BREADCRUMB

By jennyannissa

572K 69.2K 7.6K

[sudah terbit] Pernahkah kau mendengar istilah bahu untuk bersandar? Seseorang yang dapat kau jadikan tempat... More

PENGUMUMAN PENERBITAN
SPECIAL ORDER BREADCRUMB!!!
P R A K A T A
PROLOG
| 1 | GADIS DI REUNI
| 3 | SANG MELANKOLIS
| 4 | MAKCOMBLANG?
| 5 | LARI DARI KENYATAAN
| 6 | EGOISME DAN HARGA DIRI
| 7 | KENAPA AKU?
| 8 | SAYAP PELINDUNG
| 9 | TERLALU MENCINTA
| 10 | MENDEKAP KEHILANGAN
| 11 | PUING-PUING HATI
| 12 | DI SINI; DI BAHUKU
| 13 | MEMILIH KAMU
| 14 | BUKAN SIAPA-SIAPA
| 15 | KENCAN?
| 16 | DEFINISI BAHAGIA
| 17 | SEBUAH PUNGGUNG
| 18 | GENERASI BERIKUTNYA
| 19 | JANGAN MAIN-MAIN
| 20 | JATUH CINTA (LAGI)
| 21 | KELENYAPAN
| 22 | KALI TERAKHIR
| 23 | BERJUANG BERSAMA
| 24 | KASMARAN
| 25 | EI?
| 26 | PUTIH ABU-ABU
| 27 | CUKUP DENGANMU
| 28 | TANYA TAK TERJAWAB
| 29 | TANYA TAK TERJAWAB (2)
| 30 | KADO TERINDAH
| 31 | ANTARA KAMU DAN DIA
| 32 | SANDIWARA
| 33 | RUANG DAN WAKTU
| 34 | MASIH ADA KAMU
| 35 | LELAKI DI REUNI
| 36 | HATI KE HATI
EPILOG
[DARI PENULIS] TERIMA KASIH

| 2 | SEKOTAK KEJUTAN

23.4K 1.9K 156
By jennyannissa


'And all the love I have is especially for you.' – MYMP, Especially For You



***


Avissa

SEBERAPA penting sebuah kejutan?

Aku tidak tahu persis jawabannya. Ketika ritme hidupku berjalan sesuai keinginan, tepat pada porsi bahagia menurutku, kejutan tidak kuletakkan di peringkat pertama. Aku tidak masalah tidak mendapat kejutan, tidak masalah dengan hari-hari bergerak statis, pun dengan keadaan membosankan. Tetapi, pada kasus berbeda, kadang-kadang aku membutuhkan kejutan. Sederhana saja, semisal dia berdiri di depan pintu ruang kerjaku, mengetuk, kemudian mengajak makan siang bersama.

Ya, aku tahu tak akan terwujud. Itu tak lebih dari menggapai harap pada langit-langit kosong. Tidak ada yang kudapat selain genggaman hampa. Aku tidak berarti apa-apa baginya.

Bicara tentang kehidupan statis, Senin pagiku kali ini dimulai dengan matahari bersembunyi malu di balik awan. Aku bangkit, bergegas menuju kamar mandi ketika menyadari waktuku terlewat lima menit dari jadwal biasanya.

Bisakah kusalahkan aroma terapi berbahan chamomile flower yang semalam kubiarkan mengisi atmosfer kamar? Oh, atau mungkin sepasang mataku yang tak bisa diajak bekerja sama? Atau, lebih tepatnya lagi, kehadirannya.

Mas Alpha kembali mengganggu. Dia memang kerap datang di malam hari; saat-saat di mana aku merasa sepi. Mengendap di dinding kamar, di langit-langit. Ke mana pun aku memandang, aku akan menemukannya. Wajah beserta luka yang dia torehkan. Kemudian, nyeri itu kembali datang. Membuat mataku nyalang, tak peduli purnama beranjak semakin tinggi.

Sebab itu kuputuskan menyalakan aroma terapi, hingga akhirnya jatuh terlelap.


***


WAJAHNYA kembali kulihat Juli lima tahun lalu di sebuah acara penyambutan yang diadakan keluarga besar Soedirja. Alpha Audric Ledwin akhirnya pulang ke Indonesia setelah berhasil menyelesaikan Master of Business Administration di University of Michigan.

Di mataku, seorang mahasiswi semester lima Department of Hotel Management, dia terlihat begitu luar biasa. Saking terpukaunya, aku hanya berdiri tanpa sedikit pun bisa melangkahkan kaki untuk mendekat. Sampai akhirnya, Aura—adiknya, yang juga merupakan sahabatku sejak SMA, menggeret laki-laki berambut gondrong itu menghampiriku. Kami berjabat tangan dan saling bertukar apa kabar.

Aku masih ingat betul, ketika kujawab aku anak sulung Diaz Sofjan, dia tertawa kecil. Aku tumbuh begitu cepat, katanya. Seolah melupakan fakta bahwa adiknya seusia denganku. Oh, bisa jadi juga karena kami sudah cukup lama tidak bertemu. Mas Alpha memang langsung terbang ke Michigan pascakelulusan SMA, dan tak pernah pulang sekalipun libur panjang. Kudengar, kalau rindu, Om Attar dan Tante Liv yang mengalah untuk mengunjungi laki-laki itu.

Setelah berbasa-basi ini dan itu, Mas Alpha menjauh sebab salah seorang anggota keluarga Soedirja memanggilnya. Aura tetap di sampingku, menggoda sepanjang malam. Mengatakan besar kemungkinan abangnya tertarik padaku. Saat itu aku hanya memutar bola mata, malas menanggapi. Padahal di dalam hatiku ada sesuatu yang tengah meledak-ledak tidak terkendali.

Berselang sebulan kemudian, Mas Alpha memintaku menjadi kekasihnya. Straight to the point, tanpa kalimat-kalimat tak penting. Aku mengangguk penuh minat; menyetujui permintaannya. Tidak peduli perbedaan usia di antara kami—empat tahun empat bulan. Usianya nyaris mendekati 24 tahun, sementara aku beberapa bulan lalu menginjak 19 tahun.

Semuanya berlangsung baik-baik saja. Kami mengisi hari-hari satu sama lain. Hingga akhirnya, satu tahun kemudian, di perayaan hari kelahiran Om Attar, aku nekat menyusulnya ke Malang. Siapa yang tahu malam itu adalah malam terakhirku berstatus sebagai kekasihnya. Tak peduli dengan pengakuanku, bahwa dia adalah laki-laki pertama sekaligus cinta pertamaku, Mas Alpha tetap mengakhiri hubungan kami.

Alasannya benar-benar di luar dugaanku. Katanya, visi dan misi kami tidak sejalan. Dia bahkan membawa-bawa perbedaan usia di antara kami. Demi Tuhan, apa hal itu tak pernah terlintas di benaknya saat memintaku menjadi kekasihnya?

Oh, dan satu lagi, Mas Alpha juga mengatakan tentang tipikal perempuan seperti apa aku ini. Seseorang yang membutuhkan bahu untuk berlindung. Dia tidak bisa menyediakan itu, sebab itu dia ingin kami berakhir.

Masalahnya, aku tidak peduli pada punggung atau apalah itu. Aku menginginkannya. Hanya dia. Tidak yang lain. Bahkan setelah hampir empat tahun berlalu, dia tak akan bisa tergantikan oleh siapa pun.


***


"PAGI."

Gerak kakiku berhenti. Tersenyum, "Pagi, Mbak."

"Gimana reuninya?"

Tidak langsung menjawab, ingatanku berputar pada acara yang berlangsung dua hari lalu. "Gitu-gitu aja. Memangnya mau gimana, Mbak?" balasku, diriingi kedikan bahu. "Yah, ngobrol—terutama tentang cerita-cerita zaman SMA, informasi; ada yang mau nikah tahun ini, tentang anaknya yang sudah bisa jalan, betapa menyenangkannya jadi istri, ini, itu. Ya... gitu, deh, Mbak. Standarnya reuni."

"Gitu?" Perempuan mengenakan blus kuning gading; rambut dicepol rapi, membalasku dengan nada kentara tidak percaya. "Raeza bilang acaranya seru."

"Ck, Mbak kayak nggak kenal Raeza, deh. Mbak, kan, tau adik Mbak itu memang doyan banget kumpul-kumpul begitu. Dia yang paling excited."

Mbak Linka tertawa begitu lepas. Kupandangi wajahnya sejenak. Mencoba mencari sesuatu yang biasanya dia sembunyikan di balik keceriaannya. Tetapi tidak, aku tidak menemukan. Perempuan yang telah menjadi sekretarisku selama setahun terakhir ini, tidak sedang berkamuflase.

"Avissa masuk dulu, ya, Mbak," pamitku, kemudian segera saja melanjutkan langkah menuju ruang kerjaku.

Ada banyak hal yang harus kuselesaikan hari ini, sekalipun tidak begitu yakin aku bisa melakukannya ketika otakku tidak bisa diajak bekerja sama. Selalu saja tenggelam dalam kenangan dan perasaan gelisah. Ah, andai saja Mas Alpha membalas pesanku. Mengatakan di antara kami masih baik-baik saja, aku yakin—

Euh, apa itu?

Mengabaikan harap di hati, aku beranjak tergesa menuju meja kerja. BreadCrumb? Keningku mengernyit, sementara tanganku bergerak untuk mencari tahu isi di balik kotak kuning bergaris merah vertikal sebagai motifnya. Red velvet cake?—dengan taburan stroberi segar menyerupai bunga mekar di atasnya.

Menutup kembali, kucari tahu nama sang pengirim. Tidak, tidak ada identitas apa pun yang kutemukan di kartu ucapan melekat di penutup kotak. Selain, rangkaian tulisan tangan begitu indah berbunyi, 'It's late, but still; Happy Birthday, Avissa Sofjan'.

Tak ingin membuang waktu, aku kembali melangkah ke luar setelah meletakkan handbag bersisian dengan kotak kue tersebut.

"Mbak," panggilku, mencoba mencuri perhatian Mbak Linka yang tengah fokus pada layar komputer. "Yang di meja itu... untuk Avissa?" lanjutku setelah sepasang netra perempuan itu tertuju padaku.

"Iya."

"Dari BreadCrumb?"

Mbak Linka mengangguk.

"Kok bisa? Euh, Avissa coba cari identitas pengirimnya, tapi nggak ada. Cuma ucapan happy birthday."

Lawan bicaraku terdiam sejenak. Seperti coba mengingat-ingat. "Isinya birthday cake?" Air wajah Mbak Linka tampak terkejut. "Tadi resepsionis di lobi cuma bilang ada titipan untuk kamu. Waktu Mbak tanya dari siapa, mereka bilang kurir BreadCrumb. Begitu aja."

Keningku sukses mengernyit semakin dalam. "Kok BC bisa tau hari ulang tahun Avissa, ya, Mbak?"

"Mmm..., kamu jadi member di toko roti itu?"

Aku menepuk jidatku pelan. Ck, mengapa aku bisa sampai lupa? Kalau ingatanku tidak salah, September tahun lalu aku bergabung menjadi anggota Be-Cum's. Toko roti tersebut memberi potongan 10% untuk setiap item jika memiliki kartu anggota. Tanpa pikir panjang, aku setuju. Selain karena keuntungan tadi, pun aku memang sering mampir ke sana—entah membeli untuk diriku sendiri, atau titipan dari abang-abang sepupuku.

"Diminta KTP nggak waktu itu?" Mbak Linka mengembalikanku dari ingatan.

"Euh..., ya...."

"Nah." Perempuan itu tersenyum lebar. "Alasan paling masuk akalnya, data kamu yang buat mereka tau hari ulang tahun kamu. Oh iya, tadi Raeza cerita ke Mbak, katanya malam di reuni kemarin ada Audra."

Aku tidak bisa menahan decakan ketika mendengar nama laki-laki satu itu. Alih-alih melanjutkan rasa penasaranku pada sekotak kejutan di meja kerjaku, aku lebih tertarik membahas General Manager Mirz Hotel yang telah sedikit mengacaukan Sabtu malamku.

"Dia cuma butuh kesempatan," respons Mbak Linka usai mendengarkan ceritaku perihal kelakuan Audra malam itu. Betapa terganggunya aku karena kehadiran laki-laki itu membuat teman-temanku mengira Audra adalah kekasihku.

"Kesempatan? Dih, ogah ya, Mbak." Tubuhku bergidik. "Audra buat Avissa sakit kepala karena terlalu banyak bicara. Nggak kebayang gimana kalau jadi pacarnya. Yang ada, Avissa pingsan setiap kali sama dia."

Mbak Linka terpingkal-pingkal. "Mbak yakin, deh, sebentar lagi pasti ada telepon ajakan lunch bareng. Kamu mau Mbak jawab 'iya' kali ini?"

Aku menggeleng tegas. "Big no!"

Lagi-lagi Mbak Linka terkekeh. "Jadi...?" tanyanya dengan seraut wajah menggoda.

Menghela napas, "Kalau hari ini ada telepon lagi dari dia—atau dari Mirz Hotel, bilang aja Avissa sibuk. Terserah Mbak alasan persisnya karena apa. Oke, Mbak?"

Tanpa memedulikan respons Mbak Linka—yang masih terlalu sibuk dengan gelakaknya, aku melangkah memasuki ruanganku. Sebelum menduduki kursi kebesaran, sekali lagi netraku terpusat pada kotak berukuran sedang di atas meja kerja. Mungkin Mbak Linka benar, BreadCrumb mengetahui hari ulang tahunku dari data yang kuberikan melalui tanda pengenalku.

Pertanyaannya, jika memang mereka ingin mengucapkan 'selamat ulang tahun' pada pelanggan tetap sepertiku, kenapa baru sekarang?—setelah empat hari berlalu.

Tidakkah ini... aneh?


***


Ian

"PACARNYA Ei."

Gue baru saja kembali dari toilet.

Setelah melihat Ei, bertatapan sekian jenak, hingga akhirnya dia menyudahi kontak mata lebih dulu, gue memutuskan untuk tetap pada rencana awal. Gue nggak ingin teman-teman menaruh curiga sebab gue batal hanya karena kedatangan Ei. Sekalipun begitu, gue nggak menghabiskan banyak waktu. Hanya mencuci tangan di wastafel, kemudian buru-buru keluar, kembali menduduki kursi di sebelah Omar. Bedanya, Vanilla sudah nggak ada. Cewek itu bergabung di kumpulan para hawa.

"Huh?"

"Itu," Omar berbisik. Dagunya mengarah pada satu-satunya cowok di lingkaran cewek-cewek. "Pacar Ei."

Mata gue menyipit, mencoba mengenali sosok yang dimaksud. Cowok bertubuh tinggi cenderung kurus, kulit khas petualang, mengenakan kaus abu-abu di balik jaket kulit hitam. Siapa dia? Maksud gue, Omar memang mengatakan cowok itu kekasih Ei, tetapi kenapa gesture Ei terlihat kurang nyaman duduk di sebelahnya? Senyum gadis itu kentara dipaksakan.

"Mau tau pendapat gue?" Omar bersuara lagi. "Gue nggak kaget kalau modelan begitu jadi pacarnya Avissa. Lo tau sendirilah, cewek kayak Avissa, mah, gampang dapatin yang sekelas dengan dia. Sekali jentikin jari juga, banyak yang antre bertekuk lutut."

Gue diam. Netra gue nggak lepas menyelia kekasih Ei. Apa gue juga perlu menyuarakan pendapat?

Baiklah, gue setuju dengan Omar. Mereka sekelas. Walau enggan mengakui, gue nggak bisa memungkiri bahwa Ei dan cowok itu terlihat serasi. Jenis pasangan yang akan membuat orang-orang berhenti sejenak kala bersitatap. Tetapi, entah kenapa gue nggak sebegitu yakin Ei menyukai cowok itu. Nggak tahu, tapi gue nggak melihat pandangan penuh cinta di bola mata Ei. Cewek itu bahkan masa bodoh saat Vanilla dan cewek-cewek lain menggoda dengan melempar pertanyaan beruntun pada kekasihnya.

Jadi, pendapat gue adalah, gue nggak peduli. Cowok itu benar kekasih Ei atau bukan, gue akan tetap memuja gadis itu. Memperhatikannya diam-diam. Syukur-syukur kalau suatu saat dia beralih ke gue, dan meninggalkan cowok itu. Oh, bukan, bukan begitu. Ei memang harus beralih ke gue.

"Avissa lihatin lo," Omar berucap dengan nada pelan, membuat gue memusatkan pandangan pada satu titik. Ei. "Senyum, Yan. Senyum."

Inginnya tersenyum ear-to-ear, tapi gue tahu itu akan terlihat menakutkan. Ei bisa ambil langkah seribu. Alhasil, gue hanya mengangkat sedikit sudut-sudut bibir. Jenis senyum yang biasa gue umbar pada rekan bisnis. Senyum profesional.

Tidak ada balasan, Ei melengos begitu saja. Gue jadi ragu sendiri. Jangan-jangan Omar berbohong! Tapi nggak, gue lihat Ei benar-benar memandang gue. Nggak lama memang.

Dan, malam itu berlangsung begitu saja. Diam-diam gue terus mengamatinya dari jauh, sementara Ei nggak sedikit pun tertarik menatap ke arah gue. Teman-teman gue? Nggak ada satu orang pun yang berani menggoda kami. Memanggil dia dengan panggilan 'Ei'. Kemungkinannya hanya satu, mereka menghargai kehadiran cowok itu—kekasih Ei.

Atau bisa juga, gue memang dianggap nggak lebih layak dibanding cowok itu.


***


"ABANG!"

Pekikan tepat di depan cuping telinga dan rangkulan di lengan kanan, membuat tubuh gue tersentak. Menundukkan pandangan, gue menemukan pelakunya. Ivana Renata—Manajer Keuangan BreadCrumb. "Apa?" Gue mendelik sebal.

"Melamun aja! Gue bicara capek-capek, pasti nggak dengar, kan?" tuduhnya dengan bibir mengerucut.

Gue pengin banget ketawa melihat kelakuan Renata, tetapi saat menyadari keberadaan Kelana Handoko—sahabat sekaligus Manajer Teknis BreadCrumb, berdiri dua meter dari kami dengan kedua tangan bersembunyi di saku jeans, gue malah mengarahkan pandangan padanya. Mata sipit cowok itu nyaris hilang kala dia tertawa. Eh? Nggak salah? Gue pikir dia akan mengamuk sebab cewek di sebelah gue nggak berhenti bergelayut di lengan gue.

"Hush, sana! Nggak takut Kelana marah?" bisik gue.

Renata terkikik. "Apaan, deh, Bang." Dengan nggak tahu diri, cewek itu menimpuk lengan gue, lantas mengambil satu langkah menjauh. "Ken nggak mungkin marah. Ya kan, Ken? Dia—kami, justru khawatir. Abang diajak bicara malah melamun. Takutnya lupa jalan balik ke BC."

Gue nggak menjawab. Renata nggak berbohong, gue akui gue memang sibuk mengingat kejadian dua hari lalu—reuni XII IPA 1 Labsky, selepas kami keluar dari warung bubur ayam, tapi gue juga nggak bisa membenarkan ucapannya. Mana mungkin gue lupa jalan pulang. Warung tempat kami sarapan hanya berjarak beberapa ruko dari BreadCrumb. Semelamun-melamunnya gue, langkah gue pasti refleks tertuju ke tempat di mana seharusnya gue kembali.

Seperti Ei.... Sejauh apa pun gue melangkah, berkeliling dari satu cewek ke cewek lain, rasanya masih selalu ada alasan untuk pulang ke dia.

"Nah, kan." Renata mendengus di sebelah gue.

"Apa?" kata gue, bingung sendiri.

"Nggak jadi. Lupain aja, Bang."

"Ck. Apa, sih, Re?"

"Tata." Masih berdiri di tempatnya, Kelana memanggil. "Sini. Kamu, tuh, kerjaannya suka banget ganggu Ian."

Renata mencebik. Sekalipun kakinya mengentak, cewek itu tetap beranjak menuju Kelana. "Aku nggak gangguin Bang Ian, kok," katanya dengan nada manja seperti biasa. "Ah..., aku tau. Kamu cemburu, kan?" Telunjuk Renata menuding Kelana tepat di depan hidung. "Ngaku, deh."

Kelana menggeleng, tetapi kemudian merangkulkan lengannya di bahu Renata. "Kamu ini...." Dengan nggak memedulikan keberadaan gue—sang penonton, Kelana mencium sisi kepala gadisnya.

Praktis, gue mendengus.

Sudah nggak terhitung gue menyaksikan pemandangan seperti itu. Ah, memangnya apa yang gue harapkan ketika dua rekan kerja gue jatuh cinta satu sama lain?

"Ken! Re! Tunggu," teriak gue saat tersadar keduanya meninggalkan gue terpaku di pinggir jalan sendirian.

Ck, sepertinya gue memang harus mencari pasangan.


***


"KENAPA, sih, Bang, nggak bisa diam banget dari tadi?"

Teguran Renata otomatis membuat gue berhenti mondar-mandir di depan meja. Sejurus, gue tatap cewek yang balas memandang gue dengan kening mengerut serta air wajah terganggu.

"Ganggu, ya?" Alih-alih meminta maaf, gue malah memastikan.

"Menurut Abang aja gimana." Renata kembali menunduk pada sebuah berkas yang terbuka lebar di atas meja kerjanya. "Abang memang nggak bersuara, tapi bayangan Abang kayak setrikaan itu buat gue nggak fokus sama laporan keuangan ini," lanjut cewek itu sembari menggoyangkan pulpen di tangan kanan. Memukul ringan dahinya.

Sebagai informasi, BreadCrumb—toko roti milik gue yang telah berdiri hampir tiga tahun, hanya memiliki dua lantai. Lantai dasar sudah jelas kegunaannya. Proses jual beli berlangsung di sana. Kemudian lantai atas, di sebuah ruangan yang nggak begitu luas namun juga nggak begitu sempit, difungsikan untuk ruang kerja. Karena nggak memiliki sekat, kami—gue, Kelana dan Renata—sepakat bekerja di satu ruangan.

Meja gue berukuran paling besar, sebab gue owner-nya, sedangkan meja Renata dan Kelana kurang dari satu meter di depan gue dengan posisi berhadapan. Ini memudahkan kami jika ingin bertukar pendapat atau mengadakan rapat kecil-kecilan. Di ruangan ini juga terdapat sebuah kamar kecil—yang hanya digunakan oleh kami bertiga, untuk karyawan di lantai dasar.

Sebenarnya, ada satu ruangan lagi, tapi karena beberapa pertimbangan, ruangan itu kami khususkan untuk gudang penyimpanan bahan makanan. Kemudian, tepat di depan dua ruang bersisian tersebut, seperangkat sofa kulit menghadap balkon kecil difungsikan untuk menerima tamu—terutama yang ingin bekerja sama dengan BreadCrumb.

"Sori," kata gue, ketika menyadari Renata menunggu. "Kelana mana?" Gue baru sadar cowok itu nggak ada di mejanya.

"Tuh! Makanya fokus, Bang. Ken, kan, tadi izin mau jemput calon istrinya."

Gue terdiam. Jujur saja, gue nggak tega mendengar ucapan Renata dan ingin menasehatinya. Hubungan dua rekan kerja gue itu, bukan hubungan yang sehat. Mereka saling mencintai, memang, tetapi Renata juga tahu Kelana akan segera dimiliki orang lain. Seharusnya mereka berhenti. Tapi bisa apa gue ketika yang bersangkutan nggak mempermasalahkan?

"Ei ya, Bang?"

Menghentikan segala pertimbangan di kepala, gue meralat kata yang Renata gunakan. "Avissa," tekan gue. Ini bedanya. Jika saat dengan teman-teman SMA gue nggak bisa meminta mereka berhenti memanggil Ei dengan 'Ei', kalau di BreadCrumb gue rajanya.

"Iya... Avissa...." Renata mendengus. "Sabar kali, Bang. Kalau memang ada, pasti langsung gue informasikan ke Abang. Kan Abang tau sendiri kita sudah turn on post notifications di akun Instagram Avissa. Jadi kalaupun dia nggak tag akun BreadCrumb, laporan dia post foto baru pasti kita terima. Gue juga sudah cek Twitter dan Facebook, tapi belum ada juga."

Gue memijit pelipis. Apa Ei nggak suka, ya? Kenapa nggak ada ucapan terima kasih sampai siang begini? Nggak, nggak, bukannya gue gila terima kasih, tapi gue cuma pengin tahu dia suka atau nggak dengan kejutan dari gue.

"Red velvet-nya sampai, kan, Re?"

Bola mata Renata berputar sebal. "Sampai.... Abang, kan, dengar Anto bilang pagi tadi resepsionis Sofjan Hotel yang terima. Pasti disampaikan ke Avissa. Yakin, deh. Kan nggak mungkin mereka berani makan titipan untuk bos."

[].



Ada yang penasaran dengan waktu di cerita ini?

Untuk yang pernah baca "Treat You Better", Bab 1 "BreadCrumb" tepat satu minggu sebelum Alpha dan Pamela bertemu di Jogja [bab terakhir "Treat You Better"]. Kalau Bab 2 ini? Kejadiannya dua hari setelah reuni, jadi coba dihitung sendiri, ya.

Ah ya, ada yang rindu Aura? Fyi, bab depan dia dan tingkah di luar nalarnya akan hadir untuk kalian.

~ J



P.S. Kalau ada yang mau kenalan sama saya di luar Wattpad, boleh mampir ke Twitter saya: [at]jennyannissa_ dan Instagram saya: [at]jennyannissa.

Continue Reading

You'll Also Like

1.5M 135K 48
Kehidupan Dinar Tjakra Wirawan berubah, setelah Ayah dan kakak laki-lakinya meninggal. Impiannya yang ingin menjadi seorang News anchor harus kandas...
2.5M 37.5K 50
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
513K 2.9K 24
Warning ⚠️ 18+ gak suka gak usah baca jangan salpak gxg! Mature! Masturbasi! Gak usah report! Awas buat basah dan ketagihan.
3.6M 38.3K 32
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) [MASIH ON GOING] [HATI-HATI MEMILIH BACAAN] [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan satu kecac...