Avenue | Markhyuck • Markchan

By mickythepooh

7.7K 980 133

Menyaksikan seluruh anggota keluarga dibantai oleh sekelompok orang yang tidak dikenal di depan mata kepalany... More

0
1
2

Pengantar

2.8K 279 35
By mickythepooh

Kening anak laki-laki itu berkerut ketika cahaya matahari menyapa indera pengelihatannya. Angin musim panas menyibakkan surai hitam legamnya. Meskipun begitu, ia tak lantas menghentikan langkah kakinya untuk berlari lebih jauh lagi dari kakak laki-laki yang mengejarnya dengan wajah tertekuk dalam beberapa meter di belakangnya.

" Minhyung ! Kemari kau !" Seru Taeyong dari dalam rumah, disusul dengan suara ribut-ribut perabotan yang terjatuh. Taeyong memang memiliki sedikit masalah dalam hal menyeimbangkan tubuh, ia sering kali terjatuh karenanya, mungkin suara perabotan yang terjatuh itu adalah salah satu darinya.

Minhyung ingin sekali berteriak: " Tidak mau !", dan lantas menjulurkan lidahnya pada sang kakak, jika saja ia tidak ingat ia sedang berusaha bersembunyi di balik sebuah pohon besar di belakang rumahnya, sembari menetralkan nafasnya yang tidak teratur. Selama sepersekian detik tubuhnya merosot di atas rerumputan, ia akhirnya memutuskan untuk mengintip ke belakang.

Pintu rumahnya tertutup, seolah-olah tidak ada seorang pun yang baru saja keluar dari sana. Dan Minhyung ingin sekali mempercayai hal itu, sebelum tiba-tiba saja seseorang menarik telinganya dari arah berlawanan dengannya.

" Dasar anak nakal !" Seru Taeyong, yang entah bagaimana berhasil mengendap-endap di belakang Minhyung, tanpa anak itu sadari.

" Hyung ! Sakit ! Lepaskan !" Minhyung memekik, sementara kedua tangannya berusaha untuk melepaskan tarikan di telinganya, yang mana merupakan hal yang sia-sia karena kekuatan Taeyong yang rupa-rupanya tidak bisa diremehkan begitu saja.

" Tidak, sebelum kau kembalikan handband-ku !" Taeyong berucap dengan ketus, tetapi nada bicaranya tidak akan berhasil mengubah pendirian Minhyung.

" Besok kan aku ulang tahun, hyung ! Biarkan ini menjadi hadiah ulang tahun untukku !"

" Tidak mau ! Kau kan bisa memintanya pada ayah !"

Minhyung lantas memberengut. " Tapi aku mau yang ini !"

" Tapi itu milikku, sekarang, cepat kembalikan !"

" Hyung—"

Minhyung baru saja hendak merajuk ketika ia mendengar suara seseorang menginterupsinya. " Ada apa ini ?"

" Ibu ! Lihat apa yang anakmu lakukan padaku !" Taeyong buru-buru melepaskan telinga Minhyung, sementara Minhyung segera mengusap-usap telinga kirinya yang sudah memerah.

" Kau juga anakku, Lee Taeyong." Wanita cantik itu bersidekap. " Sekarang jelaskan padaku, apa yang terjadi ?"

Minhyung menatap Taeyong dengan kedua manik kembarnya yang membulat sempurna, seakan Minhyung sedang berusaha mengeluarkan kedua bola matanya sendiri dari rongga matanya. Ia beralih menatap ibunya dengan raut wajah yang memelas. " Ibu—"

" Minhyung mengambil handband­ku."

" Lee Minhyung." Ibunya menatap Minhyung dengan tatapan yang memiliki dua arti: pertama, menunutut ingin penjelasan; kedua, meminta Minhyung untuk segera mengembalikan barang milik kakaknya. Dan kedua perintah itu merupakan hal yang absolut. Baik Minhyung maupun Taeyong, tidak akan memberanikan diri untuk melawan, mereka tidak ingin mengambil konsekuensi yang akan mereka terima dari kemarahan ibunya.

" Kau tahu kan, mengambil barang yang bukan hakmu itu bukan tindakan yang baik. Sekarang kembalikan handband itu pada kakakmu."

Minhyung mendesah pelan sebelum akhirnya melepaskan sebuah handband hitam dari pergelangan tangannya, dan menyerahkannya pada Taeyong dengan terpaksa. Sementara Taeyong sendiri menjulurkan lidahnya kepada Minhyung, seolah-olah ia sedang menegaskan siapa pemenangnya pada Minhyung. Dan hal itu nampaknya sama sekali tidak membantu, karena Minhyung langsung menghentakkan kakinya dan pergi dari sana.

" Ayah akan kembali malam ini. Ibu yakin kau ingin menyambutnya." Ucap sang ibu yang sejurus kemudian berhasil membuat Minhyung menghentikan langkah kakinya dan berbalik dengan wajah ceria.

" Benarkah ?"

" Dasar bodoh. Ibu tidak akan memasak sebanyak itu tanpa alasan." Alih-alih mendengarkan jawaban dari ibunya, Minhyung malah mendengar jawaban dari kakaknya yang terasa amat menyebalkan di telinganya.

Kalau boleh jujur Minhyung ingin sekali membalas kakaknya, jika saja tidak ada ibunya disana.

" Taeyong." Wanita itu berkacak pinggang, membuat Taeyong menggumamkan kata maaf pelan sembari cemberut.

...

Minhyung duduk bersandar di kepala ranjangnya, sementara pandangannya menerawang keluar jendela, menatap langit di malam musim panas yang cerah berbintang. Meskipun begitu, hal itu tak lantas mengubah suasana hatinya masih tampak begitu mendung.

Ia memalingkan wajahnya pada jam dinding yang tergantung persis di atas meja belajarnya. Pukul sebelas lewat, dan ayahnya sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda akan segera pulang.

Entah sudah berapa kali ibunya mengetuk pintu kamarnya, mengajaknya untuk makan malam. Dan entah sudah berapa kali pula Minhyung menolaknya. Bukan berarti Minhyung tidak menghargai usaha yang sudah dilakukan ibunya, tetapi ia hanya tidak bisa melewati satu lagi makan malam tanpa kehadiran ayahnya. Singkatnya, Minhyung sudah terlalu merindukan ayahnya.

Ia ingat kapan terakhir kali keluarganya berkumpul, adalah saat mereka merayakan ulang tahun Taeyong yang kedelapan belas, yang artinya tahun lalu (tetapi ayahnya melewatkan ulang tahun Minhyung kala itu, dan hanya menyampaikan permintaan maaf lewat ibunya). Ayahnya memberikan Taeyong hadiah ulang tahun berupa handband hitam yang berasal dari sebuah brand ternama, yang selama ini Minhyung inginkan (dan sayangnya tidak ia dapatkan), dan itulah salah satu alasan mengapa Minhyung berusaha meminta (lebih tepatnya mengambil) handband Taeyong. Karena benda itu adalah pemberian dari ayahnya.

Ayahnya memang orang yang benar-benar sibuk dan jarang sekali berada di rumah. Tetapi tidak pernah separah ini sebelumnya. Minhyung bahkan nyaris tidak mengetahui bagaimana kabar ayahnya, jika saja ibunya tidak memberitahunya.

Pemikiran bahwa ayahnya akan melewatkan ulang tahunnya untuk yang kedua kalinya benar-benar memukul Minhyung dengan telak. Tentu saja ini tidak adil baginya.

Minhyung baru saja berbaring ketika ia mendengar sebuah ketukan di pintu kamarnya yang terkunci.

" Lee Minhyung." Sebuah suara pria yang amat familiar menyapa indera pendengarannya dengan lembut. Butuh beberapa detik bagi Minhyung untuk kembali ke dunia fana, dan membukakan pintu kamarnya dengan tangan yang gemetar.

" Ayah." Minhyung langsung menghambur ke pelukan ayahnya ketika pria itu merentangkan kedua tangannya lebar-lebar, meminta untuk dipeluk.

" Maaf ayah terlambat." Ayahnya berujar, sementara Minhyung hanya mengangguk singkat. Rasa kecewanya menguap entah kemana. Ayahnya melepaskan pelukannya sembari tersenyum jenaka. " Jadi apa kau mau tetap berada di dalam kamarmu, atau makan malam bersama ayah ?"

" Tentu saja makan malam bersama ayah !" Minhyung menyahut tanpa harus berpikir dua kali.

Ayahnya tertawa sebelum akhirnya menariknya turun menuju ke ruang makan.

Di lantai bawah begitu gelap, tetapi Minhyung sama sekali tidak melewatkan pemandangan sebuah kue ulang tahun beserta dengan dua lilin berbentuk angka lima belas menyala di atasnya. Ia melihat ibu dan kakaknya melemparkan senyuman jahil kepadanya, wajah mereka terlihat menyala di bawah lilin keemasan.

" Beberapa menit lagi sebelum ulang tahunmu. Ayo berdoa." Ucap ibunya.

Minhyung memandang berkeliling, dapurnya sudah dihias sedemikian rupa dengan balon-balon dan ucapan SELAMAT ULANG TAHUN, yang digantung di dinding. Ia melihat ibunya, kakaknya dan yang terpenting adalah ayahnya. Keluarganya sudah kembali lengkap, dan Minhyung tidak bisa merasa lebih bahagia lagi dari ini.

Minhyung berpaling ke kue ulang tahun yang dipegang oleh Taeyong. Lilinnya sudah meleleh cukup parah, dan ia tidak ingin membuang waktu lagi untuk segera berdoa.

Semoga keluargaku selalu bersama.

Dan Minhyung pun meniup lilinnya.

Ayah dan ibunya tengah bertepuk tangan, ketika terdengar suara ribut-ribut dari luar.

Minhyung menatap ibu dan ayahnya bergantian, yang mana merupakan hal yang sulit ketika ia sedang berada di dalam kegelapan sepenuhnya.

" Taeyong, Minhyung, tolong bawakan obat ayah di kamar." Ucap ayahnya yang lantas mengundang kerutan di kening Minhyung. Tetapi Minhyung tidak sempat untuk protes, karena Taeyong segera menyeretnya ke kamar orang tuanya yang berada di lantai dua.

" Hyung, nyalakan lampunya. Ini gelap sekali, aku tidak bisa melihat apapun !" Minhyung merengek, tetapi Taeyong sama sekali tidak memberikan respon apapun, yang membuat Minhyung sedikit terkejut. Karena setidaknya, pasti kakaknya akan mengolok-oloknya atau paling tidak mengomel tentang bagaimana manjanya seorang Lee Minhyung.

Taeyong membuka pintu kamar orang tuanya, membiarkan Minhyung masuk terlebih dahulu, sebelum akhirnya menguncinya dari dalam.

Minhyung bisa menangkap raut khawatir di wajah Taeyong ketika kakaknya berpaling ke arahnya.

Minhyung hanya menatapnya skeptis ketika Taeyong melepaskan handband di tangan kirinya dan tersenyum kepadanya, yang ketara sekali begitu dipaksakan.

" Hyung ?" Panggil Minhyung. Ia sudah tidak tahan lagi, ia mencium ada sesuatu yang aneh, dengan semua yang terjadi malam ini. Ayahnya, ibunya, bahkan sekarang kakaknya sendiri.

" Selamat ulang tahun, adikku." Taeyong menarik tangan Minhyung dan menaruh handband itu di telapak tangan Minhyung.

" Hyung, tapi—ini kan—"

" Sebenarnya kami sudah menyiapkan banyak hadiah untukmu. Tapi sepertinya sekarang tidak satupun hadiah itu bisa kau ambil." Taeyong berucap pelan, seolah-olah beberapa detik lagi langit akan runtuh.

Wajah Minhyung tertekuk dalam. Tentu saja ia tidak menyukai ide tidak bisa mengambil hadiah ulang tahunnya, tetapi ia yakin ia akan lebih tidak menyukai alasan di balik hal itu. " Apa maksudmu ?"

" Minhyung dengarkan aku." Taeyong mengusap puncak kepala Minhyung dengan penuh sayang, yang mana bukan merupakan hal yang sering ia lakukan. " Apapun yang terjadi, kau harus tetap hidup. Kau adalah satu-satunya harapan kami. Ayah, ibu dan aku, kami minta maaf—" suara Taeyong tercekat, sementara kedua manik kembarnya yang serupa mata elang itu berkaca-kaca. Minhyung tidak bisa merasa lebih buruk lagi dari ini.

Kami. Itu artinya Taeyong mengetahui suatu hal yang tidak Minhyung ketahui sebelumnya.

Terdengar letupan api di lantai bawah. Minhyung memang bukan penggemar berat film action sebelumnya. Tapi ia tidak bodoh untuk menyadari bahwa itu adalah suara tembakan. Jantungnya berdegup begitu kencang sampai-sampai ia pikir jantungnya bisa melompat keluar dari rongga dadanya.

Taeyong segera menarik pergelangan tangan Minhyung dan berjalan dengan tergesa menuju ke balkon yang berada di kamar orang tuanya. " Lewat sini !"

" Hyung ! Sebenarnya ada apa ?!"

Taeyong menengokkan kepalanya ke bawah, dimana rumput terhampar luas. " Kau harus segera turun dari sini."

" Lalu bagaimana dengan ayah dan ibu ? Dan kau ?" Minhyung tidak bodoh. Ia tahu sesuatu yang buruk sedang terjadi di rumahnya, ayahnya berusaha menyelamatkan Minhyung dan Taeyong ketika ayahnya menyuruhnya untuk mengambilkannya obat di kamarnya tadi. Dan sekarang, Taeyong berusaha menyelamatkan diri Minhyung sekarang.

" Aku tidak apa-apa." Taeyong mengeluarkan sebuah revolver yang entah bagaimana terselip di balik piyamanya. Dan Taeyong nampaknya tidak ingin mengambil resiko untuk menjawab semua pertanyaan Minhyung karena ia kembali berucap, " apapun yang terjadi, kau harus segera pergi dari sini. Dan jangan mencoba untuk kembali ke rumah ini. Berusahalah bersembunyi di tempat manapun, yang tidak terjamah oleh orang banyak. Aku akan segera menyusulmu—"

" Tapi—"

" Cepat !" Taeyong menatap Minhyung lurus. " Kau tidak boleh menyia-nyiakan waktu yang telah ayah berikan kepadamu !"

" Hyung—"

Taeyong menarik Minhyung ke dalam pelukannya, sebelum akhirnya memberikan sebuah kecupan singkat di kening Minhyung. " Kami menyayangimu, sangat. Sekarang pergilah."

Minhyung memang memiliki masalah tentang ketinggian. Ia bukan penggemar berat tempat-tempat tinggi. Tetapi ketika kakakmu memintamu untuk melompat dari ketinggian demi menyelamatkan dirimu, maka itu adalah lain soal.

Minhyung memberikan tatapan terakhir pada Taeyong, sementara Taeyong mengangguk singkat sembari memberikan senyuman terbaiknya. Minhyung menghela nafas panjang, sebelum akhirnya melompat turun.

Minhyung jatuh dan terguling. Kedua kakinya seolah mati rasa. Gelombang kejut menghantam dirinya dari ujung kaki hingga ujung kepala. Tetapi ia memutuskan untuk segera bangkit dan berlari, dengan gesit melompati pagar dan bergegas keluar dari rumahnya. Ia bersumpah ia bisa mendengar suara tembakan saling bersahutan dari dalam rumahnya dengan begitu jelas, dan ia yakin itu adalah perbuatan kakaknya.

Ia melihat enam buah mobil sedan hitam terparkir di jalanan di depan rumahnya, sebelum akhirnya ia memutuskan berlari menuju ke arah yang berlawanan dari arah keenam mobil tersebut berasal. Dan saat itu juga ia tahu, keluarganya tidak akan selamat.

Air mata mulai menganak sungai di pipinya, ketika satu per satu kenangan bersama dengan keluarganya mulai berputar di dalam otaknya seperti sebuah kaset rusak. Tangannya mencengram erat handband pemberian dari kakaknya.

Apapun yang terjadi, kau harus segera pergi dari sini. Dan jangan mencoba untuk kembali ke rumah ini.

Dengan itu Minhyung berlari menembus malam yang sepi.

...

Minhyung terbangun di samping sebuah bak sampah besar dengan mata sembab dan wajah pucat. Kakinya terasa begitu kaku untuk digerakkan, perpaduan yang baik antara melompat dari lantai dua dan berlari sepanjang malam. Seluruh badannya terasa pegal, dan remuk. Ia menghiraukan aroma busuk yang menyengat yang menguar dari bak sampah itu. Bagaimana bisa ia memikirkan hal-hal remeh seperti itu ketika kau tahu tak satupun anggota keluargamu selamat dari baku tembak semalam ?

Ia merasakan seseorang menyenggol kakinya. Dengan enggan ia menengadahkan kepalanya, dan mendapati seorang pemuda lusuh dengan pakaian compang-camping, seolah-olah pemuda itu menghabiskan seumur hidupnya untuk menggosok-gosokan pakaiannya di atas jalanan beraspal. Pemuda itu mengenakan topi yang sudah sobek di beberapa bagian, membuat rambut berminyaknya mencuat keluar. Minhyung ingin sekali meringis melihat pemandangan mengenaskan itu, tetapi ia tahu bahwa keadaannya sekarang tak jauh beda dengan keadaan pemuda di hadapannya sekarang.

" Minggir ini tempatku." Pemuda yang nampak beberapa tahun lebih tua dari kakaknya berbicara dengan ketus, pandangannya menyiratkan ketidaksukaan yang begitu ketara, sepertinya sedikit tersinggung dengan bagaimana cara Minhyung menatapnya tadi.

Minhyung memutuskan untuk tidak berargumen lebih lanjut, ia sudah mengalami masalah yang cukup besar, dan ia pikir ia tidak ingin menambah masalah lain di hidupnya. Minhyung merangkak menuju sisi lain dari gang sempit itu, sembari memegangi perutnya yang kini terasa begitu perih karena meminta untuk diisi.

Bangkit bukan merupakan perkara mudah jika kau merasa sekujur tubuhmu remuk dan kepalamu terasa berputar-putar. Ada aroma yang tidak mengenakkan mengganggu indera penciumannya, tetapi ia memutuskan untuk tidak mempedulikannya.

Ia menatap pemuda yang kini memunguti sampah plastik di antara tumpukan sampah yang menggunung di dalam bak sampah, sebelum akhirnya berpaling ke arah kedua kakinya yang terlihat agaknya mengenaskan. Sandal rumah yang dikenakannya untuk berlari sudah berlubang disana-sini, mengingat entah berapa jam lamanya ia berlari menjauh dari rumahnya. Ada beberapa luka gores yang darahnya sudah mengering, dan juga sebuah luka lebam di lututnya yang ia dapatkan karena ia dengan cerobohnya jatuh dan terguling saat mendarat dari balkon di kamar orang tuanya.

Mengingat hal itu membuat hatinya kembali berjengit ngilu. Bagaimana seluruh keluarganya mengorbankan nyawa untuk menyelamatkan dirinya. Dan tepat di hari ulang tahunnya, ia sudah tidak memiliki siapapun lagi.

Minhyung ingin kembali menangis, tetapi rasanya ia sudah begitu lelah. Baik secara jiwa, maupun raganya.

Minhyung menatap pergelangan tangannya dengan nanar, tepat dimana handband pemberian Taeyong berada. Tangannya bergerak untuk mengusap benda itu dengan lembut, seolah-olah ada jiwa kakaknya yang bersemayam disana.

Ia membutuhkan ayahnya, ibunya dan kakaknya untuk berada di sisinya dan menyemangatinya seperti biasa, yang mana merupakan hal yang mustahil sekarang. Satu-satunya hal yang bisa ia lakukan sekarang adalah bertahan hidup, persis seperti apa yang kakaknya minta kepadanya.

Minhyung berusaha untuk bangkit, meskipun ia terhuyung-huyung. Dengan langkah terseok-seok ia berjalan keluar dari gang sempit tersebut.

Matanya memandang berkeliling. Jalanan kota Seoul memang selalu padat sebelumnya, namun kali ini berbeda. Biasanya Minhyung akan berjalan bersama dengan teman-temannya menuju ke arcade dan menghabiskan sepanjang sore setelah bersekolah disana, tanpa banyak orang yang memperhatikan, karena ia nampak begitu normal. Berbeda dengan sekarang. Orang-orang memberikannya tatapan penuh cemooh seolah-olah ia baru saja menarik pemicu granat. Ia tahu kondisinya sekarang memang terlihat benar-benar buruk, tetapi bukankah hal tersebut tidak perlu diperjelas dengan sebegitunya ?

Rantai pemikirannya yang panjang lantas terputus ketika ia menghentikan kakinya di depan sebuah toko televisi terbesar di Seoul. Beberapa televisi dengan teknologi terbaru terpajang di depan toko, tetapi bukan itu bagian terpentingnya. Televisi-televisi tersebut menayangkan sebuah berita yang sama secara serentak. Para reporter berbondong-bondong menginterogasi seorang polisi yang baru saja keluar dari sebuah kediaman besar, yang sialnya Minhyung ketahui dengan benar, rumahnya.

Berita tersebut menjadi topik utama, dengan kalimat tercetak besar dan jelas: SEORANG ANAK BUNUH DIRI SETELAH MENEMBAK KEDUA ORANG TUANYA SENDIRI.

Ia tahu Lee Taeyong, kakaknya, tidak mungkin melakukan hal sekeji itu. Taeyong bahkan telah mengorbankan nyawanya sendiri demi menyelamatkan Minhyung. Taeyong tidak pantas mendapat tuduhan keji seperti itu, setelah segala hal yang telah kakaknya lakukan.

Amarah bergumul di kepala Minhyung, membuat wajahnya yang pucat berubah menjadi merah seolah-olah kepalanya bisa meledak kapan saja.

Dengan geram ia mengambil sebuah batu besar yang tergeletak di pinggir jalan, dan melemparkannya ke jendela besar yang membatasi dirinya dan televisi-televisi yang dengan lancangnya menyebarkan berita tidak benar. Jendela tersebut lantas mengalami keretakan hebat, sebelum akhirnya Minhyung meninju benda itu dengan kekuatan penuh, dan membuatnya hancur berkeping-keping dan melukai tangannya sendiri.

" Hei—apa yang kau lakukan ?! Berhenti ! Kau bisa menghancurkan tokoku !"

Kejadian itu lantas mengundang sang pemilik toko keluar, beserta dengan beberapa karyawannya dan meneriaki Minhyung untuk berhenti. Beberapa di antara karyawan-karyawan tersebut menarik Minhyung, dan memegangi kedua sisinya meskipun Minhyung berusaha untuk memberontak. Keributan tersebut telah berhasil menarik perhatian orang-orang yang berlalu-lalang.

Pikiran Minhyung terlalu berkecamuk sampai-sampai ia bahkan tidak memberikan reaksi yang begitu berarti ketika petugas keamanan meringkusnya ke kantor polisi yang berada beberapa blok dari sana.

Semuanya berjalan begitu kabur bagi Minhyung saat itu.

" Siapa namamu ?" Tanya seorang pria bertubuh gempal dari balik meja kerjanya. Tangan pria itu sibuk mengetikkan sesuatu, sementara pandangannya terfokus pada layar monitor, alih-alih pada Minhyung.

Sadar bahwa dirinya tak mendapat jawaban apapun, akhirnya ia memalingkan pandangannya pada Minhyung. Wajah gemuknya membuatnya terlihat seperti telah menghabiskan sepanjang hidupnya dengan raut wajah cemberut. Rambut hitamnya yang tipis dan lepek disisir ke samping, setidaknya pria itu mengerti bagaimana cara merapikan penampilannya.

" Kau tidak dengar ?" Pria itu berucap sekali lagi. Dari nada bicaranya terdengar sekali bahwa pria itu tengah geram, dan berusaha menahan amarahnya. " Dengar ya, anak kecil seusiamu seharusnya berada di bawah pengawasan orang tua. Bukan malah berkeliaran di jalan dengan pakaian yang menyedihkan seperti itu, apalagi membuat keributan. Apa kau tidak diajari oleh orang tuamu—"

BRAK

Suara gebrakan di meja nampaknya berhasil membuat pria gemuk itu bungkam. Minhyung merasa lelaki itu sudah bicara lebih dari sekedar melewati batasannya. Meskipun kau adalah seseorang yang memiliki kewenangan lebih, bukan berarti kau bisa merendahkan orang lain seenaknya, apalagi jika kau bahkan tidak mengetahui berapa banyak hal yang telah orang lain itu lalui, seperti halnya Minhyung yang hidupnya jungkir balik tepat di hari ulang tahunnya sendiri.

" Jaga bicaramu, pak !" Minhyung baru saja mengacungkan telunjuknya tepat di depan wajah lelaki gemuk itu. Sepanjang hidupnya ia belum pernah merasa semarah ini sebelumnya. " Kau tidak tahu—"

Tiba-tiba saja seseorang menurunkan tangan Minhyung.

" Maafkan adikku, dia memang selalu berbuat onar. Kurasa kali ini ia sudah sedikit keterlaluan."

Minhyung memalingkan wajahnya pada lelaki dengan manik yang serupa biji kuaci. Lelaki itu tersenyum (atau meringis, Minhyung tidak bisa memutuskan), dan Minhyung bersumpah ia seperti melihat seekor kelinci dari wajah itu.

" Aku sudah membayar ganti ruginya, dan pemilik toko itu setuju untuk menarik tuntutannya. Kupikir aku bisa membawanya pulang sekarang, jadi aku bisa memberinya beberapa nasihat penting di rumah." Lelaki itu mengusak kepala Minhyung seolah-olah Minhyung memang benar-benar adiknya yang nakal.

Minhyung tercenung. Ia jelas-jelas sekali tidak mengenal lelaki ini, tetapi ia tidak punya daya untuk menolak tawaran lelaki itu yang menyiratkan akan membebaskannya dari jeruji besi, dan terutama pria tidak tahu etika di hadapannya.

Pria gemuk itu berdehem, seraya mengganti posisi duduknya menjadi sedikit bersandar di kursinya dengan santai. " Pastikan ia mendapatkan pelajaran yang seharusnya ia dapatkan."

" Tentu saja, pak. Aku minta maaf atas keributan ini." Lelaki itu membungkuk, dan mendorong tubuh Minhyung untuk mengikutinya membungkuk. Betapapun Minhyung kesal pada pria di depannya, tetapi Minhyung memutuskan untuk membungkuk hormat, semata-mata karena ia tidak memiliki pilihan lain selain menurut pada lelaki misterius yang berada di sampingnya.

" Ayo, Mark." Lelaki itu merangkul bahu Minhyung dan membimbingnya keluar dari kantor polisi.

Minhyung mengikuti lelaki itu memasuki sebuah mobil sedan hitam yang terparkir di depan kantor polisi. Untuk beberapa alasan, Minhyung percaya bahwa lelaki ini adalah lelaki baik yang mungkin saja diutus untuk menyelamatkannya entah untuk alasan apa. Tidak masuk akal memang, tapi setelah semua kejadian yang Minhyung alami, ia memutuskan bahwa tidak semua hal itu masuk akal.

Pandangan Minhyung tak pernah barang sedetikpun meninggalkan lelaki itu. Ia memperhatikannya baik-baik, mulai dari lelaki itu memasang sabuk pengaman, menyalakan mesin mobil, dan menginjak pedal gas.

" Sebenarnya apa yang ada di dalam pikiranmu, Mark ?" Lelaki itu tiba-tiba saja berucap, membuat Minhyung terkesiap.

" Aku bukan Mark. Mungkin kau salah orang ," Setelah sekian lama berpikir, hanya kalimat itulah yang mampu terucap dari bibirnya.

" Ha—ah, kau nyaris menghancurkan toko televisi. Ya, aku tahu kau sudah melewati hari yang sulit, tapi—"

" Kau mengetahuinya ?" Minhyung tidak bermaksud untuk tidak sopan, tetapi itulah yang ia lakukan ketika rasa ingin tahunya lebih besar ketimbang etikanya untuk berbicara dengan orang yang lebih dewasa. " Semuanya ?"

Minhyung menangkap sebuah anggukkan singkat di kepala lelaki itu, dan tatapan matanya berubah menjadi sendu, meskipun ia tengah terfokus pada berkendara.

" Aku turut berduka cita soal keluargamu." Lelaki itu menatap Minhyung sekilas. " Namaku Doyoung, jika kau bertanya."

Minhyung memutuskan untuk tidak menghiraukannya, meskipun begitu tetap ia mencatat nama laki-laki itu di dalam benaknya. " Dan mengapa kau menyelamatkanku ?"

" Ayahmu sudah tahu hal ini akan terjadi cepat atau lambat, karena itu ia mengutusku untuk menyelamatkanmu jika saatnya sudah tiba, itu artinya hari ini. Baiklah, mungkin seharusnya kemarin, jika saja aku tidak terlambat." Volume bicara Doyoung semakin pelan di akhir kalimatnya, tetapi ia memutuskan untuk melanjutkan, " dan ingat satu hal. Mulai saat ini, namamu adalah Mark. Mark Lee."

-TBC-

A/N: YEHET kembali lagi bersama saya dengan cerita baru wkwkwk *bukannya nerusin healing dulu sampe tamat malah bikin cerita baru* 

don't forget to leave your comments<3

with love,

putey<3

Continue Reading

You'll Also Like

652K 76.3K 60
Menceritakan tentang kehidupan 7 Dokter yang bekerja di rumah sakit besar 'Kasih Setia', mulai dari pekerjaan, persahabatan, keluarga, dan hubungan p...
1M 93.9K 54
Ziel adalah candu. Tawanya Candanya Aroma tubuhnya Senyum manisnya Suara merajuknya dan Umpatannya. . . . "Ngeri bang." - Ziel "Wake up, Zainka."...
842K 72.4K 28
Mark dan Jeno kakak beradik yang baru saja berusia 8 dan 7 tahun yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Di usia yang masih kecil itu mereka berdua m...
PENGASUH By venta

Fanfiction

63.3K 7.5K 53
Pusat organisasi pembunuh bayaran telah terbongkar dan menjadi buron oleh negara. Salah satu cabang dari organisasi ini, memilih untuk membanting set...