Love

By Mrs_msious

5.9K 337 25

"We never know each of story has it own part in another place at the same time" Come in... More

#AuthorSays_
#2shy_
#Find You_
#Closer_
#Still_

#Lost_

448 43 9
By Mrs_msious

Ps. Keep vomment, ya?
Happy reading 🤗
Makasih buat udah nunggu 😘
Aku menghargai apresiasi kalian!
Jangan lupa bahagia

#STORY 1
February, 10 2001

AUTHOR POV_

Apakah ini hanya perasaanku saja?

Alba melirik rekan sekantornya tersebut. Damian. Lelaki dengan senyum sempurna.

Ia menduga lelaki itu tengah menyukai seseorang yang seruangan dengan dirinya. Bagaimana tidak, ia kerap kali mendapati Damian tersenyum dan secara sengaja mengambil kesempatan untuk sekedar berkunjung ke ruangannya.

"Pak Doyo mana? Pengen nyuruh bikinin kopi. Ada yang lihat guys?" Alba memandang berkeliling setelah sekian lama pandangannya nyaris terkunci hanya pada layar macbook di hadapannya.

Ia melirik Kaditha namun perempuan itu hanya mengangkat kedua bahunya asal. Mau tidak mau Alba beranjak seorang diri untuk membuat kopi yang diinginkannya.

Baru saja ia mengambil sebuah mug, sebuah suara serta merta mengejutkannya.

"Mau ngopi neng?"

Alba mengelus dada dan berbalik. Tepat di hadapannya berdiri seorang Damian. Dengan senyum indahnya, lelaki itu bersandar pada kusen pintu dengan kedua tangan bersedekap.

"Nih kan udah lihat sendiri." Alba melanjutkan kegiatannya. Entah mengapa ada perasaan aneh berada hanya berdua dengan Damian di pantry yang tidak cukup luas tersebut.

"Mau coba kopi buatan aku gak?"

Sambil mengaduk kopinya, Alba berujar. "Rasanya pasti samaan Damian, lagian nih kopi sachet-an semua."

"Belum coba jadi bilangnya sama." Damian terkekeh.

Alba mengangkat mugnya, bermaksud untuk kembali ke ruangan kerjanya namun dengan sigap mug tersebut beralih ke tangan Damian. Alba mengerutkan kening namun lelaki itu merespon hanya dengan senyuman.

"Biar aku bawain," Damian menggeser tubuhnya untuk memberi ruang lebih luas bagi Alba. "Duluan aja."

Untuk beberapa saat Alba memandang lelaki itu dalam diam. Sikapnya terasa sedikit berbeda kali ini. Kemudian ia menuruti dengan berjalan lebih dulu.

Sambil meletakkan mug berisi kopi hangat Alba, Damian bersenandung. Entah apa yang membuatnya girang sepanjang hari itu.

"Makasih."

"It's okay. Jangan sungkan."

"Kalo bilang jangan sungkan ntar aku suruh terusan loh. Mau?"

Lagi. Damian hanya tersenyum dan melangkah keluar dari ruangan Alba.

---

Oka memandang punggung gadisnya yang menghilang di balik dinding dapur.

"Gimana hari ini?" tanya Alba usai meletekkan mangkuk lauk di hadapan kekasihnya.

"Baik. Sayang gimana?"

"Seperti biasa." Alba menyendokkan nasi dan beberapa lauk kesukaan Oka ke atas piring. Lalu mengambil sepotong daging dan mencicipinya.

Oka yang sedari tadi memandangi gadis tersebut hanya mampu tersenyum. Ia beranjak berdiri dan segera memeluk kekasihnya dari belakang.

Rasanya sungguh menggemaskan melihat Alba menyiapkan makanan berbalut baju terusan krem tanpa lengan malam ini.

"Kak..."

"Miss you so much." gumam Oka. Dikecupnya lembut tengkuk Alba yang bebas lalu perlahan ia menenggelamkan wajahnya pada leher gadisnya tersebut.

Alba mengelus tangan Oka yang berkalung di perutnya namun sepertinya wanita itu tidak mau bergeming sama sekali. Ia hanya mampu menggigit bibir kala Oka mencumbui lehernya.

"Udah lama sejak malam itu, aku kangen." bisik Oka di sela-sela ciumannya.

"Kak...makanannya keburu dingin." Alba berusaha menoleh namun yang ia peroleh hanyalah kecupan di pipinya. Ia menjadi tak kuasa. Perlakuan Oka membuat pertahanannya sedikit runtuh. Kakinya lemas.

"Aku pengen kamu, hmm?" Lagi Oka berbisik kemudian menyesap bagian sensitif leher kekasihnya. Membuat gadis dalam pelukannya tersebut menahan desahannya dengan susah payah.

"Kak--" kalimat Alba terputus ketika ia merasakan Oka menyesap semakin kuat. Ia mampu merasakan benda hangat dan basah menyusuri lehernya.

Tiba-tiba sebuah dering ponsel membuyarkan Alba yang tengah dilanda euforia yang teramat. Ia mencoba menepis kedua tangan Oka namun rupanya wanita itu bersikeras tidak ingin menghentikan kegiatannya. Dengan napas menderu, Alba meraih ponselnya. Di layar tertera nama orang yang tidak asing baginya. Damian.

"Kak, bentar. Aku ada pesan."

Mendengar perkataan itu, Oka menghentikan cumbuannya tanpa melepas dekapannya.

"Siapa sayang?"

Alba tidak merespon. Ia sibuk mengetik pesan balasan.

"Aku lapar." ujar Alba kemudian. Ia duduk dan mulai mengambil makanan. Oka mengikut. Sesekali diliriknya gadisnya tersebut. Ia tersenyum mendapati tanda akibat perbuatannya.

"Besok aku libur, kita dinner, mau?"

Alba tampak berpikir, lalu, "Aku lembur besok, kak. Sayang banget."

"Aku yang ke kantor sayang, gimana? Aku bisa temanin kamu lembur juga."

"Emang--"

Dering ponsel kembali terdengar. Alba melirik ponselnya.

"Jangan main hape kalo makan, yang."

"Bentar aja, kak."

Oka memandangi gadisnya. Baru kali ini ia melihat gadis itu begitu bersemangat berbalas chattingan dengan temannya.

••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••

#STORY 2
Six years later...

AUTHOR POV_

Judy mengajak Sara untuk makan malam bersama lagi. Sejak makan malam terakhir kali, ia sudah tidak pernah bertemu gadis itu.

Di kampus pun tidak sempat mengingat minggu ini ia ada urusan dan tidak bisa mengisi kelas.

Setelah beberapa kali mencoba menghubungi Sara, akhirnya jadilah keduanya untuk bertemu di rumah Judy malam ini.

"Pacar kak Judy gak ngikut makan juga?" Sara membuka suara ketika keduanya menyantap makanan malam mereka sambil duduk lesehan di depan tv.

"Gak."

"Kerja?"

Judy berdeham.

"Minggu ini emang ada urusan apa sampai gak masuk kelas, kak?"

"Ada urusan dikit. Minggu depan masuk kok."

Selanjutnya mereka berdua terus mengobrol mengenai berbagai hal. Meski malam itu Sara merasa tidak sebahagia berbicara dengan seniornya dari kali pertama mereka makan malam bersama.

Setelah santapan keduanya telah habis, Sara meminta izin pamit sementara Judy mengangkat piring terakhir ke wastafel. Perempuan itu menolak Sara ketika menawarkan akan mencuci piring bersama.

"Besok libur, Ra. Kita jalan-jalan, yuk."

Sara nyaris berbalik ketika mendengar Judy mengatakan hal tersebut.

"Jalan? Kemana? Emang gak sibuk, kak?"

"Besok aku pengen istirahat, besoknya lanjut sibuk lagi." Judy mengakhirinya dengan tawanya yang terdengar renyah.

Sara merasa dadanya berdesir melihat Judy demikian.

"Ya, udah. Besok?"

"Hu-um. Siang aku jemput."

"Jemput? Kayak tempat kita jauhan banget aja."

Judy tersenyum sambil bersedekap. Rambutnya yang ia sanggul asal membuat dirinya terlihat menawan malam itu.

"Kak, aku pulang dulu. Makasih makanannya."

"Sama-sama. Makasih juga udah mau nemenin."

Sara melangkah pergi dengan perasaan bahagia yang tidak mampu ia utarakan. Memikirkan akan jalan berdua dengan perempuan berambut sebahu itu saja sudah membuat wajahnya merona. Namun, cepat-cepat ia tepis pikiran tersebut. Bagaimanapun ia tidak bisa mengabaikan jika Judy sudah berkekasih dan dia...seorang perempuan.

---

Baru memasuki pintu masuk mall, langkah Sara dan Judy sudah dihentikan oleh panggilan telepon dari kekasih Judy.

Sara menghela napas ketika berhasil menguping bahwa kekasih seniornya tersebut juga berada di tempat yang sama dan ingin menemui Judy.

Kesal? Entahlah bagaimana perasaan itu muncul di dalam hati Sara. Tidak ada perasaan senang tersisa. Yang ada hanyalah ia sudah menjadi tidak mood untuk melanjutkan perjalanan.

"Sara?"

"Hmm?" Sara tidak menoleh pada Judy yang berjalan beriringan di sebelahnya. Kekasihnya pun mengikut tanpa bertanya lebih dahulu pada Sara.

"Ih tadi semangat trus kenapa sekarang kayak lemas begitu?"

"Gak papa. Tiba-tiba ngerasa capek aja, kak."

"Pengen istirahat dulu? Kita pesan minum?"

"Gak usah."

Judy sepertinya benar-benar merasa perubahan sikap Sara saat itu karena ia menjadi lebih cerewet dan berusaha melakukan apapun agar perempuan di sebelahnya itu reaktif merespon. Kadang ia menarik Sara untuk sekedar melihat pajangan barang di etalase karena tidak ingin masuk ke dalam toko atau berkelakar meski tidak mendapat respon yang ia harapkan dari Sara.

"Makan dulu, yang? Laper, udah jam berapa ini." sahut kekasih Judy. Lelaki itu merasa sedikit terabaikan oleh keberadaan Sara. Bagaimana tidak, nyaris sepanjang jalan Judy hanya berbicara kepada gadis di sebelahnya tersebut.

"Iya, kita pesan makan sekarang. Sara?"

"Iya, kak?"

Kekasih Judy mengulurkan tangan bermaksud menggandeng kekasihnya untuk masuk ke tempat makan bersama namun Judy mengabaikannya.

"Duluan aja yang." kata Judy lalu menunggu Sara melangkah ke arahnya. Kemudian ia meraih jemari gadis tersebut untuk ia genggam. "Sakit?"

Sara memandang tangannya yang tenggelam dalam genggaman perempuan berambut sebahu itu. Membuat desiran itu kembali terasa. Hatinya merasa nyaman.

"Makan apa?"

"Ngikut kak Judy aja."

"Ntar kamu gak suka."

"Kalo kak Judy yang milih pasti enak kok."

Judy menoleh dan tersenyum lebar. Membuat Sara yang melihatnya pun tidak mampu menahan senyum.

"Sekarang udah senyum. Moodnya udah baik nih."

Sara terus tersenyum dan merapatkan tubuhnya pada Judy.

••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••

#STORY 3
Eight years later...

AUTHOR POV_

Isa mungkin saja merasa bahagia kali ini. Bagaimana tidak, ia menjadi memiliki alasan untuk mendekati Hana.

Dengan secuil keberanian yang ia miliki, ia menunggu gadis tersebut berjalan ke halte di depan kampus kemudian seolah secara kebetulan mereka berdua bertemu, saat itulah ia mengajukan diri untuk mengantar gadis tersebut pulang.

Terhitung sudah tiga kali ia mengantar Hana. Ketika kelasnya berakhir lebih cepat dari kelas gadis tersebut, ia akan mencari kesibukan sambil menunggu jadwal berakhir.

"Eh, baru kelar kuliah juga?" tanya Hana ketika melihat kedatangan Isa dengan mengendarai motornya.

"Iya, kok samaan?" Isa menahan ekspresi seriusnya seolah mereka benar-benar dipertemukan secara tidak sengaja sore itu.

"Mau balik?"

"Iya, kenapa?"

"Numpang boleh?" tanya Hana sambil tersenyum.

"Ehm ntar aku pikirin dulu." Isa mengubah posisi duduknya menghadap Hana yang tengah berdiri di Halte.

"Ish kalo gak bisa ya udah bilang gak bisa aja, kak."

"Iya gak bisa. Ya, udah balik duluan. Awas pulang keburu malam." Isa bersiap mengendarai motornya kembali lalu perlahan motornya melaju.

Hana ingin mengatakan sesuatu namun ia malah memandangi punggung Isa yang menjauh.

Tiba-tiba Isa menghentikan motornya ketika mencapai beberapa meter dari posisi semula. Ia menoleh melewati bahu.

"Sini naik. Aku anterin."

Hana hanya terdiam. Keningnya berkerut. Sepertinya ia sedikit kesal dengan sikap Isa.

"Beneran aku anterin. Ayuk naik."

"Ih kak!" Hana berjalan cepat dan serta merta memukul lengan Isa. Membuat seniornya tersebut tertawa.

"Sorry."

"Sumpah nih senior nyebelin banget."

"Gitu, ya? Aku gak nyebelin, cuma suka lelucon."

"Kan gak lucu kalo kondisinya kayak gini. Udah capek, gerah--"

"Kasian." kata Isa menyela kalimat Hana sambil mengelus puncak kepala gadis tersebut. "Ayuk!"

Hana menurut dan segera naik ke motor Isa.

"Pake."

"Tiap hari bawa dua helm, kak?"

"Eng, gak juga cuma ya mau bawa aja."

Sepanjang perjalanan Isa dan Hana tak henti-hentinya membicarakan berbagai hal. Kadang karena lelucon Isa, Hana akan tertawa kencang.

"Langsung balik ke rumah nih?"

"Emang mau kemana, kak?"

"Gak kemana-kemana. Kali mau pergi ke satu tempat."

"Ah, tadi dikasi tahu teman katanya ada toko loak gak jauh di sini. Katanya jual buku yang aku cari."

"Mau ke sana?"

"Tapi udah mulai gelap. Besok aja kali, ya."

"Gak papa, kita ke sana aja lagian ada aku." Isa sejenak melirik Hana melalui kaca spionnya. Mengatakan hal tadi membuat ia merasa memiliki keinginan untuk benar-benar menjadi orang yang menjaga Hana.

Ketika mencapai tempat tujuan, Hana terkejut lengannya ditarik oleh Isa untuk mendekat ke arahnya.

"Helmnya neng."

Hana hanya terdiam saat Isa melepas helm di kepalanya. Selanjutnya ia melangkah lebih dahulu memasuki toko beraroma buku-buku lama tersebut. Matanya cukup takjub melihat beberapa buku yang ditemuinya.

"Astaga..."

Hana berbalik dan mendapati Isa tengah berusaha melepas ujung roknya yang tersangkut serat rak.

"Makanya jalan hati-hati."

Ia terkekeh saat mendengar seniornya tersebut mendengus kesal.

Entah berapa lama Hana berjalan menyusuri buku yang tersusun sedemikian rupa tersebut. Melihat beberapa judul yang tersedia yang sempat ia lihat, membangun keinginannya untuk kembali ke tempat tersebut lain waktu.

Ia melirik jam tangannya. Rupanya sudah pukul setengah delapan malam. Hana berjalan ke rak yang satu dan rak lainnya namun tidak tampak sosok Isa.

"Kak? Kak Isa?"

Hana menyipitkan mata ketika melihat Isa berdiri dengan senyum lebar di ambang pintu masuk. Sepertinya ia sedang dikerjai.

"Dari tadi di sini?"

Isa mengangguk.

"Bilang dari tadi. Kan aku gak bakal ngira ditinggalin."

Isa tertawa tanpa melepas pandangannya.

"Balik aja, yuk. Kapan-kapan aku balik trus beli juga. Ini udah malem."

"Gak jadi beli? Ya Tuhan padahal dari tadi aku nunggu."

"Maaf deh, besok gak ngerepotin lagi."

"It's okay. Yuk balik." Entah mendapat kekuatan dari mana hingga Isa menggenggam tangan Hana menuju letak motornya terparkir.

Kali ini Hana lebih banyak diam. Ia merasa kelelahan dan tidak berbicara sepertinya menghemat energinya.

"Kok diem?"

"Gak papa."

"Capek?"

Hana berdeham.

Ketika motor akhirnya telah sampai di depan pagar rumah Hana, ia melepas helm dan memberikannya pada Isa.

"Lihat matanya." kata Isa tiba-tiba. Ia menarik tangan Hana mendekat kearahnya.

"Ngapain?"

"Lihat bentar."

Mereka berdua hanya beradu tatap selama beberapa saat.

"Pengen tidur ini."

"Iya, ngantuk juga. Baliknya hati-hati, ya?"

"Iya."

Ketika berbalik dan melangkah pergi, Hana kembali menoleh ketika Isa memanggilnya.

"Tidur yang nyenyak."

Hana tertawa pendek lalu mengangguk. Beberapa detik kemudian Isa melajukan motornya menjauhi rumah gadis hatinya.

••••••

Continue Reading

You'll Also Like

373K 21.4K 40
The story continues to unfold, with secrets unraveling and new dangers lurking in the shadows. The Chauhan family must stay united and face the chall...
499K 27.5K 47
𝐁𝐨𝐨𝐀 𝐎𝐧𝐞 𝐨𝐟 𝐈𝐬𝐑πͺ 𝐀𝐒 𝐝𝐚𝐬𝐭𝐚𝐧 advika: "uski nafrat mere pyaar se jeet gayi bhai meri mohabbat uski nafrat ke samne kamzor padh gay...
3.8M 160K 62
The story of Abeer Singh Rathore and Chandni Sharma continue.............. when Destiny bond two strangers in holy bond accidentally ❣️ Cover credit...
1M 45.8K 27
1950s. ***Story contains mature scenes and Hindi phrases which are not translated in english*** Abhigyan Singh, a Sarpanch of the village named 'Tara...