menit!” ujar seseorang di dalam kelas.

Aku sudah kehujanan, menghabiskan separuh nafasku untuk berlari dari parkiran hingga kelas dengan sekuat tenaga dan hanya terlambat 16 menit, sudah harus diusir dari dalam kelas di hari pertama kuliah ini. Bahkan aku masih belum masuk sempurna ke dalam kelas dan dosen ini sudah mengusirku

“Tapi, Pak!” aku mencoba memohon dan membuka pintu kelas lebih lebar.

Sial!

Aku menelan ludah getir, terkesiap menatap sosok pria yang berdiri di depan kelas. Dia pun sepertinya sangat terkejut melihatku. Kami berdua sempat saling terdiam menatap satu sama lain dalam beberapa saat.

“Maaf,” ujarku panik sembari keluar dan menutup pintu.

Dari semua orang.

Dari berjuta-juta pria di dunia.

Dari beratus dosen di kampus ini, kenapa harus dia yang menjadi dosenku.

Aku kembali berlari, tapi kali ini menjauh dari kelas dengan begitu panik dan juga ketakutan. Mata kuliah ini akan terus berjalan hingga 6 bulan ke depan. Apa itu berarti aku harus terus bertemu dengannya selama 6 bulan ke depan?

*****

“Rio,”

Aku melirik bingung ke arah tangan yang terjulur di depanku. Cukup terpesona ketika melihat pemiliknya. Seorang pria keturunan yang tampan dan bertelanjang dada terlihat tersenyum kepadaku.

“Maaf, di sini nggak ada menu dengan nama ‘Rio’,” jawabku bingung.

Dia terkekeh kemudian kembali menyorongkan tangannya.

“Itu namaku, Rio,” ujarnya lagi.

“Terimakasih infonya,” jawabku sembari kembali mengelap semua gelas di hadapanku dan membiarkan tangannya tetap sendiri di udara.

Satu bulan setengah liburan kuliah, aku harus terbang ke Bali dan membantu cafe milik Hendrik, kakakku. Seharusnya ini menjadi liburan yang menyenangkan di Bali, kalau saja aku tidak terjebak di dalam Cafe di sekitaran pantai ini. Sementara si Hendrik malah asik menemani keponakanku syuting di Lombok. Aku tersadar kembali akan sosok pria itu ketika mendengarnya mendengus keras.

“Kamu sudah tahu namaku, harusnya kamu juga bilang namamu, Nona Cantik!” ujarnya sembari menarik tangannya yang menganggur di depanku tadi.

Sekali lagi, pria yang menyebalkan muncul di hadapanku. Sejak hari pertama hingga sekarang sudah 3 hari aku menjaga Cafe ini, sudah beberapa pria muncul dan meminta berkenalan dengan cara-cara yang kolokan. Yang terakhir berakhir dengan bekas tendangan di tulang keringnya karena tiba-tiba merangkulku. Sekarang muncul lagi pria seperti ini, walaupun yang sekarang wajahnya jauh lebih tampan dibandingkan semua pria sebelumnya. Seandainya saja kakakku bukan seorang playboy dan perayu, mungkin aku sudah bisa bersenang-senang dan mempercayai seorang pria saat ini. Sayangnya, karena terbiasa melihat semua rayuan Hendrik kepada semua perempuan yang dia temui, aku menjadi kebal terhadap semua rayuan. Seharusnya pria ini juga kutendang menjauh, tapi teringat wajah Hendrik yang marah di Skype karena perilakuku terakhir yang menendang pelanggan. Itu semua karena Mike, tangan kanan Hendrik,

yang ikut membantuku menjaga cafe ini. Seenaknya saja dia membocorkan kejadian menendang pelanggan kepada Hendrik di Lombok.

“Nama saya, Ayu,” jawabku sekenanya sembari menyebutkan nama salah satu karyawan Hendrik.

Baik, apalagi setelah ini? Apa rayuan seperti Papamu seorang astronot atau apa?

“Terimakasih infonya,” balasnya sembari tersenyum kemudian meninggalkanku.

Mau apa dia?

****

“Mbak Ingka, dateng lagi tuh si mas ganteng!” Ayu menyenggol lenganku dan melirik ke arah Rio yang kembali muncul di cafe ini.

Pria bernama Rio itu sudah berkali-kali datang ke cafe dalam jangka waktu seminggu ini. bahkan sehari dia bisa datang 3 kali. Setiap kedatangannya selalu memberikan satu penyataan dan satu pertanyaan kepadaku. Seperti berapa umurku, dimana tempat tinggalku, apa aku sudah punya pacar (pertanyaan ini langsung ku jawab dengan bantingan keras pesanannya di meja). Kemudian setelah mendapatkan jawaban dari setiap satu pertanyaan itu (seringnya ku jawab sekenanya saja), dia segera pergi, tapi hari ini berbeda. Sampai di hari ini aku sudah tahu kalau namanya Rio, usianya 28 tahun yang punya sebuah kantor konsultan. Sementara jawaban dariku sementara ini hanya kebohongan seperti namaku Ayu dan seorang freelance di cafe ini, serta kejujuran seperti umurku 21, bulan depan dan aku bukan orang Bali. Hari ini dia datang menjelang Cafe akan tutup.

“Hai, Ayu!” sapanya sambil mengedip cepat kepadaku.

Aku memberikan senyum pelangganku dan pemilik nama ‘Ayu’ yang sebenarnya bergegas masuk ke dalam pantry sembari menahan tawanya.

“Tumben datang jam segini? Ini hampir waktu tutup cafe, Rio,” tanyaku penasaran.

“Aku memang sengaja,” jawabnya dengan senyumannya yang lebar.

“Ada pesanan, Rio? Atau pertanyaan seperti biasa?”

Dia terkekeh.

Kenapa senyumnya begitu mempesona?

“Tidak, kali ini aku mau mencoba peruntunganku,” ujarnya sembari menatap meja bar.

“Semoga berhasil!” jawabku sekenanya sembari mengelap meja bar yang sedikit kotor.

“Keberhasilan itu sebenarnya tergantung jawabanmu,” jawabnya sambil melirikku.

Kenapa sekarang aku harus menjadi penentu keberhasilan seseorang? Memangnya aku jimat?

“Kenapa gitu?” tanyaku heran.

Dia kembali tersenyum dan jujur itu membuat dadaku berdebar.

“Kamu mau kencan sama aku malam ini?”

Aku melongo mendengar permintaannya. Biasanya aku sudah menyiram atau menendang seseorang yang seenaknya berkata seperti itu kepadaku, tapi kenapa kali ini hatiku malah sepertinya senang? Hatiku seakan memberi pembenaran, bahwa inilah saatnya aku melepaskan diri dari semua kewaspadaanku yang berlebihan dan berpikir bahwa tidak semua pria seperti Hendrik.

“Aku cuma minta kamu temani jalan-jalan di sekitar pantai atau makan malam di restoran. Setelah itu aku langsung mengantarmu pulang. Kamu boleh mengajak siapapun untuk menemanimu,” ujarnya separuh memohon.

Aku terdiam.

“Bagaimana?” tanyanya lagi.

Aku masih terdiam.

“Sepertinya aku gagal ya?” ujarnya kecewa sembari beranjak pergi.

Aku melihat punggungnya yang lebar semakin menjauh.

“Tunggu!”

Tanpa kusadari kata-kata itu meluncur dari mulutku

****

“Jadi sekarang sudah resmi pacaran ya?” tanya Mike tiba-tiba.

Hari masih sore dan aku sudah ditodong pertanyaan seperti itu dari Mike. Dia tersenyum melihatku yang salah tingkah setiap membahas soal Rio dan aku.

“Apaan sih! Kamu tuh, gimana sama Senia? Kemarin bukannya baru ketemu selama seminggu? Asyik ni ye!” godaku, berusaha membelokkan pertanyaan Mike.

“Lumayan,” jawab Mike tidak bersemangat.

“Kenapa lagi? Kalian berantem? Awas kalau sampai kamu bikin nangis keponakanku!”

“Bukan gitu, aku pingin segera balik ke Jawa. Paling enggak di sana biar ada Pak Hendrik, aku masih bisa sedikit bebas jalan sama Senia,” ujarnya lemas.

Aku menahan tawa mendengar keluh kesah Mike. Sekali lagi Hendrik menjadi pengganggu dalam hubungan anaknya dengan Mike. Sebagai pria, dia seorang playboy brengsek yang suka merayu wanita, tapi sebagai ayah, dia benar-benar menjadi sosok yang amat sangat protektif kepada anak gadisnya.

“Tenang Mike, lusa kita bisa bebas! Manajer baru Hendrik bakalan dateng 2 hari lagi dan kamu bisa kencan lagi sama Senia! Yeeeyyy!” ujarku menyemangati Mike dan hanya dibalas senyum kecut dari Mike.

“Jadi setelah hampir 3 minggu ini, kalian bener-bener resmi pacaran?” Mike kembali bertanya tanpa menoleh ke arahku.

Kenapa Mike harus menanyakan pertanyaan itu lagi? Dan kenapa Rio sudah ada di dekat kami? Kapan dia datang?

Rio sudah duduk di meja bar dan tersenyum malu mendengar pertanyaan Mike. Sejujurnya, tidak ada kata pacaran yang terucap sama sekali dariku dan Rio. Kami sering jalan berdua, membicarakan banyak hal, sesekali bergandengan tangan dan juga saling menatap mesra, tapi tak pernah sekalipun mengucapkan kata cinta satu sama lain.

“Hai, jadi kita kencan hari ini?” tanya Rio sembari menatapku mesra. Aku tersenyum membalas tatapannya.

“Bukannya kalian setiap hari kencan?” tanya Mike yang membuatku langsung menginjak keras kakinya. Rio terkekeh mendengarnya sementara Mike menahan sakit dan membuat wajah bulenya terlihat sedikit meringis.

“Sorry Mike, tapi bisa kan aku pinjam lagi Nona cantik ini?”

Sekali lagi, aku tersipu mendengar Rio memangilku seperti itu. Tanpa menunggu persetujuan Mike, aku segera melangkah keluar dari meja bar dan menerima uluran tangan Rio yang sudah siap membawaku berjalan-jalan di pantai.

Kami selalu berjalan bersama di sore hari sembari bergandengan tangan seperti saat ini. Menatap matahari yang terbenam d pinggir pantai, kemudian makan di restoran sekitar sebelum kembali pulang. Sama seperti hari ini.

“Yu, aku mau mencoba peruntunganku lagi,” ujar Rio ketika kami masih duduk di pinggir pantai, melihat matahari yang menjelang terbenam.

“Ya?”

Rio menatapku gugup kemudian menelan ludah. Apa ini saatnya?

“Yu, kamu mau nggak jadi pacarku?” tanyanya tiba-tiba.

Hatiku terasa seperti melambung dan melayang di angkasa saat kata-kata itu terucap. Sungguh, dalam beberapa minggu ini aku selalu menunggu kata-kata itu terucap dari Rio.

“Sebelumnya aku mau membuat sebuah pengakuan,” ujarku perlahan. Banyak kebohongan yang kuucapkan dan itu semua harus di selesaikan sebelum kami memulai hubungan ini.

“Apa, Cantik?” tanyanya sembari menggenggam kedua tanganku erat.

“Sebenarnya aku…”

“Rio!”

Aku terkejut, seseorang memanggil nama Rio dan memotong semua perkataanku. Siapa brengsek sialan itu? Rio terlihat gugup menatap orang-orang yang menyapanya dan ketika aku menoleh, aku bisa melihat gerombolan pria yang sibuk tersenyum dan melambai kepada Rio. Tunggu, sepertinya aku kenal mereka.

“Hoi, Bro. berhasil juga Lo!” ujar salah satu dari para pria itu ketika mereka mendekati kami.

Rio hanya tersenyum dan menerima jabatan tangan mereka. Samar-samar aku mulai teringat satu-persatu wajah para pria itu. Mereka adalah para pria yang sempat mendkatiku dan meminta berkenalan. Bahkan yang tersenyum paling mesum di antara semua adalah pria yang mendapatkan tendangan dariku. Kenapa Rio bisa mengenal mereka?

“Gila Lo, Mas Bro. menang juga Lo dari kita semua. Tekor Gue harus bayarin semua biaya hotel Lo!” ujar si mesum sembari menepuk lengan Rio.

“Apa maksudnya ini, Rio?” tanyaku bingung menatap Rio yang tampak terdiam.

“Maksudnya, Rio deketin Lo karena kita pada taruhan siapa yang bisa dapetin Lo, cewek sadis!” ujar si mesum. Beberapa pria lain tampaknya mulai menarik si mesum dan mengalihkan perhatiannya.

Sekarang semuanya jelas, kenapa para pria itu mendekatiku. Kenapa mereka begitu getol datang satu persatu kepadaku. Dan Rio ternyata adalah salah satunya. Mataku terasa panas dan bisa kurasakan wajahku memerah. Sial, jangan sampai aku menangis di depan mereka. Rio menarikku ketika aku hendak melangkah pergi, tapi langsung kutepiskan.

“Ayu, ini semua nggak seperti kata mereka!” ujar Rio panik.

“Terus? Kamu mau bilang kalau kamu nggak ikut semua taruhan itu?” sentakku sembari terus berusaha pergi.

“Itu…” Rio terdiam dan terlihat kebingungan setelahnya.

“Brengsek kamu, Rio!” teriakku marah dan meninggalkannya.

Si Mesum tertawa terbahak-bahak sementara temannya yang lain terlihat putus asa melihat tingkah si mesum. Aku berbalik sebentar kemudian menendang si mesum hingga dia terjungkal kemudian kembali pergi meninggalkan mereka. Berlari menuju Cafe dan membereskan semua barang-barangku. Aku harus kembali pulang dan melupakan semua masalah ini.

****

Setelah menghabiskan sisa liburanku dengan menangis dan meratapi nasib percintaanku yang tragis dan me-blokir nomer Rio dari ponselku, kenapa sekarang aku malah bertemu dengannya di sini, di kampus ini, di kelas tadi? Aku kembali merasa terjatuh dalam jurang kesengsaraan. Kembali meratapi nasib di kantin, terduduk mengeluarkan erangan-erangan menyayat jiwa.

“Pesen apa mbak Ingka?” tanya bu Kantin yang mengagetkanku.

“Pesen hati bisa nggak bu? Hati saya sakiiiittt…” ujarku sembari menempelkan pipiku kemeja kantin.

“Emang kenapa mbak Ingka? Baru diputusin pacar?”

“Bahkan saya diputus sebelum pacaran bu…”

“Lha piye tho? Kok komplikasi gitu?”

Aku bangun dan menatap bu kantin bingung.

“Komplikasi?”

“Itu lho mbak Ingka, bahasa inggerisnya ruwet!”

Complicated?” tanyaku heran.

“Nhaaa itu! Lidah orang Jowo mbak!” jawab Bu Kantin sembari terkekeh, “Eh Mbak Ingka, ada gosip baru!”

Sekali lagi aku tersadar, disisa tahun kuliahku ini sering kuhabiskan untuk bergosip dengan Bu Kantin juga anak-anak. Betapa jaringan gosip Bu Kantin begitu luas, mengalahkan informasi dari bidang akademis. Sedikit banyak membantuku dalam pencarian informasi tentang dosen.

“Apaan Bu?”

“Ada dosen baru, ganteng pula, Mbak Ingka! Dia baru mulai ngajar hari ini. Tadi saya sempat lihat, dan aduuuhhh… coba saya jadi mahasiswa, sudah saya gebet mbak! Denger-denger doi masih jomblo sama kaya lho, Mbak! Bawaannya aja mobil bagus!”

Aku kembali terpuruk. Kembali meletakkan kepalaku yang terasa berat di meja lagi.

“Namanya itu kalo nggak salah, Pak… Pak…”

“Rio…” jawabku lemas.

“Nha, itu! Rio Permadi! Mbak Ingka kok tahu?” tanya Bu Kantin.

Sebelum aku sempat menjawab, sebuah tepukan keras terasa di punggungku. Sosok besar Nonik muncul dan tersenyum lebar memperlihatkan dua gigi serinya yang paling besar di antara gigi lain.

“Pertama kuliah, dah telat. Disuruh nemuin dosennya tuh!” ujar Nonik sambil mencomot kue yang tersedia di meja.

“Ha? Siapa yang nyari?” tanyaku bingung.

“Pak Rio, dosen baru kita yang ganteng ntu! Haduuuhhh…bakalan rajin neh kuliahnya kalo dosennya model begitu,” jawab Nonik dengan mulut penuh kue.

Aku terkesiap mendengar bahwa diriku harus menghadap ke Rio. Walaupun sekarang dia dosenku, tapi kejadian ketika di Bali masih berputar di kepalaku.

“Ogah ah! Ngeri!” tolakku.

“Ih, berani mati nih ceritanya. Temuin aja! Entar aku yang kena, dikira nggak nyampein pesen Pak Rio!” paksa Nonik. Aku menggeleng ketakutan, membuat Nonik berdecak, “Aku temenin dah!”

Tanpa menunggu persetujuanku, Nonik menarik lenganku keras dan menyeretku menuju ruang dosen. Bahkan meronta akan percuma kalau orang yang menarikmu adalah seorang Nonik yang bertubuh besar. Akhirnya aku pasrah menerima nasibku, harus berhadapan kembali dengan mimpi manis yang berubah burukku. Entah kenapa perjalanan menuju ruang dosen menjadi terasa jauh dan berat. Bahkan ketika kami sudah sampai di ruangan Rio lenganku terasa berat untuk mengetuknya. Membuat Nonik terlihat gerah

dengan sikapku. Bagaimanapun aku belum siap bertemu dengan Rio kembali.

Sebelum akhirnya aku memberanikan diri mengetuk ruangan itu, pintu ruangan tiba-tiba terbuka dan muncul beberapa dosen wanita yang tertawa dan menggoda Rio. Tak lama Rio terlihat mengantar mereka dan sedikit terkejut melihatku. Bagus, untuk apa aku ketakutan bertemu dengan cowok brengsek seperti dia?

“Kamu…” Rio tampak bingung melihatku. Sementara raut mukaku sudah berubah dari yang sebelumnya ketakutan menjadi marah.

“Saya sudah mengantar dia, Pak!” ujar Nonik melaporkan. Dasar pengkhianat.

Rio memberi Nonik senyuman dan membuka pintu lebih lebar supaya aku bisa masuk. Tepat ketika Nonik akan ikut masuk, Rio menutup pintunya. Membuat hanya kami berdua yang ada di ruangannya. Apa yang akan dia lakukan?

Kali ini aku bisa melihatnya lebih jelas daripada tadi pagi saat kami bertemu. Penampilan yang jelas jauh berbeda daripada saat di Bali. Kali ini dia tidak memakai kaos, celana pendek atau bertelanjang dada yang meunjukkan badan sempurna miliknya, tapi berpakaian rapi dengan kemeja dan juga celana kain. Membuat kesan yang jauh berbeda daripada saat aku bertemu pertama kali.

“Maaf saya tadi pagi terlambat, Pak. Saya sempat terjebak hujan,” ujarku tanpa menatap Rio sama sekali.

“Ya,” ujarnya singkat sambil tetap menghalangi pintu.

“Kalau begitu permisi,” ujarku lagi sembari berharap dia menyingkir dari pintu dan membiarkanku pergi.

“Jadi nama Ayu itu kebohongan ya?” ujarnya tiba-tiba.

Aku terdiam mendengarnya.

“Nama Pingkan Falevi menjadi Ayu? Kenapa kamu bohong?”

Kali ini aku menatap wajah Rio yang terlihat angkuh di depanku.

“Untuk apa saya jujur dengan seorang penipu?”

“Kamu salah paham Ay…maksudku Pingkan!” Rio merengek di hadapanku.

“Terus, bagian mana yang harus kupercaya? Bagian pekerjaan sebagai konsultan atau soal taruhan?”

“Pingkan, kamu sa…”

“Pak, maaf!” aku menghentikan ucapan Rio, kemudian menghela nafas pelan. “Anda dosen dan saya mahasiswa anda. Saat harap hubungan kita akan menjadi seperti itu, karena saya nggak mau berharap lebih. Saya permisi dulu, setelah ini saya masih ada kuliah.”

“Pingkan,” Rio menahan lenganku dan langsung kutepiskan.

“Pak, ini di kampus! Saya mahasiswa anda dan anda dosen saya!” sentakku sembari membuka pintu dan berlari keluar, meninggalkan Nonik yang ternyata menungguku di depan.

****

“Kalian berdua sebenernya kenapa?” tanya Nonik tiba-tiba siang itu.

Aku tercenung dan merasakan nasi yang kumakan, tersangkut di tenggorokanku. Sedikit kesakitan aku segera mengambil dan menyedot es teh di sebelah piringku.

“Aku sama siapa?” tanyaku bingung setelah nasi yang tadinya tersangkut, jatuh dengan sukses ke perutku melewati tenggorokan. Sekali lagi aku menyedot es tehku.

“Kamu sama…” Nonik melihat kanan dan kirinya kemudian meyorongkan tubuhnya mendekatiku, berbisik, “Pak Rio.”

Aku terkejut, bahkan karena sangat terkejut, tanpa sengaja menyemburkan es teh yang ada di mulutku ke wajah Nonik.

“Sompret!”

“Maaf…maaf Non, aku nggak sengaja! Kamu sih, aneh-aneh aja! Dapet gosip dari siapa sih? Bu Kantin?” ujarku sembari mengelap wajah Nonik dengan lap yang ada di situ.

“Bukan! Semenjak kalian ketemu di kantornya seminggu yang lalu, sikap kalian aneh, tau nggak sih?”

“Aneh?”

“Ya apa namanya kalo nggak aneh. Setiap ketemu, Pak Rio selalu ngelihatin kamu terus, tapi kamu pura-pura gak tahu ada dia. Kalau sudah menjauh, gantian kamu yang lihatin dia terus. Puncaknya waktu tadi kuliah, kalian keliatan salah tingkah banget, tau nggak sih? Busyet, bau amat lap-nya, Ka?” ujar Nonik.

“Ah, perasaan adek Nonik saja!” godaku sambil terus melap wajahnya.

Tiba-tiba Bu Kantin datang sembari membawa pesanan Nonik.

“Ini nasi goreng porsi besar sama jus alpokat Mbak Nonik,” ujarnya sembari meletakkan pesanan Nonik di atas meja.

Bu Kantin terlihat sedikit kebingungan dan kemudian seperti mencari sesuatu di atas meja.

“Cari apa Bu?” tanyaku bingung.

“Anu mbak Ingka, itu…anu… kok lap meja Ibuk hilang ya? Tadi seingat ibuk ada di sini. Mau di cuci soalnya?”

Setelah itu terdengar teriakan histeris Nonik sembari berlari menuju kamar mandi terdekat. Sementara aku cuma meringis dan menyerahkan lap di tanganku ke Bu Kantin yang masih terkejut dengan tingkah Nonik.

****

Setelah kejadian tadi siang, hari ini aku sukses harus pulang sendiri gara-gara Nonik masih ngambek. Itu berarti aku harus menunggu angkot di depan kampus dan teringat lagi akan semua kata-kata Nonik. Apa benar Rio melihatku terus menerus saat kami berpapasan? Apa dia masih melanjutkan taruhannya dengan semua temannya? Kenapa juga aku harus terus memikirkan dia?

Aku tertunduk duduk di halte menunggu angkutan yang lewat. Memikirkan kembali semua perasaanku. Apa benar aku masih menyukai Rio? Setelah semua kebohongan yang dia utarakan, apa aku masih terus mengharapkan dia?

Sebuah Fortuner hitam berhenti tepat di depanku membuatku sedikit merasa sebal. ini berarti aku harus sedikit menjauh untuk menunggu angkutan. Bagaimana bisa mobil pribadi berhenti tepat di depan halte? Aku sudah siap menyindir pemilik mobil itu ketika kudengar suara pintu pengemudi tertutup. Sayangnya, ketika aku mengetahui siapa pemiliknya, mulutku malah membisu.

Mau apa Rio di sini?

“Aku mau bicara, ayo ikut!” ujarnya sembari berdiri di hadapanku.

“Nggak ada yang perlu di bicarakan, Pak. Seperti saya bilang, saya mahasiswa dan bapak do…”

“Aku sudah bukan dosen! Ini sudah di luar kampus. Saat ini aku cuma seorang Rio Permadi!”

Aku terdiam, menelan ludah getir. Tangan Rio menarik lenganku dan mengajakku paksa masuk ke dalam mobilnya. Aku menyumpahi diriku sendiri, kenapa aku tidak mampu menolaknya? Ketika kami sama-sama sudah berada di dalam mobil, dia menatapku sebentar, kemudian mulai menjalankan mobilnya.

“Kita mau kemana?” tanyaku membuka pembicaraan.

“Makan siang!” ujarnya singkat.

“Aku nggak lapar!”

“Kalau gitu, kita ke rumahku saja!”

Apa? Apa dia gila mengajakku ke rumahnya? Apa maunya? Ini nggak boleh!

“Aku mau makan pizza aja kalau gitu!” ujarku cepat.

Restoran pizza cukup aman bagiku. Banyak orang dan juga pelayanan yang cukup cepat akan membuat waktu pertemuan yang singkat. Aku sempat melihat sedikit senyuman tersungging di wajahnya yang tampan. Setelah lama pulang dari Bali, aku baru tahu ternyata kulit Rio berwarna putih. Warna kulitnya ketika di Bali lebih gelap. Sepertinya itu gara-gara dia selalu berjemur di sana. Kenapa aku berpikir seperti itu?

“Bagus, aku juga mau makan sesuatu yang sangat mengenyangkan,” ujar Rio sembari memutar setirnya dan berbelok ke arah jalan menuju restoran pizza terdekat.

Selama perjalanan hingga ke restoran pizza, kami hanya saling terdiam. Bahkan ketika sudah duduk dan mulai memesan. Baru ketika pelayang resto pergi membawa pesanan, Rio berdehem pelan memulai pembicaraan.

“Kamu masih suka aku, Ka?”

Aku melotot mendengar pertanyaan Rio yang tiba-tiba itu. Hampir saja aku akan mengamuk seandainya pelayan itu tidak datang membawa sepiring garlic bread untuk kami. Pelayan wanita itu mengedipkan matanya kepada Rio dan Rio membalasnya dengan sebuah senyuman. Setelah menanyakan tentang perasaaku, sekarang dia membalas godaan wanita lain di hadapanku. Semua pria sama saja! Aku mengambil kasar garlic bread di hadapanku dan memakannya rakus. Sementara Rio hanya tersenyum melihatnya.

“Aku masih sayang sama kamu, Ka!” ujarnya lagi.

Bullshit

!

Setelah dia tersenyum dengan gadis lain di hadapanku, dia masih berharap aku percaya semua kata-katanya?

“Aku nggak percaya sama kata-kata pembohong!” jawabku dengan mulut penuh. Sebodo amat, ada serpihan roti yang mungkin saja keluar dari mulutku. Paling tidak dia itu bisa membuatnya merasa jijik dan menjauhiku. Tapi yang terjadi malah sebaliknya, dia berdiri dan berpindah, duduk di sebelahku. Membuatku berjengit dan mengambil tempat duduk paling pojok.

“Awalnya memang aku ikut sama semua taruhan brengsek itu, tapi seiring waktu, aku jatuh cinta sungguhan sama kamu, Ingka. Setelah kejadian di pantai waktu itu, aku berusaha menghubungi kamu lagi. Aku datang ke cafe, tapi kata Mike kamu sudah pulang ke Jawa. Aku hubungi nomer ponselmu, tapi sepertinya kamu sudah memblokir nomerku. Mike juga sama sekali nggak mau memberi informasi apapun soal kamu. Sampai akhirnya temenku menawari pekerjaan dosen selama aku di Jawa dan ketemu kamu pagi itu.”

“Aku bener-bener senang saat ketemu kamu pagi itu. Setelah sekian lama aku mencarimu, akhirnya kita ketemu. Seandainya saat itu bukan saat ngajar, aku sudah meluk kamu, Ingka.”

Aku termenung mendengar semua penuturannya, kemudian hanya mampu terdiam saat pesanan kami datang. Kami berdua makan di dalam diam dan aku membiarkan saat tangan Rio menggenggam tanganku di bawah meja, erat. Bahkan sampai kami selesai makan dan meninggalkan restoran, dia masih menggenggam tanganku erat. Menggandengku sampai aku masuk ke dalam mobilnya.

“Aku antar kamu pulang, rumahmu dimana?” tanya Rio lembut.

“Nggak usah aku naik angkutan aja di depan jalan nanti,” tolakku.

“Sepertinya aku nggak bisa ngebiarin kamu ngelakuin itu.”

“Kenapa?” tanyaku bingung.

Rio tersenyum.

“Pertama, aku mau lebih lama sama kamu, Ka. Kedua,” Rio terdiam kemudian menyalakan mesin mobilnya dan mulai menghidupkan wipper-nya. membuatku tersadar bahwa di luar sedang hujan dan semakin deras setiap saatnya. “Aku nggak bisa ngebiarin kamu pulang kehujanan”

Aku hanya bisa pasrah dan mengatakan alamatku kepadanya. Sepanjang perjalanan dia selalu menggenggam tanganku dan melepasnya hanya pada saat akan mengganti perseneling. Entah kenapa aku hanya bisa terdiam membiarkan dia melakukan itu semua. Jauh di dalam hatiku, aku sebenarnya bahagia dan mengharapkan itu semua, tapi aku sama sekali tidak menjawab pertanyaan Rio tentang perasaanku padanya. Masih ada rasa ragu yang menggantung di hatiku.

Hingga akhirnya kami sampai di depan rumahku. Rio mematikan mesin mobilnya dan tidak melepas genggamannya. Dia menatapku lembut dan mencium buku-buku jariku. Itu membuat dadaku terasa berdesir. Aku kembali teringat saat kami berada di Bali, selalu bergandengan tangan dan sesekali dia akan memberiku tatapannya yang lembut seperti saat ini.

“Aku turun dulu,” pamitku.

Tapi tangannya masih menggenggam tanganku, membuatku tidak bisa melakukan apapun selain hanya terdiam. Kemudian Rio mencondongkan tubuhnya mendekatiku, kemudian menciumku lembut di bibir. Sekali lagi aku terjatuh pada lautan cinta dan suasana yang sempat terjadi di Bali. Membuatku semakin yakin bahwa aku mencintai Rio, mencintai pria yang kutemui di Bali, mencintai dosenku.

Dosenku!

Aku tersadar dan mendorong keras Rio untuk menjauh.

“Ini nggak boleh. Lebih baik kamu pulang, Rio!” ujarku sembari tergesa membuka pintu kemudian turun dari mobil Rio dan berlari menuju rumahku di tengah hujan. Aku segera mengunci pintu rumahku, berharap Rio tidak menghampiri rumahku. Kemudian terdengar suara mesin mobil yang dihidupkan. Membuatku mengintip dari jendela dan melihat mobil Rio mulai meninggalkan depan rumahku.

Aku terduduk di lantai dan menunduk pasrah. Bagaimana aku bisa begitu bodoh? Dia dosenku dan aku mencintai dosenku!

****

Masih pagi dan aku dikejutkan dengan sosok Rio yang menungguku di depan rumah. Bagaimana bisa dia datang sepagi ini. saat aku harus kuliah? Dia mengangkat tasku dan membuatku tak bisa tidak mengacuhkannya. Setelah kejadian kemarin, aku berlari masuk rumah sampai lupa membawa tasku dan membuatnya tertinggal di mobil Rio.

“Kamu mau apa?” tanyaku sembari merebut tasku dan memasukkan beberapa buku ke dalamnya dari tasku yang saat ini kubawa.

“Ngejemput pacar aku,” jawabnya sambil tersenyum.

“Aku bukan pacar kamu, Rio!” jawabku kesal.

Rio tampak sedikit terkejut mendengar ucapanku. Senyuman di wajahnya memudar dan berubah menjadi serius.

“Setelah kemarin, kamu masih bilang nggak punya perasaan sama aku?” tanyanya serius.

Aku menatap Rio kesal. Bagaimana bisa dia tidak memikirkan apapun yang mungkin terjadi?

“Kamu itu dosenku, dan aku mahasiswamu, Rio!”

“Terus?”

“Terus kalau kita pacaran, pasti akan ada nepotisme dalam berbagai hal, misalnya nilai.”

“Aku nggak akan melakukan itu! Itu semua hal yang beda, Cantik.”

Dadaku kembali berdesir saat dia memanggilku cantik. Terakhir kali kami mendengarnya saat kami masih di Bali.

“Kamu nggak akan melakukannya, tapi pikiran orang lain pasti beda! Nilaiku bagus atau jelek, itu pasti akan dihubungkan sama kamu. Aku nggak mau itu!” jawabku sambil berjalan meninggalkannya.

Sebuah sentakan membuatku kembali dan sudah berada di pelukan Rio. Aku berusaha melepaskannya, tapi Rio terlalu kuat memelukku. Seharusnya aku menendangnya, tapi aku juga menikmati pelukannya. Merasakan perutnya yang keras dan wangi sabun bercampur parfum beraroma apel dari tubuhnya.

“Kalau begitu, kita rahasiakan ini semua. Cukup kamu sama aku yang tahu. Kita bertahan sampai kamu lulus, baru membuka status kita,” ujarnya sembari tersenyum.

“Apa? Jangan seenaknya!”

“Salahmu, membuatku terlanjur jatuh cinta!”

“Siapa yang bertaruh mendapatkanku? Justru aku korbannya! Sekarang lepaskan aku, hari ini aku ada kuliah pagi.”

“Aku tahu!”

“Apa? Gimana kamu tahu? Kamu lihat Jadwal kuliahku? Itu curang, Rio!”

“Kamu baru kasih aku ide buat selanjutnya, tapi aku tahu jadwal kuliahmu pagi ini karena ini jadwalku ngajar. Kamu lupa kalau mengambil kelasku, Ka?”

Apa?

Aku benar-benar lupa. Rio tersenyum penuh kemenangan kemudian mendaratkan ciuman sekilas di bibirku.

“Kamu nanti aku turunkan di depan gerbang kampus, jadi nggak usah khawatir. Ayo naik!”

Dan aku kembali terjebak dengan dosenku yang tampan ini.

****

“Kamu telat 4 menit 20 detik, Pingkan Falevi! Apa alasanmu?”

Kampret!

Rio menatapku yang masih terengah-engah karena baru saja berlari dari depan kampus tempat dia menurunkanku. Aku terlambat juga karena perbuatannya. Dia yang menghambat waktu aku akan berangkat menuju kampus, walaupun akhirnya dia mengantarkanku.

“Maaf Pak, tadi ada

kucing kampung yang nggak mau lepas dari saya!” jawabku masih terengah-engah. Setengah dari kelas tertawa dan wajah Rio sedikit melunak.

“Cepat duduk, nanti kamu kumpulkan dan bawakan jawaban kuis hari ini ke ruangan saya sebagai hukumannya!”

APA? KUIS?

Bukan cuma aku yang terkejut, tapi seluruh kelas. Baru tiga kali pertemuan, dan si dosen menjengkelkan itu sudah memberi kuis. Aku duduk di sebelah Nonik dan mendapatkan tatapan memohon pertolongan dari Nonik.

“Kamu pikir aku belajar? Bahkan aku nggak masuk di pertemuan pertama!” bisikku kesal menghadapi tatapan Nonik.

Dan kami melewati kuis hari itu dengan penuh penderitaan.

****

“Semua soal ini sudah dibahas di pertemuan kedua kemarin! Gimana bisa kamu lupa?” sentak Rio di ruangannya saat aku duduk karena di suruh menunggu kuliah berikutnya di ruangannya.

Bagaimana caraku bisa tahu? Minggu kemarin aku terlalu sibuk mengatur perasaanku pada dosen baruku yang ternyata cowok yang mendekatiku saat di Bali. Otomatis selama kuliah aku cuma bisa tertunduk dan konsentrasiku buyar sama sekali.

“Maaf Pak,” jawabku sebal.

“Terus kucing tadi apa?” tanyanya lagi sambil menggodaku.

Wajahku memerah, menahan malu.

“Terus aku harus bilang apa? Pacarku datang dan memaksa mengantarkan kuliah, tapi karena dia dosenku, jadi aku harus turun di depan kampus dan berlari sampai kelas?” aku semakin kesal.

Rio berdiri mendekatiku yang duduk di seberang mejanya.

“Jadi, kamu sudah mengakui kalau aku pacarmu?” tanyanya senang.

Sialan!

Sekali lagi aku tertangkap mengharapkan dia.

“Kamu kan yang bilang!” aku mencoba beralasan.

Rio mendekatkan wajahnya ke arahku dan mencoba menciumku lagi sebelum aku mendorongnya menjauh.

“Astaga, Rio! Ini masih di kampus! Bahkan aku masih manggil kamu ‘Pak’!”

Rio mendengus keras kemudian kembali duduk di tempatnya.

“Kamu sudah menentukan tempat untuk kegiatan Praktek-mu nanti?” tanya Rio sembari kembali mengkoreksi kuis tadi. “Lihat, bahkan soal ini sudah di bahas pada saat kita hampir keluar kelas! Kenapa kamu malah nggak bisa?”

Aku kembali cemberut saat dia membahas soal kuis yang tidak bisa kukerjakan.

“Sudah, tinggal menunggu persetujuan perusahaan saja!” jawabku.

“Oh ya? Perusahaan konsultan apa?” tanya Rio penasaran.

“Ra-ha-si-a!” jawabku mengodanya.

****

Rio tersenyum, dan aku yakin kalau tidak ada Nonik, Odea dan Eka, pasti dia sudah tertawa ngakak di hadapanku. Bagaimana bisa perusahaan konsultan ini miliknya? Dari beribu-ribu perusahaan, kenapa aku malah terjebak kembali bersamanya?

“Enak nih kalau Pak Rio jadi atasannya. Bisa sekalian nanya-nanya soal kuliah!” ujar Odea.

“Boleh, saya malah senang. Kebetulan selama proyek ini, saya tinggal di ruang paling atas gedung ini. Sebagai bos perusahaan ini, saya mohon bantuan kalian, dan sebagai dosen, saya harap kalian bisa mengambil banyak pelajaran dan juga pengalaman di sini,” jawab Rio.

Semua orang bergembira, sementara aku semakin tepuruk. Setelah berjuang mengatasi semua godaan Rio di kampus, sekarang aku juga harus menahan diri dari godaannya di tempat kerja praktek.

Setelah pagi dia menjemputku pertama kali, Rio benar-benar menjemputku setiap jadwal kuliahku yang tinggal 3 mata kuliah saja dan juga mengantarku pulang. Kadang-kadang kami juga pergi kencan, tapi itupun memilih tempat yang sangat jauh, atau hanya di rumahku dan membahas semua kuliah yang menurutnya perlu kuperbaiki. Saat kupikir waktu praktek adalah waktu yang tepat melepaskan semua ketegangan ini, aku kembali terpuruk mendapati Rio kembali muncul. Parahnya, ini semua pilihanku sendiri.

“Pak Rio cakep juga ternyata kalau nggak pake kemeja,” ujar Eka berbisik padaku dan Nonik.

Aku melihat penampilan Rio saat ini, memakai kaos dan juga celana jeans dengan sepatu boot cokelat. Dia memang terlihat lebih tampan kalau memakai pakaian itu. Walaupun penampilannya saat jadi dosen juga cukup menarik.

Girls, bisa kalian bantu Odea disini dan salah satu membantuku mengisi daftar?” tanya Rio tiba-tiba.

Dan sialnya Eka dan Nonik berubah menjadi pengkhianat. Mereka berebut membantu Odea yang kemarin didaulat menjadi cowok tertampan di kampus dan membuatku menjadi satu-satunya orang yang harus membantu Rio. Aku tertunduk lesu dan mengikuti Rio, meninggalkan Eka dan Nonik berebut kursi di sebelah Odea.

Rio hanya berjalan tanpa memperdulikanku, dan aku mengikutinya melewati beberapa ruang yang masih sepi kemudian menaiki tangga menuju ruangan lain yang lebih ramai. Di sana ada beberapa pria dan juga wanita yang berkumpul dalam satu meja sepertinya membahas sesuatu.

“Daftar yang kuminta sudah ada?” tanya Rio tiba-tiba dan itu menghentikan diskusi sekumpulan orang itu.

“Sudah Mas, ada di mejaku. Bentar aku ambilin,” jawab salah seorang pria dari kelompok diskusi itu.

Rio menatap ke arahku, “Ingka, kamu naik dulu lewat tangga di sebelah sana. Tunggu saya di atas.”

Aku mengangguk kemudian mengikuti perintah Rio, menaiki tangga di sisi lain kantor ini dan menunggunya di depan sebuah pintu. Dari atas sini aku bisa melihat ke arah bawah, melihat Rio yang ikut sibuk dalam diskusi itu dan memberi beberapa pengarahan sampai cowok yang mengambil daftarnya tadi datang kepadanya dan memberikan beberapa lembar kertas. Rio berjalan menaiki tangga sembari terus memeriksa kertas-kertas yang dia bawa.

“Ayo masuk,” ujarnya sembari membukakanku pintu.

Di dalamnya sedikit berbeda dengan ruangan kantor di bawah. Begitu masuk, aku langsung di sambut dengan ruangan yang cukup luas dengan beberapa meja dan kursi yang memiliki komputer juga printer di atasnya. Beberapa kertas tampak berserakan di meja dan di sisi kiri maupun kanan ruangan ini ada dua ruangan tertutup.

“Kamu duduk di komputer yang paling kiri aja, aku ambilkan dulu form pengisiannya.” Ujar Rio sembari berjalan menuju meja yang paling besar di tengah ruangan ini, sementara aku duduk di tempat yang sudah dia perintahkan.

Kursi yang kududuki tidak memiliki sandaran tapi cukup nyaman. Sambil menunggu Rio, aku melihat-lihat ruangan ini. daripada ruangan kantor di bawah, ruangan kantor yang ini terasa lebih nyaman dan berasa seperti rumah, suasananya. Tak lama Rio datang sembari membawa form yang dia maksud. Dia menggeser kursi lain di dekatku dan duduk di sebelahku untuk menjelaskan apa yang harus kulakukan. Setelah itu, aku mulai mengetik sesuai perintahnya, sementara Rio masih duduk di sebelahku memperhatikan pekerjaanku. Setelah dia merasa yang kulakukan sudah sesuai instruksinya, dia berdiri meninggalkanku dan mengambil berkas yang lain.

“Kamu lapar, Sayang?” tanya Rio tiba-tiba, membuatku sangat kaget dan hampir saja mengisi tabel yang salah.

“Belum,” jawabku singkat.

“Kalau kamu lapar, aku masih punya cemilan di kamar. Ambil saja sendiri nanti,” ujarnya sambil terus berdiri, bersandar pada meja menatap kertas yang berisi gambar sebuah bangunan

Kamar?

Aku teringat lagi kata-kata Rio saat tadi ketika kami para mahasiswanya menerima briefing. Sesuatu tentang tempat tinggalnya di lantai paling atas. Aku terkesiap dan segera mencari tangga naik lain yang mungkin ada. Dan satu-satunya tangga yang ada hanyalah tangga turun menuju kantor di lantai dua tadi.

“Kantor ini berapa lantai?” tanyaku cemas.

Rio melayangkan pandangannya menjauh dari kertas-kertas di tangannya dan menatapku heran.

“Tiga lantai, kenapa?”

Kalau tiga lantai, berarti ini adalah tempat tinggal Rio.

“Kamu ngebawa aku ke kamarmu?” tanyaku panik.

Rio menyeringai dan mendekatiku.

“Secara teknis ini kantor pribadiku, Sayang. Secara khusus, ini memang tempat tinggalku.”

Dia duduk di kursi dibelakangku dan memelukku erat.

“Rio, lepaskan aku!” protesku.

“Kenapa? Kamu nggak suka?” tanyanya lembut di tengkukku.

“Nanti ada yang masuk! Bahaya kalau sampai ada yang tahu kamu kita pacaran!”

“Semua karyawanku sudah tahu kalau kamu pacarku,” jawab Rio tenang sambil terus memelukku. Bahkan semakin erat.

“Apa? Gimana kalau mereka bilang ke temen-temenku? Gimana kalau kita sampai ketahuan di kampus?” tanyaku semakin panik.

“Nggak akan,” jawab Rio singkat.

“Tapi…”

“Ssst…cepet kerjakan daftar itu! Aku nunggu itu dari tadi!”

Aku mendengus keras dan kembali mengerjakan daftar yang di tunggu Rio. Dia masih memelukku dan sesekali mencium tengkukku. Hingga kurasakan berat tubuhnya seakan bertumpu kepadaku. Nafasnya terasa teratur di tengkukku.

“Rio, kamu tidur?” tanyaku penasaran.

“Hmm,” jawabnya tenang sambil memelukku erat lagi.

“Kenapa kamu nggak tidur di kamarmu aja?”

“Kamu mau nemani aku di kamar?”

Aku terperanjat dan berusaha melepas pelukan Rio. Rio terkekeh di tengkukku dan mempererat pelukannya.

“Kapan kamu mulai skripsimu, Sayang?” tanya Rio sembari menciumi bagian belakang telingaku. Membuat rasa panas di bagian dia menciumnya dan menyebar ke semua bagian tubuhku.

“Semester depan,” jawabku.

“Selesaikan dalam 4 bulan, paling lama 6 bulan!” perintahnya.

“Gimana bisa? Aku rencana mau nyelesaikan setahun!”

“4 bulan saja! Setelah itu, aku akan melamarmu. Sebulan setelahnya, kita menikah.”

“Seenaknya!” ujarku kesal. Bagaimana bisa dia mengaturku seperti itu?

“Kamu mau kuseret ke kamarku sebelum menikah?”

“Kamu gila, Rio!”

“Kalau begitu, cepet selesaikan kuliahmu. Aku mau kamu terikat denganku secepatnya, Sayang.”

Aku hanya mampu terdiam mendengar perintahnya. Apa itu tadi sebuah lamaran? Hatiku berdebar keras mendengar semua perkataan Rio. Apa benar dia ingin memilikiku? Apa benar dia begitu menginginkanku? Rio terus menciumi bagian belakang telingaku, leherku hingga tengkukku. Kaos yang kugunakan memungkinkan itu semua.

“Kamu pikir gampang melamarku?” ujarku sebal.

“Aku akan menghadapi ayahmu, segalak apapun dia, Sayang.”

Aku menghela nafas perlahan.

“Orang tuaku sudah meninggal, Rio,” jawabku dan kemudian kurasakan pelukan Rio semakin erat dan terdengar lirih kata ‘Maaf’. Aku hanya tersenyum dan melanjutkan, “satu-satunya keluarga yang kupunya cuma kakakku dan anaknya. Dan aku nggak yakin kamu bisa dengan mudah melamar aku di kakakku yang over protektif itu kalau dia enggak kenal kamu!”

“Oh ya? Sepertinya aku harus kenalan sama dia. Siapa namanya? Dimana aku bisa nemuin dia?”

“Dia di luar kota, punya cafe dan juga perkebunan kopi yang cukup luas. Aku ngak yakin kamu bisa gampang ketemu sama dia, soalnya kegiatannya sekarang nambah satu lagi. Menjaga anaknya yang artis, yang berarti mengikuti anaknya kemanapun dia syuting.”

“Wow, mirip seorang yang kukenal. Siapa namanya?”

“Hendrik. Hendrik Falevi!”

Kemudian keheningan terjadi sebelum aku mendengar suara umpatan dan juga tawa dari mulut Rio.

“Sial, kamu adiknya si playboy kampret itu? Astaga, dunia benar-benar kecil!” ujarnya sambil terbahak keras di punggungku. Membuatku sedikit kegelian.

“Kamu kenal mas Hendrik?”

“Lebih dari kenal! Dia sahabat aku waktu masih kuliah! Kita memang jarang ketemu sekarang, tapi aku nggak nyangka kalau kamu adiknya!”

“Aku memang nggak serumah sama Mas Hendrik waktu dia kuliah. Aku masih ikut Bibiku di Jakarta.”

Rio mengambil ponselnya kemudian terdengar suara nada sambung dari belakang telingaku. Bahkan menelpon-pun masih dengan memelukku.

“Hei Bro! Kampret gila, kemana aja Lo! Baik, kabar gue juga baik. Kagak Bro, gue mau minta ijin aja, Gue punya pacar Bro. Kalo pacar gue nggak ada hubungannya sama Lo, gue gak bakal minta ijin sama Lo, Kampret! Haha… selamat jadi ipar gue Bro!”

Tiba-tiba ponsel Rio sudah berada di depan wajahku.

“Dia mau ngomong sama kamu,” bisik Rio di telingaku.

Aku mendekatkan ponsel Rio ke telingaku dan mendengar suara Senia di kejauhan memanggil Mike, “Halo?”

“Gimana ceritanya kamu kenal sama si Kampret Rio itu, Ka? Kamu utang cerita sama Mas Hendrik! Salam sama dia aja, HEI MIKE, JANGAN DUDUK DI SEBELAH SENIA! Sorry Ka, tapi salam sama dia ya!” dan dengan segera terdengar bunyi sambungan terputus.

“Kamu curang!” ujarku sambil menyerahkan ponselnya!”

“Masalah keluarga sudah beres, setelah itu anak-anak. Aku mau minimal 2 atau 3 anak di rumah kita,” lanjut Rio mengatakan semua impiannya.

“Kamu suka anak-anak?” tanyaku takjub.

“Aku anak tunggal, dan saudara adalah hal yang paling aku inginkan di hidupku ini.”

Tanganku berhenti mengetik dan membayangkan kehidupanku di masa depan dengan Rio. Menikah di usia yang cukup muda, memiliki 3 anak yang berlarian di halaman dan tertidur di pelukan suamiku yang tampan.

“Kamu suka rencanaku, Sayang?” tanya Rio pelan.

Aku mengangguk pelan dan sebuah ciuman mampir kembali di bibirku.

****

“Kamu gila!”

Aku membekap mulut Nonik erat sebelum dia semakin berteriak. Suasana kantin yang ramai bisa sangat berbahaya dengan semua informasi dari mulut Nonik yang muncul dari teriakannya. Semua terjadi karena dia tidak sengaja melihat Rio menciumku kemarin, di kantor konsultannya. Saat itu, Rio seperti biasa berusaha menggodaku dan mencuri sebuah ciuman dariku. Sayangnya, Nonik muncul di saat yang tidak tepat dan itu membuat aku harus menjelaskan semua kepadanya.

“Kamu gila,” kali ini dia berbisik. “Dia kan dosen! Dosen, Ka! Selain itu…”

“Selain itu apa?” tanyaku penasaran.

Nonik menghela nafas panjang. Setelah semua ceritaku tentang bagaimana pertemuan kami, hingga semua rencana kami, sepertinya itu tidak cukup bagi Nonik.

“Sebenarnya nggak masalah kalau kamu pacaran sama dia, bahkan kalau ketahuan. Apalagi sudah 6 bulan ini kalian pacaran diam-diam. Mungkin semua tindakan baik yang terjadi di antara kalian, cuma dianggap sebagai nepotisme. Masalahnya…” Nonik kembali terdiam.

“Apaan sih Non! Dari tadi kok kayak gitu! Nyebelin tauk!” jawabku sebal.

Nonik menghadap ke arah Bu Kantin, dia melambai ke arah Bu Kantin dan itu membuat Bu Kantin datang tergopoh-gopoh.

“Pesen apaan Mbak Nonik yang imuuuttt!” ujar Bu Kantin genit.

“Nyindir! Mau ngegosip nih soal yang kemarin itu!” jawab Nonik.

Bu Kantin menunjukkan telapak tangan ke arah Nonik dan berlari-lari kecil mengambil bangku terdekat untuk mengambilnya dan duduk di dekat Nonik.

“Gosip yang mana lagi nih?” tanyaku heran.

Nonik melotot seakan menyuruhku diam, hingga Bu Kantin sudah duduk tenang di sebelahnya.

“Soal hubungan cinta dosen itu ya mbak Nonik?” tanya Bu Kantin separuh berbisik.

“Iya!”

“Cinta apa?” tanyaku makin penasaran.

“Yeee… Mbak Ingka jarang ngegosip sama kita lagi sih!” ujar Bu Kantin.

“Sibuk pacaran dia Bu!” jawab Nonik cuek sambil memakan keripik yang dia beli.

Aku mencubit pinggang gendut Nonik keras dan dia meringis kesakitan.

“Iya tuh, soal Bu Ratna, Bu dosen yang cantik sama super seksi itu!” ujar Bu Kantin lagi. Dia melirik ke kanan dan ke kiri, kemudian berbisik pelan, “Denger-denger dia pacaran sama Pak Rio!”

“Apa?” teriakku tak percaya dan tangan besar Nonik langsung membekap mulutku erat.

“Jadi ceritanya, Bu Ratna sering banget tuh main ke kantor Pak Rio,” Bu Kantin melirik ke kanan dan ke kiri lagi, “Denger-denger ada yang pernah lihat Bu Ratna pelukan sama Pak Rio!”

Aku tercengang mendengar hal itu.

“Itu gosip kan?” tanyaku ragu.

“Gosip terpercaya. Ada saksi mata dan itu sering terjadi! Bu Ratna terindikasi ada hubungan sama Pak Rio,” jawab Nonik.

Aku terbelalak tidak percaya. Aku harus bertemu Rio, menanyakan semuanya kepadanya dan berusaha mencari kebenarannya. Dengan tergesa aku meninggalkan Kantin dan berlari menuju kantor Rio. Pikiranku begitu kalut mendengar semua gosip itu. Bu Ratna memang sangat cantik dan dia memang sering terlihat keluar dari kantor Rio. Tapi apa benar mereka ada hubungan khusus? Aku menghela nafas panjang ketika berada di depan pintu kantor Rio. Saat akan mengetuk, tiba-tiba pintu terbuka dan Bu Ratna muncul dari dalam ruangan Rio. Semua pikiran buruk mulai muncul di kepalaku. Apa yang mereka lakukan? Kenapa harus di kantor Rio? Apa hubungan mereka?

“Kamu mau ketemu Pak Rio?” tanya Bu Ratna tiba-tiba.

Aku sedikit terkejut, tapi akhirnya mengangguk pelan. Dan tiba-tiba aku melihat Rio muncul dari dalam dan tersenyum kepadaku.

“Ingka, ayo masuk!” ajak Rio dan tak lama Bu Ratna meninggalkan kami.

Rio langsung memelukku ketika pintu kantornya sudah tertutup dan itu membuatku sedikit terkejut. Aku melepas perlahan pelukannya dan menatap langsung mata Rio. Berusaha mencari kebohongan yang mungkin muncul di sana.

“Aku mau bicara.”

“Bicara apa?” tanya Rio penasaran.

“Soal gosip,” aku menelan ludah dan kembali melanjutkannya, “Antara kamu sama Bu Ratna.”

Wajah Rio berubah masam. Senyuman di wajahnya menghilang dan berubah menjadi pandangan kesal.

“Aku nggak ada apa-apa sama dia!” jawab Rio sambil berlalu kembali ke mejanya.

“Tapi ada yang melihat kalian pelukan!” protesku.

“Kenapa kamu lebih percaya gosip? Aku nggak ada apa-apa sama dia!”

“Apa kalian sebenernya saling berhubungan?”

Rio menggebrak mejanya keras dan membuatku sangat terkejut.

“Kalau kamu sudah selesai, lebih baik kamu keluar!” ujar Rio begitu dingin.

Aku tercengang dan seakan tak percaya dengan kata-kata Rio barusan. Dia mengusirku karena aku membahas Bu Ratna!

“Maaf saya mengganggu, Pak,” jawabku sembari meninggalkan ruangan Rio.

Hatiku terasa sakit mendengar nadanya yang seperti itu. Selama ini aku tak pernah mendengarnya sedingin itu, tapi setelah membahas tentang Bu Ratna, dia malah seakan tak terima. Aku berjalan begitu cepat dan tidak mengindahkan semua orang. Sampai ketika kulihat Nonik yang berdiri menungguku di kantin, tangisku mulai pecah.

****

Seandainya saja praktek keparat ini tidak ada, maka aku bisa lebih menenangkan diri di rumah. Sayangnya itu sama sekali tidak bisa, karena ini adalah hari terakhir praktek kerjaku dan aku harus datang untuk mengambil nilai dari setiap tentorku di sana sekaligus berpamitan. Paling tidak, aku datang bersama anak-anak dan itu jauh lebih mudah untuk menghindari Rio.

Aku sudah berusaha menghindari Rio setelah kejadian kemarin. Ponselku kumatikan dan aku menginap di kost-an Nonik sampai pagi ini. Hatiku masih terasa sakit dengan kelakuan Rio kemarin. Dan selama dia tidak mengatakan semuanya, maka jangan pernah berharap menemuiku lagi.

“Punyamu ini harus ada tanda tangan Mas Rio, Ingka!” ujar Mas Bimo waktu aku menyodorkan list tanda tangan.

Aku melirik ke semua temanku yang lain yang dengan mudahnya mendapatkan tanda tangan. Dan sialnya mereka sekarang sudah duduk-duduk menungguku di lantai bawah. Memanggil Nonik akan terasa cukup mencurigakan.

“Mas, jangan bilang ini akal-akalannya Rio aja!” ujarku kesal, sementara Bimo hanya meringis.

“Dia bilang mau bicara sama kamu! Kalian tengkar ya? So sweet deh!”

“Rese ah! Sekarang dia dimana? Kantornya?”

“Eh… itu masalahnya…”

Mas Bimo telihat sedikit salah tingkah dan kebingungan. Rio nggak akan pernah menerima tamu di ruang pribadinya. Begitu juga dengan kedatangn keluarganya setahuku tidak akan membuat Mas Bimo kebingungan seperti ini.

“Jangan bilang dia selingkuh,” tanyaku bergetar dan membuat Mas Bimo terkejut.

“Apa? Enggak Ingka! Mas Rio itu cinta bener sama kamu, dia ngak mungkin selingkuh! Cuma cewek itu suka maksa dan…”

Cewek?

Aku segera berlari menuju lantai tiga tempat ruangan pribadi Rio, sementara mas Bimo mengikutiku dan berusaha menghalangiku. Dengan satu sentakan, aku membuka pintu Rio dan melihat kejadian yang akhirnya meruntuhkan semua kepercayaanku kepadanya.

Aku melihat Bu Ratna memeluknya begitu erat, bahkan akan mencium Rio. Rio maupun Bu Ratna terkejut melihat kedatanganku juga Bimo yang terengah-engah menaiki tangga. Rio mendorong Bu Ratna menjah, tapi itu semua sudah terlambat. Tanganku bergetar dan air mataku meminta keluar untuk segera keluar. Setengah mati aku menahan tangisanku agar tidak meringsek keluar. Ini semua sudah selesai.

Seharusnya aku tidak pernah mengacuhkannya dari awal bertemu.

Seharusnya aku meninggalkannya selamanya setelah mengetahui kenyataan tentang taruhan itu.

Seharusnya hubungan kami hanya sebatas dosen dan mahasiswa saja.

“Ingka…” Rio terlihat sedikit kebingungan dan seperti berusaha menjelaskan sesuatu padaku.

“Maaf Pak, saya cuma mau sekalian berpamitan. Masalah tanda tangan, saya pikir Mas Bimo saja sudah cukup. Maaf mengganggu!” ujarku sembari menyodorkan pulpen ke Bimo dan memaksanya menandatangani list-ku dengan pandangan memaksa.

“Ingka, kamu…” saat Rio berusaha mendekatiku, aku sudah berlari turun menuju lantai bawah.

Aku mendengar teriakan Rio yang terus memanggilku dan tidak kuperdulikan. Saat sampai lantai bawah, aku langsung menyeret Nonik untuk segera pulang, meninggalkan Rio yang terus meminta aku mendengarnya. Dan sialnya di hadapan semua temanku!

*****

Hujan tiba-tiba terasa salah musim saat dia turun sore ini. Aku menatap titik-titik air yang jatuh dari balik jendela kamar Nonik. Setelah seminggu lebih menginap di tempat kost Nonik dan tidak pernah ke kampus, aku mulai merasa bosan. Rasanya begitu merindukan rumahku yang nyaman dan juga masakan Mbak Sri, pembantuku. Terakhir aku menelponya untuk mengatakan kabarku, dia bilang baru saja Rio pergi dari rumah. Rio setiap hari datang ke rumah dan menanyakanku, tapi dia tidak akan pernah menemukanku. Nonik sudah kuminta merahasiakan semua.

Suara berisik terdengar dari lorong kost-an Nonik dan itu pasti Nonik. Cuma badannya yang membuat suara berisik begitu. Dan benar saja, tak lama Nonik masuk dengan terengah-engah.

“Habis liat setan, Say? Masuk gak kasih salam atau ketuk pintu!” godaku yang langsung membuat wajah Nonik berubah cemberut.

“Ini gawat, soal Pak Rio!” ujar Nonik.

“Gak peduli!” jawabku sebal sembari kembali menatap titik hujan di jendela.

“Beneran gak peduli kalau Pak Rio merit sama Bu Ratna?”

“APA?” teriakku tak percaya dan Nonik menunjukkan sederetan giginya yang besar.

“Boong kalo yang itu, tapi Pak Rio sudah nggak jadi dosen kita lagi!”

“Gak ada urusan!”

“Dia juga gak ada di kantornya lagi, dia mau keluar negeri!”

“Itu urusan dia!” jawabku sebal.

“Trus, ada gosip baru beredar. Sebenernya bukan gosip, soalnya aku yang lihat sendiri.”

“Apaan lagi?”

“Sebenernya tadi aku mau ngasih laporan kita ke ruangan Pak Rio, tapi gak sengaja liat Pak Rio sama Bu Ratna yang lagi nangis. Trus, aku denger Bu Ratna ngancem Pak Rio. Dia bilang dia tahu soal hubungan kalian, dan bakalan nyebarin kalo Pak Rio nggak mau sama dia! Nggak nyangka Bu Ratna gitu!”

“Apa?”

“Iya, mana tadi maksa banget mau meluk-meluk. Akhirnya kedengeran deh kalo Pak Rio mau mengundurkan diri jadi dosen trus ke luar negeri.”

“Apa?”

“Bisa gak ngomong selain kata ‘apa’. Gosipnya sih Bu Ratna memang ganjen sama suka maksa orangnya. Makanya banyak yang nggak suka. Bu Kantin aja pernah bilang kalo Bu Ratna itu suka sembarangan kalau lagi suka sama orang. Semua cara di pake!”

Aku termangu mendengar penjelasan Nonik.

“Masih gak mau ketemu Pak Rio? Dia rela nggak jadi dosen biar kamu aman lho!”

Aku menatap Nonik bingung.

“Masi bingung, kejar sana!”

Dan segera aku bersiap menuju kantor Rio.

****

Kehujanan, payung rusak dan juga ngebikin hapeku rusak, membuat penampilanku seperti kucing yang baru kecebur got. Nanti aku akan buat perhitungan sama Nonik soal payung rusak itu, tapi sekarang yang paling penting aku harus ketemu Rio dulu. Dan di sinilah aku, di depan kantor konsultan Rio di tengah hujan yang deras ini. Pagar yang biasanya terbuka, searang tertutup rapat. Tidak ada tanda-tanda kemunculan orang di kantor ini. Fortuner milik Rio juga tidak terlihat sama sekali. Apa dia sudah pergi? Apa dia benar-benar akan meninggalkanku? Aku mulai menangis di tengah derasnya hujan.

Aku beberapa kali memanggil nama Rio di depan pagar ini, tapi tetap tidak ada yang muncul. Bahkan sepertinya tombol bel sudah bosan aku pencet berkali-kali. Akhirnya aku harus menerima kenyataan bahwa kantor ini sudah kosong. Rio sudah pergi dan aku nggak akan bisa ketemu dia lagi. Bukan Rio yang meninggalkanku, tapi aku. Aku sudah menolak mendengar semua penjelasannya. Aku yang sudah mengusirnya dari hidupku. Akulah yang menghancurkan hubungan ini. dengan terisak aku berjalan menjauh meninggalkan kantor Rio. Sepertinya pulang dengan berjalan di hari hujan seperti ini akan jauh lebih menenangkan untukku. Selain itu, mana ada angkutan yang berhenti dan mengangkut cewek basah kuyup sepertiku.

Aku menangis sejadi-jadinya sembari berjalan. Tidak akan ada yang melihatku menangis di jalanan sepi seperti ini. Apalagi di tengah hujan deras. Rasa dingin mulai masuk ke dalam kulitku seiring air hujan yang membasahi. Sampai akhirnya kurasakan tidak ada air hujan yang menetes di tubuhku. Sebuah payung sudah menghalangi itu semua. Dan saat ku toleh, ada sosok Rio yang terlihat cemas sedang memayungiku.

“Ingka, kamu…”

Aku langsung memeluk Rio erat. Menangis sejadi-jadinya di pelukannya dan membiarkannya menuntunku menuju kantornya. Aku memegang payungnya ketika dia membuka kunci kantornya, kemudian dia menggandengku saat kami sudah berada di dalam kantornya. Kami tidak banyak bicara hingga sampai di ruangan pribadi Rio. Rio mengajakku memasuki kamarnya dan dia membuka lemari bajunya, mengeluarkan handuk dan juga kemeja miliknya.

“Mandi aja dulu, ini kimono mandimu. Aku pergi sebentar, memasukkan mobilku di bawah,” ujar Rio kemudian meninggalkanku sendiri di kamarnya.

Sebuah pintu lain terlihat di sebelah lemari dan aku yakin itu pasti pintu menuju kamar mandi. Aku membuka pintu itu dan melihat sebuah bath-up dan juga wastafel. Ini yang kubutuhkan, berendam. Kubuka keran air dingin dan panas di bath up, dan sembari menunggu, aku membuka bajuku juga memerasnya keras, menggantungnya di tempat handuk dan berharap bajuku bisa segera kering. Setelah itu aku masuk ke dalam bak dan menikmati setiap kehangatan yang merayap masuk ke dalam kulitku.

Sambil berendam, aku mulai berpikir tentang semua yang terjadi. Apa yang harus kukatakan nanti? Apa yang akan kami lakukan? Aku kemudian tersadar akan satu hal. Selama ini terlalu banyak pertanyaan yang kutanyakan di dalam hatiku, tapi tidak pernah kutanyakan langsung kepada Rio. Aku mengolah semua pertanyaan itu sendiri dan mengambil kesimpulan menurutku sendiri.

Saat aku keluar dari kamar mandi, Rio sedang duduk di ranjangnya dan menatapku sendu. Dia mendekatiku sembari membawa handuk lain, kemudian mengeringkan rambutku yang masih basah. Aku bisa mendengar degup jantungnya yang berdetak cepat. aku juga bisa merasakan panas tubuhnya di jarak sedekat ini.

“Maaf,” hanya kata itu yang bisa kukatakan, dan sebuah pelukan erat sudah melingkupi tubuhku.

Rio mencium lembut keningku dan membiarkan bibirnya tetap menempel di sana. Dia mempererat pelukannya dan membuatku tersadar kalau di dalam kimono mandiku ini tak ada selembar benang sama sekali.

“Antara aku sama Ratna nggak ada apa-apa,” ujarnya pelan.

“Iya.”

“Waktu itu dia memaksa memelukku, dan kamu datang.”

“Iya,” jawabku lagi.

“Aku cinta kamu, Ingka.”

Aku menghela nafas dalam. Betapa aku merindukan kata-kata ini keluar dari mulut Rio.

“Aku juga.”

Rio mencium bibirku. Begitu dalam dan lembut. Membelai leherku hingga punggungku. Dan ketika dia melepaskannya, dia memberiku senyuman yang begitu menawan.

****

“Kalian beneran nggak ngapa-ngapain?”

Nonik menatapku penuh curiga saat dia mengantakan pakaianku ke tempat Rio. Karena bajuku masih basah, akhirnya aku menghubungi Nonik dan minta tolong mengantarkan baju ke kantor konsultan Rio. Aku saat itu masih menggunakan kimono mandi Rio, mendengus keras mendengar pertanyaannya.

“Kami nggak ngapa-ngapain! Aku masih seorang Gadis!” jawabku sebal.

“Sulit percaya, kalau ada bercak merah di lehermu kayak gitu!”

Aku menutup leherku dan berlari menuju kaca terdekat. Di bagian leher dekat telingaku terlihat sebuah bercak merah. Ini pasti karena ciuman Rio tadi. Aku kembali mendengus keras. Aku masih perawan. Kami hanya berciuman dan kemudian Rio menjauh dariku karena takut melakukan yang lebih dari sekedar ciuman. Aku mengambil baju ganti di tas Nonik dan segera masuk ke kamar mandi untuk memakainya. Ketika keluar dari kamar mandi, kulihat Nonik sudah bersama Rio menungguku.

“Jadi, kalian mau makan? Pesanan Pizza baru saja datang di kantor bawah,” tanya Rio senang.

“Mau!” jawab Nonik cepat dan segera belari menuju Pizza-nya, meninggalkan kami berdua.

“Jadi kamu sekarang bukan dosenku lagi? Kamu mau pindah ke luar negeri?” tanyaku saat hanya ada aku dan Rio.

Rio tersenyum.

“Selama sebulan, aku bakalan cuti jadi dosenmu. Proyek ini minta perhatianku secara penuh. Dan ya, aku akan ke luar negeri untuk waktu seminggu. Aku harus menjemput keluargaku.”

“Untuk apa?” tanyaku bingung.

“Setelah kejadian kemarin, aku merasa bahwa aku sudah tidak bisa kehilanganmu. Jadi kupikir lebih baik aku melamarmu lebih dulu dan bisa merasa aman bersamamu sampai waktu pernikahan kita.”

“Apa?”

Rio tersenyum menatapku.

“Jadi, selesaikan skripsimu dalam waktu 4 bulan. Aku dengan senang hati akan menjadi dosen pembimbingmu!”

“Kamu pasti nggak akan bertindak seperti seorang dosen pembimbing. Kamu pasti bertingkah seperti dosen pengujiku!”

“Itu tergantung gimana sikapmu padaku, Cantik. Kalau kamu bisa menyenangkan dosenmu ini, maka dengan senang hati aku akan memudahkan skripsimu. Kalau enggak, bersiap untuk melalui 4 bulan skripsimu dengan seorang dosen pembimbing yang kejam!”

Aku tersenyum kemudian mencium bibir Rio sekilas. Membuatnya sedikit terkejut dan menatapku tidak percaya.

“Dasar tukang paksa!” ujarku sembari berjalan meninggalkannya untuk bergabung bersama Nonik.

****

Continue Reading