My lovely PATIENT

By Husnaalana

290K 22.4K 718

Qory Adisabela. Pskiater muda yang sedang menyelesaikan gelar Doctornya itu mendapat tugas akhir yang benar-b... More

Prolog
Jatuh cinta itu mudah?
Let's start to Flirting!
Misi Pertama
My Lovely Shoes VS My Lovely Patient
Wellcomeback to the hell!
"Pertemuan Selanjutnya"
Persekongkolan
The next step
A Troubel Monday
Lunch
The day of my patients
Let's go home
At Home
Next Mission
fifty Shades of Dave
Reuni
Here For You
Just Give me Hug
That Trouble Night
After Storm
The Drama
Pretend?
A Confusing Day
WARNING!
Another Side
A Celebrate?
Beautifull Place
Another Storm
The Feel
The next crazy mission
A Long Time Ago
A Long Night
Desire
Where Are You?
Should I Go?
Dinner
Trouble is a friend
Decide
Days Like a Year
Chance
Between Sacrifice and Desire
DONE!
Kado Terindah
Epilog

A Warm guy

5.6K 454 5
By Husnaalana

Happy readiiing :))

Bela memperhatikan taman yang di penuhi pasien-pasien RS Sentosa Rahardja pagi itu. Tatapannya beralih kelangit yang tidak juga menunjukkan tanda matahari akan muncul. Padahal sudah hampir jam delapan pagi. Meskipun mendung, tapi pasien-pasiennya tetap melakukan aktifitas di taman RS.


Ada yang latihan berjalan, senam-senam kecil menggerakkan badan, atau sekedar mengobrol. Bahkan ada yang melompat kesana-kemari dan bertingkah aneh sampai membuat beberapa perawat kewalahan.

Bela tersenyum memperhatikannya. Dia selalu suka melihat mereka tidak didalam ruang perawatan dengan berbagai alat medis, karena terlihat seperti orang sehat dan normal pada umunya.

"Pasien masih nyari udara seger?" Bela spontan menoleh mendengar suara Tami.

"He-em." Sahutnya lalu kembali memperhatikan pasien.

"Apa kamu dokter amatiran?!" Bela mengernyit sekaligus terkejut mendengar bentakan Sandra dan lengannya yang ditarik tiba-tiba.

Setelah beberapa kali memperlihatkan ekspresi marah saat berpapasan ketika dia bersama Dave, sikap Sandra semakin menjadi. Wanita itu bahkan sering menyindirnya di rapat dengan mengatakan kalau Bela keganjenan dengan pasiennya, Dave.

Padahal semua orang tahu kalau dia hanya melakukan misinya. Selama ini Bela hanya mendiamkan karena mengira wanita itu hanya iri, mengingat dia memilih menerima misi yang di tolaknya. Tapi kali ini Sandra menyinggung pekerjaannya, ini tiidak boleh terus dibiarkan.

"Maksud kamu apa?" tanya Bela melepaskan tangannya.

"Kenapa kamu memindahkan ruangan dan melepaskan pancungan pasien cabul itu?"

Bara? Oh ya, dia memang sudah memindahkan Bara keruang perawatan intensif karena pria itu menunjukkan tanda-tanda kesembuhan. Tapi apa peduli Sandra? Bukankah dia bukan dokternya Bara lagi? Tunggu, jangan bilang pria itu mengulah pada Sandra?

"Pasienmu itu masih gila, belum bisa di pindahkan. Kamu tidak bisa menilai dengan benar? Dasar amatiran!" ucap Sandra sinis.

"Jaga ucapanmu DOKTER Sandra," Desis Tami memperingatkan karena beberapa dokter dan perawat yang juga mengawasi pasien di taman mulai memperhatikan.

Sandra hanya mengibaskan rambut dengan sikap angkuh mengabaikan ucapan Tami dan kembali menatapnya. Tadinya Bela ingin menahan emosi, tapi saat itu dia melihat Ira berdiri dibelakang Sandra dengan sebelah alis terangkat dan melipat tangan didada. Seperti menyuruhnya untuk membalas ucapan Sandra.

"Tidak ada yang salah dengan penilaian saya. Karena saya lebih tahu pasien saya dari dokter manapun." Bela maju selangkah sambil melipat tangan. "Tidak tahu kenapa, hanya didepan dokter pasien saya berulah. Padahal tidak ketika dengan yang lain." Bela langsung mengangkat tangan saat Sandra mau membuka mulut.

"Kalau begitu, hanya ada dua kemungkinan bukan? Pasien saya yang memang bermasalah, atau...dokter yang menggodanya?" wajah Sandra langsung merah padam menahan amarah.

"Tentu saja pasien kamu yang bermasalah!" setelah mengatakan itu Sandra langsung berbalik dan hampir menabrak Ira.

"Ups! Hati-hati. Dokter nggak mau kan, jatuh didepan residen? Nanti dikirain pasien loh, jalan aja nggak bener." ucap Ira memegangi kedua lengan Sandra sambil tersenyum meremehkan. Wanita itu lantas menepis tangannya lalu beranjak dengan hentakkan kaki.

"Ngatain orang dokter amatiran. Dia sendiri marah-marah nggak jelas. Kan lebih mirip sama pasien." ucap Ira setengah mengomel.

Bela dan Tami cuma menggeleng tidak habis pikir. Bela beralih memperhatikan Sandra yang tidak sabaran menekan-nekan tombol lift.

Kalau Sandra sampai sekesal itu, sepertinya Bara memang melakukan sesuatu pada wanita itu. Kalau begitu dia harus membicarakannya dengan Bara nanti.

"Ya ampun!" perhatiannya teralihkan mendengar Ira mendadak berseru sambil berlari ke halaman diikuti Tami. Bela mengerjap bingung tapi langsung paham begitu merasakan tetesan air yang langsung berubah jadi guyuran hujan.

Tadinya dia mau menyusul untuk membantu pasien segera masuk ke RS. Tapi batal karena melihat dokter dan beberapa perawat kesulitan membawa pasien lansia yang tidak bisa segera masuk ke RS seperti pasien lain yang tinggal berlari.

Bela mengedarkan pandangan sambil mencari cara. Mengingat jarak taman dengan gedung RS cukup jauh. Saat itu matanya berhenti melihat brankar yang kebetulan ada di teras RS. Lantas dia segera berteriak memanggil satpam untuk membawanya ke taman.

Setelah pasien lansia memenuhi brangkar, beberapa dokter dan perawat laki-laki mendorongnya, dibantu beberapa keluarga pasien juga. Bela membantu beberapa pasien lansia turun dari brangkar ketika sampai di teras gedung RS. Lalu mengucapkan terimakasih kepada yang mendorong.

"Terima kasih pak sudah—" ucapannya terhenti ketika berbalik dia melihat ada Dave, pria itu melepaskan tangan dari pegangan brankar dengan kemeja yang hampir kuyup.

"Lho, kamu kok disini. Nggak kerja?" tanyanya bingung.

"Hm-mm." Jawab Dave mengangguk sambil menarik kebelakang rambutnya yang basah. "Hari..hak...hakcimm!!" Bela spontan memejam karena Dave bersin tepat didepan mukanya.

"Hm..maaf." ucap Dave dengan cengiran sambil menyeka hidung. "Hari ini tanggal merah." Lanjut Dave dengan suara bindeng. Oh-ya. Karena profesinya memang tidak memiliki tanggal merah, jadi dia tidak tahu.

"Oh...yaudah ayo keruanganku biar ngeringin rambut kamu." Katanya langsung beranjak diikuti Dave.

"Aku cuma bisa mengatasi rambut, gimana soal kemeja kamu?" tanya Bela sambil mengusap setengah menekan handuk bersih di kepala Dave. Pria itu duduk di sofa dengan mata terpejam keenakan. Berasa di salon kali ya.

"Sudah ada yang mengurusnya." Jawab Dave tanpa membuka mata.

"Siapa?"

"Haris."

"Oh—aku pikir kamu selalu bawa cadangan baju di mobil." ujarnya mengingat Dave sangat peduli dengan penampilannya.

"Untuk apa? Aku punya sekertaris yang bisa di suruh kapanpun untuk hal semacam itu." Dave mengangkat kedua bahu.

"Jadi selain soal perusahaan, Haris juga mengurus keperluan kamu?"

"He-em." Sahut Dave membuat Bela menghentikan gerakan.

"Wah.. Haris pasti capek banget ya," Bela menghela nafas membayangkan repotnya jadi sekertaris Dave, mengingat pria itu rewel soal penampilan.

Dave spontan membuka mata dan menatap Bela sambil memicing. "Kamu kenapa tiba-tiba peduli dengan pekerjaan Haris?"

"Hm?" Bela mengernyit bingung mendengar nada menuduh dalam ucapan Dave.

Dave menurunkan tangannya membuat handuk yang depegangnya terjatuh di pangkuan pria itu. "Setelah memergoki kamu memandangi dia penuh minat, jangan bilang kamu tertarik sama dia?" hah?

"Jangan coba-coba tertarik sama dia." Oh, Dave pasti salah paham.

"Mck, apaan sih Dave. Kamu cemburu sama sahabat sendiri?" tanyanya pura-pura mengerutkan alis.

"Cembu—oh ya, aku cemburu. Sebagai kekasih kamu, itu hal wajarkan?" suara Dave meninggi.

"Yang bener aja, Dave—"

"Kenapa? Kamu nggak suka aku cemburui?" oh, sepertinya ini akan menjadi pertengkaran pertama mereka. Dan karena Haris? Come on...

Ketika Dave mau berbicara lagi, Bela buru-buru meletakkan tangan di dahi pria itu lalu meletakkan tangan yang sebelah lagi di kepalanya.

"Hm, pantesan sensi, panas kamu agak tinggi nih. Oh—tadi juga sempat bersin. Kamu sakit?" tanya Bela, tentu saja mengalihkan permbicaraan. Tapi dia tidak berbohong soal pemeriksaannya.

Dave menghela nafas. "Kamu mengalihkan pembicaraan." Ucapnya dengan suara tenang, syukurlah.

"Hm..ketahuan ya?" ucapnya sambil nyengir. Lalu menangkup pipi Dave sambil menatap serius.

"Kamu nggak perlu khawatir. Aku nggak akan nikung sahabat kamu. Itu nggak mungkin terjadi Dave. Karena itu hanya dilakukan oleh pecundang. Dan aku bukan pecundang. Oke?"

Bola mata Dave bergerak pelan memandangi mata Bela. Pria itu pasti sedang menilai kejujurannya lalu menganggguk. "Bagus kalau begitu. karena aku tidak ingin bersaing setelah kalah dalam banyak hal padanya." Pada Haris?

Kedua alis Bela langsung bertaut. Tapi tidak sempat bertanya, karena Dave menarik pinggangnya dan menyandarkan kepala di perutnya. "Dia lebih baik. Haris selalu berhasil memenangkan hati papa. Tapi denganku..." Dave menghela nafas.

Ohh—jadi ceritanya Dave yang cemburu sama Haris di sini, gumam Bela mengecup puncak kepala Dave sambil menahan senyum sebelum ikut menghela nafas mengingat Dave cemburu soal papanya.

Dave melepaskan pelukan setelah beberapa saat. "Kamu tidak menemui pasien?" tanya Dave. Lah ini kan sedang menemui pasien? Jawabnya, tentu saja dalam hati.

Bela menyisir rambut pria itu dengan jemari. "Sebentar lagi. Ah ya, jadi apa yang kamu lakukan hari ini?"

Dave melingkarkan tangan di pinggangnya. "Aku hanya perlu kerja setengah hari nanti. Pagi sampai makan siang, aku free."

Bela mengangguk. "Jadi kamu kesini mau menemani aku kerja?"

"Nggak. Aku mau tidur." Hah? Lagi-lagi Bela mengernyit.

"Aku belum ada tidur dari semalam Bela." Oh bela baru menyadari lingkar hitam di bawah mata pria itu.

"Jadi kenapa malah kesini, bukannya tidur dirumah?"

"Maunya tidur sama kamu. Tapi berhubung kamu kerja, jadi aku hanya perlu tidur ditempat yang ada kamu." Dave mengangkat bahu seolah membicarakan tidur bersama hal yang biasa. Ya ampun, ya ampun!

Bela berdehem pelan sambil melepaskan tangan pria itu. "Yaudah aku buatin teh jahe dulu supaya tidurnya lebih enakan." Lalu berjalan keluar ruangan. Wanita itu kembali tidak lama kemudian dengan secangkir teh jahe ditangannya.

"Kamu yakin mau tidur di sofa?" tanya Bela sambil menyodorkan gelas berisi teh. Lalu beranjak ke mejanya.

"Hm-mm." Dave mengangguk kemudian meminum tehnya. Pria itu mendesah pelan. "Hm. Seger,"

"Yaudah dihabisin trus tidur. Aku mau meriksa pasien dulu." Dave mengangguk tanpa mengalihkan pandangan dari gelas tehnya.

Setelah membereskan semua file pasien, wanita itu beranjak keluar ruangan. Bela berhenti dibelakang pintu untuk menoleh ke mejanya terakhir kali.

Dia memastikan kalau seluruh berkas pasien sudah dikemasinya di laci yang kuncinya sudah disimpan di saku jas. Ya, tentu saja dia harus tetap waspada. Meskipun Dave bilang mau tidur, tidak menutup kemungkinan pria itu memeriksa ruangannya selagi tidak tahu mau ngapain, sementara di nggak ada.

"Have a nice day," ucap Dave saat dia membuka pintu.

"Hmm-ya." sahutnya tersenyum lalu keluar ruangan.

*

Bela mengucek mata sambil mendesah pelan. Dia sedang memeriksa data pasien dikomputer sejak beberapa jam yang lalu. Wanita itu beralih memperhatikan Dave. Dia nggak tahu kapan Haris datang, tapi kemeja Dave sudah berganti. Pria itu masih tertidur di sofa dengan kedua alis bertaut.

Bela berharap Dave tidak mimpi buruk. Melihat penampilannya tadi, Dave sepertinya benar-benar butuh tidur. Pria itu mendadak bergeser sebelum membuka mata. Dave bangkit lalu merogoh saku celananya untuk mengeluarkan hape. Ada yang menelepon.

"Halo. Iya..berkas yang itu, dan laporan dari kantor cabang. Iya setelah makan siang aku ke kantor...Oke, oke Har." Bela mengangguk paham. Membicarakan pekerjaan dengan tuan 'Har', siapa lagi kalau bukan sekertarisnya.

"Hai?" sapanya saat pria itu menoleh. Bela menahan senyum melihat rambut Dave sedikit berantakan dan wajah sembab bangun tidurnya.

"Hm. Sedang apa?" tanya Dave sambil membetulkan rambut lalu menyeka wajah. Sepertinya menyadari penampilannya.

"Meriksa data pasien. Kamu sudah cukup tidurnya?"

"Hm-mm." Dave sambil bangkit lalu beranjak kearahnya.

"Kerjaan kamu banyak hari ini?" tanya Dave setelah duduk didepannya.

"Nggak terlalu. Cuma perlu banyak baca data untuk meneliti pasien yang mau konsultasi nanti siang. Habis itu nggak ada lagi sih kayaknya."

Dave mengangguk. "Oke. Jadi aku jemput kamu nanti sore."

"Mau kemana?"

"Nanti aku beritahu."

Bela hanya memandangi pria itu sesaat. "Oke." Katanya lalu beralih ke monitor. "Dave minta itu?" katanya menunjuk kacamata anti radiasi yang ada di dekat tangan Dave.

Pria itu mengambilnya lalu bangkit dan memutari meja kemudian berhenti disampingnya. Bela memeperhatikan Dave duduk dimeja dengan ekspresi was-was. Mau ngapain? Pria itu mengelap kacamata dengan kemejanya lalu memasangkannya ke mata Bela.

"Jangan terlalu lama baca di komputer. Mata kamu sudah lelah." Dave lalu mengecup dahinya dan menahan bibirnya beberapa detik sebelum menarik kepala sambil mengusap pipinya. Bela merasa jantungnya berdegup dua kali lebih cepat merasakan perhatian Dave.

Kalau se-sweet ini kan dia jadi pengen ditemeni kerja terus. Dan apa tadi katanya, jangan baca terlalu lama? No, sekarang dia malah mau baca sepanjang hari demi mendapat kecupan hangat lagi. Ups!

Sepuluh menit menjelang makan siang, keduanya berjalan keluar ruangan Bela. Saat melewati lorong bagian ruangan pasien anak-anak, Bela merasa tangan Dave yang menggenggamnya tiba-tiba menegang.

Pria itu menatap lurus kedepan dengan tajam. Bela mengikuti arah pandangnya dan melihat seorang pasien anak-anak sedang di marahi ayahnya.

"Kamu nggak mau makan? Kamu nggak tahu mahalnya biaya rumah sakit?!" bentak si ayah sambil mencengkeram bahu anaknya.

"Pahit yah..pahit..." ucap si anak hampir menangis.

"Trus kalau pahit nggak mau makan?! Hah!" plakk! Bela mengerjap kaget sekaligus terperanjat melihat si ayah langsung menampar si anak.

"Bilang nggak mau makan lagi! bilang!" si anak langsung meringkuk ketakutan sambil memegangi kepala dengan tubuh gemetaran.

Disampingnya, Dave sudah siap maju dengan ekspresi marah. Lantas Bela buru-buru menahan tangan pria itu agar tetap diam sebelum keadaan semakin kacau.

"Lepasin aku!" seru Dave kesal.

Wanita itu menggeleng lalu berteriak, "Perawaattt!" tapi Dave menghentakkan tangannya hingga terlepas. Bela langsung cemas melihat Dave berjalan cepat mendekati si ayah dan mendorongnya hingga terjengkang ke balakang. Lalu berlutut memegangi anak itu.

"Aarghh...!!! Ampun yah, ampuuuun..." Sianak meronta sambil terisak ketakutan mengira Dave ayahnya. Bela buru-buru mendekat melihat ayah si anak sudah bangkit.

"Heh! Siapa kamu!" Pria itu menarik kerah Dave, untung Dave sigap dan langsung menepisnya.

"Lepaskan! Dengar, saya sudah merekam kekerasan yang anda lakukan." Dave mengacungkan hapenya. "Saya bisa melaporkannya ke polisi!"

"Kamuu!!" Pria yang lebih tua dari Dave itu hendak melayangkan tinjunya. Tapi gagal ditahan oleh perawat laki-laki yang baru datang. Sementara suster yang menangani si anak diam memperhatikan Dave.

"Jangan takut....ini hanya mimpi buruk yang harus kamu lupa, dan anak laki-laki tidak boleh takut pada apa pun, paham?" Dave memegang kedua bahu si anak yang menatapnya ragu-ragu sebelum mengangguk.

"Kemari." Dave menarik anak itu kepelukan.

"Kamu seharusnya berani. Jangan mau di pukuli terus. Menghindarlah sebisa mungkin, kalau perlu lawan. Karena jagoan tidak boleh takut."

"Tapi ayah...ayah.." Dave mengusap-ngusap punggung anak itu untuk menenangkan isakannya. "Nggak apa-apa..nggak apa-apa..kamu sudah aman sekarang.."

Pasien anak-anak yang berusia sekitar tujuh tahun lebih itu langsung membalas pelukan Dave sambil tersedu. Dave memejam dengan kerutan alis yang dalam.

Bela terperangah melihatnya. Tidak menyangka Dave berhasil menenangkan si anak. Padahal yang dia tahu, Dave lah yang harusnya di tenangkan. Pria itu punya trauma kekerasan yang hebat, PTSD-nya. Tapi Dave tidak menunjukkan tanda akan kambuh, malah sebaliknya.

Dave melepaskan pelukan setelahnya. "Ingat apa yang om bilang?"

Anak itu mengusap airmata sebelum menjawab. "Jagoan tidak boleh takut."

Dave tersenyum sambil mengusap kepala anak itu. Setelah ayah dan si anak sudah diamankan perawat, Dave berbalik kearahnya.

Bela langsung mengubah ekspresi dengan menatap sebal.

"Kenapa?" Tanya Dave mengernyit. Tadinya Bela sempat mengira Dave akan memukuli ayahnya si anak seperti kejadian Alya.

"Aku pikir kamu bakal menggunakan kekerasan lagi."

"Dan membuat anak itu semakin ketakutan?" Dave menggeleng, "Dari pada membalas kekerasan ayahnya, aku sadar, anaknya lebih membutuhkan perhatian." Dave beralih memandangi anak yang sudah berjalan ke dalam ruang perawatan.

"Karena anak-anak korban kekerasan butuh dirangkul, tidak hanya diobati Bela..." Lanjut Dave lalu kembali menoleh. Bela mengerjapkan mata tertegun. Senyum haru lantas tercetak dibibirnya.

"Sini." Katanya sambil merentangkan tangan. Ntah kenapa dia hanya ingin memeluk pria itu.

Dave menyandarkan dagu di bahunya sambil menghela nafas. Sejujurnya dia sedang bersusah payah menahan perasaan sakit dan kalut karena ingatan mengerikan itu yang siap naik kepermukaan.

Tapi tangan Bela di genggamannya, menyadarkan pria itu. Kalau ada seseorang yang tidak boleh terus melihat reaksi anehnya.

Bela. Dave tahu wanita itu mungkin bisa mengerti karena profesinya. Tapi tidak menutup kemungkinan juga dia memilih pergi bukan? Selain itu, ego dan harga dirinya juga tidak mengizinkan.

"Aku baru tahu kamu ternyata sehangat itu." ucap Bela setengah berbisik di teling Dave.

"Baru tahu? Apa sentuhanku kurang terasa? Kalau begitu kamu harus lebih sering di sentuh."

Bela buru-buru melepaskan pelukan saat tangan Dave meraba-raba pinggangnya. "Ih kamu, ngerusak moment aja."

"Ayo makan siang," katanya buru-buru saat Dave mau membuka mulut dan langsung beranjak.

Kenapa juga dia  bisa lupa, pria itu kan pantang di sentuh langsung balas menyentuh. Dasar Dave mesum! gumamnya sambil berjalan duluan. tapi tidak berapa lama karena Dave menyusul dan langsung menggenggam tangannya. Haha...

***

Continue Reading

You'll Also Like

606K 51.9K 45
Welcome My Love merupakan cerita lengkap dari Back (Oneshoot) dengan judul yang berbeda. Clara mengenal Kaivan sebagai tetangga barunya, sekaligus la...
530K 50K 115
Gadis Sekarwangi, tidak pernah menyangka jika rumahtangga yang ia bangun bersama suaminya, Pradipta harus berakhir ditengah jalan karena sang suami k...
45.1K 2.2K 42
Lyra Scarlet adalah seorang wanita karir yang sukses, saking suksesnya dia berfikir kalau dia tidak membutuhkan laki-kaki lagi di hidupnya. Orangtua...
348K 20.1K 30
"Kamu akan menikah, Karina ?" "Ya, Pa." Jordan mengerutkan dahinya tak mengerti sambil terdiam memandang anak pertamanya itu. Ia kemudian kembali mem...