[Tantangan White Day NGKWI 20...

By benny131313

173 27 15

Namaku Pika. Dan aku Poka. Kami pandai berlari. Kami pandai menari. Selamat datang di dunia Peri. Ayo bermain... More

Dunia Peri

173 27 15
By benny131313

Dalam lelapku, aku bermimpi. Tentang dua orang anak, berbeda rupa, berbeda tawa. Anak Perempuan dan anak laki yang belum mengenal arti romansa cinta. Kasih mereka murni, kasih mereka tulus, kasih mereka melebihi segala kisah.

"Selamat hari Valentine!" seru sang gadis kecil sembari menyodorkan sekaleng biskuit.

Lelaki muda, dengan ingus yang lupa dia usap, menerimanya, membuka, memasukan tangan kecilnya dengan ceroboh ke dalam kaleng. Mengambil beberapa butir makanan kecil. Tangan kanannya kotor penuh remah makanan, tangan kirinya menjulurkan kaleng biskuit kembali pada sang gadis kecil.

"Ayo kita makan sama-sama."

Dan mereka pun tertawa. Di tengah rerumputan dan pepohonan yang teduh. Bagaikan surga dunia. Mimpi terindah.

Aku ingin berada di sana ... lagi ...

"Kalau begitu mari kesini, Bibi," ungkap sang anak perempuan, memandangku dengan senyum cerahnya.

Tanpa sadar kedua kaki telanjangku menginjak rumput nan lembut. Kedua anak kecil itu berlarian, memutari tubuhku, bermain dan bernyanyi dengan gembira. Membawa kehangatan dalam hatiku.

Ini sungguh menyenangkan, tapi dimana aku? Di dunia mimpi?

"Bukan, Bibi," sahut anak laki-laki itu seolah dia bisa membaca pikiranku, "Ini dunia Peri."

"Ya, kami adalah Peri," lanjut si anak perempuan, "namaku Pika."

"Dan aku Poka," sambung anak laki-laki.

Aku tersenyum gemas, kutempelkan lutut di rerumputan berusaha menyamakan tinggiku dengan mereka, agar tidak ada yang mendongak ke atas, "Ooh, jadi kalian Peri?" ungkapku menggoda, "Kalau begitu, bisakah kalian bantu Bibi pulang?"

"Bibi tersesat?" tanya Poka bingung.

"Kenapa Bibi ingin pulang?" tanya Pika memiringkan kepalanya.

"Kenapa Bibi tidak ingin pulang?" tanyaku menyambung rantai pertanyaan itu.

"Dunia Peri ini saaangat menyenangkan," jawab Pika, "Banyak tempat bermain dan makanan enak. Bibi tidak akan merasa bosan."

"Wow, kalian punya makanan enak?" ungkapku mencoba melihat reaksi mereka. Benar kata Pika, seperti aku tidak akan cepat bosan dengan mimpi ini.

"Sudah kubilang kan, ini bukan mimpi. Ini dunia Peri," ujar Poka menggerutu. Namun kembali tersenyum sembari menyodorkan kaleng biskuitnya, "Biskuit Pika enak. Ayo kita makan sama-sama."

Kami pun bermain bersama. Menikmati biskuit kecil yang terlalu manis untuk lidahku. Mengisahkan dongeng-dongeng klasik yang disukai anak-anak. Dan mereka mendesakku untuk menceritakan kisah hidupku sendiri.

"Kalian tahu, Paman Wally adalah seorang pelukis terkenal," ungkapku memulai kisah.

"Apa yang dilakukan pelukis, Bibi?" tanya Poka tidak mengerti. Bagi mereka, kata 'pelukis' pun masih terlalu sulit untuk dipahami.

"Pelukis itu orang yang pandai menggambar," jawabku.

"Poka juga pandai menggambar. Jadi Poka adalah pelukis!" sahut Poka senang.

"Tidak, gambar Poka jelek," balas Pika.

"Poka pandai menggambar!" seru Poka dengan wajah cemberut, "Tunggu di sini, Poka akan buktikan pada Pika."

Poka pun berlari ke dalam lebatnya pepohonan, menghilangkan bayangannya dari pandanganku.

"Kemana Poka pergi?" tanyaku pada Pika.

Poka ke rumah mengambil peralatan gambarnya," jawab Pika, "Jadi, siapa Paman Wally?"

"Paman Wally adalah suami Bibi."

"Suami?"

"Maksudnya, Paman Wally hidup bersama Bibi."

"Seperti Pika dan Poka?"

"Iya, seperti Pika dan Poka."

"Ah, Poka!" seru Pika tiba-tiba.

Aku menoleh, setengah terkejut melihat Poka sudah berdiri di belakangku. Dengan papan kayu, kertas putih dan sebuah pensil di tangannya.

"Poka adalah suami Pika," ujar Pika tersenyum senang.

"Suami?" tanya Poka tidak mengerti.

"Suami hidup bersama. Seperti Bibi dan Paman Wally," balas Pika.

Poka memandangku, tampak sedikit kebingungan dengan penjelasan Pika. Dia pun mulai duduk dan menggambar.

"Apa yang Poka gambar?" tanyaku mendekati Poka.

"Jangan bergerak! Poka sedang menggambar Bibi," seru Poka serius.

Aku duduk diam memperhatikan Poka. Beberapa kali dia memandangku, mengukur proporsi tubuhku. Poka sangat serius menggambar. Hampir setiap detik aku melihatnya menggosok penghapus kecil. Pika berjalan kesana kemari, tampak bosan menungguku dan Poka.

"Bibi, Poka, ayo kita bermain," ujar Pika merengek.

"Poka masih menggambar," jawab Poka sebal.

"Lupakan saja gambar itu. Poka tidak pandai menggambar," ujar Pika mengejek.

"Poka bisa menggambar. Lihat saja, wajah Bibi akan jadi sangat cantik."

Poka mulai menggerakkan genggamannya dengan sangat cepat. Dia menggenggam pensil seperti menggenggam tongkat, tangannya melingkar-lingkar, melompat kesana kemari, membuatku curiga akan apa yang sedang digambarnya.

"SELESAI!" seru poka senang sembari menunjukan kertas dengan coretan tak beraturan, coretan anak kecil yang membentuk gambar spiral, angin tornado, atau benang yang berantakan, "Cantik kan, Bibi?"

Aku tersenyum, "Ya, cantik sekali."

Namun wajah Poka kembali cemberut, "Bibi juga berpikir kalau Poka tidak pandai menggambar kan?"

"Tidak, menurut bibi Poka pandai menggambar."

Tetes air mencubit kertas gambar di tangan Poka. Menggelitik kepalaku. Membuat kami semua mendongak ke atas. Langit yang cerah telah menjadi mendung, gerimis hujan semakin menjadi.

"Cepat Bibi, kita harus berlindung di dalam rumah!" ujar Pika panik.

Pika dan Poka berlari ke arah pepohonan. Pepohonan yang semakin lebat, hingga layak untuk disebut hutan. Aku berlari, mengikuti, atau lebih tepatnya berusaha mengejar mereka. Kaki kecil itu melangkah dengan cepat. Membuat wanita yang sudah lewat masa muda ini terengah-engah.

Kami tiba di rumah pohon. Bukan pohon berlubang layaknya rumah tupai. Melainkan rumah kayu kecil yang berdiri di tengah dahan.

Aku memanjat pada tangga yang bersandar, tangga yang menjulur ke atas, satu-satunya jalan masuk ke dalam rumah pohon.

Mainan anak-anak berserakan dimana-mana. Berbagai coretan mewarnai dinding kayu. Jelas sekali tidak ada orang dewasa yang menata isi rumah ini.

Poka mengambil selotip dari tumpukan mainan yang berserakan, menempelkan gambar barunya di dinding. Pika membawa beberapa mainan. Mobil-mobilan, robot, dan miniatur pesawat terbang.

"Ayo Bibi, kita bermain," ajak Pika bersemangat.

Pika mengayunkan miniatur pesawat itu dengan tangan kirinya, sedangkan tangan lainnya menerbangkan robot mainan. Dalam gerak lambat mereka saling bertabrakan.

Poka mengambil selembar kertas putih baru, memandangiku dengan seksama, kemudian mulai menggambar.

"Bibi, cepat terbangkan mobil itu, coba kalahkah pesawat tempur Pika," ujar Pika bersemangat. Dia benar-benar ingin bermain bersamaku.

Anak perempuan manis itu, terlihat lebih gemar dengan permainan anak laki-laki. Menerbangkan pesawat, robot, boneka, bahkan mobil. Apakah Pika punya ketertarikan dengan benda terbang?

"Pika ingin jadi pilot," ujar Poka sembari sibuk menggambar.

"Dan Poka ingin pandai menggambar," sambung Pika.

"Pika salah! Poka sudah pandai menggambar. Poka adalah pelukis seperti paman Wally."

Perlahan aku mulai mengenal mereka. Pika adalah anak perempuan yang riang dan senang bermain. Poka pemarah, terutama ketika ada yang meragukan kemampuan menggambarnya. Namun dia juga anak manis yang senang menggambar. Aku melihat berbagai gambar yang menempel di dinding kayu. Semua coretan ini pastilah ulah Poka.

"Gambar Poka bukan coretan," balas Poka kesal.

Aku terkejut, menatap tajam ke arah Poka yang sibuk menggambar, "Mungkin Bibi terlambat menanyakannya, tapi apakah Poka bisa membaca pikiran Bibi?"

"Tentu saja Poka bisa," ujar Pika menyela, "Poka kan Peri."

Jawaban itu membuatku sedikit berkeringat dingin. Perlahan aku bersikap waspada di dekat Poka, "Kalau begitu, apakah Pika juga bisa membaca pikiran Bibi?"

"Tidak bisa," jawab Pika santai, "Tapi Pika juga Peri."

Aku mengajak Pika untuk berpindah ke sudut ruangan, menjauhi Poka. Mungkin Poka bisa membaca pikiranku, tapi dia tidak berkata apa-apa. Dia sibuk dengan gambarnya.

Aku tidak ingin bersikap seperti ini pada Poka, tapi tidak ada orang yang senang ketika pikirannya dilucuti. Apalagi dengan kegelapan hati yang dimiliki setelah beranjak dewasa. Poka terlalu berbahaya. Dan tidak ada jaminan kalau Pika bukan Peri yang berbahaya.

"Kalau Poka punya keahlian membaca pikiran, apa keahlian Pika?" tanyaku berusaha memahami situasi.

"Pika bisa menerbangkan mainan," jawabnya dengan penuh semangat, "Lihat ini Bibi!"

Pika mulai mengayunkan robot mainannya. Melayang kesana kemari tampak hanyut dalam imajinasi.

Ya, Pika tidak terlihat berbahaya. Dia hanyalah gadis biasa dengan imajinasinya. Bermain terbang-terbangan di tengah langit yang cerah.

Ini aneh. Langit di balik jendela terlihat cerah. Padahal beberapa detik yang lalu baru saja hujan lebat.

"Ini dunia peri, Bibi," balas Poka dari kejauhan. Mata kecilnya menatap tajam ke arahku. Tatapan yang sangat dingin. Dia tersenyum sinis, "Tidak aneh kan bila cuaca tiba-tiba cerah."

"Ah, Poka! Kau membaca pikiran Bibi lagi," sahut Pika tidak senang, "Kau akan membuat Bibi takut."

"Bibi lebih baik takut," balas Poka kembali menggambar.

Sikap Poka membuatku ragu. Apakah ini hanya mimpi? Atau aku sedang diculik oleh peri hutan? Apakah anak-anak ini punya kemampuan yang berbahaya, yang mungkin dapat mencelakakanku?

Aku takut.

Tidak! Aku tidak seharusnya takut. Mereka adalah anak-anak baik. Aku hanya perlu memastikan hal itu.

Aku berusaha tersenyum. Walau Poka bisa membaca pikiranku, setidaknya dia belum mengatakan apa-apa. Membiarkan Pika bermain dengan lugunya.

"Hujannya sudah reda ya?" ujarku melihat keluar jendela, "Kalau begitu Bibi harus bergegas pulang."

"Bibi jangan pulang," sahut Pika menarik tanganku, "Pika masih ingin bermain bersama Bibi."

"Maaf Pika, tapi Paman Wally menunggu Bibi," jawabku mengelus lembut kepala Pika. Sekali lagi, Poka memandang tajam ke arahku dari kejauhan. Membuatku merinding.

"Tidak! Pika senang bersama Bibi! Pika tidak ingin Bibi pulang!" Pika menggengam erat-erat pergelangan tanganku.

"Maaf Pika," ungkapku sembari melepaskan genggaman Pika. Seberapa erat pun Pika menggenggam, tenaganya hanya sebatas anak perempuan biasa. Aku bisa melepaskannya secara perlahan.

Namun Pika tidak menyerah. Dia terus melompat dan menarik bajuku, "Jangan pergi Bibi. Lupakan Paman Wally. Tinggalah bersama Pika dan Poka."

Seketika mainan-mainan yang berserakan mulai berterbangan, mengelilingiku. Menghalangi jalan keluar. Aku terkejut, takut, aku tidak menyangka Pika benar-benar bisa menerbangkan mainannya.

"Lihat Bibi," ujar Pika memeluk tanganku, tersenyum licik, "Mereka semua ingin bermain bersama Bibi!"

Aku panik, tubuhku dikelilingi benda-benda terbang bagaikan serangan lebah. Aku maju menerjang, mendorong, berusaha meloloskan diri dari Pika. Kupukul dan kuhancurkan mainan kecil yang ada di depanku. Mainan itu rapuh, namun cukup keras untuk melukaiku.

"Bibi mau kemana?" ungkap Pika kembali melompat, menangkap pergelangan tanganku, "Ayo bermain bersama Pika."

Aku berusaha mendorong tubuhku mendekati pintu keluar, mencoba pergi menuruni tangga. Namun ketika aku memandang ke bawah, tangga itu sudah tertidur lemas di bawah pohon.

"Hahahaha," tawa Pika bergema di sel dinding kayu, "Bibi tidak akan bisa turun tanpa tangga!"

Aku cemas, panik, mainan-mainan terbang itu semakin dekat, menempel padaku, berusaha membekukku. Poka hanya menatap tajam ke arahku, dan Pika menari gembira diantara mainannya, sebuah tarian kemenangan.

Wally, selamatkan aku.

Mainan itu merekat erat di tubuhku, kali ini aku tidak bisa menggerakan ujung jariku sedikitpun.

Kumohon datanglah, Wally.

"PAMAN WALLY SUDAH MATI!" bentak Poka. Pika memandang Poka, kebingungan. Mainan-mainan yang berterbangan itu jatuh ke bawah secara bersamaan, tergeletak lemas.

"Poka sangat marah," bisik Pika dengan tubuh yang bergetar ketakutan, "Poka memang pemarah. Tapi ini pertama kalinya Pika melihat Poka begitu marah."

"POKA HARUS MARAH!" Jerit Poka meledak-ledak, "Bibi tidak ingin berpikir Paman Wally sudah mati. Poka tidak tahan. Poka tidak tahan mendengar suara hati Bibi setiap memikirkan paman Wally."

Aku diam terpaku, tidak percaya dengan apa yang dikatakan Poka.

"Bibi egois," ungkap Poka, mata kecilnya mulai basah, "Bibi pembohong," suara Poka bergetar, hujan itu kini mengalir deras di pipi lembutnya, "Bibi membohongi Pika, Bibi membohongi Poka, Bibi membohongi diri Bibi sendiri."

Pika segera berlari, melompat dan memeluk Poka. Menangis bersama Poka.

Saat itulah pandanganku mulai terurai. Mengembun oleh air mata. Aku melangkah mendekati kedua anak itu, memeluk erat dengan kedua lengan lebarku. Tubuh-tubuh kecil itu begitu hangat.

Sekarang aku sadar. Mereka masih memiliki hati manusia. Hati kecil nan lembut. Poka pasti muak melihat isi hatiku yang menjijikan. Dia masih terlalu muda untuk itu.

"Maafkan Bibi, Poka. Maafkan Bibi, Pika. Bibi akan tinggal di sini sebentar. Bibi ingin bercerita tentang Paman Wally. Cerita ini tidak seburuk apa yang Poka pikirkan."

Kita mulai ya ...

------------

"Selamat hari Valentine!" ungkapku sembari menyodorkan coklat berbungkus cantik pada seorang pemuda.

Pemuda itu segera mengambil hadiahnya. Namun dia tampak kebingungan.

"Kau tidak mengharapkan jawaban dariku kan, Ellie?" tanyanya curiga.

"Kita sudah terlalu lama bertunangan, Wally," ujarku kesal, "Aku sudah menunggu terlalu lama. Jadi aku hanya memberimu waktu satu bulan!"

"Satu bulan?" tanya Wally masih tidak percaya.

"Coklat itu adalah surat ancaman dariku. Jika kau tidak memberikan jawabanmu setelah satu bulan, lupakan saja soal pernikahan kita."

"Tapi, Ellie, aku belum punya cukup uang untuk menikah denganmu. Tunggulah beberapa tahun lagi, aku yakin aku bisa menjadi pelukis terkenal."

"Hah!?" balasku tidak percaya, "Kau masih ingin menjual lukisan jelekmu itu?"

"Lukisanku tidak jelek. Kaulah yang tidak mengerti. Lihat saja, lukisanku akan membuatmu terkejut!"

"Ya, ya, ya. Akan kutunggu lukisan luar biasamu itu, tuan pelukis terkenal. Tapi hanya satu bulan, mengerti!?"

Aku memalingkan wajahku, melangkah pergi meninggalkannya yang masih menunduk kebingungan.

Beberapa hari kemudian kami memutuskan untuk berkencan, menonton bioskop, makan malam bersama. Namun dia tampak sedang memikirkan hal lain sembari memperhatikanku. Tangannya mulai mengukur, kemudian membentuk persegi seolah terdapat bingkai dengan wajahku di dalamnya. Wajah yang sedang sibuk melahap makanan.

"Jika aku bisa membeli kamera," ungkapnya, "Aku pasti sudah memotretmu sekarang."

"Kau ingin memotret wajah tunanganmu dengan mulut yang penuh makanan?" tanyaku kesal.

"Hahaha," balasnya tertawa, "Tenang saja. Aku tidak butuh kamera. Wajahmu selalu muncul di benakku."

"Jika kau ingin merayu, biarkan aku menghabiskan makananku dulu," ujarku menggerutu.

Beberapa minggu kemudian aku tidak mendengar kabar darinya. Dia bilang dia ingin mengurung diri di ruangannya. Dia ingin melukis. Sikapnya aneh, dan tentu saja membuatku sangat khawatir.

Aku memaksa masuk ke rumahnya, ke ruang kerjanya. Disana aku melihat kanvas-kanvas rusak yang bertebaran. Dia tampak sedang melukis wajah seseorang, namun kemudian membuangnya dan mulai melukis di kanvas baru lagi. Kantung matanya menghitam, dia melihatku dan menyapa, "Maaf, Ellie. Lebih baik kau tidak menggangguku sekarang. Waktuku semakin menipis."

"Apa maksudmu, Wally?"

"Kau benar, lukisanku sangat buruk. Aku tidak bisa melukis wajah manismu dengan sempurna."

Sesaat Wally jatuh pingsan. Aku pun panik, tanpa menunggu lebih lama lagi aku segera memanggil ambulan. Melarikan Wally ke rumah sakit.

Aku berbicara dengan dokter, menanyakan kondisinya. Dan saat itulah aku sadar, Wally mengidap penyakit yang berbahaya. Umurnya tinggal menghitung hari. Wally terlambat menyadarinya, dia sudah bertunangan denganku. Dan dia tidak ingin kekasihnya memiliki suami orang mati. Karena itulah dia menunda pernikahan kami. Dia tidak tahu bagaimana dia harus menjelaskan situasinya ini.

Aku kesal, Aku tidak menyangka dia memandang cintaku sedangkal itu. Kupikir aku akan bersamanya, walau maut memisahkan kita. Namun hanya karena sebuah penyakit bodoh, dia tidak ingin menikahiku lagi.

"Kau pembohong," ungkapku terisak di sisi kasur rumah sakit tempat dia beristirahat.

Wally membuka matanya, memandangku, dan berkata, "Ellie, maukah kau mengabulkan satu permintaan terakhirku?"

"Apa yang kau inginkan?!" seruku kesal.

"Bawakan alat lukisku kemari. Lukisan ini akan menjadi lukisan terakhirku."

Aku pun pergi, kembali, dan melemparkan peralatan lukis itu ke wajah Wally.

"Melukislah sesukamu!" seruku marah, "Kau lebih peduli pada lukisan jelekmu dibanding pernikahan kita."

Aku pun pergi meninggalkan Wally, tidak menoleh sedikit pun. Aku sangat membencinya, aku tidak ingin melihatnya lagi.

Sejak saat itu, aku tidak pernah kembali ke rumah sakit. Aku tidak pernah menemuinya lagi. Aku tidak pernah mendengarkan rayuan bodohnya lagi.

Beberapa minggu kemudian, aku mendengar kabar tentang kepergian Wally.

Ya, dia sudah mati.

Kami bahkan belum menikah.

-----------

"Bagaimana dengan jawaban Paman Wally?" tanya Pika masih penasaran, "Bibi memberinya waktu satu bulan kan?"

"Paman Wally sudah tiada, Pika," jawabku lembut, "Itu artinya dia tidak bisa menjawab. Dia tidak bisa bergerak. Tidak bisa berbicara. Tidak bisa membuka matanya. Tidak bisa menemui Bibi lagi."

"Tapi dia belum terlambat kan," sela Poka tersenyum.

"Bibi memberinya coklat di hari Valentine. Di tanggal 14. Apa kalian bisa menghitung tanggal?"

"Pika bisa," seru Pika bersemangat, "Pika tahu hari ini tanggal berapa! Tanggal satu tiga!"

"Tanggal tiga belas," jawab Poka mengoreksi.

"Benarkah, Poka?" tanyaku belum yakin.

"Waktu di dunia Peri sama dengan waktu di dunia manusia. Bibi harus segera kembali," ungkap Poka, "Bibi tidak ingin melewatkan jawaban Paman Wally."

"TIDAK!" seru Pika menjerit, "Bibi tidak boleh kembali. Bibi tinggal saja di sini bersama Pika dan Poka."

"Kau tidak bisa memaksa Bibi, Pika," balas Poka, "Bibi sendiri lah yang harus memutuskan ingin tinggal di sini atau tidak."

Pika menundukan kepala, wajahnya sedih. Aku mengelus lembut kepala Pika, "Maaf Pika, tapi Bibi harus pulang. Bibi harus menemui paman Wally untuk terakhir kalinya."

"Bibi bilang Paman Wally sudah tidak bisa menemui Bibi lagi!" Sahut Pika kesal, "Jangan kembali ke sana, Bibi. Apapun jawaban Paman Wally, Bibi akan kesepian. Pika janji tidak akan membuat Bibi kesepian di sini."

Poka menepuk pundak Pika, berusaha menghiburnya, "Poka juga senang bersama Bibi. Tapi Bibi sudah memutuskan untuk pulang, tolong lepaskan Bibi, Pika."

Pika tampak ragu, menatapku beberapa saat, sebuah tatapan penuh simpati dari hati kecilnya. Seolah dia berusaha merasakan kesedihanku dan memahami keinginanku. Diambilnya mainan mobil yang tergeletak di lantai.

"Tuan mobil, tunjukan jalan pulang untuk Bibi!"

Seketika terdengar suara ketukan kayu. Aku menoleh ke pintu keluar yang terbuka lebar, tangga turun itu telah kembali bersandar. Pika dan Poka segera berlari menuruni tangga.

"Ayo ikut kami, Bibi! Akan kami tunjukan jalan pulangnya."

Aku berusaha mengejar Pika dan Poka. Mereka melesat keluar dari hutan, masuk ke dalam rumah. Kali ini rumah di tengah kota. Pintu rumah itu terbuka lebar, tidak berpenghuni. Pika dan Poka menuntunku pada sebuah kamar, pada sebuah tempat tidur kecil. Langit semakin memudar, memancarkan gelapnya malam.

"Sudah malam," ucap Poka.

"Cepatlah tidur, Bibi," lanjut Pika.

Aku pun berbaring di tempat tidur, memandang mereka, tidak ingin menutup mata, "Sebenarnya, siapakah kalian?"

"Aku Poka, peri yang terlahir dari kenangan Paman Wally bersama Bibi."

"Dan aku Pika, peri yang terlahir dari kenangan Bibi bersama Paman Wally."

"Selamat pagi, Bibi!" Seru mereka berdua. Suara mereka bergema.

Saat itulah cahaya terang menembus jendela. Memudarkan wajah Pika dan Poka. Menggelitik kelopak mataku untuk benar-benar terbuka. Aku beranjak dari tempat tidurku. Meyakinkan diriku bahwa itu semua hanyalah mimpi. Kemudian aku teringat kembali pada Wally.

Tanpa menunggu lebih lama lagi, aku segera berlari keluar. Tanpa kendaraan, aku berlari. Menuju rumah Wally yang terletak puluhan blok dari rumahku.

Pintu rumah itu tidak terkunci, seolah Wally mempersilahkanku masuk. Rumah itu gelap dan tidak berpenghuni, membuatku harus melangkah perlahan. Sembari terengah-engah berkat lari marathonku. Menyalakan lampu yang belum dipadamkan. Aku memasuki ruang kerjanya. Memandang ke arah lukisan yang belum pernah kulihat.

Dalam lukisan itu, aku berdiri bersama Wally. Dia dan tuxedo mewahnya, juga aku bersama gaun pengantin yang indah. Jari manisku mengenakan cincin yang berkilau permata, mewarnai kemeriahan pesta pernikahan di atas panggung yang menawan.

Lukisan itu tidak memiliki tanda tangan, hal yang selalu dicantumkan oleh pelukis manapun. Namun di sisi bawah kanvas indah itu, tercantum sebuah kalimat yang dirangkai dengan elok.

Ellie, Will you marry me?

Continue Reading

You'll Also Like

6.1M 706K 53
FIKSI YA DIK! Davero Kalla Ardiaz, watak dinginnya seketika luluh saat melihat balita malang dan perempuan yang merawatnya. Reina Berish Daisy, perem...
15.5M 875K 28
- Devinisi jagain jodoh sendiri - "Gue kira jagain bocil biasa, eh ternyata jagain jodoh sendiri. Ternyata gini rasanya jagain jodoh sendiri, seru ju...