BREADCRUMB

Galing kay jennyannissa

572K 69.2K 7.6K

[sudah terbit] Pernahkah kau mendengar istilah bahu untuk bersandar? Seseorang yang dapat kau jadikan tempat... Higit pa

PENGUMUMAN PENERBITAN
SPECIAL ORDER BREADCRUMB!!!
P R A K A T A
PROLOG
| 2 | SEKOTAK KEJUTAN
| 3 | SANG MELANKOLIS
| 4 | MAKCOMBLANG?
| 5 | LARI DARI KENYATAAN
| 6 | EGOISME DAN HARGA DIRI
| 7 | KENAPA AKU?
| 8 | SAYAP PELINDUNG
| 9 | TERLALU MENCINTA
| 10 | MENDEKAP KEHILANGAN
| 11 | PUING-PUING HATI
| 12 | DI SINI; DI BAHUKU
| 13 | MEMILIH KAMU
| 14 | BUKAN SIAPA-SIAPA
| 15 | KENCAN?
| 16 | DEFINISI BAHAGIA
| 17 | SEBUAH PUNGGUNG
| 18 | GENERASI BERIKUTNYA
| 19 | JANGAN MAIN-MAIN
| 20 | JATUH CINTA (LAGI)
| 21 | KELENYAPAN
| 22 | KALI TERAKHIR
| 23 | BERJUANG BERSAMA
| 24 | KASMARAN
| 25 | EI?
| 26 | PUTIH ABU-ABU
| 27 | CUKUP DENGANMU
| 28 | TANYA TAK TERJAWAB
| 29 | TANYA TAK TERJAWAB (2)
| 30 | KADO TERINDAH
| 31 | ANTARA KAMU DAN DIA
| 32 | SANDIWARA
| 33 | RUANG DAN WAKTU
| 34 | MASIH ADA KAMU
| 35 | LELAKI DI REUNI
| 36 | HATI KE HATI
EPILOG
[DARI PENULIS] TERIMA KASIH

| 1 | GADIS DI REUNI

38.3K 2.6K 142
Galing kay jennyannissa


'Dari mata kau buatku jatuh. Jatuh terus, jatuh ke hati.' – Jaz, Dari Mata



***


Ian

LANGIT mendung menggantung. Gue kembali bimbang. Apa sebaiknya gue nggak pergi?

Terjebak hujan di malam hari jauh lebih nyaman dilalui di dalam kamar, di balik selimut, dengan penerangan terbatas; mungkin datang dari televisi yang menyala tanpa suara. Itu jelas terdengar lebih menggiurkan dibanding duduk di kedai kopi sembari memandangi tetes-tetes hujan dari balik jendela tanpa tahu kapan bisa mengakhiri percakapan membosankan. Yah, senggaknya pilihan pertama membuat gue bisa mengistirahatkan tubuh, dan esoknya bangun dalam keadaan fit.

Terlebih, gue masih belum bisa memastikan apa malam ini dia akan datang atau nggak. Walaupun kalau diminta menebak, gue lebih pada yang kedua. Cewek sibuk seperti dia pasti punya segudang jadwal penting daripada harus menghadiri acara rutin yang diagendakan XII IPA 1 Labsky ini. Jangan lupakan kealpaannya pada penghujung tahun lalu. Ya, gue tahu dia mungkin saja nggak bisa datang sebab agendanya mendadak, tapi gimana dengan reuni beberapa bulan sebelumnya? Batang hidungnya juga nggak terlihat hari itu.

Tapi..., tunggu! Gimana kalau malam ini dia datang? Bisa saja dia merasa nggak enak dua kali absen. Nggak, gue nggak akan menyia-nyiakan kesempatan. Gue bisa mendapatkan istirahat tenang di malam-malam berikutnya, gue yakin. Tapi, berada di satu ruangan dengannya—dua sampai tiga jam, itu kesempatan.... Apa yang lebih tepat selain 'langka'?


***


"JADI pergi?"

Gue mengangguk. Masih dengan sayup-sayup suara radio, gue mengendarai Jeep Wrangler pemberian Ayah menuju sebuah kedai kopi di daerah Kemang. Butuh sekitar 30 menit lagi untuk tiba di sana. Andai aja gue bergabung di kepanitiaan, gue pasti akan mengusulkan tempat reuni yang nggak jauh dari rumah. Belum apa-apa, gue sudah pegal sendiri.

"Abang?"

Suara berasal dari wireless earphone di telinga kiri menyadarkan gue bahwa si penelepon nggak akan melihat gerakan kepala gue sebagai jawaban dari pertanyaannya. Berdeham, "Maaf, Ma. Kenapa tadi?"

Bukannya langsung menjawab, wanita di seberang sana—yang nggak lain adalah ibu gue, tertawa kecil. "Kenapa jadi berubah pikiran?"

Apa boleh gue jawab karena masih ada setitik harap di tengah kebimbangan? Bahwa sekalipun gue belum tahu apa kami akan bertemu atau nggak, gue masih membayang-bayangkan wajahnya, duduk nggak jauh darinya, mendengar suaranya; tawanya, memuaskan rasa rindu gue?

Namun, alih-alih menyuarakan isi hati, gue malah menjawab diplomatis, "Di rumah nggak ada kerjaan juga, Ma. Jadi Abang pikir lebih baik ikut reuni aja sama anak-anak."

Mama lagi-lagi tertawa. Gue tahu, sepintar apa pun gue bersilat lidah, gue nggak akan bisa mengelabui wanita satu itu. Mama dan radarnya yang kencang. Apa semua ibu di muka bumi seperti Mama? Tahu kapan anaknya berkata jujur atau sebaliknya.

"Kamu dicari adik-adik, Bang."

Nah, kan! Kalau sudah pengalihan pembicaraan seperti ini, biasanya karena Mama tahu gue kurang nyaman membicarakan sesuatu yang sebelumnya jadi topik utama. Iya, Mama memang seperti itu. Bukannya memaksa untuk berkata jujur, Mama lebih memilih membuat gue kembali nyaman. Nanti kalau waktunya sudah tiba, gue sendiri yang akan memaparkan kebenaran yang gue tutupi.

"Pada kangen?" Gue tertawa renyah. "Dua minggu lalu, kan, Abang pulang, Ma."

"Iya.... Dan seharusnya jadwal pulang berikutnya hari ini, kan?"

Sebelah telinga gue—yang bebas—menangkap sayup alunan lagu yang terdengar nggak asing. Tangan kiri terulur untuk menaikkan volume, namun masih dalam batas wajar sehingga nggak mengganggu pembicaraan, gue memberi jawaban pada Mama, "Abang sudah kirim pesan, kok, di grup LINE."

"Dibalas nggak?"

Gue meringis. "Nggak."

Adik-adik gue memang sekejam itu. Heran. Jika dilihat dari usia, mereka bukan lagi anak-anak. El hanya setahun lebih muda dari gue, Arjuna selisih delapan tahun, sementara si bungsu—Amara—sepuluh tahun di bawah gue. Tapi kalau sudah perihal gue batal pulang ke Bandung, mereka pasti kompak mendiamkan. Satu pun nggak ada yang ingin membalas chat gue. Entah yang gue kirim ke grup atau personal.

"Mama nggak keberatan menyampaikan maafnya Abang ke mereka, tapi kalau Abang minta maaf aja nggak dihiraukan, sepertinya yang dari Mama pun hasilnya sama."

Gue tersenyum tipis. Terbayang di benak gue satu per satu wajah anggota keluarga. Mama, Ayah, dan ketiga adik gue. Kalau orang lain merasa nggak nyaman dengan perhatian berlebih ini, gue malah sebaliknya. Merajuknya mereka membuat gue semakin menyadari betapa pentingnya gue untuk El, Arjuna dan Amara.

"Apa Abang pulang besok, ya, Ma? Subuh. Sekiranya sampai Bandung pukul delapan atau sembilan."

"Kalau malam ini pulangnya larut, mending nggak usah," saran Mama. "Nanti malah kenapa-kenapa di jalan."

Gue terdiam. Mama ada benarnya. Mengingat setiap kali reuni selalu bubar mendekati pukul dua belas, bahkan bisa lebih kalau aja gue setuju untuk ikut anak-anak pindah ke tempat yang... lebih bising, beraroma alkohol, dengan lampu remang-remang.

"Ya sudah kalau gitu, sampaikan ke mereka kalau Abang pulangnya minggu depan aja. Janji."

Mama tertawa kecil. "Iya.... Sekali-kali nggak ikuti kemauan adik-adikmu, nggak apa-apa, kok, Bang. Abang tetap abang favoritnya mereka. Tenang aja."

Mendengar pujian Mama, mau nggak mau gue tertawa. Sekali ini lebih kencang. "Ma," gue menghentikan gelak, "Abang sudah hampir sampai." Informasi sekaligus menyiratkan bahwa panggilan ini sudah waktunya diakhiri.

"Have fun," pesan Mama.

"Iya, Ma." Dan gue tahu yang Mama maksud dengan 'have fun' bukan hanya sekadar menikmati Sabtu malam bersama teman-teman lama gue, tapi lebih dari itu. Bahwa Mama tahu ada seseorang yang amat sangat gue tunggu kehadirannya.

"Mama sayang Abang."

Senyum gue mengembang. Abang juga, Ma.


***


NGGAK sulit menemukan keberadaan mereka. Kostum berupa atasan putih dan bawahan jeans biru muda membuat gue dengan langkah cepat menghampiri sudut yang sekiranya dihuni lebih dari 30 orang. Gue bukan jenis manusia pusat perhatian, jadi ketika gue semakin dekat, nggak ada yang menyadari kehadiran gue; melambai dengan gerakan heboh; pun berteriak kencang menyerukan nama gue. Dan, tentu, gue sudah sangat terbiasa dengan itu.

"Sori telat," kata gue, kemudian mengambil posisi di sebelah cowok berparas Arab—Omar. Kami duduk sebangku sepanjang kelas dua belas.

"Nggak pa-pa. Paham, kok, orang Indonesia itu gimana," Omar menyahut.

Jam karet? Gue berdecak. Bisa nggak gue katakan bukan itu alasannya? Lebih tepatnya gue bimbang sebab gue nggak bisa memastikan kehadiran gadis satu itu. Kalau tahu dia pasti datang, bisa gue jamin untuk tiba di kedai kopi ini setengah jam lebih awal.

"Ian...." Seorang cewek bertubuh mungil menghampiri gue. "Ya ampun..., apa kabar kamu?" Belum sempat mengelak, Vanilla mengecup pipi gue bergantian. Kanan, kiri. "Makin ganteng, deh."

Gue meringis. "Thanks."

"Puas-puasin, Nil, mumpung Ei-nya belum datang," seseorang berteriak.

Mengalihkan pandangan, gue mencari tahu. Tapi tunggu, dia bilang Ei belum datang? Apa itu artinya Ei akan datang malam ini?

"Iya, mereka datang," Omar berbisik, seolah mendengar pekikan nggak sabar di kepala gue. Mendapati gue menoleh, Omar menambahkan, "Ei-lo," katanya. Mungkin karena gue memasang air wajah bingung.

Ck, kenapa gue selalu saja nggak suka kalau ada yang memanggil dia dengan 'Ei'? Hanya gue yang boleh! Tapi meminta teman-teman gue berhenti memanggilnya begitu, pasti mengundang tanya. Mereka akan semakin menyadari sampai saat ini perasaan gue belum berubah.

"Nil, sorry, gue ke toilet dulu." Perlahan, gue singkirkan tangan Vanilla yang bergelut di lengan kanan gue. Pertama, gue kurang nyaman diperlakukan seseorang seperti itu. Kedua, bagaimana kalau Ei melihat?

"Ke mana?" Omar menahan gue.

"Toilet. Ikut?"

"Segitunya nggak bisa pisah dari Ian, sih, Mar." Vanilla menyertakan diri dalam percakapan kami.

Gue tertawa saja. Mengabaikan tubuh Omar yang bergidik, gue melanjutkan niat. Namun, kurang dari dua meter meninggalkan sekumpulan orang dengan jenis warna pakaian yang sama, gue mendengar teriakan Vanilla. Lagi. Tapi kali ini bukan ditujukan pada gue.

"Gue pikir nggak akan datang," ujar Vanilla dengan nada tinggi, yang kemudian diikuti sorak-sorai heboh beberapa orang lainnya.

Gerak kaki gue berhenti. Itu dia! Pasti dia. Hanya dia yang bisa membuat sekelompok orang melakukan hal seperti itu. Berhenti sejenak dari aktivitas untuk menyambut kehadirannya. Dia selalu dan akan selalu menjadi pusat perhatian. Kapan saja, di mana saja.

Setelah berbalik, mata gue menyelia satu per satu. Astaga, kenapa para cewek selalu seheboh ini? Gue kesulitan melihat sang tokoh utama sebab teman-teman gue mengelilingi; mengerubungi.

Syukurlah, beberapa detik setelahnya, tiga orang mengambil langkah menjauh.

Raeza, Aura.... Di mana dia? Bukannya mereka selalu bertiga? Jangan bilang malam ini dia nggak datang lagi.

Bertepatan dengan bahu gue yang siap merosot kecewa, gue melihat seorang gadis melangkah anggun dari arah pintu masuk. Dia datang!

Cantik.... Sepasang bola mata gue nggak bisa lepas mengikuti setiap geraknya.

"Kangen...." Vanilla menyongsong, masih diiringi pekik histeris.

Gue juga, aku gue dalam hati.

....

....

....

Tepat ketika mata kami berserobok, Hai, Ei.


***


Avissa

SESAAT, aku berhenti di depan cermin. Seseorang balas memandang. Mengenakan blus putih tanpa lengan—dengan kerah berpotongan tinggi; menutupi sebagian leher, dipadukan dengan blue skinny jeans, dan stiletto merah menyala; selaras dengan pulasan lipstick di bibir penuh. Aku menghela napas. Apa aku benar-benar harus pergi?

"Ayo." Raeza berdiri di belakangku. Praktis, refleksi dirinya tampak pada cermin besar yang tengah kupandangi. "Nanti telat."

Aku berbalik. "Apa kita harus pergi?"

"Bukannya tadi lo sudah setuju?"

Desahan napas lolos dari sela bibirku. Ya, aku memang mengatakan begitu saat makan siang bersama mereka, tapi sekarang... entah mengapa aku kembali bimbang. Rasa-rasanya lebih nyaman bergelung di balik selimut daripada harus pura-pura menikmati percakapan sementara hatiku sedang tak bisa diajak bekerja sama.

"Gue nggak yakin. Lo tau, kan, kalau—"

"Kalau lo lagi galau?" potong Raeza. Perempuan itu berdecak, membalikkan tubuh, melangkah pelan, kemudian menghempaskan diri di sofa panjang. "Memangnya dengan mengurung diri di kamar, keadaan lo akan membaik?"

Aku mengangkat bahu. Entah. Tetapi kurasa, terdengar jauh lebih menyenangkan daripada harus berpura-pura terlihat baik-baik saja, padahal kenyataannya aku sedang dilanda resah.

"Aura bisa marah kalau lo batal ikut."

"Lo bisa bilang kalau gue tiba-tiba nggak enak badan," saranku.

"Dan apa lo pikir gue mau diminta berbohong?"

Bola mataku berputar.

"Come on. It's gonna be fun. Lo harus lihat dunia, Sa. Bahwa yang menyenangkan nggak hanya melulu tentang lo dan Mas Alpha. Dunia nggak hanya rumah dan hotel. Lo harus lihat dunia lebih luas."

"Ck, lo membuat gue terdengar seperti perawan tua yang hanya tau gimana cari uang," dumelku.

Raeza terkekeh. "You are!"


***


AKU bukan penggila kerja, tetapi sedikit pun tidak keberatan menghabiskan jemu dengan tumpukan berkas. Memang, pada akhirnya kepalaku akan semakin berdenyut setelahnya. Membuatku mau tak mau meneguk sebutir obat lalu jatuh tertidur. Biasanya, esok pagi aku akan bangun dalam keadaan lebih baik, meskipun beberapa detik setelah itu kembali menyadari, lubang menganga itu masih ada. Tidak menghilang, malah semakin membesar. Menimbulkan nyeri berdenyut-denyut.

Jujur saja, aku lupa kapan terakhir kali kusambut pagi dengan senyum terukir di bibir. Dengan perasaan bahagia yang meledak-ledak. Kuakui, sepuluh bulan terakhir aku merasa segalanya membaik. Tetapi tetap saja, sekalipun nyeri di hatiku berkurang, aku masih merasa gelisah. Ketakutan akan kembalinya perempuan yang meninggalkan laki-laki yang kucintai. Sebab aku yakin, jika perempuan itu muncul di kehidupannya, Mas Alpha tak akan ragu membangun benteng setinggi-tingginya di antara kami.

Benar, cerita itu akan kembali terulang—dengan alur yang tidak jauh berbeda.

Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri pandangan penuh cinta Mas Alpha pada perempuan itu, menyadari bahwa cintanya tidak akan pernah menjadi milikku; menyadari bahwa semua yang kulakukan selama ini adalah kesia-siaan, aku terluka, frustrasi, kembali tenggelam dalam pekerjaan, hingga akhirnya mengasingkan diri dari teman-temanku.

Apa hari ini aku telah kembali pada fase terakhir? Entahlah. Tetapi mengetahui Mas Alpha melupakan hari ulang tahunku—dua hari lalu, bahkan hingga detik ini tidak mengirim ucapan selamat, aku merasa jatuh pada kesia-siaan. Ya, aku tahu, sejak awal seharusnya aku menyadari ini percuma. Perhatianku tidak berarti apa-apa untuk laki-laki itu. Sambutanku di setiap hari ulang tahunnya tidak akan membuatnya lantas mengingat dan membalasnya di hari ulang tahunku.

Aku ingat betul, penghujung tahun lalu, aku lagi-lagi tak bisa hadir pada reuni yang diadakan XII IPA 1 Labsky sebab aku terlalu sibuk menyiapkan perayaan ulang tahun Mas Alpha di ballroom Sofjan Hotel. Aura pun demikian. Bedanya, Aura memberi alasan pada teman-teman bahwa dia harus menghadiri perayaan hari kelahiran abangnya, sementara aku mengatasnamakan pekerjaan; bersembunyi di baliknya. Bahwa aku tak bisa meninggalkan hotel di malam pergantian tahun. Demi Tuhan, aku memiliki seorang Assistant Executive—yang tentu saja bisa menggantikanku.

Namun di balik semua itu, sedikit pun aku tak menyesal telah mengorbankan pertemuan dengan teman-teman lama, dan lebih memilih melewati bersama keluarga besar Soedirja, Ledwin, dan kedua orangtuaku. Sebab malam itu Mas Alpha memelukku! Dan aku, tentu saja tak menyia-nyiakan kesempatan. Segera saja kukecup kedua pipinya usai mengucap selamat diiringi serangkaian doa yang kupanjatkan dengan sepenuh hati.

Tapi lihat, apa yang dia lakukan sebagai balasan? Jangankan membuat kejutan, aku yakin dia bahkan lupa dua hari lalu adalah hari ulang tahunku.

Apa yang lebih menyakitkan dari ini? Mencintai seseorang yang mencintai orang lain.

Oh, ini. Mencintai seseorang yang mencintai orang lain, tetapi tak bisa menarik langkah mundur; terus saja maju, terus berharap akan ada ruang yang diberikan. Padahal pada kenyataan semua itu tidak lebih dari kesia-siaan.


***


"AVISSA?"

Dengan telapak tangan kanan menempel di pintu berbahan kaca; siap mendorong, aku berbalik ketika mendengar seseorang memanggil namaku. Di kejauhan, kudapati seraut senang wajah Audra. Laki-laki itu melambai, kemudian memutus jarak di antara kami.

Seperti biasa, dia mendekat, mengecup sebelah pipiku. "Nggak sangka bisa ketemu di sini," katanya, setelah memberi jarak di antara tubuh kami.

Aku tersenyum saja. Sebisa mungkin menahan diri untuk tidak berdecak atau memutar bola mata. Apa dia pikir aku senang bertemu dengannya? Ck, yang benar saja.

"Bukannya tadi kamu bilang mau di rumah aja malam ini?"

Nah, dia berkata seolah aku miliknya. Oh, dan apa lagi itu? Wajah tak suka? Hanya karena aku menolak keluar bersamanya, Audra merasa bisa menghakimiku? Dia pikir, dia siapa?

"Agenda mendadak. Di dalam ada Aura dan Raeza," kataku sembari mengarahkan ibu jari ke balik punggung.

"Good. Aku boleh gabung?"

Belum sempat aku menjawab, Audra menggeser sedikit tubuh, kemudian mendorong pintu. Mempersilakan aku masuk lebih dulu.

"Acara apa? Girls day out?" tebaknya.

Aku meringis. Apa laki-laki ini tak juga menyadari; semakin dia bicara, semakin membuatku tak nyaman. Apa aku kurang menunjukkan gesture terganggu? Atau, apa jangan-jangan dia memang sekebal itu?

"Ada reuni sama teman-teman SMA."

"Wow," pujinya, entah untuk apa.

Baru dua langkah menjauh dari pintu masuk, tiba-tiba Audra bersuara lagi. Membuatku lagi dan lagi; terganggu. Aku bahkan menghela napas sebelum menghentikan langkah, kemudian menelengkan kepala padanya. Sebelah alis terangkat, kutatap laki-laki yang tengah sibuk dengan ponsel di tangan kanannya.

Sadar dipandangi, Audra mengangkat wajah. "Ada telepon penting. Sebentar, ya."

Kalimatnya lagi-lagi membuatku terdiam. 'Sebentar, ya?'. Apa dia memintaku menunggu? Siapa dia? Dan lagi, aku tidak mengajaknya. Aku bahkan tidak menjawab apa pun kala dia mengikutsertakan dirinya.

"Dra." Alih-alih menyetujui kemauannya, aku berkata dengan tak peduli, "Aku ke sana dulu, ya. Bye." Lantas melenggang meninggalkannya.

Semoga tidak ada salah seorang pun temanku yang melihat. Bukan apa-apa, aku hanya malas menghabiskan waktu untuk menjelaskan siapa laki-laki itu. Kukatakan dia bukan siapa-siapa, tapi dia mengekori seperti anak ayam kehilangan induknya. Kukatakan sebaliknya, nyatanya tak ada hubungan apa pun di antara kami. Selain, dia anak dari sahabat Papi. Kami berkecimpung di dunia yang sama. Audra Mirza memegang jabatan sebagai General Manager Mirz Hotel.

Mengabaikan laki-laki menyebalkan itu, kucoba fokus pada segerombol orang dengan pakaian serupa.

"Kangen...." Sebuah teriakan mengundang perhatian.

Aku memusatkan netra pada objek satu itu. Vanilla—salah seorang teman sekelasku. Perempuan itu berjalan ke arahku. Kedua tangannya membuka; siap menyambutku dalam pelukan.

Seperti biasa, sudut bibirku praktis terangkat kala menyadari puluhan pasang mata tertuju terang-terangan pada kami—padaku. Ini bukan hal baru, namun tetap saja, di awal-awal aku selalu merasa gugup bila diperhatikan seperti itu. Tapi tenang, aku punya cara mengatasinya. Angkat dagu, tatap mereka satu per satu, tunjukkan bahwa sedikit pun aku tak terintimidasi. Bahwa aku; Avissa Sofjan dengan segudang kepercayaan diri.

"Hai. Sorry telat, ya," ujarku setelah menempelkan pipi kanan dan kiriku dengan milik Vanilla.

"Nggak apa-apa. Bintang, kan, memang biasa ditunggu." Perempuan itu terkekeh. "Ayo."

Aku mengangguk kecil. Menggeser sedikit kepala, beberapa meter dari ubin yang kupijak, kudapati seseorang berpenampilan serupa dengan kami—kemeja putih dengan satu kancing teratas dibiarkan terbuka, dan celana jeans biru pudar sebagai bawahannya. Mata laki-laki itu tertuju ke arahku. Tepat padaku.

Euh, dia siapa, ya?

[].

Ipagpatuloy ang Pagbabasa

Magugustuhan mo rin

970K 145K 49
Awalnya Cherry tidak berniat demikian. Tapi akhirnya, dia melakukannya. Menjebak Darren Alfa Angkasa, yang semula hanya Cherry niat untuk menolong sa...
517K 19.6K 45
⚠️ WARNING!!! : YOUNGADULT, 18+ ‼️ hars word, smut . Tak ingin terlihat gamon setelah mantan kekasihnya berselingkuh hingga akhirnya berpacaran denga...
6.4M 331K 60
[SEBAGIAN DIPRIVATE, FOLLOW AUTHOR DULU SEBELUM BACA] Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusakny...
605K 26.2K 41
Siapa yang punya pacar? Kalau mereka selingkuh, kamu bakal ngapain? Kalau Pipie sih, rebut papanya! Pearly Aurora yang kerap disapa Pie atau Lily in...