Just a Little Spell

Por expellianmus

555K 76.4K 18.2K

Kalau ada yang macem-macem sama aku, aku bakal sihir dia jadi kodok. Dan untungnya, itu bukan kiasan. Kar... Mais

0. cerita pendek yang ada fantasinya
i. celana aja bisa mini, kenapa jubah enggak?
ii. ketika biasa-biasa saja disilangkan dengan sesamanya
iii. gaya berbanding lurus dengan thomas sangster
apa kabar? hehehehehe + INFO
keterangan
i. kalau objeknya saya 'keren' itu fakta bukan opini
ii. kami bangga menjadi neutron
iii. buat saya, hukum ketiga newton bisa menyebabkan kiamat
iv. gerak fototropis mengungkapkan jati dirimu
v. tentukan gagasan utama dan ruang sampel
vi. gaya berbanding lurus dengan thomas sangster
vii. tripel phytagoras menyebabkan batuk berdahak
viii. 5w + 1h itu penting
ix. buktinya, ada senyawa
x. pak newton, hukum pertamamu bikin remaja sakit hati
xi. 'sangat' dan 'banget' dalam satu kalimat itu tidak efektif
xii. saya tidak bisa menghantarkan arus listrik wahai bapak zeus
xiii. saya terancam senasib dengan raflesia arnoldi
xiv. kalau kita air ujian nasional itu xylem
xv. faktor dari umur kamu bisa menunjukkan jejak kaki orang lain
xvii. kepunahan bisa disebabkan oleh huruf kapital yang tidak pada tempatnya

xvi. saya terancam oleh enzim amilase. eh tunggu, saya atau...?

17.3K 2.7K 621
Por expellianmus

Saya berusaha bersikap biasa-biasa saja seharian ini. Tapi susah. Ya, coba aja kamu jadi saya, yang nanti malam mau bales dendam ke temen sebangku kamu, yang selama ini udah bohongin kamu.

Kamu juga pasti enggak bisa diem kayak saya. Untungnya, Sara mengusulkan sesuatu untuk kami lakukan hari ini, kalau tidak, bisa-bisa saya menghasilkan telur saking tidak sabarnya menunggu datangnya malam.

Hari ini hari Sabtu, jadi Sara libur (kalau saya sih, emang lagi libur). Sara dan Mama tadi pagi mengusulkan agar kami para cewek-cewek Pradana (Mama ngotot bilang cewek-cewek, padahal harusnya kan cewek-cewek-ibu-ibu), nonton film yang cewek banget dari pagi sampai tengah malem. Usul ini langsung saya tolak tidak sampai satu detik kemudian. Saya kan, punya acara penting malam ini.

Sara mengsulkan agar kami bikin kue-kue lucu. Awalnya, Mama enggak setuju, menurut Mama, bikin kue itu ribet. Tapi saya lalu mengingatkan kalau saya dan Sara punya tongkat sihir, dan Mama langsung setuju.

Saya ngingetin Mama kayak gitu, bukan karena saya pengen bikin kue-kue lucu. Saya cuma refleks saja ngingetin Mama. Mungkin sumsum tulang belakang saya--yang mengontrol segala gerakan refleks--sudah terlalu terbiasa sama sihir, apalagi sejak pelatihan dari Mbak kemarin.

Tapi bubur sudah jadi air. Saya enggak bisa narik ucapan saya lagi. Jadi sekarang, saya, Sara, dan Mama sibuk menyiapkan bahan-bahan untuk membuat kue.

"Kenapa kamu tiba-tiba pengen buat kue, sih?" tanya saya kepada Sara. Saya sekarang sedang menerbangkan kantung-kantung tepung untuk ditimbang.

Sambil menakar air, Sara menjawab, "Aku pengen bikin kue buat Kevin."

"Kevin siapa?" tanya saya.

"Pacarku," kata Sara, nada bicaranya heran, seolah-olah Kevin itu presiden Indonesia, dan saya orang aneh karena enggak tahu dia siapa.

Saya menoleh ke arah Mama yang sedang sibuk menata peralatan di meja. "Ma, Sara pacaran."

Mama mengangkat kepalanya, tampaknya tidak mengikuti pembicaraan saya dan Sara dari tadi. "Mama tahu, kok. Siapa sih, namanya? Suparno?"

Saya tertawa ngakak. Mama dapat fantasi dari mana, coba?

"Kevin, Ma!" kata Sara tidak terima.

Saya masih tertawa.

"Suparno mah, mantan aku," lanjut Sara.

Saya masih tertawa.

Eh tunggu...

Apa?!

"Kamu mau bikin apa emang buat pacar kamu?" tanya Mama sambil menghampiri Sara.

"Kue, lah," jawab Sara.

"Kue apa?" tanya Mama.

Saya sendiri masih terdiam.

Saya shock.

"Rencananya sih, aku mau kasih sihir keberuntungan gitu di kuenya. Aku bakal suruh Kevin makan kuenya sebelum dia tanding basket besok," jelas Sara sambil nyengir-nyengir enggak jelas.

Mama langsung tampak berseri-seri.

Saya (yang sudah lumayan pulih dari shock berat gara-gara Suparno), tiba-tiba dapet ide.

"Aku juga mau bikin kue dikasih mantra, ah," kata saya bersemangat.

"Bagus! Itu bagus," kata Mama.

"Kuenya buat siapa? Emang Kakak punya pacar?" tanya Sara.

"Punya. Pacarku kan Grant Gustin. Tapi, aku enggak mau kasih kue ke Grant Gustin," kata saya.

"Terus?" tanya Sara.

"Aku mau kasih kuenya ke Fia," kata saya. Sekarang, saya yang nyengir-nyengir enggak jelas.

[.]

Akhirnya, jam menunjukkan pukul sembilan malam. Sara udah mendekam di kamarnya dari tadi. Papa juga udah pulang dari setengah jam yang lalu, dan sekarang lagi nonton TV di ruang keluarga sama Mama.

Saya tadi mampir ke kamar Sara, untuk memastikan kalau orang itu enggak bakal nyari saya di kamar. Saya enggak perlu khawatir, dia lagi skype-an sama Kevin, dan lagi video call sama temen-temen ceweknya.

Jangan tanya saya gimana caranya. Itu emang salah satu dari sekian banyak bakat Sara.

Saya juga ke ruang keluarga, dan keadaan sepertinya aman. Mama dan Papa asyik menonton film. Saya bahkan loncat-loncat di samping sofa, dan enggak ada satu pun yang menanggapi saya.

Kalau keadaannya lain, saya pasti sakit hati. Tapi sekarang, justru ini yang saya butuhkan.

Saya berlari lagi ke kamar, lalu mengunci pintunya. Saya berganti pakaian jadi serba hitam (ini hasil kesepakatan saya dengan Rangga), memasukkan berbagai kebutuhan ke dalam tas ransel, lalu menghampiri jendela.

Kamar saya berada di lantai dua, dan ada balkon kecilnya. Saya dulu sering diterbangin Papa dari balkon ke bawah. Normalnya, sebagai seorang ibu, Mama harusnya panik dan khawatir sama nyawa anaknya.

Tapi mama saya enggak.

Mama malah nyuruh Papa buat nyoba nerbangin saya dari atap rumah.

Untung enggak jadi, gara-gara, waktu itu lagi hujan.

Dan sejak saat itu, saya enggak pernah bawa Papa atau Mama ke balkon kamar saya. Soalnya, gawat kan, kalau mereka tiba-tiba inget sama keinginan tertunda mereka buat nerbangin saya dari atap rumah?

Saya sekarang sudah berada di balkon kamar saya. Dari kamar saya ke bawah sebenernya enggak terlalu tinggi. Lompat aja juga udah bisa sampai bawah dengan selamat sentosa.

Tapi, Mbak kemarin ngasih saya ramuan rahasia--dari apel, mangga, kecap, dan srikaya--yang kalau saya minum sambil ngarahin tongkat sihir ke diri saya, saya jadi bisa terbang.

Saya meminum ramuan yang sudah saya buat tadi sore, sambil mengarahkan tongkat sihir ke arah saya, kemudian, saya mengucapkan tolongsayamauterbang, dan saya pun terbang ke bawah.

Berhasil.

Saya mengeluarkan ponsel, dan mendapati bahwa Rangga telah mengirimi saya beberapa pesan di LINE.

Rangga A: lo di mana?

Rangga A: gue udah di luar rumah, ya

Saya membalas,

Arsara Pradana: Gue juga

Arsara Pradana: Gue ke halte sekarang, ya

Saya dan Rangga janjian untuk bertemu di halte bus, yang terletak di depan komplek rumah Fia. Komplek rumah Fia enggak terlalu jauh dari komplek rumah saya, tapi lumayan jauh sih, dari komplek rumah Rangga.

Seperti yang saya perkirakan, saya sampai di halte bus lebih dulu. Saya duduk di sana sambil memainkan ponsel, supaya enggak kelihatan kayak orang gabut aneh, yang pakai baju kayak orang mau ngelayat.

Beberapa saat kemudian, saya mendengar suara langkah kaki yang mendekat. Saya mengangkat wajah dan mendapati Rangga sedang berjalan ke arah saya.

"Lama banget lo," ucap saya.

Rangga hanya mengangkat bahunya. "Bodo amat," katanya. "Ayo buruan ke rumah Fia. Lo tahu kan, rumahnya di mana?"

"Gue belum pernah ke rumahnya, sih. Tapi gue punya alamatnya," kata saya sambil membaca alamat rumah yang pernah Fia berikan kepada saya. "Blok 8 nomor 15."

"Oke, ayo."

[.]

Kami akhirnya menemukan rumah Fia. Lampu-lampu di dalam rumah sudah dimatikan. Bagus.

"Kamarnya Fia yang mana, ya?" tanya Rangga. "Lo tahu?"

Saya menggeleng. "Gue kan, belum pernah ke sini."

Rangga mendengus sebal. "Ya udah, cari aja."

Kami berjalan mengitari rumah sambil mengamati jendela-jendela, dan menebak-nebak, yang mana yang kamar Fia.

"Itu kali," kata Rangga sambil menunjuk sebuah jendela.

"Ngaco, lo," kata saya. "Itu di jendela jelas-jelas ada sabun. Ini kamar mandi."

"Yang itu?" tanya Rangga sambil menunjuk jendela di atasnya.

"Ya udah, lo aja yang ngecek sana. Ramuan terbang gue, udah abis."

Rangga merogoh tasnya kemudian meminum ramuannya, saya mengarahkan tongkat sihir ke arah Rangga dan beberapa saat kemudian, Rangga sudah tidak menapak tanah.

"Buruan," kata saya.

Rangga terbang menuju jendela tersebut. Beberapa saat kemudian, dia kembali ke tanah lalu menggeleng. "Bukan."

"Emang tadi itu ruangan apa?" tanya saya.

Rangga mengangkat bahu. "Enggak tahu. Kayaknya perpustakaan."

"Oke, coba yang ini," kata saya sambil menunjuk jendela di sebelah jendela kamar mandi.

Kami berdua berjalan menuju jendela ruangan tersebut. Tirainya sedikit tersibak, jadi saya bisa mengintip ke dalam.

"Kosong," kata saya.

"Coba gue mau lihat." Rangga ikut-ikutan mengintip ke dalam.

"Kosong. Udah gue bilang, juga," kata saya.

"Iya, sih," balas Rangga. "Tapi, ada tas sekolahnya Fia."

"Hah?!" Saya mendorong Rangga ke samping, lalu mengintip ke dalam. Rangga benar. Di dalam ada tas sekolahnya Fia.

"Ngga, buka jendelanya, deh," kata saya. "Pakai ramuan Mbak."

"Lo aja kali," kata Rangga.

"Gue enggak bikin ramuan buka jendela," kata saya. "Katanya kemarin, lo mau bikin, kan?"

"Iya, iya," balas Rangga sambil mendengus. Ia merogoh tasnya kemudian meminum ramuan tersebut. Ia memegang jendela di hadapannya, dan beberapa saat kemudian, terdengar bunyi klik.

Rangga mengangkat jendela tersebut, kemudian melompat masuk. Saya mengikuti di belakangnya. (Saya enggak lompat, soalnya kaki saya enggak sepanjang kakinya Rangga. Saya cuma ngelangkahin jendelanya, dengan resiko, bakal nyangkut di jendela--untungnya sih, enggak. Kan enggak lucu kalau misi saya gagal cuma gara-gara saya nyangkut di jendela.)

Kami sekarang sudah berada di kamar Fia. Rangga sudah menyalakan lampu ruangan dan saya jadi bisa melihat kamar ini dengan jelas. Enggak ada yang aneh dari kamar ini. Hanya kamar normal milik remaja cewek biasa. Dengan poster One Direction bertebaran di mana-mana.

"Fia ke mana?" tanya Rangga.

Saya mengangkat bahu. "Ke toilet, mungkin?" Saya mengusulkan.

Tiba-tiba, saya teringat sesuatu. Saya merogoh tas saya, dan mengeluarkan kotak kecil berisi kue yang saya buat tadi.

"Itu apaan?" tanya Rangga.

"Buat Fia," jawab saya sambil nyengir. Saya meletakkan kue tersebut di meja Fia.

Kalau Sara ngasih Kevin kue dengan sihir keberuntungan, saya ngasih Fia kue dengan sihir jerawat.

Maksud saya, remaja mana sih, yang pengen jerawatan? Enggak ada, kan?

Kecuali Fia orang yang bener-bener aneh (di luar keanehannya sebagai orang yang bisa sihir), dia pasti enggak bakal seneng sama kue itu.

"Sa, lo bikin ramuan buat lihat jejak, kan?" tanya Rangga. "Minum itu aja sekarang."

Saya sebenarnya ogah minum ramuan itu. Ya, siapa sih, yang mau minum minuman yang terbuat dari jus jeruk, cuka pempek, dan bumbu kacang? Tapi, demi kepentingan nusa dan bangsa, saya akhirnya mengambil botol berisi ramuan itu dari tas saya, dan meminumnya.

Saya berusaha mengesampingkan pikiran tentang betapa enggak enaknya minuman itu, lalu fokus ke nama Fia di pikiran saya.

Beberapa saat kemudian, saya melihat jejak kaki berpendar di lantai.

"Gimana?" tanya Rangga.

Saya cengo sebentar, kemudian menjawab, "Jejak kakinya Fia ngarah ke luar," kata saya.

Saya berjalan mengikuti jejak kaki Fia. Dari jejak kakinya, kelihatan kalau Fia manjat jendela ke luar. Saya memanjat jendela itu lagi, lalu berjalan mengikuti jejak kaki Fia. Saya bisa mendengar, Rangga mengikuti di belakang.

"Ini mau ke mana, sih?" tanya Rangga.

Saya mengangkat bahu. "Enggak tahu. Gue cuma ngikutin jejak kaki Fia."

Kami terus berjalan selama beberapa saat, sampai akhirnya, jejak kaki Fia mengarahkan kami ke halaman belakang seseorang.

"Tunggu deh, Sa," kata Rangga.

"Apaan?" tanya saya, memelankan langkah kaki saya.

"Gue kayaknya tahu ini rumah siapa," kata Rangga. "Ini rumah Naufal."

Saya cengo. "Hah?"

"Iya, serius," balas Rangga. "Lo yakin jejak kakinya ke sini?"

Saya mengangguk sambil terus berjalan. Jejak kaki Fia menghilang di balik semak-semak.

"Fia kayaknya ada di belakang semak-semak itu," bisik saya kepada Rangga.

Kami berjalan pelan-pelan menuju semak-semak.

"Fia?" tanya saya begitu saya melihat ke balik semak-semak. Di sana, ada Fia yang lagi duduk dan menulis sesuatu di atas kertas.

Fia menoleh dan terlihat kaget setengah hidup ketika mendapati saya dan Rangga.

"Lo berdua ngapain di sini?!" tanya Fia.

"Lah, lo sendiri ngapain di sini?" tanya Rangga.

"Gue lagi ngawasin Naufal," jawab Fia. "Sa, Naufal itu penyihir lain di kelas kita."

Saya melongo. Apa-apaan lagi ini?

"Lo berdua ngapain?" tanya Fia lagi.

"Kita habis dari rumah lo tadi," jawab saya.

"Ngapain?" tanya Fia, tampak heran.

"Lo kan yang mau bikin gue enggak lulus UN," kata saya, mendapatkan kembali semangat balas dendam saya. "Lo juga bohongin gue soal tongkat sihir. Lo bilang, lo enggak punya tongkat sihir, padahal lo punya, kan? Lo juga udah ngasih mantra yang bisa bahayain Rangga dan gue selama UN. Dan lo udah nuduh Rangga macem-macem. Makanya, gue sama Rangga mau bales perlakuan lo."

Fia melongo.

"Kita tadinya mau ngerjain lo," kata Rangga. "Tapi lo enggak ada di rumah."

Fia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Soal tongkat sihir, gue minta maaf. Gue emang bohong. Sebenernya, alasan gue semangat banget soal sihir-menyihir cuma karena gue tertarik aja. Tapi gue tahu, lo, Sa, pasti enggak percaya. Makanya gue ngarang-ngarang alasan," kata Fia. "Soal Rangga, gue minta maaf. Tapi gue enggak asal nuduh, gue emang ngerasain aura-aura pas di deket Rangga. Kalau Rangga ternyata bukan penyihir, gue minta maaf. Dan soal sihir itu, gue emang bisa sihir, tapi bukan gue yang ngasih mantra pas UN. Itu Naufal."

"Naufal?" ulang saya.

Fia mengangguk. "Inget kan, Sa, gue ngerasain aura-aura pas di deket Naufal? Nah, ternyata aura-aura itu beneran. Pas UN, Naufal kan duduk di depan gue, nah, dia yang ngasih mantra ke lo, Sa. Mungkin kena lo juga, Ngga. Yang jelas, pas UN, aura-aura dari Naufal terasa banget. Setelah UN, gue ngawasin Naufal. Gue cari tahu soal keluarganya, dan setelah nyari-nyari, akhirnya gue tahu kalau keluarganya Naufal emang keluarga penyihir. Keluarganya dia enggak seterkenal keluarga lo di dunia sihir-menyihir, Sa. Makanya, gue enggak langsung tahu. Tapi, dia penyihir."

"Ada buktinya?" tanya Rangga. "Dari mana kita tahu lo enggak bohong?"

Fia tampak agak tersinggung dengan ucapan Rangga. Tapi dia tidak berkata apa-apa. Dia merapikan beberapa kertas yang tercecer di atas rumput, mengantongi kertas tersebut, kemudian berkata, "Ayo ke kamar Naufal. Gue yakin, kita bakal nemuin bukti di sana."

Fia berjalan keluar dari semak-semak, saya dan Rangga mengikuti di belakangnya. Fia kemudian berhenti di depan salah satu jendela. Dia mengarahkan wajah nyengir Louis Tomlinson dari case ponselnya, dan beberapa saat kemudian terdengar bunyi klik.

Fia mengangkat jendela kamar Naufal, lalu melompat masuk. Saya dan Rangga mengikuti di belakang Fia.

Di dalam kamar, saya bisa melihat Naufal lagi tidur. Fia menyalakan lampu kamar kemudian berjalan menuju meja belajar Naufal. Dia mengambil sebuah buku bersampul cokelat, kemudian membalik-balik halamannya, "Gue tahu dari bokap gue, kalau keluarganya Naufal itu, identik sama jurnal. Setiap orang di keluarga Naufal, pasti punya jurnal. Dan oh ya, lo inget enggak, penggaris kayu Naufal yang suka dia bawa-bawa? Itu tongkat sihirnya dia."

"Yang pernah dipakai Bu Retno?" tanya saya.

Fia mengangguk. "Makanya, Naufal minta penggarisnya balik," jawab Fia sambil masih membalik-balik halaman buku cokelat tersebut. Beberapa saat kemudian, dia berhenti di satu halaman. Dia membaca tulisan yang ada di halaman tersebut. Beberapa saat kemudian, dia mengerutkan kening.

"Ada apaan?" tanya Rangga sambil menghampiri Fia. Saya mengikuti.

Fia menunjukkan halaman tersebut kepada saya dan Rangga. Cuma ada satu kalimat di situ. Tulisannya:

Gue, Naufal Hartana akan mengubah Pranada jadi bubur kayak enzim amilase mengubah amilum menjadi glukosa.

Mampus saya.

Eh, tunggu.

Saya membaca tulisan itu lagi.

Pranada?![]

a.n

hai semuanyaa! maaf ya minggu lalu enggak update cerita ini hehe. Maaf juga karena update-nya malem-malem gini : ( makasih banyak yaa yang udah mau nungguin hhe. Aku sayang kalian : ) < 3

12 April 2017

Continuar a ler

Também vai Gostar

232K 12.6K 16
menyukai kembaran sendiri wajar bukan? bxb area awas salpak
79K 3.1K 17
Kau diam saja. Aku dan kata yang punya kuasa untuk menjadikanmu bermakna, sekaligus tidak berarti apa-apa.
30.3K 1.8K 18
#Duda series #Militer Cover by @AlvinReno_ Najla Faqihatun Nissa. Gadis unik dan ceria. Bagaimana tidak unik? Gadis itu memiliki kriteria suami idama...
1.4M 122K 47
[FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA] Di juluki Medusa, dibenci ayah sendiri, ditolak oleh pria yang disukai, tapi manusia sifatnya sering berubah-ubah bukan...