Suami Satu Semester (SUDAH TE...

By Azuraaa_

14.7M 837K 81.8K

Nikah? Sama dosen pembimbing skripsi sendiri? Apa jadinya? Untung atau malah bunting eh buntung? Hanya kis... More

#1 ACC Judul Skripsi
#2 Perbaikan Nilai
#3 Cowok Ganteng Misterius
#36 Sate Telur Puyuh
#4 Ganti Pembimbing Skripsi
#5 Morning Sickness
#6 Cincin Kawin
#7 Ketemu si ganteng lagi
#8 Tragedi dalam toilet
#9 Dia Si Ganteng PS Gue??
#10 Bimbingan pertama
#11 Tamu Rahasia
#12 Makan Malam Keluarga
#13 Fitting Baju Pengantin
#14 Modus Mama
#15 Rahasia Uni
#16 Walimahan
#17 Malam pertama uhug
#19 'Kolor' Effect
#20 GA-NA
#21
#22 Pengakuan Tak Terduga
#23 Make A Deal
#24 The New Life and Finally, ACC Coeg!
#25 Manis-Manis Gula Jawa
#26 Rasanya kok gini ya?
#27 Ibu Sang Penyelamat
#28 Kondangan
#29 Perhatian Kecil Nunug Manug
#30 Diantara Kamu dan Dia
#31 Pencarian Uni
#32 LDR (Lagi Dilanda Rindu)
#33 LDR (Lagi Dilanda Rindu) Part 2
#34 Apa Harus Gue Bilang Cinta?
#35 Panas Mengandung Hujan
BUKAN UPDATEAN
#37
#38
#39 Layu Sebelum Berkembang
#40 Bia Den Pai, Da (Biar Gue Pergi, Mas)
Sssssst....!!!
Q&A Part I
Q&A Part II
Sequel
VOTE COVER YOK!
ENG ING ENG
Menuju PO Exclusive
PO Ekslusif Part II
Open PO

#18 Sebut Saja Hanimun

301K 17.4K 997
By Azuraaa_

Sepulangnya dari hotel, kami langsung di. sambut dengan dua koper besar di ruang tamu. Pemiliknya ngga lain mertua gue sendiri, Bude Aida. Buru-buru gue hampiri beliau menanyakan perihal maksud keberadaan dua koper segede gaban itu. Tapi bukannya menjawab, Bude malah menggiring gue masuk ke dalam rumah.

"Loh Bude, mau kemana? dengan siapa? mau berbuat apa?" sedikit berlari gue hampiri Bude Aida yang tampak kesusahan menyeret koper besar.

Bude Aida terkekeh, "Kamu nanya apa nyanyi toh? Pertanyaan kamu kayak lirik lagu."

"Untung ngga Juni tambah, yolandaaaa~" seloroh gue membuat Bude Aida semakin terkikik.

"Bisa saja kamu Nduk." Bude melirik jam di dinding. "Lahiya manten kok sudah pulang jam segini? Ibu kira masih tidur, baru jam delapan loh ini."

Gue raih tangan kanan Bude Aida, lalu mencium punggung tangannya sopan. "Anak Bude tuh, Juni lagi enak-enak tidur dibangunin ngajak balik. Padahal masih jam tujuh pagi."

Gue cemberut teringat cara ajaib Pak Nugra membangunkan gue tadi pagi. Jangan harap bakal ada belaian sayang di pipi, bisikan manja di telinga, pelukan hangat dari belakang, apalagi kecupan-kecupan ringan pembangkit icikiwir tegangan tinggi di pagi hari. Itu semua adegan novel belaka. Cuih kaga berlaku di gue.

Nasib gue sungguh tragis saudara-saudara. Berharap salah satu dari adegan romantis di atas terjadi, apa daya kuping gue malah pengang nyaris budek karena suara alaram hape yang di set dengan volume maha besar dan di taroh tepat di samping kuping kanan gue. Kampret ngga tuh.

Tersangka utamanya sudah nongki-nongki tampan di resto hotel. Meninggalkan gue di kamar hotel sendiri dengan memo kecil di nakas. Isinya cuma tiga kata 'Pulang. Jam tujuh' udah itu doang.

Pesan itu sukses buat gue kelimpungan berlarian ke kamar mandi. Apa ngga terbirit-birit, gue baru bangun lima belas menit sebelum jam tujuh.

"Oalah Mas Nunug memang biasa bangun pagi Nduk. Mau hari kerja atau libur pun bangunnya tetap pagi." terang Bude Aida.

Bangun pagi sih bangun Pagi, tapi liat-liat sikon juga kali. Gue baru bisa tidur jam lima loh. Di bangunin jam tujuh. Itu tandanya gue baru merem dua jam. Ajegile pantes pala barbie kliyengan.

"Kebetulan kalian sudah pulang, ada yang mau Ibu bicarakan. Ayo kita bicara di dalam saja."

Bude menggiring gue masuk ke dalam ruang keluarga yang di dominasi dengan warna coklat muda. Interiornya minimalis. Hanya ada sofa malas menghadap ke TV 42 inchi yang tertempel di dinding. Di sisi kanan sofa ada meja kecil. Di tengah-tengah ruangan dibiarkan kosong melompong, hanya terbentang karpet bulu berwana merah hati yang tebal dan halus. Di sisi kanan dan kiri tembok di bawah TV, terdapat bufet-bufet minimalis. Di bufet kiri ada rak tempat kaset dvd film, di sisi kanan ada sebuah akuarium kecil berisi ikan-ikan mungil yang gue yakini peliharaannya Pak Nugra.

"Duduk sini Nduk," Bude Aida mendudukkan gue di sofa malas dan ia ikut duduk menyerong menghadap gue. Di usap-usapnya punggung tangan gue sayang. "Manggilnya jangan Bude lagi. Ibu kan sudah jadi mertua kamu, artinya Ibunya mas Nunug ya Ibunya kamu juga, begitupun sebaliknya. Mulai sekarang manggilnya Ibu yo, jangan Bude." gue ngangguk manut.

"Bu." panggil Pak Nugra yang baru datang dari arah dapur sembari membawa gelas yang gue taksir isinya kopi.

Ibu berdiri, "Duduk Le," Ibu mendudukkan Pak Nugra di samping gue. "Ada yang mau Ibu bicarakan dengan kalian." Ibu menarik kursi kecil di bawah bufet dan duduk dengan anggun diatasnya.

Pak Nugra menyodorkan gelas itu ke gue. "Makasih Pak." ucap gue menerima gelas yang sesuai dugaan gue isinya kopi.

Ululuh tau aja gue lagi butuh kopi. Mata lagi sepet-sepet gini, minum kopi pasti langsung cleng. Apalagi yang buatin lakik sendiri duhduh.

Gue hirup wangi kopi itu sebelum gue tegak isinya. Aroma khas kopi hitam menguar. Gue seruput sedikit setelah beberapa kali meniupnya.

"Akh pait pait pait..." gue mengibas-ngibaskan jemari di depan lidah yang sudah melet-melet.

"Kopi apaan nih. Pait amat." rutuk gue.

Tanpa gue sadari aksi gue itu mengundang tatapan Pak Nugra dan Ibu. Di tatap begitu, gibasan tangan gue melambat lama-lama berhenti. Lidah yang tadinya melet, masuk ke dalam perlahan di gantikan dengan cengiran bloon.

"Saya minta tolong kamu letakkan di meja, bukan untuk kamu minum." ujar Pak Nugra tampak geli.

"Ngomong dong Pak, saya kira tadi buat saya." gue kembalikan lagi gelas itu ke Pak Nugra.

"Makanya tanya dulu."

Sempak nih orang. Malu-maluin gue doang.

Ibu terkikik di tempatnya. "Ya ampun, kalian kok manis sekali sih Nduk Le. Ngingetin Ibu waktu baru jadi manten dulu."

"Kok manis? Pait loh Bu." gue mengernyit melihat Pak Nugra yang menyeruput kopi pait itu santai.

"Sepertinya Ibu mesti buru-buru pergi, ndak enak ganggu manten baru." terdengar suara klakson mobil dari halaman. "Nah itu taksinya sudah datang. Ibu berangkat dulu yo. Akur-akur Le Nduk." Ibu berdiri bersiap pergi.

Loh loh loh Ibu mau kemana. Tiba-tiba pamit gini. Perasaan tadi katanya mau ngomong, lah ini kenapa malah pergi.

"Ibu mau kemana? Katanya mau ngomong?"

"Pulang ke Solo. Barusan kan sudah Ibu jelaskan. Kamu melamun yo?" Ibu berjalan ke depan mengambil tas tangannya. Pak Nugra sudah lebih dulu ke luar membawakan dua koper milik Ibu.

Masa? Apa gue yang ngga denger kali ya. Terlalu fokus sama kopi.

"Ibu bukannya tinggal disini?" tanya gue waktu kami sudah di samping taksi.

"Yo ndak, Ibu kan tinggal di Solo. Rumah ini punyanya Mas Nunug. Dia tinggal di sini sendiri. Yo kalau sekarang berdua sama kamu."

Wadaw berdua doang.

"Yo wes. Ibu pergi dulu." kami mencium punggung tangan Ibu bergantian. "Asalamualaikum."

"Wa'alaikumussalam." jawab kami berbarengan.

Ibu masuk ke dalam taksi dan sejurus kemudian taksi itu berlalu menyatu dengan jalanan ibukota.

Setelah melepas kepergian Ibu, kami masuk ke dalam rumah. Gue banting tubuh di sofa malas depan TV. Sementara Pak Nugra bertolak ke kamarnya. Heningnya rumah membuat gue terbuai, mata gue semakin berat. Sayangnya baru gue terlayang sedikit. Derap langkah Pak Nugra menarik kesadaran gue kembali.

"Mau kemana Pak?" gue mengucek mata, mengembalikan fokus yang belum sepenuhnya kembali.

Pak Nugra duduk di kursi yang Ibu duduki tadi, memasang sepatu. Ia sudah mengganti pakaiannya dengan jaket parka yang menutupi kaus merahnya. Untuk celana ia memilih jeans levi's yang sudah pudar warnanya. Membuat ia terlihat jauh lebih santai dari biasanya. Di lantai di sampingnya, ada sebuah ransel tergeletak.

"Saya mau ke luar kota. Bertemu saksi klien saya."

Mendengar itu gue spontan terduduk. "Hah! Kalo bapak keluar kota, terus saya gimana dong? Masa iya saya sendirian di sini."

Gerakan tangannya mengikat tali sepatu terhenti sejenak. Ia tampak berfikir.

"Ya sudah, kamu boleh ikut asal ngga menganggu kerja saya." katanya.

Gue tertegun sesaat takjub. "Seriusan Pak?"

Padahal gue ngga minta ikut loh ini. Gue cuma ngga mau di tinggal sendirian di rumah doang.

"Saya tunggu kamu lima belas menit, telat satu menit saja saya tinggal." katanya, sembari menyambar remote dan menyalakan TV.

"Oke oke oke. Ngga lebih dari lima belas menit."

Gue seret koper gue yang tadi teronggok di lantai, membawanya ke kamar. Menyiapkan pakaian dan tetek bengek lainnya. Alhamdulillah-nya semua barang-barang gue ternyata sudah di bawa ke sini semua. Jadi gue ngga perlu balik ke rumah Mama untuk mengambil baju.

Lima belas menit setelahnya gue keluar, memanggul ransel cukup besar.

"Yok Jalan."

***

Setelah menghabiskan waktu di udara selama kurang lebih dua jam. Pukul dua belas siang gue dan Pak Nugra sampai di lobi kedatangan Bandara Internasional Minangkabau. Dari nama bandaranya aja sudah pasti pada taulah ya kita sekarang ada dimana. Yoi kita lagi di Padang. Kampuang halaman gue. Kampuang nan jauah di mato namun dekat di hatiii~

Semua pasti pada kepo kan kenapa kita bisa sampai di sini? Oke gue jelasin. Singkat cerita, ternyata orang yang mau ditemui Pak Nugra itu lagi liburan di Padang. Info yang gue dapat dari Pak Nugra, orang itu susah untuk ditemui. Jam terbangnya tinggi, kesibukannya di atas rata-rata orang sibuk. Buat ketemu aja mesti ngatur waktu jauh-jauh hari. Makanya terpaksa Pak Nugra yang nyusulin ke sini. Alhasil ya gue yang beruntung, bisa pulang kampung.

"Kita cari makan siang dulu ya." Pak Nugra berjalan lebih dulu menuju salah satu cafe di bandara.

"Siap, soal makan mah saya ngga bisa nolak." memasang kembali rayban, gue mengekor di belakang Pak Nugra.

"Kamu mau pesan apa?" tanya Pak Nugra ketika kami berhasil mendapatkan tempat duduk siap memesan makanan.

"Terserah Bapak aja, saya apa aja oke. Yang penting halal." sebuah dorongan hasrat dari dalam membuat gue resah dan gelisah. "Pak saya ke toilet dulu ya. Pipis." Sebelum Pak Nugra menjawab, gue sudah berlarian ke toilet.
  
Sepuluh menit di toilet gue kembali, ternyata di meja sudah terhidang makanan pesanan kami. Pak Nugra tersenyum ketika melihat gue mendekat. Jaketnya sudah ia lepas, menyisahkan kaus merah yang menampakkan lengannya yang err jantan. 

"Ayo makan, saya ngga tau selera kamu bagaimana. Jadi saya samakan saja dengan pesanan saya. Ngga apa-apa kan?"

Gue duduk di hadapan Pak Nugra. "Ngga papa, santai. Saya apa aja di makan yang penting halal."

Kami makan dengan tenang hingga makanan di piring masing-masing tandas.

"Apa itinerary kamu selama di sini?" tanya Pak Nugra sembari mengelap bibirnya dengan tissue.

"Sudah pasti pulang ke rumah saya." jawab gue dengan mulut penuh. "Nanti dari rumah baru jalan-jalan. Ya paling banter ke pantai. Kalo ngga ya main ke sawah, bantuin ibu-ibu yang lagi nyemai padi. Sawah masih jadi destinasi favorit saya tiap pulang kampung. Nostagia jaman kecil dulu, suka bantuin Mama di sawah."

Pak Nugra mengangsurkan air putih ke gue. "Ikut saya saja bagaimana?"

Gue tegak setengah gelas itu dalam sekali teguk. "Yakin saya ngga ganggu kerjaan Bapak?"

"Kalau kamu ganggu paling kamu saya pulangkan."

"Ck kejam!" ia tergelak. "Bercanda. Nanti saja kita pergi ke kampung kamu sama-sama setelah kerjaan saya beres. Kita baru kemarin menikah masa hari ini kamu pulang ke kampung sendirian. Nanti presepsi orang malah yang bukan-bukan."

Gue mengangguk mengerti. "Ohh gitu. Saya pikir Bapak takut jauh-jauh dari saya, rupanya engga."

"Ngarep kamu." Pak Nugra berdiri. "Sudah selesaikan makannya, kita lanjut lagi."

****

Langit mulai memancarkan semburat kemerahan di ufuk barat ketika kami turun dari mobil yang menjemput kami dari bandara. Gue sedikit tertegun menyadari kami sedang berada di pelabuhan Carocok. Pelabuhan yang berada di pesisir selatan, kota Painan. Butuh waktu tiga jam perjalanan dari bandara untuk sampai ke sini.

Gue edarkan padangan mencari sosok pria tegap memanggul ransel besar yang membawa gue ke sini. Radar gue menemukan sosoknya. Arah jam tiga, dua puluh meter di depan. Gue berjalan cepat menghampiri Pak Nugra yang sudah lebih dulu tiba di dermaga. Ia sedang berbincang dengan pria bule di depan sebuah speedboat. Keduanya tersenyum ketika gue sampai. Pak Nugra memperkenalkan gue pada bule pirang itu yang mengaku bernama Mr. Nanni. Tanpa banyak cincong kami naik ke speedboat dan meninggalkan dermaga.

"Kita mau kemana sih Pak?" tanya gue ketika speedboat mulai berjalan.

Sejak tadi gue memang belum menanyakan kemana tujuan kami sebenarnya. Hal itu membuat gue semakin penasaran karena kami nampaknya sedang menuju sebuah pulau.

"Bertemu klien." katanya singkat, padat dan indak jaleh.

Iya ketemu klien sih ketemu tapi lokasinya itu loh yang dimana Pak.

Malas mau terlibat komunikasi lagi, sisa perjalanan gue diam menikmati laut biru yang berkilau di terpa cahaya matahari sore. Semakin ke tengah gue merasa semakin familiar dengan pemandangan disini. Pulau-pulau kecil kehijauan menyapa, juga matahari sore yang yang bersinar kemerahan seakan ikut menyambut girang kedatangan kami. Perjalanan kami memakan waktu setengah jam. Selama perjalanan gue memutar memori di kepala, gue merasa akrab dengan tempat ini tapi memori gue seakan ngga mau bekerja sama. Mungkin efek tidur selama di mobil tadi membuat kerja otak gue melambat.

Dari kejauhan tampak sebuah dermaga di hadapan kami. Seperti menemukan pencerahan, gue menoleh pada Pak Nugra.

"Pulau cubadak???" tanya gue dengan nada suara yang ngga bisa di bilang pelan.

Pak Nugra tersenyum lalu mengangguk. "Welcome to Paradiso Village." katanya.

Gue melotot dengan mulut menganga. "Wohooo kereeeenn." tanpa bisa di cegah, gue bersorak girang.

Speedboat kami menepi di dermaga pulau Cubadak. Pulau yang menaungi resort Paradiso Village. Pulau ini berada di kawasan wisata Mandeh. Memiliki luas sekitar 40 km². Sebelum dibangun resort Paradiso Village, Pulau Cubadak sangat tepencil dan hampir ngga tersentuh. Pulau ini ngga berpenghuni dan hanya menjadi tempat singgah para nelayan. Mungkin inilah yang menjadikan keindahan Pulau Cubadak tetap terjaga keperawanannya.

Di kawasan Mandeh ini terjejer pulau pulau yakni pulau Taraju, pulau Setan, pulau Sironjong gadang, pulau Sironjong ketek serta sebuah pulau yang menjadikan Mandeh lebih terkenal di Negara asing yakni pulau Cubadak ini. Hamparan gugusan pulau-pulau kecil yang berada di sekitar pulau Mandeh, membuat kawasan ini disebut pula 'Raja ampat dari Sumatera'.

"Selamat datang di Raja ampat versi Sumatera." katanya seolah-olah pemilik resort ini.

"Ngga nyangka Bapak bawa saya ke sini. Tau kesini saya bawa bikini tadi. Biar kayak bule-bule itukan, berjemur manja."

"Ngga usah pake bikini segala. Pake kaus sama celana pendek saja kan juga bisa."

"Di kira lagi berenang di ancol pake kaus sama celana pendek. Ngga asik dong." suka rada-rada nih. Masa ke pantai pake kaus celana pendek, kenapa ngga pake gamis sekalian.

"Terserah kamu sajalah."

"Nah gitu dong."

Gue menatap lurus ke laut lepas dengan senyum memgembang. Ngga bisa di pungkiri ada perasaan bahagia yang meletup-letup kala gue menginjakkan kaki di pulau eksotis ini untuk pertama kalinya. Sudah lama gue mengidam-idamkan bertandang ke sini. Karena pulau ini di sewa dan di kelola oleh pihak asing, masyarakat lokal yang ingin datang untuk sekedar melihat-lihat di larang mendekati pulau. Agak miris sih, kita di usir di negeri sendiri. Namun ya mau bagaimana lagi, pengelola resort sangat mementingkan kenyamanan penyewa, jadi sebisa mungkin meminimalisir segala gangguan yang bisa mengusik kenyamanan tamunya.

Dulu gue cuma bisa memandangi pulau ini dari kejauhan di atas kapal waktu mengikuti tur berkeliling pulau Mandeh. Dan sekarang gue berdiri di sini, di dermaga pulau ini. Well harga menginap di resort ini permalamnya aja bisa seharga satu smartphone. Bisa kebayangkan harganya berapa. Mahasiswa kere model gue ngga akan sanggup nginjakin kaki di sini kecuali kalo ada yang bayarin. Kayak sekarang ini.

Gue sudah siap berlari menuju bibir pantai, namun ransel gue di tarik hingga gue mundur lagi ke belakang. "Mau kemana?"

"Kebon binatang." decis gue. "Ya pantai dooong. Masih di tanya lagi." gue sudah gregetan sendiri dari tadi, bawaannya pengen nyemplung ke air mulu.

"Sudah gelap, besok saja" katanya.

"Kita kan juga tetap mau kesana. Bungalow nya kan di sana." gue mengedikkan dagu ke arah tepian pantai. Dimana berjejer bungalow.

"Bungalow kita yang ini." Pak Nugra menggiring gue menuju bungalow yang berada di atas laut.

Resort ini hanya memiliki lima belas bungalow kayu yang beratapkan Rumbia. Dan dua di antaranya berada di atas laut. Tamu di tempat inipun dibatasi maksimal 35 orang, ya seperti yang gue katakan tadi. Agar suasana tetap nyaman dan ketenangannya tetap terjaga. Jadi siapapun yang menginap disini, akan merasa seperti tinggal di pulau pribadi yang terpencil jauh dari keramaian kota.

"Woaaaaaaa kereen." gue ngga pernah berhenti berdecak kagum dengan semua yang ada di resort ini. Bagian dalam bungalow ini benar-benar keren. Sederhana namun elegan. Semua interiornya terbuat dari kayu. Meja kerja, mini bar, Kursi terbuat dari anyaman rotan. Untuk bungalow yang berada di tepi pantai, memiliki satu kamar tidur tanpa sekat di lantai atas. Di kamar ngga ada interior lain selain ranjang yang diberi kelambu anti nyamuk berwarna putih, kipas angin dan dua lampu tidur di sisi kanan dan kiri ranjang. Sementara bungalow yang kami tempati di tengah laut, hanya satu lantai.

Gue letakkan ransel yang sejak tadi gue bopong kemana-mana. Langkah kaki gue seringan kapas terayun ke teras bungalow. Di teras terdapat dua kursi santai menghadap ke laut nan hijau dan gugusan pulau-pulau kecil lainnya.

Gue duduk setengah berbaring di salah satu kursi. Menyilangkan kaki seanggun mungkin. Sebelah tangan memengang gelas kristal tak kasat mata. Berakting seolah-olah sedang menyesap wine. Sejurus kemudian gue terkikik sendiri.

"Elah ngga ada pantes-pantesnya"

Tiba-tiba kepala Pak Nugra menyebul dari balik jendela. Rambutnya setengah basah. Abis mandi kayaknya.

"Saya keluar dulu, bertemu klien. Jam delapan kita bertemu di resto, makan malam." katanya.

"Siap bos." ucap gue, merentangkan jari-jari di pelipis hormat.

.
.

Usai makan malam kami kembali ke bungalow. Seperti piton yang habis memangsa kambing bulat-bulat, gue terkapar di ranjang ngga bisa bergerak. Resort ini di kelola oleh pihak asing, Maka dari itu, makanan di sini terbagi ke dalam tiga jenis, makanan Itali, Cina dan juga tentunya Indonesia. Pengunjung bisa memilih makanan yang sesuai dengan lidah mereka.

Gue yang tipe manusia pemakan segala, melihat makanan yang tersaji begitu banyak dan variatif. Sifat tamak gue muncul kepermukaan. Gue nyaris mencicipi semua makanan yang terhidang di meja. Alhasil beginilah nasib gue sekarang, teronggok di ranjang serba salah. Ngga bisa bergerak saking kenyangnya.

Pak Nugra sendiri sekarang sedang duduk di meja kerja. Berkutat dengan kertas-kertas hvs dan laptopnya.

"Pak."

"Hm."

"Paaaak."

"Apa Junia?"

Gue berguling ke samping, menyibak kelambu sedikit. Kepala gue menyebul keluar menghadap punggung Pak Nugra. "Itinerary besok apa?"

"Berdiskusi dengan klien." jawabnya singkat.

"Sampe jam?"

Punggung Pak Nugra tampak menegak. Sedang berfikir. "Bisa jadi seharian."

"Yaahh," kepala gue terkulai lesu di pinggir ranjang. "Terus saya ngapain dong?"

"Banyak. Kamu bisa snorkeling, diving, berkeliling hutan mangrove atau lihat pulau-pulau kecil di sekitar." Pak Nugra menarikan jari-jarinya di keyboard laptop. "Yang paling mudah ya main di pantai."

"Masa saya sendirian. Kan ngga asik."

"Nanti saya titipkan kamu ke keluarga Mr. Janed. Biar kamu bisa main dengan Ashley." katanya santai.

Mr. Janed dan keluarga adalah pengunjung resort berasal dari Italy. Mereka menginap di bungalow yang bersampingan dengan kami. Sedangkan Ashley si kecil bermulut cerewet anak bungsu Mr. Janed yang kelakuannya berpotensi bikin orang stroke.

Ya kali di kata gue cabe baru tumbuh putik yang harus di jaga dari hama. Sampe mesti dititipin ke tetangga segala. Disuruh main sama anak umur lima tahun lagi. Sempak. Itu lambe belum pernah nyicip sendal jepit kayaknya.

"Kaga usah. Makasih." jawab gue males.

Jam baru menunjukkan pukul sepuluh malam. Tapi kantuk belum kunjung datang. Gue yang biasa tidur di atas jam dua belas malam, jam segini terasa masih senja bagi gue. Gue bergolek ke kanan ke kiri di atas ranjang. Berharap bisa terlelap, tapi memang dasar kalong. Mata gue semakin nyalang.

Gue menyibak kelambu intimidatif itu. Kelambu ini bikin gue geli-geli sendiri. Kalo aja fungsinya bukan untuk berlindung dari nyamuk, udah gue lepas dari tadi. Gue Keluar ke teras bungalow. Duduk lesehan di lantai, menceburkan kaki ke dalam air. Dinginnya air laut tak menyurutkan gue untuk bermain air.

Air laut yang tenang tampak bergelombang, cahaya bulan tampak temaram di balik bukit. Langit bermandikan kerlap-kerlip bintang di angkasa. Angin malam membelai-belai pipi gue mesra. Syahdunya.

Suasana seperti ini yang ngga akan bisa lu temui di kota metropolitan seperti Jakarta. Tenang, nyaman, damai, udara yang bersih. Ngga ada polusi, ngga ada macet, ngga ada hingar-bingar Jakarta. Yang ada hanya deru ombak yang menenangkan, suara jangkrik yang bersautan dan tenangnya laut yang menyejukkan mata.

"Ngga tidur?" gue mendongak, menoleh ke belakang. Pak Nugra sudah berdiri di ambang pintu.

"Belum ngantuk," jawab gue. "Bapak udah selesai?"

Ia maju, ikut menceburkan kakinya ke air. "Sudah," jawabnya singkat. "Dingin ya."

"Wah modus nih, minta saya angetin ya?" mata gue memicing curiga.

Pak Nugra tergelak, "jangan suudzon." jeda sejenak. "Tapi ide kamu boleh juga." katanya lalu kembali tergelak.

"Dasar cowok." gue tinju lengan kekarnya sekilas. "Wadoh ini lengan apa meriam, keras amat."

"Sasana tinju." katanya membuat kami sama-sama tergelak.

Setelahnya kami sama-sama diam. Memandangi laut malam nun jauh disana. Semilir angin menjadi penyemarak kebisuan kami. Hingga akhirnya Pak Nugra bersuara.

"Saya ingin bicara serius sama kamu."

Gue memejamkan mata sejenak. Dari diksi yang ia sampaikan, intonasi yang terdengar jelas, gue tau kemana arah pembicaraan serius yang dia maksud.

"Soal pernikahan inikan." ia mengangguk. Gue menghembuskan nafas dalam. Gue tau cepat atau lambat Pak Nugra pasti menanyakan soal ini. Tapi gue ngga nyangka aja secepat ini. "Jangan sekarang ya Pak. Kasih saya waktu."

"Berapa lama waktu yang kamu butuhkan?" desaknya.

"Pulang dari sini, kita bahas masalah ini."

"Oke, deal."

Gue menoleh cepat ke Pak Nugra, ngga percaya ia akan dengan mudahnya menyetujui permintaan gue. Tanpa memaksa sama sekali. Baru dua hari kebersamaan kami, sepertinya gue sudah mulai memahami satu sifatnya. Pak Nugra bukanlah tipe orang yang suka memaksakan kehendak. Ia pria simple yang ngga suka berdebat kusir tentang hal yang sepele. Tapi bukan berarti ia menganggap pernikahan ini sepele. Ia hanya memberikan gue waktu untuk menjelaskan sendiri di waktu yang tepat.

"Pak."

"Hm,"

"Skripsi saya apa kabar?" tanya gue membuka pembicaraan baru, mengalihkan pembahasan soal pernikahan.

Ia menoleh sembari tersenyum, "Harusnya saya yang tanya begitu ke kamu. Skripsi kamu apa kabar?"

"Ck malah balik nanya," gue berdecak, "ACC kek Pak. Masa saya judul skripsi aja dari semester tujuh masih belum punya. Ini udah semester sembilan loh."

"Apa yang mau saya ACC, kamu saja belum mengajukan outline baru ke saya."

"Yang itu loh, yang kemarin-kemarin itu kan banyak. Saya udah ajuin lima judul, tapi semuanya Bapak tolak. Salah satu dari lima judul itu kan bisa sih." nyinyir gue ngga terima.

"Bisa memang, saya ACC kamu. Beberapa kali bimbingan langsung seminar proposal, tapi jangan salahkan saya kalau waktu seminar kamu di bantai dan konsekuensi terburuknya kamu di suruh ganti judul. Mau?"

Gue bergidik ngeri. "Amit-amit. Jangan dong, serem amat dengernya. Sehoror-horornya film suzana, kalah horor sama kata-kata dosen nyuruh ganti judul di saat udah seminar."

"Itu belum seberapa. Lebih hororan lima menit lagi sidang dapat kabar kalau dosen penguji ngga bisa datang. Sidang di tunda minggu depan."

"Gila, itu sih bencana namanya." gue geleng-geleng ngga percaya. "Memang ada yang begitu Pak? Tega banget pengujinya."

"Ada, saya korbannya." Pak Nugra menunjuk dirinya sendiri. "Itu kejadian waktu saya sidang S1 dulu. Penguji utama saya Pak Raffles, beliau bla bla bla." mengalirlah kisah Pak Nugra semasa kuliah dulu.

Kami lebih tepatnya Pak Nugra bernostalgia mengenai masa-masa perkuliahannya beberapa tahun lalu.

"Yang seharusnya kamu cari itu masalah bukan judul. Percuma ada judul tapi ngga ada masalah. Apa yang mau kamu teliti." nasihatnya.

"Masalah hidup saya aja ngga abis-abis Pak, masa di suruh cari masalah lagi. Masalah hidup saya aja yang di teliti gimana Pak? Biar saya dapet solusinya." gue menaik-naikan alis jenaka.

"Kalo itu saya angkat tangan deh." Pak Nugra mengangkat kedua tangannya lebay.

Eh somplak.

***

"Woaaaaaaaaaa."

Byuuuuuur

Ini kali ke lima gue meloncat dari batu dengan ketinggian lima belas meter. Di bawah air laut kehijauan sudah menanti. Segarnya air dan serunya lompatan selalu membawa sensasi yang dapat memacu adrenalin siapa saja untuk mencoba lagi dan lagi.

Pagi buta gue bangun, bergegas keluar hunting sunrise. Anehnya gue padahal bangun pagi, tapi Pak Nugra udah ngga ada di bungalow. Lah jam berapa doi bangun. Masa iya subuh-subuh udah ngomongin kerjaan aja. Sebodo amat lah, gue lanjut pergi sendiri.

Kamera sudah siap di tangan. Saat gue keluar, ternyata ada tiga pasang bule sudah siap dengan peralatan tempurnya. Sama-sama berburu sunrise. Kami berkenalan, ternyata mereka berasal dari Jerman. Dengan ramahnya mereka mengajak gue ikut join rombongan.

Gue mengetatkan jaket yang gue kenakan, udara dingin nggak akan menyurutkan semangat gue untuk mengabadikan momen munculnya sang mentari di balik bukit-bukit nan hijau. Langit tampak kuning kejinggan tak lama cahaya hangat matahari menyapa dengan seksinya. Senyum gue terkembang. Dalam hati berterima Kasih pada Tuhan telah memberikan dunia secuil keindahan dari surga.

Selesai berburu sunrise kami sarapan bersama. Mereka berencana berkeliling dengan speedboat, melihat-lihat pulau di sekitar, snorkeling dan menjelajah hutan mangrove. Tentu saja mereka ngga melupakan kehadiran gue. Dan satu lagi, dengan baiknya Stefani salah satu dari mereka meminjamkan gue baju renang ketika gue bilang gue ngga bawa baju renang.

Dan disinilah gue sekarang di pulau Sironjong Ketek. Pulau kecil tempat uji nyali. Setelah puas mengeksplor hutan mangrove kami melanjutkannya ke sini untuk snorkeling dan melompat-lompat dari ketinggian. Ya di sini para wisatawan biasa melakukan cliff jump dari tepian batu. Seperti gue tadi.

Matahari semakin tinggi, udara panas sudah terasa menyengat di pori-pori kulit. Perut sudah terasa keroncongan. Kami memutuskan untuk kembali ke resort dan berencana untuk diving usai makan siang nanti. Gue akan mengajak Pak Nugra ikut serta kalo pekerjaannya sudah kelar. Kalo belum ya terpaksa pergi sendiri lagi.

Sejak tadi go pro yang gue bawa terus menyala, merekam setiap momen yang gue lewati. Gue arahkan lensa kamera menghadap diri sendiri. Dan mulailah gue berceloteh ini itu layaknya reporter acara jalan-jalan televisi. Pokoknya sebisa mungkin semua momen harus diabadikan. Agak alay sih tapi ya namanya manusia kalo udah urusan liburan pasti suka alay dan rada narsis. Pantai dikit cekrek. Gunung dikit cekrek. Pulau dikit cekrek. Ada kembang pasir cekrek.

"Hai gue baru sampe nih. Sekarang lagi mau masuk ke bungalow," gue arahkan jempol ke belakang bahu menunjuk bungalow tempat kami menginap. "Mau bilas badan dulu. Abis itu lanjut main ke pantai lagi. Biasa anak pantai. Cailah." gue arahkan kamera kembali ke depan. "Nah pasti pada kepo kan ya, gimana kamar hanimun gue jiahhhh hanimun. Maimun kali." gue terkekeh sendiri. "Karena gue cantik dan baik hati, ayok dah gue liatin gimana kamar penuh gairah yang membara itu. Asal jangan pada mupeng aja."

"Siap ya.." gue buka perlahan pintu dan mendorongnya pelan hingga pintu terbuka lebar. "Taa-da... Woww!!"

Suara gue tertelan kembali, gue terpaku di depan pintu dengan mata membelalak. Kamera go pro di tangan menangkap apa yang gue dapat hingga gue mematung di tempat. Di dalam Pak Nugra sedang mondar mandir hanya dengan berkolor ria. Tampak sedang mencari-cari sesuatu. Ia belum menyadari kehadiran gue di depan pintu. Sampai pada detik ke seratus lima puluh, kepala Pak Nugra baru tertoleh ke pintu. Dan pecahlah jerit histeris dari mulut pria tiga puluh tahun itu.

"Huaaaa!! Matikan kameranya!!" titahnya kelabakan mencari handuk atau apa saja yang bisa menutupi areal Mr. P.

Gue bergeming. Hanya mata gue yang berkedip beberapa kali sebagai reaksi. Melihat gue seperti orang linglung. Pak Nugra yang sudah mendapatkan handuk mendekat dan menutup pintu cukup keras.

Blam. Pintu tertutup rapat lima senti di depan muka gue. Gue tersentak. Baru tersadar dari sihir kolor Pak Nugra. Gue memegangi pipi yang tiba-tiba memanas. Lalu tersenyum malu-malu, lama kelamaan berderailah tawa gue.

Kamera kembali dihadapkan ke gue. Dengan masih menahan tawa gue beceloteh. "Pada tau ngga itu ukurannya berapa?? Huahahaha anjir otak gue. Udah ahh gila lama-lama gue ngomong ketawa sendiri. Sampai disini dulu reportase eksklusif hanimun Juni. Jangan pada mupeng lu ya."

Pip. Kamera mati.

===============
Jambi, 11 Juni 2017

Woho udah bulannya si Juni aja nih.
Eh iya selamat menunaikan ibadah puasa ya ukhti dan akhi. Semoga semua ibadah yang kita lakukan di bulan yang suci ini mendapat ganjaran pahala yang berlimpah dari Allah. Amin.

Ngga terasa ya udah sebulan Juni ngga nongol. Banyak yang kangen kanyaknya. Jiahhh kepedean. Sebagai pengobat rindu gue update nih panjang sepanjang tali kutang 👙👙👙

Selamat membaca 😚😚

Continue Reading

You'll Also Like

5.6M 58.9K 10
Banyak typo❗ Mohon di ingatkan apabila kalian menemukan typo. Aliza Adinda Azzura. Di umur yang ke 23 tahun dia sudah menyandang status janda anak 1...
5.1M 88.1K 14
Mendapati dirinya akan di jodohkan, Vira merasa konyol saat Handi-sang Ayah-tak sedikitpun mengizinkan dirinya untuk mengeluarkan sebuah argumen peno...
108K 7K 22
"Hestama berhak tahu kalau ada bagian dari dia yang hidup di dalam rahim lo, Run." Cinta mereka tidak setara. Pernikahan mereka diambang perceraian...
594K 56.3K 45
Demi menghindari sebuah aib, Gus Afkar terpaksa dinikahkan dengan ustadzah Fiza, perempuan yang lebih dewasa darinya. Gus Afkar tidak menyukai Fiza...