Down There Is What You Called...

بواسطة Atikribo

91.9K 10K 2.6K

Kepergian sahabatnya meninggalkan sebuah tanda tanya besar dalam diri Raka. Ketika semua orang mengatakan pen... المزيد

Sebelum Menjelajah
Chara Profile
Surface - 1
Surface - 2
Surface - 3
Surface - 4
14 Years Ago, Capital City
Somewhere - 1
Somewhere - 2
Surface - 5
Surface - 6
1st Floor
2nd Floor
3rd Floor
4th Floor
5th Floor
At The Corner Of His Memories
6th Floor
10K READS: GIVE-FRICKIN-AWAY!! (Closed)
7th Floor
GIVEAWAY CLOSED
GIVE-FRICKIN-AWAY WINNER
9th Floor
10th Floor
11th Floor
12th Floor
13th Floor
14th Floor
15th Floor
Somewhere - 3
16th Floor
17th Floor
18th Floor
19th Floor
20th Floor
Antarkasma - 4
Antarkasma - 5
21st Floor
Antarkasma - 6
Antarkasma - 7
22nd Floor
23rd Floor
Orenda, 14 Years Before
Orenda - 7 Years Before
24th Floor
Antarkasma - 8
25th Floor
26th Floor
27th Floor
28th Floor
Antarkasma - 9
29th Floor
30th Floor
31st Floor
Epilog
Afterwords & Surat Cinta
Bincang Ubin Vol.1
FLOOR NEW YEAR SPECIAL: College AU
Bincang Ubin Vol. 2
Maps & Glossarium

8th Floor

930 161 43
بواسطة Atikribo

KRAN AIR berderit ketika Nova memutarnya ke kiri. Tubuhnya berjengit saat air panas mengenai kulit, membuat gadis itu harus mengatur kembali suhu air dari pancuran kamar mandi. Ia menarik napas panjang, merasakan denyut ngilu di bagian bahu, lengan, punggung —nyaris seluruh tubuhnya— dan sedikit banyak otot-otot yang kejang mulai meregang.

Menuangkan sampo ke telapak tangan, gadis itu masih tak bisa melupakan orang botak kurang ajar yang datang tadi membuat keributan. Kenapa Nova selalu merasa sebagai orang ketiga yang tidak tahu apa-apa? Ia tidak tahu banyak mengenai apa yang telah ayahnya lakukan; tidak tahu ke mana hilangnya sang ibunda; tidak tahu bahwa Ravi menitipkan alamat rumahnya sebagai kontak darurat. Apa karena dia masih kecil? Bukankah tujuh belas tahun hitungannya sudah dewasa atau perkiraannya salah? Nova kesal dengan orang-orang yang ia anggap keluarga, tetapi nyatanya tidak terbuka.

Tiga jam...haruskah Nova kabur? Pria itu tidak akan menunggunya di depan pintu seperti seorang penguntit kan? Lagipula kenapa dia bersikeras untuk membawa Nova bersamanya? Memangnya Nova punya antena yang bisa menyala jika dalam bahaya lalu Ravi akan datang menjemputnya? Yang benar saja, jangan bercanda.

Nova membiarkan dirinya di bawah pancuran lebih lama, menikmatinya selagi bisa. Menghanduki tubuh dan berpakaian, gadis itu melempar gaun berwarna putih gading ke keranjang cucian, mendapati tumpukan baju kotor yang entah sudah berapa lama usianya. Ia menghempaskan tubuh di atas kasur; hanya mengenakan pakaian dalam. Sprei dingin menyambutnya, membuat ia ingin berlama-lama di sana: memandang langit-langit tanpa pikiran mengenai ibu maupun pamannya, apalagi ayahnya. Ia ingin tidur sebentar lagi.

Menghela napas panjang, Nova sedikit banyak berterimakasih kepada Viviene akan jahitan di perutnya yang sudah diperbaiki. Tanpa perempuan itu, mungkin ia akan berakhir di rumah sakit; lebih parahnya ditangkap oleh Orenda. Meski tahu ia harus istirahat, Nova merasa bersalah untuk mengambil napas sejenak. Fakta bahwa ibunya masih hilang membuatnya kerap khawatir.

Seseorang telah menusuknya tepat di perut, dia bisa mati, tetapi tidak. Seseorang mencegahnya di museum untuk kembali pulang, meminta Nova dengan cara yang sama sekali tidak ramah untuk ikut dengan mereka. Dia bisa mati, tetapi tidak. Hal yang gadis itu terus lakukan adalah lari tanpa mengetahui kebenaran di balik selongsong kehidupan kedua orang tuanya. Apa ia harus terus berlari?

Percuma Nova memejamkan mata, ia tidak bisa tidur. Terlalu banyak hal berkelebat di kepalanya. Apa yang harus ia lakukan? Apa yang harus ia lakukan? Ke mana ia harus pergi? Dia sama sekali tidak punya petunjuk. Pun, setiap Nova melangkahkan kali, sama sekali tak terlihat cahaya di penghujung lorong yang ia masuki. Perjalanannya tanpa arah bagaikan di dalam goa: semakin dalam dan semakin gelap. Sekalinya ia melihat cahaya, lubang di langit-langit akan kembali tertutup seolah-olah langit-langit goa itu runtuh.

Ia melempar selimutnya, merasakan jantungnya yang berdebar hebat. Gadis itu mengambil celana jins, mengenakan kaos putih gading berlengan panjang untuk menutupi tatonya. Mantel nila yang ia pakai selama seminggu yang lalu merupakan salah satu pakaian favoritnya, tetapi mungkin orang-orang sudah mengetahui penampilan Nova berdasarkan selembaran buron yang tersebar di mana-mana. Ia harus meleburkan diri di kota edan ini, setidaknya dengan menanggalkan mantel nila yang sudah menjadi ciri khasnya.

Nova ingat akan sebuah mantel yang tak pernah ia pakai sama sekali. Barang itu pemberian ayahnya yang dikirim melalui pos tanpa alamat pengiriman. Seorang kurir mengetuk rumahnya dan memberikan sebuah bingkisan itu kepada Nova. Sang kurir tidak mengatakan apapun dari mana bingkisan itu berasal namun setelah ia membukanya, secarik surat tersampirkan di sana, tertujukan untuk Nova dan Kirana dengan satu kata berupa 'maaf'.

Kirana menghela napas panjang dengan senyum getir menghiasi bibirnya ketika Nova menanyakan maksud dari surat itu. "Dia tidak akan kembali," jelas ibunya, "dalam waktu dekat."

"Apa dia sekarat?" tanya Nova dingin, "Ataukah sudah meninggal?"

"Dia ayahmu, Nova."

"Bukan, dia bukan ayahku," tutur Nova, "Seorang ayah tidak akan meninggalkan keluarganya sendirian."

"Dia masih ayahmu, Nova. Bersikaplah yang baik."

Mengerling, gadis itu mendapati bahwa bingkisan itu diberikan untuknya. Tanpa dibuka maupun dicoba, ia memasukkan jaket itu ke lemari bagian terdalam, berharap hilang seiring berjalannya waktu. Entah dibilang beruntung ataupun tidak, tak ada tikus yang memakan pakaian yang tersimpan di sana selama itu. Utuh meski bau kamper, warna biru navy jaket itu sama sekali tidak memudar.

Nova membentangkan mantel pemberian ayahnya; berbahan parasut. Bagian dalamnya dilapisi bahan yang lebih tebal. Saat Nova mencoba memasukkan tangannya di bagian lengan, mantel itu tidak begitu panas maupun dingin, menyesuaikan dengan kondisi ruangan saat itu. Secarik kertas yang terlipat rapi tampak mencuat dari dalam kantong. Mengambil dan membolak-balikkan bagian yang terlipat, Nova tidak melihat adanya nama atau tulisan apapun. Apa kertas itu selalu ada di sana selama ini? Ia menjadi mempertanyakan kebiasaan ayahnya yang sering meninggalkan jejak dalam bentuk tulisan yang sering kali berupa secarik kertas.

Membacanya sekilas, lagi-lagi permintaan maaf. Tak bisakah orang itu berhenti meminta maaf dan membuktikannya secara langsung bahwa dia benar-benar merasa bersalah? Nova ingin membuangnya secara langsung, tetapi paragraf terakhir surat dari Flint menarik perhatian Nova:

Carilah dia ketika matahari di bawah lautan pasang. Di sudut kota ketika tak ada satu lampu pun yang menyorot, setangkai bunga tumbuh kokoh di atas sekaleng tanah penuh batu. Ada harapan dalam tafsiran menunjukkan kenyataan.

Kalau mereka bertemu nanti, Nova bertekad bahwa ia akan benar-benar memukul ayahnya. Kenapa orang itu tidak pernah mengatakan sesuatu tanpa teka-teki? Namun tentu saja ibunya selalu menjadi prioritas. Ia harus menemukan ibunya, apapun yang terjadi.

Gadis itu membuka lemari pakaian, mencari-cari tas apapun yang ia simpan di sana. Perjalanannya pasti akan lebih lama dibandingkan saat dia tengah berada di Permukaan Atas dan ia harus bersiap. Dimasukkannya segala macam barang mulai dari tabungan uang serta pakaian, tak lupa buku catatan yang ia selalu bawa ke mana pun.

Menyampirkan tasnya di bahu, Nova pun mengenakan sepatu. Saat dia membuka pintu, ia tak menyangka si pria botak masih menunggu di depan rumahnya; duduk di samping pintu dengan wajah tertunduk seperti anjing penjaga. Luke menoleh, wajahnya tampak sumringah.

"Satu jam saja belum dan kau sudah mau jalan?" ucap pria itu, riang sembari mengambil posisi berdiri. "Sempurna. Ayo pergi, kalau begitu."

"Kamu masih di sini?" tanya Nova, tidak percaya.

"Heh, aku tidak bodoh, Non. Kau pasti kabur kalau aku enggak menunggu di depan rumahmu seperti ini."

"Aku... aku masih belum mau pergi," Nova terbata.

"Jangan bohong. Tas dan pakaianmu itu memangnya buat apa?"

"Itu bukan apa-apa!" cepat-cepat Nova menutup lagi pintunya, tapi lagi-lagi terlambat. Pria itu menahan pintunya lagi dengan kaki.

Tubuhnya yang tinggi membuahkan bayangan yang menutupi Nova. Ia tidak bisa untuk tidak menatapnya ngeri. Pria botak itu memiringkan kepala, melipat kedua tangannya di depan dada, "Aku bilang, aku enggak bodoh. Kenapa kau begitu keras kepala sih? Kaupikir aku orang jahat?"

"Siapa yang tidak mengira begitu?" Nova mengambil langkah jauh-jauh, "Siapa yang datang tiba-tiba, mencari orang tanpa perkenalan, dan masuk ke rumah tanpa dipersilakan kalau bukan orang jahat?"

Menghela napas, masih terlihat rasa kesal pada wajah Luke, "Aku enggak biasa basa-basi. Kalau kau keponakan Ravi, katakan saja. Aku akan jelaskan semuanya di jalan."

"Kenapa aku harus ikut? Sudah kubilang aku bukan antena yang bisa menangkap keberadaan orang yang kamu cari."

"Ikut sajalah, sudah, tidak perlu banyak omong."

"Aku? Banyak omong? Kau mengerti apa memangnya?" Nova mendengus, "Tidak bisakah aku tahu apa yang sedang terjadi dalam hidupku? Kenapa semua orang harus merahasiakan semua hal?"

"Aku tidak tahu apa-apa tentang keluargaku sendiri! Keluargaku sendiri!" Nova tidak bisa menahannya lagi. Ia tidak seharusnya membicarakan hal ini apalagi dengan orang asing, tetapi gadis itu tak bisa menahan kegelisahan di hatinya.

"Ma hilang sudah lebih dari seminggu," ucapnya menahan air mata, "Aku tidak tahu keberadaan ayahku yang bisa saja dia sudah mati! Dan Paman Ravi memberikan alamat ini sebagai alamat daruratnya? Aku tidak tahu apa-apa! Aku hanya ingin tahu...."

Nova tak sanggup lagi. Tumpah sudah bulir-bulir air mata menuruni pipi. Suara gadis itu bergetar, menatap orang asing botak di hadapannya yang balik menatap dengan kerutan di dahi. Buram, Nova tidak tahu apa yang sedang dipikirkan Luke. Dia tidak mencoba berbicara maupun memotong ucapan gadis itu; mulutnya terkatup rapat.

"A-aku hanya ingin tahu! Kenapa? Kenapa harus merahasiakan segala hal? Apa yang salah dengan orang-orang terdekatku? Aku—"

Pintu rumahnya tiba-tiba terbuka, Nova berhenti bicara. Yofie berdiri dengan panci di tangan, wajahnya tanpak serius, cemas, dan takut, "Jangan buat Kak Nova menangis!"

Luke menghela napas berat, berjalan menuju pintu dan mendorong bocah itu dengan telapak tangannya yang besar seolah-olah anak itu bukanlah apa-apa. Yofie mencoba berontak dan berteriak, berkata bahwa dia akan memukul pria botak itu dengan panci.

"Ya, ya, coba saja kalau bisa," ucap pria itu tanpa mengeluarkan tenaga lebih, "Kau masih seratus tahun lebih pendek daripadaku."

"Aku akan—"

Luke menendang bocah itu bagai seekor hewan, menutup dan memastikan pintu terkunci. Berdecak kesal, pria itu meletakkan kotak yang ia bawa dari tadi secara perlahan ke lantai lalu mengangkat Nova bagaikan sekarung beras.

"Apa yang kau lakukan?" jerit Nova, mencoba berontak, "Turunkan aku!"

"Diamlah! Di mana kamarmu?"

"Apa?" Nova terisak.

Sekitar dua detik pria itu terdiam, tangannya yang kokoh memegang pinggang Nova supaya gadis itu tidak jatuh maupun berontak. Kamar Nova hanyalah satu-satunya kamar yang terbuka dan pria itu membawanya ke sana, menghempaskan Nova di atas tempat tidur masih lengkap dengan sepatunya yang kotor. Ketika gadis itu mencoba untuk bangun, Luke menahannya dengan menekankan telapak tangannya di wajah Nova —masih diberi ruang untuk bernapas—, menutup matanya.

"Lepaskan aku!" Nova kembali terisak. Ia mencoba memukul bahkan mencakar pria itu, tetapi tangannya kokoh bagaikan batu.

"Tidur," suruh Luke suaranya tidak sekeras ketika ia bicara sebelumnya, tetapi gadis itu tetap mencoba melawan. "Tidur!" sentakan pria itu membuat Nova tak lagi berkutik.

Di balik tangan Luke, gadis itu hanya melihat hitamnya bayangan. Pria itu tak banyak bicara. Setiap kali Nova mencoba bergerak, ia terus menyuruhnya untuk tidur dengan suara yang sedikit melembut seiring dengan waktu. Perbuatan Luke membuat Nova menjadi sedikit lebih tenang baik pikiran maupun tubuhnya. Namun ia tidak bisa mengontrol lagi air mata yang terus mengalir tanpa henti. Tubuhnya bergetar, tangannya menggenggam telapak tangan Luke yang masih menutup mata gadis itu. Ia menangis tanpa suara hingga perasaan campur aduk yang begitu membuncah menggiringnya ke ladang bunga tidur.

*

Langit-langit yang semula berwarna putih terlihat kecoklatan pertanda lembab dan mulai ditumbuhi jamur. Meski samar terpatri di kepalanya, ia ingat bagaimana Kirana memasang boneka yang memutarkan nina bobo ketika benda itu berputar di atas boks bayi yang ia tiduri semasa kecil. Nova ingat warna jingga dari harimau, warna merah muda dari babi, dan juga kuning dari bebek dapat membuatnya tertawa. Tertawa hanya dari hal-hal sederhana.

Sekarang tidak lagi.

Kakinya terasa ringan, tetapi matanya berkebalikan dari itu. Ia tidak mau lagi menangis sampai tertidur. Kepalanya penat bukan main. Nova ingat bagaimana ia meledak, membicarakan segala kegelisahannya pada Luke. Amarah, malu, duka, kecewa... ia tidak tahu apa kata yang tepat untuk menggambarkan kondisinya saat itu.

Sepatu botnya diletakkan tak jauh dari tempat tidur dan gorden kamarnya pun tertutup; menghalangi cahaya siang hari yang tidak seberapa masuk ke dalam kamar. Apa ini semua perbuatan pria botak itu?

Perlahan ia mendorong pintu, tak lupa menjinjing sepatu botnya. Ia mengintip ruangan di luar dari celah pintu dan kusen, mencari-cari keberadaan Luke atau orang lain yang mungkin tidak ia kenali. Terdengar suara dua orang yang tengah beradu mulut, laki-laki dan perempuan. Nampaknya bukan sebuah argumen yang serius.

Ia mengenali suara perempuan itu. Cempreng seperti perempuan kebanyakan namun serak karena terlalu sering merokok. Caranya berbicara terdengar menggoda, tetapi ada kesan licik dan sarkas ketika mendengar Rosa, ibu Yofie, berbicara. Di sisi lain, suara pria yang menjadi lawan bicaranya sudah pasti Luke. Mencuri dengar cukup lama, kurang lebih Rosa menanyakan apa yang sedang pria itu lakukan di rumah Nova. Mendengar namanya disebut, mau tak mau ia harus keluar karena gadis itu tidak mau ada kesalahpahaman akan hal yang tengah terjadi.

Kedua orang dewasa itu terdiam ketika Nova keluar dari kamarnya. Ucapan mereka menggantung di udara dan tubuh Rosa tampak begitu dekat dengan Luke, berdiri tak jauh dari ambang pintu masuk dengan rok mini yang mengekspos pahanya. Saking dekatnya, Nova nyaris tak bisa melihat sebilah pisau yang siap menggores leher pria botak itu.

"Jadi, tuan putri telah terbangun," ucap Rosa meskipun matanya tetap mengarah pada Luke.

Luke tetap terlihat tenang meskipun ada sebilah pisau siap menggoroknya kapan pun juga. Tak ada bentuk perlawanan, tak ada pula aba-aba pria itu akan menghajar ibu kandung Yofie. "Kubilang juga dia tidur," ucap Luke tidak bergerak satu senti pun.

"A-aku baik-baik saja," gadis itu mengerutkan alis, "Apa yang terjadi, Rosa?"

"Mungkin seorang klien, mungkin juga bukan," ucap wanita itu masih belum menurunkan pisau lipatnya, "Aku melihat Yofie di depan pintu rumahmu sambil memegang panci dan mengatakan ada orang berbahaya di dalam. Aku tidak pernah melihatmu seceroboh ini."

Mengerjapkan mata, Nova dapat melihat Yofie yang berdiri di belakang ibunya dengan tangan gemetar. Siapa yang tidak takut melihat ibunya sendiri siap membunuh walau bekerja sebagai hostes sekalipun?

"Tidak apa-apa.... Turunkan saja pisaunya."

Rosa mendecih, melipat pisau yang kemudian ia masukkan ke dalam saku. Pria botak itu memiringkan kepalanya, menyeringai menggoda. "Kau yakin namamu bukan Amber? Aku yakin seorang Amber pernah melayaniku entah kapan."

"Mungkin dia pernah," ucap wanita itu dingin. "tapi kalau sekarang, Amber akan menyajikan kepalamu di meja makan kalau kau berani menyentuh Nova."

"Galaknya, manis sekali."

"Itu pekerjaanku," jemari lentiknya memainkan dagu Luke. Lipstik merah yang ia kenakan sudah mulai pudar dan ia menambahkan kata-katanya sembari berjinjit, mendekatkan bibirnya ke telinga pria itu, "kau pun tahu itu."

Wanita itu melangkahkan kakinya ke luar rumah, masih memandang Luke dengan tatapan setajam pisau lipatnya sementara Yofie terlihat sangat ingin memukul orang itu. Namun Rosa hanya memegang kepala bocah itu dan menggiringnya keluar, menatap Nova untuk terakhir kalinya sebelum ia kembali ke rumahnya.

"Apa-apaan perempuan itu," desis Luke sambil menutup pintu. Ia berkacak pinggang dan bertanya pada Nova mengenai kesiapannya untuk pergi sekarang.

Gadis itu meremas lengannya sendiri, wajahnya penuh kekhawatiran. Ia menunduk dan menatap Luke dari balik bulu mata. "Bisa bicara terlebih dahulu?" tanya Nova.

Dari perawakannya, pria itu tampak tidak bisa diajak berkompromi. Terlihat dari gerak-geriknya yang meledak-ledak, bisa saja pria itu mengambil langkah lebar dan membawanya langsung entah ke mana. Untungnya pria itu hanya menghela napas panjang, mengambil langkah lebar —bukan ke arah Nova, tentu saja— lalu menghempaskan bokongnya di atas sofa.

"Bicaralah," kata Luke, menyilangkan kaki. Tangannya disandarkan di bagian kepala sofa, ia kembali menatap gadis itu. "Kita tidak punya banyak waktu"

"Siapa kamu dan apa hubunganya dirimu dengan Ravi? Kamu bilang kamu mau mengantarkan barang untuk Ravi, lantas kenapa aku harus ikut denganmu?" Nova tidak bergerak satu senti pun dari tempatnya berdiri; sekitar tiga langkah dari pintu kamarnya.

"Jadi kau memang keponakannya Ravi?" upaya pria itu untuk meyakinkan dirinya tak dijawab oleh Nova. Menyerah dengan tingkah keras kepala Nova yang enggan berbicara, Luke memperkenalkan dirinya lagi, "Aku Luke, mekanik dari Bobby's Garage. Kau pasti pernah mendengar namanya, salah satu yang terbaik. Pamanmu...bukan, aku harus mengantarkan barang ke pamanmu dan dia bilang untuk ke sini terlebih dahulu sebelum pergi ke tempatnya. Untuk menjemputmu."

"Menjemputku?" ulang Nova, "Kenapa aku harus dijemput?"

"Sederhana saja, wajahmu ada di seluruh penjuru kota."

"Jadi kau akan membawaku ke Orenda? Mendapatkan uangnya?"

Menyipitkan mata, Luke mengacungkan jarinya kepada Nova. "Bisa diam dulu enggak walaupun cuma sebentar, eh? Kalau kau bukan keponakannya Ravi, sudah kupotong juga lidahmu."

"Meskipun aku seorang perempuan?"

Pria itu berdiri, menghampiri Nova dengan mata melotot dan siap mencekiknya. Gadis itu menelan air liurnya, bersikap sekokoh mungkin. Saat Luke hanya selangkah lagi dari dirinya, jantung Nova berdegup kencang karena takut. Ia menangkup wajah Nova dengan tangan kanannya yang besar, menekan kedua pipi gadis itu hingga terasa sakit.

"Ya, meskipun kau ini seorang perempuan," jawab Luke, kesal.

Wajah pria itu terlalu dekat. Nova pun dapat merasakan aroma tembakau dari tubuh pria itu. "Berhentilah berkedok kuat. Kau ini masih bocah dan lemah. Kau menangis sampai tidur hanya karena kau tidak tahu ada apa dengan keluargamu. Kau pikir aku enggak paham? Ravi bilang untuk menjemputmu supaya kau tetap aman. Apa kau perlu jaminan supaya kau mau ikut denganku, hah? Pekerjaan seperti ini merepotkan dan aku ingin selesai secepatnya! Jadi, jangan banyak tanya dan ikut saja."

Sial, lagi-lagi Nova ingin menangis. Haruskah ia selemah ini? Ketika Luke melepaskan tangannya dari wajah Nova, rasa ngilu di pipinya masih berbekas. Dengan alis berkerut, ia berbalik dan kembali ke kamarnya, berkemas.

Luke tak lagi duduk di sofa ketika Nova kembali ke ruang tamu. Pria itu sudah mengenakan mantelnya dan juga kotak yang ia bawa dari tadi kini disampirkan di bahu, siap pergi kapanpun juga. Bersender di salah satu nakas, sebatang rokok terselip di bibir. Tangannya yang memegang pemantik hendak menyulut rokok itu, tetapi gerakannya terhenti ketika Nova memandangnya dengan sedikit keraguan tersirat di wajah.

"Sudah siap belum?" tanya Luke, wajahnya masih tertekuk. Nova menjawabnya dengan anggukan kecil. Pria itu kembali bertanya, "Jadi lu yang bernama Kirana atau Nova?"

"Nova," jawab gadis itu singkat, masih tidak ingin berbicara banyak.

"Dan Kirana? Ibumu?"

"Aku tidak tahu keberadaannya," Nova tak berani menatap lawan bicaranya. Gadis itu berjalan menjauhi Luke, memperkecil jarak menuju pintu.

Nova kira pria botak itu akan berkata atau melakukan hal kasar lagi padanya. Alih-alih dia dapat mengejar langkah Nova yang pendek-pendek; menepuk kepala Nova sedikit terlalu keras dan sedikit memaksa agar gadis itu melihatnya. "Dengar ya, uang bukan tujuan utamaku. Aku melakukan ini karena Ravi yang meminta. Untuk sekarang, kau enggak sendirian. Kau harus bisa lebih banyak percaya dengan orang lain."

Ingin gadis itu membantah perkataannya, tetapi ia memilih untuk diam. Luke tidak tahu apa-apa mengenai keputusannya untuk tidak percaya kepada siapapun.

*

//Halooo! Aku seneng banget bisa nulis chapter ini karena sedikit banyak mulai menguak kehidupan Nova dan keluarganya. Tapi kok rasanya aku menciptakan banyak tokoh tsundere ya....haha. ya ga sih? Penasaran aja nih di antara Luke dan Cyrus kalian lebih suka yang mana?

Btw, FLOOR tembus peringkat 100 dan sedang berada di urutan #96! Aku ga akan bosen bilang makasih buat kamu yang masih terus mengikuti cerita ini. See you when I see you!//

واصل القراءة

ستعجبك أيضاً

3.4K 254 25
[R12+] [√ TAMAT] Latum Alterum Entity © 2020, Ennvelys Dover, All right reserved. Cover Ilustration & Designer: Ennvelys Dover Symbol Illustration...
I WANT YOU بواسطة Ning Sri

الخيال (فانتازيا)

1.9M 148K 103
Status: Completed ***** Thalia Navgra seorang dokter spesialis kandungan dari abad 21. Wanita pintar, tangguh, pandai dalam memasak dan bela diri. Th...
4.4K 1K 32
[BOOK #3 OF THE JOURNAL SERIES] London dan Zevania adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Seolah ada benang tak kasat mata yang mengikatnya selam...
HISTRIONICS بواسطة Aesyzen-x

غموض / الإثارة

3.7K 932 16
[Thriller - Misteri - Action] Ersa dihadapkan dengan dendam masa lalu kakaknya, sosok yang Ersa kira menghilang tanpa jejak pada 2015 kembali muncul...