21st POLE
~~||~~
"Dia ngajak ketemuan," ucap Rahagi.
Rabu dini hari, seperti biasa, Inara tengah menikmati coklat panasnya di ruang makan. Suara Rahagi yang serak tanda baru bangun tidur benar-benar mengejutkan Inara. Apalagi, lelaki yang menggunakan kaus oblong putih dan celana pendek dengan rambut acak-acakannya itu tiba-tiba bertengger di pintu dapur–membuat Inara semakin terkejut.
"Lo ngagetin!" gerutu Inara. Namun, ketika menyadari ucapan Rahagi sebelumnya, mata Inara berbinar. "Eh, yang bener?"
Lelaki itu hanya mengangguk seraya mengambil tempat duduk di hadapan Inara. Di letakkannya ponsel layar sentuhnya di depan Inara, tepat di sebelah cangkir cokelat panas milik Inara.
"Baca aja. Nggak tahu gue mau balas apa." lelaki itu mengacak rambutnya.
Inara menaikkan sebelah alisnya. "Kusut banget tuh muka."
Sejak hari Minggu itu, Rahagi memang terlihat lusuh dari biasanya. Tepat setelah kata 'hai' yang dikirimnya kepada Vara.
"Gue nggak mau balik ke masa lalu." lelaki itu menumpukan kepalanya pada meja makan.
"Nggak ada yang nyuruh lo balik." Inara mengambil ponsel Rahagi yang menampilkan chat-nya dengan Vara.
Minggu
Rahagi : Hai
Savara Anastasia : Eh, Rahagi?
Savara Anastasia : Hai!
Rahagi : Hm
Rahagi : Lo sibuk nggak?
Savara Anastasia : Nggak sih, Rag, kenapa? :D
Setelah pesan itu, hanya Vara yang memenuhi kolom chat. Besoknya, Vara kembali mengirimi Rahagi pesan.
Senin
Savara Anastasia : Rag?
Savara Anastasia : Bisa ketemu nggak? Kita perlu bicara
Selasa
Savara Anastasia : Dianggurin aja nih...
Rabu
Savara Anastasia : Ragi
Savara Anastasia : Besok gue tunggu di DaResto jam delapan ya
Savara Anastasia : Banyak yang harus gue lurusin
"Jadi sejak hari minggu lo nggak ada bales chat dia?" Inara menggeleng gemas.
"Nggak," jawab Rahagi.
"Kok jadi kayak dia ya, yang cowok. Nggak gentle lo ngebiarin cewek yang ngajak duluan," pancing Inara.
"Ini bukan soal gentle-nggak gentle. Lo nggak ngerti sih."
"Then, buat gue ngerti," kekeuh Inara.
Lelaki itu menaikkan pandangannya. Ditatapnya Inara yang masih menunggu penjelasannya.
Rahagi mendengus kemudian kembali menidurkan kepalanya di atas meja.
"Lo mah gitu. Btw, gue balas ya chat-nya."
"Jangan aneh-aneh."
"Apa pun yang gue balas lo nggak marah kan, Rag?"
Mata Rahagi membulat. "Lo balas apa?"
Inara tersenyum simpul seraya mengembalikan ponsel Rahagi.
Rahagi : Oke, jam 8
"Inara..." desis Rahagi.
"Gue temenin. Kalo perlu, gue setirin lo besok. Peace, ya!" Inara tertawa geli kemudian berlari menuju kamar, menghindari amukan Rahagi.
"Dasar gila!" seru Rahagi.
Inara hanya cekikikan mendengar seruan saudaranya.
Rahagi kembali termenung. Lelaki itu mengacak rambutnya. Gue nggak mau rasa itu muncul lagi, Nara.
# # #
"Gue tunggu di mobil aja," ucap Inara saat mobil Rahagi sudah menempati tempat parkir yang pas.
"Gue bahkan belum nanya."
"Gue kan bisa baca pikiran. Udah, cepetan masuk. Udah jam delapan kurang lima. Masa telat."
"Sok on time banget."
"Emang on time dong, ya. Disiplin."
"Cih, mentang-mentang ketua," cibir Rahagi.
Inara terkekeh.
"Kunci mobil gue tinggal. Jangan lupa kunci pintunya dari dalem."
Setelah didapat anggukan dari Inara, Rahagi keluar dari mobil. Gadis itu menatap suasana di dalam restoran dari kaca besar. Ia bisa melihat bahwa Vara sudah menunggu Rahagi sedari tadi.
Semoga semua berakhir baik.
Mata Inara tidak sengaja melihat seorang lelaki.
"Mirip Gala."
Gadis itu memicingkan matanya, berusaha meneliti apakah yang dilihatnya memang benar sahabatnya atau tidak.
"Gue samperin ah. Kayaknya emang Gala. Jones banget sendirian di kafe. Mana mojok lagi." Inara tersenyum geli membayangkannya. Gadis itu mematikan AC mobil, sebelum mencabut kunci dari lubangnya.
Dengan sumringah ia keluar dari mobil dan menguncinya. Senang, karena waktunya menunggu Rahagi tidak membosankan–mengingat ada Gala.
"Sendiri aja lo, Gal."
Gala sontak menoleh. Raut wajahnya benar-benar menyiratkan keterkejutan.
"Apa? Gue bukan setan! Lebay banget kaget lo." Inara mengambil tempat duduk di hadapan Gala yang menghentikan aktivitas memutar-mutar ponselnya.
"Nunggu siapa lo, Gal?" tanya Inara penasaran.
"Hm?" Gala tersenyum.
Tanpa Inara sadari, jantung Gala berdegup kencang di dalam sana. Kehadiran gadis ini benar-benar mengagetkannya. Dari sekian banyak tempat, kenapa musti ketemu di sini coba.
Saat ponselnya bergetar, Gala melirik diam-diam notifikasi yang masuk di ponselnya.
Ratu Sabrina : Gal
Ratu Sabrina : Gue mendadak nggak bisa dateng
Ratu Sabrina : Biasa, masalah perempuan
Ratu Sabrina : Re-schedule aja ke besok atau sabtu
Ratu Sabrina : Nggak papa, kan?
Ratu Sabrina : Nggak papa dong, lo kan baik :)
Gala menghembuskan napas lega begitu mengetahui Sabrina tidak jadi datang. Entah apa alasan yang akan diberikannya jika ia dan Sabrina bertemu Inara di sini. Di simpannya ponselnya ke dalam saku.
"Hoi. Jawab gue."
"Eh? Lo nanya apa?"
"Ye, butuh aqua nih. Nunggu siapa lo di sini?"
"Oh, nunggu temen. Mau bikin tugas kelompok bareng gue. Tapi dia nggak jadi dateng, ada urusan mendadak katanya." Gala meminta menu kepada pelayan.
"Lo sendiri, ngapain?" tanya Gala.
"Nunggu Rahagi, tuh." Inara menunjuk Rahagi dengan tatapan matanya.
Gala menoleh ke belakang, mengikuti arah pandang Inara.
"Dia sama cewek?"
Inara mengangguk.
"Terus lo nyamuk?" Gala tergelak.
"Kan sekarang sama lo." gadis itu terkekeh.
"Iya dah, iya."
Pelayan restoran datang memberikan menu kepada mereka.
"Lo pesan apa, Na?" tanya Gala.
"Samain aja. Gue sebenarnya udah makan tapi makanan di sini kelihatannya enak-enak."
Gala mengangguk. "Sip sip oke."
"Udah kayak stiker LINE aja lo.":
"Imut kan?"
"Idih."
Lelaki itu tertawa.
Di sisi lain, Rahagi masih terjebak di masa lalunya.
Setelah memesan, Rahagi dan Vara masih diselimuti keheningan. Keduanya sama-sama tidak tahu memulai dari mana.
"Jadi apa yang perlu lo lurusin." Rahagi membuka suara. Lelaki itu tidak ingin berlama-lama di sini–mengingat Inara sendirian menunggunya di dalam mobil.
"Gue..."
Cukup lama Rahagi menanti.
"Gue minta maaf."
Lelaki itu tiba-tiba enggan berbicara setelah mendengar permintaan maaf dari Vara.
"Gue salah. Gue selingkuh dan ngehancurin persahabatan lo sama Gavin."
Ingin rasanya Rahagi berkata 'tuh tahu' atau 'baru nyadar?', tetapi ia tidak ingin emosi menguasainya.
"Gue juga berterima kasih atas semua kebaikan lo, Rag. Perhatian lo, sikap lo. Bahkan, lo masih bela gue waktu Gavin ninggalin gue cuma karena bosan." Vara tergelak miris.
"Gue nggak mau Rag, ngerepotin lo terus."
Rahagi bisa menangkap setitik air mata yang hampir jatuh dari mata gadis di hadapannya.
"Gue itu... penyakitan. Lo pantas dapat yang lebih dari gue. Tapi, satu hal yang perlu lo tahu, rasa gue buat lo nggak pernah hilang, Rag. Sampai sekarang pun, masih ada."
Mendengar itu, Rahagi seperti disambar petir.
"Apa maksud lo, Var," ucapnya datar.
"Eh, kok mimisan?"
"Hah?" gadis yang sedang membahas soal latihan ujian nasional SMP itu menghentikan aktivitasnya. Di letakkannya jari telunjuk di bawah lubang hidungnya.
"Mungkin kecapekan." segera diambilnya tisu yang berada tidak jauh darinya.
"Pulang aja ya." Rahagi membereskan buku-buku miliknya dan Vara.
Gadis itu hanya mengangguk. Kepalanya terasa berputar. Mungkin gue emang harus ke rumah sakit, batinnya.
Sudah seminggu ia sering mimisan, tetapi selalu menolak jika ibunya akan membawanya ke rumah sakit.
"Ini cuma mimisan biasa, Ma." begitu yang selalu ia katakan.
Rahagi tentu masih ingat, betapa seringnya ia melihat Vara mimisan di depannya. Namun, perempuan itu selalu mengelak bahwa itu adalah hal yang biasa ketika lelah menguasai tubuhnya.
Sampai akhirnya, ia melihat semuanya. Vara yang terang-terangan mengatakan bahwa ia tidak suka lagi padanya–dan lebih memilih Gavin, sahabat lamanya, atau bisa dikatakan mantan sahabat.
Lelaki itu juga sudah lupa terhadap apa yang terjadi pada Vara dua minggu terakhir. Bagaimana perempuan itu sering mimisan. Rahagi sudah dikuasai emosi. Nyatanya, ia juga tidak pernah lagi melihat Vara mimisan, jadi ia menganggap itu memang murni karena letih.
Vara menyeka air matanya. "Semua yang terjadi waktu kita SMP, udah direncanakan. Sandiwara."
"Vara yang gue kenal nggak suka bersandiwara." Rahagi menggeleng pelan. "Gavin terlibat?" tanya Rahagi sinis.
Gadis itu hanya diam dan menangis.
"Jawab gue, Var! Gavin tahu semuanya?!"
"Gue sengaja minta Gavin buat pura-pura jadi selingkuhan gue waktu itu. Biar lo benci gue. Dan, gue berhasil. Walaupun gue juga sakit karena harus pura-pura di depan lo."
Gadis itu menangis pilu. "Tapi bodohnya, Gavin ikut dibenci."
"Lo dan Gavin sama aja bodohnya. Kalian mikir apa sih." nada bicara Rahagi sudah naik satu tingkat.
"Gue rasa hari ini cukup." Vara menghela napas kemudian berdiri.
"Makasih udah dengar penjelasan gue. Seenggaknya lo udah tahu sebagian. Gue harap, lo bisa baikan sama Gavin." Vara berusaha mengukir senyumnya.
"Semoga suatu saat kita bertiga bisa ketemu buat jelasin semua dari pandangan masing-masing. Doain aja gue masih hidup." Vara tertawa miris.
"Gue harus pulang. Dokter gue setengah jam lagi sampai di rumah. Permisi, Rag."
Gadis itu berjalan cepat menuju salah satu mobil sedan hitam di parkiran. Rahagi masih memandang perempuan yang sepertinya ditunggui oleh kakak laki-lakinya, Faro.
Rahagi menghela napasnya seraya mengacak rambut. Masalah yang ia pikir sederhana, ternyata tidak sesederhana itu. Sandiwara? Pura-pura? Dari mana mereka dapat ide gila itu?
Dan sebenarnya, lo sakit apa, Var?
"AARGH!" teriak Rahagi seraya menjambak rambutnya sendiri. Permasalahan pelik ini membuatnya pusing.
Beberapa pelanggan dan pelayan restoran melihat ke arahnya–termasuk Inara dan Gala yang sedang menikmati makanan mereka.
"Lo samperin deh, Na," suruh Gala.
Inara mengangguk.
Dari dalam mobil, Vara masih belum bisa menghentikan air matanya. Kakaknya, Faro, hanya bisa mengelus rambut panjang milik adiknya–meskipun, kenyatanya rambut itu hanya wig untuk menutupi kepalanya yang sudah tidak menyisakan sehelai rambut pun.
"Rag?" panggil Inara seraya menepuk pundak Rahagi.
Lelaki itu lantas bangkit dan memeluk Inara erat. Menumpukan seluruh beban tubuh dan beban hatinya pada Inara.
Inara terkejut. "Malu, Rag. Dilihatin. Kita pulang ya?" tanya Inara.
Rahagi mengangguk. Ia berjalan duluan menuju kasir untuk membayar pesanannya yang belum sempat disentuh.
"Bungkus aja, Mbak," ujar Inara sopan.
Salah satu pelayan hanya mengangguk.
"Gue duluan, Gal," ucapnya pelan pada Gala yang duduk tak terlalu jauh dari tempatnya berdiri. Gadis itu menggerakkan mulutnya dengan jelas agar Gala mengerti ucapannya.
Lelaki itu hanya mengangguk dan mengangkat kepalan tinju di udara, berusaha memberi semangat kepada Inara dengan gerakan tangannya. Gadis itu hanya membalas dengan acungan jempol.
"Gue yang nyetir ya, Rag. Gue masih sayang nyawa," cicit Inara yang masih bisa didengar oleh Rahagi.
Mata Gala terus mengikuti Inara dan Rahagi yang kini sudah berada di dalam mobil. Bahkan, setelah mobil yang dikendarai Inara melaju pun, Gala masih belum mengalihkan pandangannya.
Gala Raditya : Sab, gue tiba-tiba ketemu Inara. Untung lo nggak jadi dateng
Gala Raditya : Bisa curiga doi
~~||~~
A/N
Satu kata buat chapter ini...
Walaupun sejujurnya, gue sendiri nggak bisa berkata-kata setelah baca chapter ini.
Semoga feel-nya dapet ya :(
19 Mei 2017
d