So I Married A Senior

By aristav

11M 818K 36.6K

Tersedia di Seluruh Toko Buku! #SeriesCampus1 Biar kuberitahu kamu satu hal. Laki-laki itu, yang sedang bera... More

So I Marry A Senior
Nikah itu Apa sih?
Jiper
Surat Cinta untuk Presiden BEMku
Ada Apa dengan Jantung Keya?
Hari Terakhir Ospek
She's My Wife
Jiper Bikin Baper
Zona Baper
Firasat
Secarik Puisi
Kenanganmu
Kamu Istriku
Pesan dari LINE
Tentang Rania
Confused
Mimpi
If We Have A Baby...
Yakin, Siap LDR?
Jealous
In My Arms
How Can't I Love You?
Sorry
Before (1): Us
Before(2): His Pieces
Before(3): His Past
The Day: Close Your Eyes
Never Be Alone
Gone
Sementara Melepas Rindu
Akhir
Epilog
Sekuel
Dapatkan di Toko Buku!

Gara-Gara Bihun

321K 35.6K 892
By aristav


#STOPTRADEVOTES #STOPSPAMCOMMENT

Aku berusaha mengubur semua kenyataan yang ditumpahkan semesta, kenyataan tentang diriku yang bukan menjadi pemilik diriku dan diriku yang dipenuhi kehilangan, tapi maukah kamu menjadi hidupku yang baru? Menjadi tokoh utama yang selalu berada pada garis dan ujung yang sama denganku, tokoh utama yang akan kuperjuangkan sampai akhir? Maukah...kamu?

"Lo nggak mau ngerokok?" tawar Amir sambil menyedorkan sebatang rokoknya pada Jiver.

"Nggak."

Laki-laki itu menjawab pendek, tak berminat, matanya sibuk melihat dua orang bendaharanya yang sedang sedang membuat SPJ di satu sudut di ruangan BEM universitas.

"Aelah, hidup tanpa rokok itu nggak nikmat."

Amir mengoceh lagi.

"Gue udah pernah ngisep itu benda laknat yang kata lo nikmat, enak sekarang, ntar di hari tua lo yang bakal nyesel."

Amir malah tertawa, ia mengisap lagi putung rokoknya dan dengan sengaja mengarahkan asapnya pada dua orang rekannya yang sedang bekerja membuat SPJ, hingga mereka terbatuk karena asap rokok Amir.

"Mirrr...bisa nggak sih nggak usah usil, rese lo," omel Nina—teman Amir yang sekaligus menjabat sebagai bendahara satu.

"Apa sih cantik? Marah terus kerjaannya, ntar kalau keriput perawatannya mahal lo," goda Amir.

"Mir, kalau lo gangguin anak buah gue terus, mending lo pergi!" kata Jiver yang geram melihat tingkah Amir.

"Wuih Pak Presiden marah nih haha..."

"Mirrr!"

Amir mengangkat kedua tangannya tanda menyerah, ia lalu mendekat pada Jiver yang sedang duduk di kursinya—tadi Amir duduk di bawah, tak jauh dari Nina dan Yola yang sedang sibuk membuat SPJ. Amir kini duduk di atas meja—tepat di depan Jiver. Rokoknya sudah ia matikan tadi, dan membiarkan sisa putungnya tergeletak begitu saja di asbak yang tersedia di sana, jangan heran semisal di sana ada asbak, karena hampir sebagian besar pengurus BEM yang ada di sana memiliki kebiasaan merokok, jadi asbak adalah benda yang wajib ada, meski ketika ada tamu asbak itu disembunyikan sekedar menjaga martabat dan kesopanan.

"Lo beneran ngehindarin rokok? Dulu...lo candu banget."

Jiver tak langsung menjawab, pikirannya justru melayang. Ia ingat, benda laknat itu dulu pernah menjadi candunya, ia tidak memungkiri, masa lalunya tidak begitu baik, tidak sesempurna yang terlihat.

"Lo tahu alasan gue."

"Tapi seenggaknya, dengan ngerokok lo nggak akan suntuk. Atau lo mau coba vape?"

"Sekalipun itu rokok elektrik, tetap aja ada bahan kimianya berbahaya."

"Apa gara-gara istri lo?" tanya Amir lagi, sekedar memastikan sesuatu.

Malam lalu Jiver memang menceritakan segala hal yang ia alami sampai bisa menikah dengan Keya padanya, setelah menunggu tiga hari lamanya Jiver bungkam, akhirnya laki-laki itu mau membuka suaranya juga.

"Lo tahu masa lalu gue nggak baik, gue cuma butuh lo dukung perubahan gue, bukan mau nyeret gue lagi ke masa-masa itu, Mir."

Seakan ada yang menohoknya, Amir terdiam untuk beberapa saat. Ia tahu benar bagaimana Jiver semasa SMA, karena ia adalah saksi hidup sahabatnya itu, saksi di mana laki-laki ini pernah hancur dengan sangat—bahkan mungkin sisa luka itu masih ada. Tak ada yang tahu, jika diklasifikasikan dalam teori inner circle, Jiver ini berada pada lingkaran A, di mana ada sebagian rahasia dalam hidupnya yang hanya diketahui oleh laki-laki itu sendiri dan Tuhan. Amir tak mungkin bisa menyeret Jiver dalam lingkaran B, ia tidak bisa sejauh itu sementara ia tahu, bagaimana sulitnya hidup Jiver selama ini, Amir tak memiliki kuasa penuh atas itu.

"Seandainya dia balik, lo gimana?"

Pelan, Amir bertanya dengan pelan, takut menyinggung perasaan Jiver.

"Balik?"

Jiver tertawa pelan, memandang Amir jenaka, tapi Amir tahu, ada luka di sana, ada luka di balik tawa milik Jiver, entah bagaimana lagi Amir menyebutnya. Luka itu tak kasat mata, mungkin hanya bisa dilihat oleh orang yang benar-benar mengenal Jiver secara dalam.

"Seharusnya kalau lo mau bebas ya bebas aja, nggak usah maksain diri sama hal yang nggak lo suka. Masuk jurusan ini misalnya, lo bukan orang yang suka bisnis atau hal-hal yang berhubungan sama dunia begituan, jiwa lo...nggak di sini, Ver."

Lagi...Jiver tertawa lagi, jenis tawa yang jika Amir dengar adalah sejenis tawa penuh keputusasaan.

"Gue...gue nggak akan bisa ngelawan apa pun, apa pun, Mir. Hidup gue bukan punya gue, lo...tahu itu."

"Mas Jiver...ini stempelnya hilang loh, boleh pesan lagi nggak?"

Tahu-tahu Yola berteriak, memanggil Jiver, menghentikan segala jenis obrolan yang sebenarnya hanya menguak luka lama laki-laki itu. Tanpa memandang Amir lagi, Jiver berdiri menghampiri Yola yang sedang diliputi kebingungan.

"Bikin aja, Yol. Uangnya masih sisa banyak kan?"

Yola mengangguk, sementara Nina tampak sibuk menyusun dana yang akan dia buat surat pertanggungjawabannya sampai sesuai dengan jumlah dana yang turun dari universitas.

"Gini nih...di mana-mana da unsur politik, sampai SPJ aja jadi rahasia umum, kalau apa yang kita belanjakan nggak sesuai sama apa yang kita laporkan, bikin stempel palsu buat toko misalnya, huft, yang atas ngajarinnya gitu, kita kan nurut aja, ya meski kayak begini jadinya," omel Nina, Jiver malah tertawa melihat gerutuan temannya itu.

"Sudahlah Nin, lo nikmatin saja. Gue tinggal dulu, gue ada kelas," pamit Jiver, lalu laki-laki itu pergi membawa tas ransel hitamnya.

***

Jiver sedang duduk-duduk di kantin kampus bersama beberapa orang teman-teman kampusnya, ada Amir juga di sana, laki-laki itu sibuk mengisap rokok sambil menikmati secangkir kopi hitam seharga tiga ribu milik ibu kantin. Jiver sendiri sibuk membuat coret-coretan tidak jelas di atas buku kecil yang biasanya selalu ia bawa kemana-mana. Hanya beberapa bait kalimat, dia memang senang melakukan hal itu semenjak SMA, malah pernah bercita-cita menjadi penulis atau masuk jurusan Sastra Indonesia ketika kuliah, sayang sekali lagi...ia bukan pemilik kehidupannya.

"Wuih mabanya bening-bening ya kalau udah kagak pake baju putih item gitu, beuh apalagi yang pakai kemeja hitam itu, mennn...cantik."

Suara Eki terdengar berisik di telinga Jiver, ditambah seru-seruan teman-temannya yang lain ketika melihat gerombolan maba yang sedang makan di kantin. Jiver tidak peduli, bukan urusannya juga.

"Ver, lo nggak mau gaet satu tuh maba? Gile men...bakal rugi lo kalau cuma diem malah sibuk sama buku butut lo itu, kelamaan jomblo ntar lo karatan," kata Eki sambil meninju bahu Jiver.

"No, lo saja, Ki."

Aki berdecak, "maho lo."

"Haha...kalau gue maho lo mau nggak jadi cewek gue?"

"Sinting."

"Hahaha..."

Jiver tertawa lagi bersamaan dengan beberapa teman-temannya yang juga menertawai Eki.

"Kayaknya gue mau nyepik yang kemeja item itu dah, gile bening gitu, maknyus pasti."

"Sarap," maki Yonat. Eki nyengir sambil menyesap vape aroma apel miliknya.

"Gue serius, Nat."

"Serah lo deh, playboy cap upil lo."

Amir tersenyum miring, ia mendekat ke arah Jiver yang belum juga sadar siapa maba yang dimaksud Amir tadi, diam-diam Amir mendekat pada Jiver membisiki laki-laki itu sesuatu.

"Kalau lo tahu yang tadi dimaksud si kupret Eki itu bini lo, gimana reaksi lo, Ver?"

Jiver menghentikan aktivitasnya, ia menatap Amir dengan dahi berkerut, sahabatnnya itu lalu menunjuk sebuah titik, tempat Keya bersama teman-teman barunya tampak menikmati makan siangnya di meja kantin dekat penjual bakso.

"Menurut kalian, dia masih available kagak?" lagi, Eki bersuara.

"Biasanya yang bening gitu udah punya pacar," sahut Yonat.

"Halah...selama bendera kuning belum melengkung, masih bisalah ditikung."

Eki tertawa, tanpa melihat raut wajah Jiver yang sudah semrawut.

"Tu lambe dijaga bisa kali Ki, diamuk singanya tuh cewek nyahok lo."

Amir ambil suara, membuat Eki malah tergelak, sementara Yonat menatap Eki dengan muka bingung. Temannya itu benar-benar sinting, selain penjahat kelamin sejati Eki ini juga dikenal biangnya bikin onar, si provokator demo-demo mahasiswa di kampusnya.

"Berani lo nyentuh dia, gue nggak jamin lo hidup sampai usia dua puluh tiga, Ki," kata Jiver tiba-tiba, Eki berhenti tertawa dan Yonat tersedak kopinya, sementara Amir biasa saja, karena ia sudah tahu kenapa Jiver bisa begitu.

"Mulut lo, Ver. Kata-kata lo ini kayak pejantan yang lagi cemburu karena betinanya diembat pejantan lain."

Jiver menutup buku kecilnya, ia memasukkan buku itu ke dalam tasnya dan beranjak dari gazebo tempat mereka nongkrong tadi, meninggalkan teman-temannya dan menuju sebuah titik di mana ada seorang gadis yang tengah tertawa lepas bersama beberapa temannya.

"Itu anak kesambet?" tanya Eki heran sewaktu melihat Jiver pergi.

"Eh bentar deh...gue kayak pernah lihat itu cewek," ucap Yonat, menatap lekat sosok yang tadi dimaksud Eki sambil menyesap kopinya lagi setelah tersedak.

"Cewek yang bacain puisi buat Jiver, cewek yang bacain surat buat Jiver dan cewek yang digendong Jiver pas pingsan, kalau kalian lupa."

Lagi-lagi Yonat yang tadi sedang minum kopi tersedak, Eki yang sedang melihat Keya membeliakkan matanya, menatap horror pada Amir, seakan-akan ucapan laki-laki itu adalah bongkahan batu yang baru saja dijatuhkan di kepalanya.

"Lah-lah ngapain si Jiver duduk di samping itu cewek? Anjir, si homo itu kenapa coba? Jangan-jangan itu cewek pacarnya lagi?" kata Yonat.

"Hahaha..."

Amir malah tertawa dan memilih pergi sebelum ia keceplosan jika Keya adalah istri Jiver, mulutnya kan terkadang rombeng, bisa jadi rem di mulutnya mendadak habis dan ia tak bisa menyimpan rahasia Jiver. Tidak...Amir masih ingin hidup sampai melewati usia dua puluh tiga, lagipula ia masih jomblo dan belum menikah.

***

Keya menatap horror pada Jiver, sementara teman-teman Keya menatap takjub pada PresBEM mereka yang tiba-tiba saja hadir di kerumunan yang mereka buat. Dalam kepala mereka, sedang sibuk membuat hipotesis mengapa Jiver duduk di sini, tanpa undangan tanpa aba-aba. Muncul begitu saja seperti jelangkung dalam ritual nakal anak-anak yang penasaran akan kehadiran setan. Maya menatap bergantian antara Jiver dan Keya yang tampak saling mengenal, Keya dengan tatapan mengerikannya dan Jiver dengan tatapan teduh khas laki-laki itu.

"Kamu pulang jam berapa?"

Jiver membuka suara, membuat Keya tergagap. Teman-temannya bahkan memekik tertahan, si Maya malah mengigiti sedotannya bekas minum jus jeruk tadi.

"Ke..kenal Kak Jiver?" kata Maya tanpa sadar, matanya terus mengarah pada Jiver.

Pesona senior ganteng yang tiba-tiba berkelakuan manis begini memang membuat junior sepertinya tak tahan dengan radiasinya.

"Dia..."

"Ah iya haha, kakak sepupu gue, iya Mas Jiver kakak sepupu gue haha..." sahut Keya aneh, sebelum Jiver meneruskan kalimatnya. Menghela napas, Jiver tersenyum masam, mungkin Keya butuh waktu untuk mengakui pernikahannya.

"Hah?" kata Lili tak percaya.

"Serius?" Maya menambahkan.

"Nanti kalau mau pulang LINE aku, mama tadi SMS, katanya motor matikmu lagi rusak," kata Jiver, Keya yang masih tak menyangka akan mengalami kejadian ini hanya bengong di tempatnya.

"Aku ada di Ormawa kalau mau cari."

Jiver tersenyum tipis, ia lalu berdiri, tapi tangannya terlulur pada wajah Keya setelah ia melihat sisa bihun di sudut bibir Keya. Laki-laki itu mengusap sisa bihun yang ada di sana, hingga wajah Keya kembali bersih dan jerit tertahan teman-teman Keya semakin menjadi.

"Kalau makan jangan belepotan, kamu sudah besar, Ke, sudah punya tanggung jawab 'kan?" kata Jiver, ia tersenyum misterius. Lalu memilih pergi, meninggalkan wajah Keya yang sudah merah padam.

"Gilaaa...Keeee mau gue jadi ceweknya."

"Keeee...mau dong jadi sepupu ipar lo."

Atau.

"Keyaaa....comblangin gue sama dia!"

"Anjrit!" maki Keya.

Ia merasa kesal, mendengar teman-temannya tertarik pada Jiver, entah karena apa. Ia sendiri juga tak paham.

Ternyata, kejadian itu tanpa disadari olehnya sudah menjadi pusat perhatian anak-anak yang sedang ada di kantin, adegan yang dilakukan Jiver tadi membuat beberapa di antara mereka, nyaris tak bisa bernapas, terutama kaum hawa yang kebetulan sedang berada di kantin.

"Gila...Jiver gila!" Keya menjerit dalam hatinya.

***

Astaga...kalian luar biasa, masa udah sampe 1000 votes kemaren? aaaa gilak gilak wkwk, udah jangan terror gue lagi, ini gue udah update. Gue update lagi minggu depan, karena sibuk, serius, mau pulang kampung juga gue, minggu baru balik Surabaya. BTW ada yang dari Surabaya? wkwk

Follow ig gue bolelah, kuy ;) aristavee koment aja buat pollbeck, but sorry gue gabisa follback kalian di wattpad.

Continue Reading

You'll Also Like

133K 5.5K 50
'' Jika lu gak bahagia dengan hidup lu, perbaiki apa yang salah dan teruslah melangkah!'' ucap seorang pemuda itu. '' Tau apa lu tentang hidup gua...
5.3M 282K 55
Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusaknya sejak 7 tahun lalu. Galenio Skyler hanyalah iblis ya...
1M 14.3K 35
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
1.9M 14.3K 10
Cerita lengkap ada di Dreame 🌻🌻🌻 "Aku bakal ceraiin dia secepatnya." Ines menggeleng, rasanya itu sangat mustahil. Ia akan menerima dosa yang besa...