Down There Is What You Called...

De Atikribo

91.9K 10K 2.6K

Kepergian sahabatnya meninggalkan sebuah tanda tanya besar dalam diri Raka. Ketika semua orang mengatakan pen... Mais

Sebelum Menjelajah
Chara Profile
Surface - 1
Surface - 2
Surface - 3
Surface - 4
14 Years Ago, Capital City
Somewhere - 1
Somewhere - 2
Surface - 5
Surface - 6
1st Floor
2nd Floor
3rd Floor
5th Floor
At The Corner Of His Memories
6th Floor
10K READS: GIVE-FRICKIN-AWAY!! (Closed)
7th Floor
GIVEAWAY CLOSED
GIVE-FRICKIN-AWAY WINNER
8th Floor
9th Floor
10th Floor
11th Floor
12th Floor
13th Floor
14th Floor
15th Floor
Somewhere - 3
16th Floor
17th Floor
18th Floor
19th Floor
20th Floor
Antarkasma - 4
Antarkasma - 5
21st Floor
Antarkasma - 6
Antarkasma - 7
22nd Floor
23rd Floor
Orenda, 14 Years Before
Orenda - 7 Years Before
24th Floor
Antarkasma - 8
25th Floor
26th Floor
27th Floor
28th Floor
Antarkasma - 9
29th Floor
30th Floor
31st Floor
Epilog
Afterwords & Surat Cinta
Bincang Ubin Vol.1
FLOOR NEW YEAR SPECIAL: College AU
Bincang Ubin Vol. 2
Maps & Glossarium

4th Floor

1.2K 203 85
De Atikribo

PEREMPUAN ITU luar biasa jelita. Ia berkulit sawo matang, terlihat begitu manis dan jawani. Rambut hitamnya dipangkas sangat pendek seperti lelaki, tetapi buah dadanya lebih besar daripada perempuan kebanyakan. Ia memandang Raka dengan matanya yang bulat, tampak terkejut, menahan napas.

"Kamu masih ingat aku?" tanya perempuan itu, terdengar ragu. Senyumnya tampak terpaksa seolah-olah tersenyum bukan pilihan yang tepat saat ini. Raka tak yakin perasaan apa yang tengah gadis itu alami.

Seolah dibanting kembali ke realita, pemuda itu menjawab ragu, "Enggak, aku enggak ingat kau siapa. Tapi, kenapa aku tahu namamu?"

Pertanyaan Raka mengubah raut wajah gadis itu menangkup nelangsa. Ia tidak paham dengan hal yang telah terjadi. Kenapa Raka bisa menyebutkan nama Indhira? Kenapa perasaannya tidak keruan seperti ini? Kenapa perempuan itu menahan air mata?

Raka membeku. Ia mengalihkan pandangannya kepada kedua dokter dan juga perempuan asing itu, mencari jawaban. Namun mereka sama bisunya. Dee mematikan kompor dan meletakkan panci beserta piring di atas meja, tak berkata apapun kemudian duduk di salah satu kursi.

"Heh, itu PR ya. Banyak yang harus dijelaskan," dengus Dokter Kei memecah sunyi. Ia melepas jas lab, menyampirkannya di lengan. Pria itu menepuk bahu Indhi yang tampak kaku, menggiringnya ke meja makan, "Kau akhirnya tahu jawabannya 'kan, Dhira? Tidak bisa, dan dia tetap tidak ingat."

Indhira menghela napas, lesu. Saat Indhira membuka jaket dan menyampirkannya pada kursi di seberang Raka, ia dapat melihat lingkaran hitam di tengkuk gadis itu; lingkaran yang sama seperti tubuh-tubuh tak bernyawa di Huva Atma. Raka hendak bertanya, tetapi dentingan piring mengalihkan perhatiannya.

Dokter berambut ikal itu menuangkan secentong kentang tumbuk di piring Raka, berkata serius, "Makan dulu, baru ngobrol."

Raka tak bisa protes, lagi pula ia menjadi tamu di klinik itu. Ia menunggu semua orang di meja makan mendapatkan makanan sebelum menyantap porsinya. Hidangan di hadapannya tidak tampak istimewa. Rasanya hambar, terlalu lembek seolah-olah diberi terlalu banyak air. Meskipun dagingnya masih hangat, tetapi entah kenapa terasa alot. Hanya saos jamut yang membuatnya terasa mendingan. Raka tak ragu mengambil piring kedua meskipun rasanya tidak senikmat itu. Lambungnya menjerit-jerit

"Kau menambah? Memangnya itu enak?" pertanyaan Kei dijawab dengan gelengan kecil Raka. Kei mendesah, mengatakan bahwa ia telah menduganya. "Padahal Indhira sudah menawarkan untuk memasak makan malam, lho, tapi Dee enggak mau. Aku yakin masakan Indhi akan jauh lebih enak. Masakan Dee selalu hambar."

"Diamlah, namanya makanan itu harus tetap dimakan," gerutu Dokter Dee, menyantap makanannya dengan wajah tidak puas, membetulkan posisi kacamatanya yang melorot.

Mungkin karena keberadaannya, ruangan itu terasa canggung. Kedua dokter itu mendebatkan alat dan bahan terbaik untuk membuat makan malam mereka; saling cerca, saling maki, namun di akhir perdebatan mereka berakhir dengan Kei yang tersipu. Sementara itu Indhira tak berbicara sama sekali, wajahnya terus menunduk, bergelut dengan pikiran dan juga hatinya. Terkadang ia tersenyum dengan pembicaraan kedua dokter itu, terkadang ia melirik Raka dan kembali melihat piringnya yang masih penuh.

"Bisa seseorang jelaskan apa yang terjadi?" Raka menahan sendawa, lima belas menit kemudian setelah piringnya kosong.

Kedua dokter itu saling tatap, sementara Indhi memakan porsinya perlahan. Bahkan seperempat porsi makanannya belum habis. Dokter Dee mengisyaratkan Raka untuk berbicara, pemuda itu menenggak air dari gelas di hadapannya dan kecemasannya berlanjut.

"Kenapa aku bisa tahu namanya padahal aku tidak pernah bertemu dengannya?" Raka menuding perempuan itu, terasa sensasi dingin di perutnya, "Suaranya terus terngiang di kepalaku sewaktu terjebak di tempat terkutuk itu!"

"Kita sudah kenal satu sama lain, Ka," jawabannya terlalu pelan bagaikan bisikan. Pandangan perempuan itu tepat ke matanya, seolah-olah menusuk relung jiwa, membekas luka, "cukup lama malah."

"Apa? Enggak. Aku baru sekarang ketemu denganmu," Raka memiringkan kepalanya, melirik Dee yang tengah memegang pundak gadis itu, "tapi aku ingat betul suaramu memanggil-manggil namaku di bawah sana."

Wajahnya yang sedih berubah heran. Indhi menyipitkan mata, mengatakan bahwa ia tidak pernah memanggil namanya, "Terus kenapa aku sangat mengenali suaramu?" sanggah Raka.

Jawaban Indhi lagi-lagi sama, "Karena kita memang sudah kenal, Raka!"

"Ah, ya, ampun," gerutu Dee, mengambil piring kotor dan menaruhnya ke bak cuci. Raka dan Indhi terdiam. Pria itu mengambil empat botol bir kecil dari kulkas. Botolnya berdesis ketika ia membuka tutupnya, meletakkan keempat botol itu di atas meja. "Obrolan saling tuduh ini enggak akan ada beresnya kalau kau enggak paham situasi dan kondisi yang sebenarnya. Kau harus menceritakan tentang dirimu dulu baru kami bisa menjawab pertanyaanmu. Kau ini tamu. Kalau kau berbahaya buat kami, saya bisa menendangmu keluar."

Ah, etika. Betapa mendasar.

"Dee menentang untuk membawamu ke sini, tapi aku bersikukuh karena kau itu masih hidup. Aku sangat penasaran dengan isi kepala lu itu," Kei mencari-cari sesuatu dari saku jas labnya, mengambil sebatang rokok dari dalam kotak dan menyulutnya. Ia menawarkan rokoknya pada Raka yang dengan senang hati menerima asupan nikotin itu.

"Kau bilang kau dari Permukaan Atas 'kan?" Asap putih keluar dari hidungnya, "Pertama apa tujuanmu datang ke Floor dan kedua, kenapa kau datang dari Huva Atma? Kau memangnya tidak pergi ke Orenda sebelumnya?"

"Orenda? Aku enggak tahu itu apa," jawab Raka jujur.

Pemuda itu meletakkan rokoknya di atas asbak, mencari-cari tabung kecil yang ia simpan di dalam dompet kemudian mengeluarkannya di atas meja. Kei mengambil tabung itu, menerawangnya ke lampu, menyeringai. Dee, di sisi lain memerhatikan botol itu dari jauh, ekspresinya datar namun wajahnya menggelap, matanya pun terpatri dari botol itu.

"Sahabatku meninggal," jelas Raka. Indhi mengerutkan alis, menyimak. "dan aku menemukan tabung itu di kamarnya. Cewek yang pergi bersamaku mengatakan bahwa botol itu berasal dari sini, Floor."

Raka menceritakan perjalanannya. Tentang ia dan raksaka hingga akhirnya terpisah dari Nova; bagaimana ia lari dari pagna hingga akhirnya terdampar di hutan itu dan sampai di klinik ini, "Pertanyaanku adalah: sebenarnya ini tempat apa? Mayat-mayat itu apa? Lingkaran hitam di lehernya itu apa? Kenapa dia juga mempunyai lingkaran hitam itu? Lalu kenapa suaranya—"

"Ya, saya paham. Satu pertanyaan sebelum kami menjawabmu, siapa nama gadis itu?" tanya Dee sambil minum bir, intonasinya serius.

"Memangnya penting?"

"Kalau enggak penting, saya enggak bakal tanya."

Raka menghela napas. Merasa lelah seolah-olah diinterogasi, "Nova. Nova...Sarojin?"

"Bingo," Kei menyeringai, begitu lebar bagaikan seorang maniak.

*

Pertama, Raka, kau dan Indhi sudah saling kenal. Tetapi, sebelum saya menceritakan tentang kalian, apa kau pernah mempertanyakan kebahagiaan itu apa? Pertanyaan itu sesungguhnya sulit. Terlalu abstrak, membingungkan, bahkan. Semuanya bisa saja benar. Apa yang membuatmu bahagia, Raka? Seks? Uang? Reputasi? Cinta? Itu hanya dopamin dan kita pikir itu sudah cukup, tapi nyatanya tidak sesederhana itu.

Di sini, Floor, kita tidak serta-merta bahagia hanya karena orang-orang berharga. Bukan karena keluarga, teman, atau sahabat. Kau ingat saat kau kecil hal apa yang membuatmu tertawa? Bukan berapa jumlah mobil-mobilan yang kau punya, tetapi kenanganmu bermain bersama seekor anjing 'kan? Bukan benda fisik, tetapi hubungan dan kenangan dengan mereka yang sering kita lupakan.

Dan kita mendapatkannya secara cuma-cuma sementara makhluk kecil bernama azuline itu menyerapnya, mengonsumsinya untuk diberikan pada makhluk-makhluk entah apa namanya di belahan dunia sebelah mana. Mereka bilang kita lupa akan keberadaan mereka, tapi kita tahu, makhluk-makhluk itu tidak pernah ada sebelumnya.

Kala azuline mengambil rasa pahit, bahagia, dan juga kenangan yang kita miliki, kita merasa hampa dan lupa. Ikatan batin antar manusia...azuline memakannya. Menyerap segala saripati dari otak-otak yang mulai tak bekerja dan membawanya entah ke mana. Itu sebabnya ketika menyentuh azuline kau melihat bahkan merasakan apa yang orang itu rasakan, membuatmu gila dan menyakitkan karena makhluk itu membunuhmu pelan-pelan secara psikis dari dalam.

Sebagian dari kita menjadi lebih kasar, beberapa lebih dingin, beberapa bahkan bingung akan perasaannya sendiri. Kita ingin merasakan lebih, mendapatkan sensasi yang lebih intens lagi. Apakah itu kebahagiaan atau hasrat? Kita mencari penggantinya, melalui benda maupun aktivitas serupa.

Ada kalanya kita ingin merasakan kembali, emosi atau suatu ekstasi yang jauh lebih dahsyat dan gila. Jadi mereka harap stimulan ini akan memberikan sensari baru. Sayangnya, malah menimbulkan candu. Mereka ingin terus mengonsumsi, mengonsumsi, dan terus mengonsumsi stimulan yang mereka sebut dengan ruska. Seperti emosi manusia yang beragam, mereka mengambil nama itu dari warna daun di musim gugur: kuning, merah, hijau, cokelat; beragam dan cantik.

Tabung itu berisi ruska yang terbuat dari reptilium —sebuah zat di tubuhmu, tubuh kita semua yang mencakup seluruh emosi kita. Kau belum menghisapnya 'kan, Raka? Karena dia bukanlah inhalan. Ruska hanyalah pelengkap, bumbu dalam hidupmu; suplemen! Seperti gula dan garam, kau bisa menemukannya di segala macam makanan yang kau temukan.

Ruska yang beredar di pasaran berupa bubuk dan kandungan yang membahayakan sudah jauh berkurang. Tapi, yang kau temukan itu tiga tingkat di atasnya. Bukan lagi gula atau garam pada makanan yang bermain dengan indra pengecapmu, tapi cairan itu akan memainkan emosimu.

Dia akan memicu emosi yang kau ingin salurkan, tergantung dengan zat kimia dalam otakmu. Menjadi bahagia tentu saja; itu merupakan hal yang diinginkan semua orang 'kan? Tak jarang juga mereka akan membangkitkan ingatan-ingatan menyakitkan dalam hidup, membuat seseorang tak sanggup menahan tangis ataupun amarah; meledak-ledak, tidak waras, tidak menutup kemungkinan juga untuk mengakhiri hidupnya.

Jumlah permintaan semakin banyak, harga pun tidak ramah dengan kantong. Tetapi, itu yang dinamakan bisnis 'kan? Ruska yang mahal tetap menjadi incaran banyak orang; menimbulkan peluang-peluang untuk menyelundupkan, membuat oplosan dan menjadikannya barang di pasar gelap. Mengingat orang-orang yang dibuang di bawah sana, proses produksi ruska tidak indah.

Tubuh-tubuh kaku di bawah sana itu ampas. Mereka tak lagi bernyawa dan rata-rata berasal dari Permukaan Atas; material utamanya. Dengan iming-iming bahagia dan juga meraih mimpi, kau dibawa ke dalam sebuah permainan Orenda. Perlahan inderamu tumpul kemudian rasa dan juga hati, lalu tanpa disadari kau menatap dunia dengan tatapan kosong. Kau tidak tahu lagi apa yang kau inginkan, tidak punya nafsu, tidak merasakan apapun. Kau bisa saja lapar, mungkin, tapi apakah kau ingin makan? Tidak. Mudahnya begini, ketika kau tidak makan dan minum selama seminggu kau mungkin mati. Tapi bagaimana dengan sebulan? Pasti mati.

Mereka kesakitan, tetapi tidak bisa merasakan apapun. Secara teknis mereka mati dan otakmu seolah-olah berhenti bekerja. Tak ada kerja motorik; mengingat, menggerakkan tangan, berbicara... seperti difabel atau lebih parahnya kau hanyalah seonggok daging berbentuk manusia. Kau pasti paham tentang ini, Raka: ketika seseorang mati, mereka yang ditinggalkan akan mencoba untuk merelakan kepergianmu. Di lubuk hati terdalam mereka mungkin ingat tentangmu, tapi dipermukaan, segala memori tentangmu hilang dalam satu jentikan jari.

Itu yang terjadi pada dirimu dan Indhi. Karena kau sudah mengenal satu sama lain jauh sebelum kengerian ini terungkap. Singkatnya, Indhi datang ke Orenda dan berhasil kabur. Mungkin kau akan menceritakan lebih detil padanya, huh?

Orenda sesungguhnya berniat baik, kau tahu. Mereka menginginkan Floorian menjadi seperti manusia lagi, bukannya orang-orang tanpa emosi yang mati perlahan. Hanya saja, mereka membunuh orang banyak untuk kesejahteraan orang lain juga. Kau juga tidak tahu sudah berapa banyak orang-orang atas mati di sini. Yep, kau tidak tahu karena kau tidak pernah ingat bahwa mereka ada sebelumnya. Kau pasti menganggap ini gila, tetapi memang beginilah kenyataannya. Mengerikan bukan?

Selamat datang di Floor, Raka.

*

"Coba kuluruskan omonganmu tadi," Raka menekan puntung rokoknya pada asbak, menyandarkan tubuhnya di kursi dengan kerutan yang dalam di dahi. Butuh waktu untuk mencerna pembicaraan Dee barusan.

Hening menyelimuti. Dee dan Kei menatap dirinya lamat-lamat sementara Indhira memainkan sebatang rokok di jemarinya tanpa disulut. Raka menggaruk kepalanya yang tidak gatal kemudian menghela napas berat, "Jadi ruska dibuat dari orang-orang Atas? Orang-orang sepertiku dan dia? Lalu mereka buang tubuh-tubuh itu ke Huva Atma, membiarkannya membusuk, dan dimakan oleh pagna? Namun seluruh hal gila itu dilakukan untuk mencegah kalian, Floorian, mati? Gila apa? Kau pikir aku bakal percaya itu semua?"

Dokter berambut perak itu mencibir, "Kau bertanya ya kami jawab. Kalau kau enggak percaya silakan balik lagi saja ke tempat asalmu yang aku yakin kau sendiri enggak tahu caranya 'kan?"

"Lagi pula kau ingin tahu benda apa itu 'kan?" Dee menunjuk tabung ruska yang Raka temukan di kamar Jun. "Kau dapat jawabannya."

Raka memejamkan mata, berpikir keras. Masih banyak hal yang ia tak pahami. Seolah-olah bisa membaca pikiran, Dee menambahkan, "Apa lagi?"

"Ini... ini sinting! Kalian sinting! Kenapa Orang-orang Atas? Kenapa kami? Jika kami adalah bahan utama; aku pun dalam bahaya atau apa?" pemuda itu berjalan kembali ke meja dan menenggak habis air pada gelasnya dalam sekali teguk. Menghela napas, Raka memandang kembali kedua dokter, meminta penjelasan.

"Kurang-lebih begitu," Kei mengangkat bahu.

"Kalian membunuh manusia! Bagaimana caranya mereka membawa Orang-orang Atas ke sini? Diculik?"

"Tidak," Kei menggerakkan jemarinya seolah-olah sedang peregangan namun matanya tidak menatap Raka saat ia berbicara, "Mereka datang dengan sukarela, tahu. Itulah sebabnya aku bertanya padamu apakah kau datang disebabkan iklan pada selembaran tertentu, tapi ternyata kau datang dengan alasan lain. Dee sudah bilang 'kan, Orenda menawari mereka dengan iming-iming kebahagiaan; sangat mudah mengait mereka yang dalam masa terpuruknya. Dibilang kriminal pun...bukti-buktinya hampir habis dimakan oleh pagna. Kalau kau mencoba untuk mengingat siapa yang telah tiada, tidak ada gunanya. Karena ingatanmu tentang mereka hilang dan tertinggal hanyalah rasa. Namun apa gunanya rasa tanpa jumpa?"

Terfakur, mulut Raka tertutup rapat. Indhira yang dari tadi tidak bicara banyak bangkit dari duduknya kemudian membilas perangkat makan di bak cuci. Kei kembali menyulut batang rokok yang masih baru sementara Dee menopang dagunya dengan kedua telapak tangan, sesekali membenarkan kacamatanya yang melorot.

"Bagaimana kalian bisa tahu sebanyak ini?" tanya Raka akhirnya, "Bagaimana Orenda bisa membunuh, melupakan mereka pernah eksis di dunia, dan merubahnya menjadi stimulan kebahagiaan?"

"Sederhana," jawab Dee, "Karena sains dan kami pernah bekerja dengan mereka."

"Bukan pengalaman yang spesial, karena kami hanya sebagai supervisi," tambah Kei, "Aku lebih senang kalau bisa mengotak-atik tubuh seseorang. Ketika hangat darah terasa di tanganmu itu sensasinya.... Wow."

"Tapi kau bilang kau dokter. Bagaimana mungkin seorang dokter menyimpan gergaji mesin di ruang kliniknya?"

"Wah, maaf saja, Raka. Aku bukan tipe dokter seperti yang lu bayangkan," Kei menyeringai. "Aku suka melihat orang-orang takut."

Tertegun, Raka mendapati Dee mengerling. Semakin banyak pertanyaan timbul, tapi Raka bingung harus memulai dari mana. Pertanyaan mengenai kematian Jun pun semakin bertambah. Apakah sahabatnya itu tidak bahagia atau bagaimana?

Terlarut dalam pikiran, Raka terkesiap ketika Indhira menyentuh bahunya. Raka bertanya-tanya hal apa yang ada di kepala gadis itu

"Bisa ngobrol?" tanya Indhira, ia mengedikkan dagu ke pintu yang menghubungkan ruangan dengan balkon. Perempuan itu pergi duluan, meninggalkannya dengan kedua dokter yang masih di meja makan.

"Kau masih harus istirahat Raka, badanmu masih belum sembuh total," ucap Dee sebelum turun bersama Kei, meninggalkan Raka di ruang makan sendirian.

Raka dapat merasakan hembusan hawa dingin mengalir dari pintu menuju balkon, berbeda ketika pintu masih tertutup. Ia menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya pada lengan bagian atas, sembari berjalan ke luar. Perempuan itu berdiri menghadap langit malam, lengannya bertumpu pada pagar. Ia menoleh ketika Raka mendekat namun ketika pemuda itu akhirnya bersandar di teralis, gadis itu mengambil dua langkah ke kiri, memperlebar jarak di antara mereka. Dia tidak berbicara dan Raka tidak suka dengan suasana kikuk di antara mereka. Kenapa harus diam kalau yang meminta untuk mengobrol adalah dia?

"Indhi 'kan?" tanya Raka mengawali percakapan.

Ia mengikuti posisi Indhira yang menghadap langit, bertumpu dengan lengan di atas teralis. Selain pendaran dari bulan dan juga ratusan bintang, tak tampak sumber cahaya lain yang berasal dari listrik. Meskipun begitu cahayanya sudah cukup untuk menerangi malam yang pekat itu, menampakkan jajaran pohon tinggi rancung tanpa daun yang bergerak tertiup angin. Raka gemetar dan kembali menghangatkan tubuhnya dengan gosokan telapak tangan, "Kau lihat jaketku enggak?"

"Jaket?" Indhi menoleh, balik bertanya.

Mata besarnya tampak indah, lagi-lagi membuat dada Raka berkedut. Raka tak tahu kenapa ia merasakan hal ini. Indhira kembali ke dalam untuk mengambilkannya jaketnya. Windbreaker hitamnya tidak tebal tapi cukup untuk menahan angin. Ia terlalu malas untuk mengambil jaket tambahan yang ia simpan di dalam tas. Setelah itu lagi-lagi sunyi dan entah mengapa jarak di antara mereka malah melebar.

Ini anak kenapa dah. "Kau biasa mengobrol dengan jarak jauh-jauh seperti ini ya?"

"Enggak, aku cuma...," Indhi terdiam. Saat hendak ia membuka mulut, ia membatalkan niatnya; bibirnya kembali terkatup rapat. "Perasaan dan pikiranku campur aduk, Ka. Aku enggak tahu harus mulai dari mana. Sudah hampir dua tahun aku tidak kembali ke atas sana dan saat aku melihatmu, kukira kamu akan ingat, tapi ternyata enggak begitu. Ini...."

"Menyedihkan?" Raka mencoba melengkapi perkataannya. Ah, kedutan itu lagi. Rasanya seolah-olah diremas dan sakitnya terasa begitu ganjil, "Jujur saja, aku enggak tahu hal yang terjadi denganmu atau bahkan denganku. Kalau kau benar-benar sudah mengenalku sejak lama, coba ceritakan apa saja yang kau tahu?" Pemuda itu mencoba mendekati gadis itu secara perlahan, untungnya dia tidak lagi memundurkan kakinya.

"Serius?" Indhi terkekeh. "Oke, kamu lahir di bulan Agustus, zodiakmu Leo, tahun ini umurmu dua puluh tahun. Kamu tinggal di ibukota sampai SMA dan bertetangga dengan Jun. Saking dekatnya banyak yang bilang kalau kalian itu pasangan. Ibumu bawelnya bukan main. Aku ingat waktu itu kamu cerita bahwa kamu pernah kabur dari rumah ketika SMP selama tiga hari dan dipaksa pulang oleh Jun. Kelas 2 SMA kamu mau bolos bersama anak yang lain dengan kabur lewat jendela, tapi celanamu sobek hingga akhirnya—"

"Tunggu, tunggu. Kau tahu bagian itu?" potong Raka, mengangkat tangan kirinya. Wajahnya menghangat mengingat aib di masa sekolahnya dulu. Karena sobekan di celananya begitu besar, ia harus mengenakan sarung sepanjang hari dan juga ketika naik motor. Obrolan itu tidak berhenti sampai lebih dari seminggu.

"Tentu saja, itu kan kebodohanmu yang sangat luar biasa," Indhi lagi-lagi terkekeh. Ia tersenyum ketika menatap Raka tepat di mata. "Sudah kubilang kita kenal satu sama lain. Kita cukup dekat."

"Cukup dekat hingga kau harus menjaga jarak ketika berbicara denganku?"

Rahang Indhi mengeras, wajahnya kembali menunjukkan ekspresi sendunya. Ia mengalihkan pandanganya ke lanskap malam, "Sori," ucapnya lirih.

"Nah, kau enggak salah apa-apa," Raka menompang dagu, mengamati perempuan di sampingnya itu, "Kalau memang kita cukup dekat, seperti yang kau bilang, mungkin salahku karena sudah lupa. Atau sebenernya ada alasan lain? Apa yang terjadi? Kau pergi ke sini untuk 'bahagia'?"

"Mm-hm," Indhi tersenyum kecil kemudian menghela napas panjang, "entahlah, mungkin? Ini seperti memulai segalanya dari awal. Masalahnya terlalu rumit, aku takut kita malah jadi canggung satu sama lain."

"Enggak masalah 'kan? Kalau dulu kita bisa akrab, kenapa sekarang enggak bisa? Kita hanya perlu memasang kepingan puzzle yang benar untuk menjadi suatu hal yang utuh 'kan? Mungkin aku bisa mengerti."

Indhira menenggelamkan wajahnya pada kedua tangan, bahunya bergetar. Ketika ia mengangkat wajahnya, matanya berkaca-kaca namun ia terkekeh; senyumnya yang sendu masih terlihat manis. "Ya ampun, Ka. Aku kangen denger omongan optimismu."

Wajah Raka terasa hangat, ia mendengus. Ada rasa nyaman yang berbuah rindu ketika berbicara dengan Indhira. Tidak, jantungnya tidak berdebar bagaikan seseorang yang tengah kasmaran. Ia pun tidak merasa ada kupu-kupu di dalam perutnya. Ia ingin berbicara panjang lebar dengannya, tak peduli apabila fajar akan menyingsing. Ia ingin tertawa bersamanya, menceritakan kisah-kisah lama tentang orang-orang di kampus dan kejadian bodoh yang terjadi belakangan ini.

Rindu. Ia rindu.

"Ka?" suara Indhi tercekat dalam dekapan Raka yang begitu erat.

Perempuan itu tidak berontak maupun balas memeluknya. Raka pun heran akan tingkah lakunya. Tubuhnya bergerak sendiri, meraih kepala Indhi. Ia membelai rambut pendeknya, mencium wangi bunga lili dari tubuh perempuan itu. Memejamkan mata, Raka merasakan hangat tubuh Indhira yang begitu akrab dengan dirinya. Ia mengecup leher gadis itu, beberapa kali hingga tubuh Indhi sedikit gemetar.

"Raka...," bisiknya lirih. Napasya yang hangat terasa pada tulang selangkanya, "Raka!"

Bagaikan dibanting dari langit ke bumi, Raka kembali ke realita. Pemuda itu melepas dekapannya, menjauhkan tubuh Indhi, setengah terkejut; mundur beberapa langkah ke belakang. "Maaf," ucapnya tanpa menatap Indhi, "badanku bergerak sendiri."

Indhi tersenyum. Ah, senyum itu lagi. Manis namun berbekas ngilu. Gadis itu menarik ritsleting jaketnya hingga leher, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku; Raka kehabisan kata-kata. Hal yang ditakuti gadis itu pun terjadi. Sunyi menyelimuti mereka dalam kecanggungan dan pemuda itu hanya bisa melihat lanskap malam. Detik menjadi menit, mereka larut dalam pikiran masing-masing.

"Apa normal, yang tadi kulakukan?" tanya Raka pada akhirnya, menyerah untuk berdialog dengan isi kepalanya.

"Uh-huh."

"Kita sedekat itu?"

"Menurutmu?" Indhi malah balas bertanya.

"Oh," Raka kembali menompang dagu dan suasana kembali canggung.

Tatapan mereka bertemu ketika Raka meliriknya dari sudut mata. Perlahan ia meraih tangan Indhi yang menggantung bebas di pagar namun pemuda itu tak kuasa untuk kembali mendekapnya seerat mungkin; seolah-olah ia akan menyerap kembali memori yang telah hilang.

"Maaf," bisik Raka di telinga Indhi, tidak tahu untuk apa ia mengatakan itu. Ia pikir, itu kata-kata yang tepat untuk ia ucapkan. "Maaf. Maaf. Maaf."

Kali ini Indhi balas memeluknya. Tubuh Raka yang tak tertutup jaket mulai terasa basah. Ketika gadis itu mengangkat wajahnya, Raka menyeka air mata Indhira. Mata bulatnya menatap Raka, membawanya menyelam ke dalam palung berwarna cokelat gelap. Perlahan Raka mendekatkan wajahnya, menyapukan bibirnya di bibir perempuan itu, terasa lembut, manis, juga sangat akrab.

Raka ingat.

*

//Sialan aku baper sendiri. please, please, please, lagu di atas tolong distel apalagi di bagian Raka dan Indhi ya! Aduh tp kalo di app ga bisa dibiarin bunyi sih. hahaha. Kalo bisa diulang-ulang aku ulang-ulang tapi yah tapi apa daya lagunya kurang dari 2 menit.

Takkan bosan kuucapkan terima kasih untuk kalian yang masih mengikuti cerita ini! i am nothing without you~ Next chapter kita kembali lagi ke Nova! See you when I see you~//

Continue lendo

Você também vai gostar

1.2M 86.2K 35
Apa yang kamu lakukan jika mengulang waktu kembali? Tabitha Veronika Miller sosok gadis yang diberi kesempatan untuk mengulang waktu kembali, kematia...
3.6K 575 60
[Reading List WattpadfantasiID Januari 2024] Diculik sebagai tumbal, Wafir---bocah naif yang selamat dari tenggelamnya separuh daratan bumi---harus m...
1.9M 148K 103
Status: Completed ***** Thalia Navgra seorang dokter spesialis kandungan dari abad 21. Wanita pintar, tangguh, pandai dalam memasak dan bela diri. Th...
174K 37K 65
[Pemenang Watty Awards 2019 Kategori Mystery & Thriller] Orang bilang Klub Jurnalistik dijuluki "Klub Jurik" karena ruangannya berhantu. Kalau itu be...