"Benar tidak apa-apa aku meninggalkanmu sendirian?" Ryu membelai kepala Freya. Sinar mukanya meredup, memikirkan istrinya yang tiba-tiba jatuh sakit. Sialnya ia harus meninggalkan Freya sementara waktu.
"Tidak apa-apa, Ryu," ucap Freya untuk kesekian kalinya. "Hanya sedikit lemas dan pusing. Saat kau tiba aku pasti sudah sehat kembali."
"Yakin tidak mau ke rumah sakit?"
Mata Freya membelalak. Gagasan pergi ke rumah sakit membuat bulu kuduknya berdiri. "Tidak." Air mukanya memucat. "Aku tidak suka rumah sakit."
Ryu menarik napas panjang. Ia hanya menginginkan istrinya cepat sembuh. Namun apa mau dikata, istrinya mempunyai fobia terhadap rumah sakit.
"Baiklah, tidak ada rumah sakit, tidak ada dokter. Kau hanya akan berbaring di kamar ini sepanjang hari dengan pintu terkunci. Aku sudah menyiapkan makanan hangat yang selalu siap untuk kau santap di sebelah sana."
Freya tersenyum. "Terima kasih, Ryu."
"Tunggu aku, OK?" Ryu mengecup kening Freya, turun ke pipi, kemudian hidung, dan berakhir melumat bibir istrinya dengan lapar. Oh. Seandainya ia bisa terus bersama Freya.
"Bam sudah menunggumu Ryu, kasihan dia." Freya memegang wajah Ryu, dengan deru napas yang memburu karena ciuman tadi.
"Aku segera kembali," Ryu mengecup Freya sebelum pergi dan menghilang seutuhnya dari kamar mereka. Freya mengantarkan suaminya dengan senyum hingga ia tidak terlihat lagi.
Pintu tertutup, terdengar bunyi klik. Freya tahu pintu sudah terkunci. Lama ia tunggu hingga keadaan benar-benar tenang.
Dan waktunya telah tiba.
Freya segera bangkit dari ranjangnya. Berjalan dengan hati-hati menuju lemari, membuka pintunya dan mengambil koper kecil yang ia siapkan untuk menjadi helper dulu.
Ia tidak menyangka akan menggunakan ini lagi. Tidak. Ia tahu suatu saat nanti pasti ia akan menggunakannya. Freya membuka koper tersebut dan segera mengganti pakaiannya dengan pakaian yang ada di sana.
Untuk sentuhan terakhir ia menguncir rambut merah jahenya dengan gaya kucir kuda. Kemudian, ia menatap wanita yang terus menatapnya di cermin. Wanita itu mengikuti setiap gerakan Freya, matanya menatap lurus seolah memperingatkan akibat dari keputusan yang ia buat. Wanita itu tak lain adalah refleksi dirinya.
"Kau bisa," gumam Freya. Ia berbalik, membuka kaca jendela kamarnya dan segera menyusup keluar dari rumahnya.
---**---
Rasa mual semakin menjangkiti dirinya dengan buas. Freya bersusah payah menjaga isi perutnya yang teraduk-aduk setiap ia mengambil langkah untuk memasuki rumah sakit.
Fobianya terhadap rumah sakit tidak juga berubah. Ia membenci rumah sakit sejak kematian bibinya, Sarah. Dan hingga kini ia tetap membenci rumah sakit. Bau-bau obat yang bebas bertebaran. Peralatan medis yang selalu sukses membuatnya bergidik.
Sialan, umpat Freya dalam hati.
Buru-buru ia memasuki toilet terdekat, memuntahkan isi perutnya yang sudah tidak mampu ia tahan. Namun, hanya cairan yang keluar.
Kepalanya terasa berputar, mungkin sebaiknya ia memang pergi ke dokter. Ia tidak mengira sakit ini terus berkelanjutan. Freya hanya membiarkan penyakit ini untuk mengelabui Ryu agar kembali ke rumah. Siapa sangka penyakit ini malah benar-benar memburuk. Apakah ia mendapat karma karena membohongi suaminya?
Yang mana pun itu bukanlah hal yang ia patut pikirkan saat ini. Ia harus segera menemui William. Dan waktu yang dimiliki Freya tidak banyak. Ia tidak ingin Ryu tiba di rumah terlebih dahulu, dan mendapati dirinya tidak ada. Lalu semuanya akan kacau, dan Freya tidak ingin hal itu terjadi.
Freya mulai melangkahkan kakinya kembali, menuju tempat di mana dewa kematiannya menunggu.
"Akhirnya, seperti yang kuprediksi." Dewa kematiannya tersenyum. Senyum kejam yang selalu ia tampakkan sejak pertama kali mereka bertemu.
Freya menutup pintu dengan hati-hati. Berjalan dengan sangat perlahan mendekati sang dewa kematian yang berdiri di samping ibunya yang terbaring koma.
"Apa maumu?" tanya Freya tanpa basi-basi.
William menyeringai. "Sederhana. Kematianmu."
"Sialan." Freya mundur selangkah.
Beberapa pria tiba-tiba menyerbu masuk dari pintu, mendekati Freya dengan cepat dan menyerangnya secara membabi buta. Tentu Freya dengan mudah menumbangkan pria-pria tersebut.
"Kau tahu bahwa kau membutuhkan lebih daripada itu untuk menyakitiku. Lagipula, kau tidak bisa secara sembarangan menyerangku mengingat aku adalah menantu keluarga Isaiah saat ini," Freya berjalan mendekati William, dalam hati ia berdoa semoga dewa kematiannya memakan umpan tersebut.
William menyeringai. Secara otomatis Freya terhenti, ada sesuatu yang tidak beres.
"Aku tahu," William terkekeh. Bahkan tawanya pun terdengar menakutkan. "Ya Tuhan. Aku tidak bisa berhenti tertawa. Tidak kusangka kau benar-benar naif. Kelakuanmu itu mirip sekali dengan mereka. Tapi sadarkah kau? Detik di mana kau menginjakkan kaki di tempat ini saat itulah game over bagimu." William mencabut paksa selang yang menyokong hidup Lily. Lily mengalami kejang-kejang, wanita itu tidak akan bertahan lama dengan selang yang terlepas.
"Hentikan! Ibuku sudah cukup menderita! Tidak bisakah kau membiarkannya saja? Aku bersumpah, demi Tuhan aku tidak pernah tertarik mengambil tahta Laniana darimu." Freya histeris. Melihat Lily kejang-kejang membangkitkan kenangan buruknya ketika Sarah menjemput ajal. Ya Tuhan, apa salahnya hingga Yang Maha Kuasa begini tega pada dirinya.
"Tidak sesederhana itu," mata William menyipit, kekejamannya tidak akan berakhir begitu saja. "Aku tidak suka hidup dalam ketidakpastian Freya. Membiarkanmu hidup sama saja dengan membiarkan calon pemberontak tumbuh subur."
William meraih sesuatu dalam jasnya, sebuah kotak kecil yang ketika dibuka menampakkan sebuah jarum suntik yang terisi. "Kau tidak ingin ibumu menderita bukan? kalau begitu tukarlah dengan nyawamu, suntik dirimu dengan ini. Tenang saja, suntikan ini telah kurancang dengan sempurna. Cairan kimianya tidak akan langsung membunuhmu. Tapi secara perlahan ia akan mematikan seluruh jaringan tubuhmu. Ketika hal itu tiba maka kematian bagimu. Kematianmu tidak akan terlacak, dan tanpa bekas, karena ini bukan sekadar racun. Tapi melampui itu. Sisi baiknya, orang-orang tidak akan curiga kalau kau membunuh dirimu sendiri."
Airmata bercucuran dari pelupuk mata Freya. Kenangan buruk terus memenuhi benaknya, ia tidak bisa berpikir dengan jernih.
Tangannya terulur, hendak menggapai suntikan itu, ketika ia menyentuhnya wajah Ryu terbayang.
Freya, kaulah hidupku. Yang paling berharga. Begitu juga bagi yang lain. Pengorbanan diri bukanlah sebuah jalan.
Ucapan Ryu terus terbayang, menyadarkan Freya dari shock.
"Tidak. Paman Will tidak. Aku tidak akan mati. Kedatanganku ke sini bukan untuk itu," Freya berbalik hendak meninggalkan tempat itu.
"Begitukah? Sayang sekali." William meraih suntikan maut tersebut, mengarahkannya pada Lily yang tengah kejang-kejang. Badan Freya bergerak secara otomatis, hendak mencegah William melakukan aksinya.
Dan sia-sia. Sejak awal, bukan itulah tujuan William. Sekarang ia telah mendapatkan keinginannya. Kematian Freya.
Freya jatuh terduduk. Suntikan itu mengenai lengannya. Perlahan namun pasti, cairan tersebut menyebar dan siap membunuh tiap sel hingga ajal menjemput Freya.
"Ah!" Seru William bodoh. "Kau tidak melebihi dari yang kuharapkan. Mudah sekali untuk membunuhmu."
William dengan tenang berjalan melewati Freya. Tak lupa menyunggingkan sebuah seringai mengejek pada gadis itu.
Mudah. Benar-benar mudah. Wiliam tahu sangat mudah membunuh gadis itu. Bagian yang paling sulit yaitu memisahkan gadis itu dari pelindungnya. Ryu Isaiah. Pemuda itu tahu apa kelemahan Freya, dan ia mati-matian menyembunyikan gadis itu, menjauhkannya dari dunia luar. Karena sekali gadis itu memakan umpannya dan semua berakhir.
Tapi sia-sia saja. Terlalu cepat seratus tahun bagi mereka untuk mengalahkan William Frederick Laniana. Pada akhirnya dirinyalah yang menjadi pemenang.
William melihat jam tangannya, tersisa enam jam lagi sebelum cairan kimia itu menyelesaikan segalanya. Tidak ada penawar. William telah memastikannya.
Ah ... betapa sempurnanya ini. Kemenangan mutlak. Tapi kenapa ia tetap merasa hampa?
Sarah.
Ya. Hal terakhir yang tidak dapat ia miliki untuk selamanya. Sarah Azalea. Gadis penipu itu, mencuri hatinya dan pergi sesukanya. Membesarkan anak pria yang paling ia benci. Sarah mati, begitu pula dengan anak itu, segera.
Sementara itu, Freya yang menyadari kenaifan dirinya hancur seketika. Ia mengutuki dirinya. Mengapa ia bertidak begitu gegabah? Mengapa ia selalu mengulangi kesalahan yang sama. Mencoba menyelesaikan segala sesuatu sendiri. Dan apa yang ia peroleh? Tidak satu pun.
Dengan susah payah Freya bangkit. Memasang kembali selang penyokong kehidupan Lily. Ia duduk di sebelah ranjang, meraih tangan ibu yang baru ia temui. Tanpa dapat ia tahan, airmata kembali jatuh dan membentuk aliran sungai di pipinya.
"Ibu, maafkan aku. Aku ... aku sungguh bodoh. Ibu bagaimana ini, apa yang harus kulakukan? Ya Tuhan bagaimana dengan Ryu?" isak Freya.
Freya hancur. Kesedihan menjalari dirinya, menyerangnya tanpa ampun dan meninggalkan rasa sesak yang tidak kuat ia tahan.
Untuk waktu yang cukup lama hanya suara mesin-mesin yang terhubung dengan Lily dan suara tangis Freya yang terdengar.
Kemudian, secara ajaib tangan yang digenggam Freya bergerak.
Buru-buru ia mengalihkan pandangannya. Menatap wanita yang memiliki wajah seperti dirinya.
"Fre ... ya ...?" ucap Lily susah payah dari balik masker oksigen.
---**---
To be Continued
Tinggalkanlah jejak kalian. Baik vote maupun komentar. Terutama kritik dan saran untuk kemajuan cerita ini ^^