Antipole

By nunizzy

2.1M 232K 31K

•Completed• Kita ada di kutub yang berbeda. Sekolah yang terkenal disiplin dan memiliki segudang presta... More

Prolog
1st Pole
2nd Pole
3rd Pole
4th Pole
5th Pole
6th Pole
7th Pole
8th Pole
9th Pole
10th Pole
11th Pole
13th Pole
14th Pole
15th Pole
16th Pole
17th Pole
18th Pole
19th Pole & QnA
20th Pole & Giveaway Time
21st Pole
22nd Pole
23rd Pole & Disclaimer
24th Pole
25th Pole
26th Pole
27th Pole
28th Pole
QnA
29th Pole
30th Pole
31st Pole
32nd Pole
33rd Pole
34th Pole
35th Pole
36th Pole & Promotion
37th Pole
38th Pole
Fun Facts
39th Pole
40th Pole
41st Pole
42nd Pole
43th Pole
44th Pole
45th Pole
46th Pole
47th Pole
48th Pole
49th Pole
50th Pole
51th Pole
52nd Pole & QnA#2
53th Pole
54th Pole
55th Pole
Sekilas Promo
QnA#2 (Part 1)
QnA#2 (Part 2)
56th Pole
57th Pole
58th Pole
Epilog
Pidato Kenegaraan Antipole

12th Pole

39.4K 3.9K 323
By nunizzy

12th POLE

~~||~~

Inara ikut berbaris bersama teman-temannya yang lain. Hari ini, ia dilantik menjadi ketua bidang kedisiplinan dan upacara. Setelah melewati serangkaian tes singkat, kini tibalah saatnya kepala sekolah meresmikannya sebagai ketua.

Sebenarnya, tanpa melewati tes pun, Inara sudah pasti menjadi ketua DisPara. Selain ia adalah calon tunggal, kinerjanya di ekskul bidang ini juga sangat baik. Inara sangat aktif di ekskul-ekskul bidang DisPara.

"Hari ini, kalian resmi menjadi anggota OSIS SMA Integral. Semoga kalian dapat menjalankan amanah dengan baik dan bijaksana."

Di akhir pidatonya, Pak Ahlan memberikan selamat kepada ketua-ketua yang baru. Inara tersenyum lega mengetahui bahwa acara pelantikan akan segera berakhir. Peluh sudah membasahi kepala gadis itu–mengingat waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore. Pelantikan memang diselenggarakan di jam pelajaran terakhir. Setelah acara foto bersama anggota OSIS yang lama, acara pelantikan itu dibubarkan.

"Asik dah. Kalian berdua keren banget!" seru Sabrina begitu anggota-anggota OSIS yang baru menepi ke pinggir lapangan. Gadis itu menghampiri Gala dan Inara.

"Panas banget. Untung aja nggak pingsan," ucap Inara. Gadis itu menyeka peluh di wajahnya. Tak sengaja, matanya menangkap sosok Rahagi yang berada di ujung koridor, sedang melihat ke arahnya.

"Eh, gue ke temen-temen gue yang lain dulu," pamit Gala.

Sabrina mengangguk. Ia mendapati Inara tengah berpandangan dengan seseorang. Namun, saat Sabrina mengikuti arah pandang Inara, gadis itu tidak menemukan siapa-siapa.

"Lo ngeliatin siapa, Na?"

Inara menoleh kepada Sabrina. "Ah? Bukan siapa-siapa."

"Yaudah. Kelas, yuk?" Sabrina menarik tangan Inara agar mengikutinya menuju kelas.

Sesampai mereka di kelas, mereka segera membereskan barang-barang mereka.

"Emang lo udah jemput, Sab?" tanya Inara.

"Gue pulang sama Gala sih..."

"Hah? Kok bisa? Tumben banget."

"Ya bisalah." Sabrina tertawa kecil.

"Emang supir lo kemana, Sab?" tanya Inara.

"Pulang kampung doi. Nyokapnya sakit."

Inara manggut-manggut. Bisa dirasakannya, ponselnya bergetar di dalam saku, menandakan masuknya sebuah pesan. Inara mengeluarkan ponselnya, kemudian menekan sebuah tombol.

Rupanya, ada LINE dari Rahagi.

Rahagi: Gue udah di parkiran. Nyokap nitip belanja bulanan

Inara: Hah?

Rahagi: Nggak usah hah heh hah heh. Cepet ke parkiran

Inara: Iya, iya. Bawel

"Gue balik duluan ya, Sab. Bos besar udah marah."

"Bos besar?"

"Itu, doi lo si Rahagi."

"Gue nggak suka sama dia, ish!"

Inara tertawa. "Ampuun!" seru perempuan itu kemudian pergi meninggalkan kelas.

"Eh, Inara!" panggil Gala saat Inara melewati lobi.

"Gal! Gue balik dulu. Hati-hati bawa Sabrina. Lecet dikit, gue bacok."

"Wih sadis amat, Na. Dah!" Gala melambaikan tangannya.

Rahagi: Cepet. Pacaran mulu

Inara: Gue sama Gala nggak pacaran Bego

Perempuan itu akhirnya sampai di parkiran.

"Lelet. Udah tau gue buru-buru."

"Hastaga–" gerutu Inara saat Rahagi mengomelinya, padahal gadis itu baru saja sampai dan berniat untuk mengatur napas. "Kalo gitu besok-besok nggak usah nungguin gue. Biar gue pulang sendiri," ucapnya kesal.

Rahagi tak menanggapi. Lelaki itu mengeluarkan sebuah plastik putih dari dalam tasnya, kemudian memberikannya kepada Inara.

"Mulai besok lo pake rok itu. Jangan lupa pake leggingnya. Biar kalo naik motor nggak susah."

Inara terdiam melihat kantung pastik itu. Rahagi memberinya rok seragam panjang semata kaki, lengkap dengan legging untuk dikenakannya ke sekolah. Gadis itu mengambil plastik putih yang diberikan Rahagi. Ia bahkan lupa cara berterima kasih. Sesuatu di dalam sana menghangat.

Dia baik karna dia kakak tiri lo, Inara. Lo jangan baper, batin Inara.

Karena perempuan adalah makhluk yang mudah membawa perasaan dan tenggelam di dalamnya.

# # #

Rahagi mendorong troli dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya memegang ponsel dimana tertulis daftar barang yang harus dibeli untuk belanja bulanan.

"Kok bisa nyokap nyuruh lo belanja bulanan? Maksud gue, kenapa nggak Kak Naya aja gitu."

"Mana gue tahu." lelaki itu masih fokus membaca daftar barang yang diberikan ibunya. "Hitung-hitung berbakti pada orang tua. Nggak usah banyak ngeluh."

"Astaghfirullah." Inara memegang dadanya, berusaha sabar mendengar ceramah Rahagi. "Emang apa aja yang disuruh beli?" tanya Inara seraya mengintip ke layar ponsel.

"Kecap, susu kotak yang gede, sereal, saos sambel, minyak goreng, tisu basah, tisu kering, odol, sikat gigi, sampo, refill sabun, pemba–" Rahagi terdiam beberapa saat. "–lut."

Inara menahan tawanya ketika melihat wajah lelaki itu memerah.

"Pfftt, santai aja kali nyebutnya."

"Anjir lah gue malu," gumam Rahagi kemudian berjalan mendahului Inara.

Gadis itu akhirnya tertawa kecil melihat tingkah saudaranya.

"Ampun." ia melangkahkan kaki dengan cepat untuk menyusul Rahagi.

"Lo ambil pembalut gih," perintah Rahagi.

"Lah, kok gue? Kan lo yang disuruh." Inara tersenyum geli.

"Lo sialan ya, Eek Ayam."

Inara terpingkal mendengar gerutuan Rahagi. "Iya, iya."

Setelah menghabiskan waktu satu jam untuk memenuhi list, Inara dan Rahagi mengantre di kasir.

"Pacaran ya, Dek?" tanya mbak-mbak kasir.

"Ngg–"

"Emang kenapa, Mbak?" tanya Rahagi, memotong ucapan Inara.

"Cocok."

"Eh?" Inara menatap perempuan itu dengan tatapan terkejut. "Nggak, Mbak. Sodaraan," jawabnya sambil tersenyum simpul.

"Ooh," gumamnya. "Kalo gitu Masnya buat saya aja ya, Mbak?"

Rahagi mendelik kepada Inara. "Lo sih. Kenapa nggak bilang pacaran aja." kata lelaki itu melalui tatapan mata.

Inara menahan tawanya.

Kakak tirinya itu sangatlah lucu.

Setelah melakukan pembayaran, keduanya membawa masing-masing satu kantung plastik keluar dari supermarket.

"Lo bego sih."

"Lo nggak ngode gue, ya mana gue tau."

"Harus dikode dulu gitu?"

"Ya iyalah. Lelaki mah nggak peka," gerutu Inara.

Tiba-tiba, seseorang menyenggol bahu Inara hingga plastik yang dibawanya jatuh ke aspal dan sebagian isinya berserakan.

"Eh, sorry," ujar perempuan itu seraya membantu Inara membereskan barang-barangnya.

"Nggak papa. Btw, makasih ya," ucap gadis itu saat si perempuan memasukkan barang-barang yang berserakan ke dalam kantung plastik.

Rahagi hanya memperhatikan mereka berdua, menunggu Inara selesai dengan urusannya. Keduanya berdiri.

Rahagi bertemu pandang dengan si perempuan. Ada rasa keterkejutan yang luar biasa di dalam dirinya. Begitu juga dengan si perempuan. Ia terpaku menatap Rahagi.

Inara yang menghadap langsung ke mereka berdua memperhatikan tingkah mereka yang benar-benar menimbulkan kembali rasa penasarannya.

Kemarin Gavin, sekarang cewek ini?

"Hai," sapa si perempuan.

Rahagi menatap gadis itu tajam, sebelum akhirnya menggandeng tangan Inara. "Ayo pulang," ujarnya seraya menarik Inara menjauh dari tempat itu.

Dengan tatapan sendu, si perempuan menatap punggung Rahagi yang perlahan menjauh. Ia menunduk sejenak, sebelum akhirnya membalikkan badan dan masuk ke supermarket.

Sementara itu, selama di perjalanan pulang, tidak ada yang bersuara di antara Rahagi dan Inara. Gadis itu enggan bertanya–terlebih ketika melihat ekspresi Rahagi yang menunjukkan bahwa ia sedang tidak ingin ditanya-tanya. Padahal memang lelaki itu tidak suka diintrogasi.

Setelah motor Rahagi terparkir di pekarangan rumah, gadis itu turun dari motor kakak tirinya. Ia mengambil dua kantung plastik untuk dibawa masuk ke dalam rumah. Namun, tangannya ditahan oleh Rahagi.

"Biar gue aja."

Lelaki itu mengambil kedua kantung plastik itu, kemudian berjalan ke dalam rumah–meninggalkan Inara di pekarangan. Moodnya sedang tidak baik, dan Inara tahu itu.

"Eh, anak mama udah pulang. Makasih ya, Sayang." Tyas menyambut baik kedatangan Rahagi yang membawa belanjaan.

"Ya, Ma," ucap Rahagi. Lelaki itu meletakkan kantung belanjaan di atas meja ruang keluarga. Bersamaan dengan itu, Inara baru saja selesai mengunci pintu utama.

"Oh ya, mama pergi ke butik dulu ya. Kalian baik-baik di rumah. Kalo laper, tinggal angetin ayam kecap di kulkas. Inara ngerti caranya kok."

"Pulang jam berapa, Ma?" tanya Inara.

"Nggak tahu, Sayang. Kayaknya mama balik bareng papa."

Inara mengangguk paham, kemudian menyalami tangan ibunya. "Hati-hati ya, Ma."

Tyas tersenyum seraya mengelus puncak kepala Inara. Rahagi yang masih berusaha membiasakan diri, ikut menyalami ibu tirinya itu.

"Hati-hati, Ma," tuturnya.

Yang dipanggil mengangguk senang. "Jagain adek kamu ya, Gi. Mama pergi dulu. Dah!"

Kini, tinggallah Rahagi dan Inara di rumah yang sebesar itu. Lelaki itu melirik Inara yang ternyata sedang memperhatikannya.

"Gue laper. Lo angetin makanan ya. Gue mandi dulu."

Mau tidak mau, Inara mengangguk. Padahal, ia juga ingin membersihkan diri. "Jangan pake lama. Gue mau mandi juga."

Rahagi mengangguk singkat, kemudian naik ke kamarnya.

# # #

Rahagi berdiri di ambang pintu dapur sambil bersandar ke dinding dengan tangan bersedekap. Lelaki itu memperhatikan Inara yang baru saja menghidupkan kompor. Ia meletakkan kuali di atasnya, kemudian menghangatkan ayam kecap buatan Tyas.

Untuk mengisi waktu, Inara menyempatkan diri untuk meletakkan barang-barang belanjaan tadi ke tempatnya. Gadis itu masih sedikit canggung membuka-buka lemari dapur rumah Wira. Ia perlu pembiasaan.

Tanpa sadar, bibir Rahagi mengukir senyuman kecil. Hal yang tidak disangka oleh Rahagi terjadi. Inara tiba-tiba membalikkan badannya dan mendapati Rahagi tengah memperhatikannya sambil tersenyum. Rahagi gelagapan.

Inara menaikkan sebelah alisnya. "Ngapain lo senyum-senyum?" tanyanya.

"Yang ngeliatin lo juga siapa."

"Lah? Nggak nyambung banget lo, Cumi." Inara melirik ayam kecap yang berada di kuali. Sudah cukup hangat, menurutnya. "Eh. Berarti lo ngeliatin gue ya?" Inara tersenyum jahil sebelum mematikan kompor.

"Geer." Rahagi berjalan memasuki dapur kemudian duduk di meja makan.

Inara hanya tertawa kecil lalu memindahkan ayam kecap tersebut ke sebuah mangkuk berukuran sedang.

"Halo! Gue pulang." seseorang tiba-tiba memasuki dapur. Ia mendapati Inara sedang meletakkan mangkuk berisi ayam kecap di hadapan Rahagi.

Kayak istri yang lagi nyiapin makan suami, batin Bayu. Mikir apa lo, Bay.

"Tumben lo cepet pulang," komentar Bayu seraya duduk di hadapan Rahagi.

Rahagi menaikkan bahunya sekilas. "Nyokap nitip belanja bulanan."

Bayu manggut-manggut.

"Tolong ambilin piring, dong. Mumpung lo lagi berdiri. Gue mager," ucap Rahagi pada Inara.

"Ambil sendiri. Lo punya kaki, kan?" jawab Inara seraya memutar bola mata.

"Sekalian ya elah. Tinggal ngambil doang apa susahnya," gerutu Rahagi.

"Dasar manja," gumamnya, namun tak urung gadis itu melangkahkan kaki menuju rak piring.

Bayu hanya menatap Rahagi dengan pandangan penuh selidik. Tidak biasanya adiknya itu minta tolong diambilkan ini-itu. Rahagi yang ia kenal adalah Rahagi yang mandiri dan mempunyai gengsi yang tinggi–bahkan untuk sekedar minta tolong.

"Gue juga ya, Na," pinta Bayu.

"Oke, Bang."

"Nasinya sekalian," tambah Rahagi.

"Allahuakbar, lo kata gue pelayan restoran. Sekalian aja ntar minta ambilin minum, cuciin piring, bikinin jus, kupasin buah," omel Inara seraya mendengus.

"Boleh sih, kalo lo mau." Rahagi menggidikkan bahunya.

Bayu tertawa kecil mendengar percakapan mereka.

# # #

"Lo kapan balik?" tanya Naya pada Gafar disela-sela makannya. Ia dan keluarga barunya tengah menghabiskan makan malam di meja makan.

"Minggu depan, atau dua minggu lagi," jawab Gafar. Lelaki itu meletakkan sesendok sayur di piringnya.

"Cepet banget ya. Padahal baru kemaren rasanya gue ikut jemput lo ke bandara, Bang," timpal Inara.

"Lebay," kata Gafar.

"Dih, emang kenyataannya gitu," ucap Inara membela diri.

Tidak seperti biasanya, Bayu tidak ikut dalam obrolan. Namun, perihal Rahagi, Inara bisa maklum karena lelaki itu memang tidak suka terlibat dalam obrolan yang berskala besar.

Inara memperhatikan Bayu–yang sedari tadi fokus dengan makanannya. Sesekali, lelaki itu termenung entah memikirkan apa.

"Gimana pelantikannya, Nara?" tanya Wira.

Gadis itu terdiam. Ia merasa asing dengan panggilan itu, tidak biasa.

"Alhamdulillah lancar, Pa," jawabnya sambil tersenyum. Perempuan itu meneguk segelas airnya.

Wira mengangguk paham.

Setelah semuanya menghabiskan makanan, mereka beranjak dari tempat duduk masing-masing.

"Ma, Pa, Naya ke kamar dulu ya. Tugas kuliah masih banyak," pamit Naya. "Hari ini jadwal Inara yang cuci piring ya, Ma." perempuan itu melirik Inara yang menatapnya seraya mendengus.

"Gue inget kok, Kak. Inget," ujarnya.

Tyas dan Wira mengangguk, membiarkan Naya meninggalkan ruang makan. Untuk sementara, Tyas dan Wira belum mempekerjakan asisten rumah tangga. Selain karena satu dan lain hal, Tyas juga ingin anak-anak perempuannya terbiasa mandiri dan mengerjakan pekerjaan rumah.

"Gafar ke kamar ya, Ma, Pa."

Wira mengangguk. "Papa juga mau ke ruang kerja nih. Masih ada kerjaan." lelaki itu berdiri dari duduknya.

"Jangan lupa istirahat, Pa. Jadi orang jangan workaholic banget. Inget umur, inget kesehatan," nasihat Bayu.

Wira tertawa mendengar nasihat Bayu. Anak sulungnya itu selalu mengingatkannya agar tidak terlalu memaksakan diri untuk bekerja. Menurutnya, bekerja itu pada porsinya saja. Apalagi, umur ayahnya yang sudah tidak muda lagi. Istirahat itu penting.

"Iya."

Jawaban itu menandakan beranjaknya Wira dan Tyas dari meja makan, meninggalkan Inara, Rahagi, dan Bayu di meja makan.

Tanpa sepatah kata, Inara berdiri dan menyatukan piring-piring kotor di atas meja. Gadis itu kemudian mengangkatnya ke bak cucian dengan hati-hati. Memang terasa berat, tetapi entah mengapa ia enggan untuk meminta tolong. Apalagi, kedua kakak beradik itu tengah memperhatikannya dengan tatapan yang tidak bisa Inara baca. Ia bahkan tidak berani menengok ke arah mereka.

Gadis itu memilih untuk menyibukkan diri dengan cuciannya. Tiba-tiba, Bayu sudah berdiri di sampingnya dengan empat gelas kotor di tangannya.

"Nih gelasnya, Na," kata Bayu seraya meletakkan gelas-gelas kotor itu di bak cucian.

"Eh, iya. Makasih, Kak," ucapnya.

"Lain kali, jangan sok kuat." Rahagi meletakkan tiga gelas kotor di hadapannya.

Inara mengangguk. Tangannya membentuk gerakan memutar di permukaan piring, tentunya dengan sebuah spons di tangannya.

"Gue ke kamar ya," pamit Bayu.

Lagi-lagi, Inara hanya bisa mengangguk.

"Pintu jangan dikunci!" ucap Rahagi.

"Iye. Gue kebiasaan maap," balas Bayu.

Kakak beradik itu memang tidur sekamar.

Setelah kepergian Bayu, Rahagi bersandar pada meja dapur. Lelaki itu bersedekap seraya memperhatikan tangan Inara yang sedang mencuci piring.

"Daripada lo ngelamun nggak jelas, mending lo bantuin gue nyusun piring-piring ini di raknya," ujar Inara yang sedang membilas piring-piring yang sudah disabuni.

"Males. Kaki gue udah nempel di lantai, nggak bisa gerak."

Inara masih bisa mendengar ucapan Rahagi walaupun terdengar samar-samar karena bunyi percikan air yang mengalir dari kran.

Inara memutar bola mata. "Lebay."

Tanpa membalas perkataan Inara, Rahagi tiba-tiba beranjak dari tempatnya dan berjalan menuju teras belakang. Inara yang merasa lebih leluasa tanpa tatapan intimidasi Rahagi, bernapas lega. Gadis itu melanjutkan pekerjaannya dengan damai.

Setelah menyusun piring-piring tersebut, Inara mengeringkan tangannya. Seraya menyelipkan beberapa helai rambut ke balik telinga, gadis itu berbalik. Matanya langsung menangkap sosok Rahagi yang sedang menghembuskan segumpalan asap di teras belakang.

Mata Inara melebar. Jadi dia beneran ngerokok?

Dengan ragu, Inara melangkahkan kakinya menuju teras belakang. Ketika gadis itu mendorong pintu menuju teras, suara deritan timbul dan menyebabkan Rahagi menoleh ke arahnya. Lelaki itu menghisap batang tembakau itu sekali lagi, kemudian mematikannya.

"Udah beres nyuci? Awas aja kalo nggak bersih," ujar Rahagi.

"Dih. Bantuin enggak, ngancem-ngancem iya." Inara duduk di sebelah lelaki itu. Gadis itu menaikkan lututnya, kemudian memeluknya. Sudah lama ia tidak merasakan angin malam seperti ini.

"Siapa yang ngizinin lo duduk?" tanya Rahagi seraya menatapnya datar.

"Gue," jawab Inara malas.

Rahagi memilih untuk tidak menanggapi ucapan Inara.

"Rokok itu nggak baik, lho," kata gadis itu seraya memandang lurus ke depan. "Di bungkusnya udah ada gambar kanker mulut, kan? Kenapa masih dihisap?" tanya Inara.

"Kalo gue bisa, gue udah berhenti sejak dulu."

Inara menghembuskan napas panjang. Dirinya jadi ingat hari di mana Tyas meminta Harris–ayahnya–untuk berhenti merokok. Inara tahu itu tidak mudah. Namun, Tyas terus mengingatkan lelaki itu. Setiap selesai makan, ia akan memberikan Harris dua buah permen untuk diemut.

"Seenggaknya ini lebih baik daripada rokok."

Ucapan Tyas terlintas di pikirannya, diikuti oleh rangkaian memori lain tentang ayahnya. Papa, batinnya sendu. Inara memilih untuk tenggelem dalam memori itu–memori tentang ayahnya.

Terlepas dari itu, Rahagi tengah menatap Inara yang sedang melamun. Lelaki itu tidak berniat untuk menyadarkan Inara dari lamunannya.

~~||~~

A/N

Ehm.

Pertama dan utama, gue nggak ada niat gantungin kalian serius T.T

Maaf karena nggak update-update selama lebih kurang... 5 bulan. Tapi, kelas 12 bener-bener melelahkan. Apalagi, USEK, USBN, UN-BK, SBM semakin dekat, jadi kayaknya gue nggak update dulu sampe UN selesai.

Doain gue sukses di ujian yang seabrek itu, doain juga gue lulus SNM (seenggaknya itu meringankan beban banget). Biar bisa update Antipole terus menjelang kuliah wgwg. AAMIIN.

Oh ya, The Destroyer insya Allah terbit bulan Maret di penerbit Romancious-Loveable. Stay tune terus di Instagram @zzhnurul, Ask.fm @nunizzy, dan masukin cerita The Destroyer ke library supaya ga ketinggalan info.

Sukses juga buat kalian angkatan 2017. Supaya masuk perguruan tinggi idaman dan semangat di ujian-ujian seabrek itu. Ngomong-ngomong, gue pilih UN Fisika nih, kalian pilih apa? Udah join grup Line-nya belum?

5 Februari 2017

jn

Continue Reading

You'll Also Like

1.6M 117K 47
Aneta Almeera. Seorang penulis novel terkenal yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwanya...
10.8K 925 51
Relationship goals? Sepertinya itu hanya pandangan orang-orang saja karena kenyataannya enggak ada hubungan yang benar-benar berjalan dengan mulus. S...
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

1.7M 62.4K 28
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
519K 54.2K 58
[FOLLOW SEBELUM MEMBACA! BIASAKAN HARGAI KARYA ORANG DENGAN MEMBERIKAN DUKUNGAN KEPADA PENULISNYA] [PLAGIAT AKAN MENDAPATKAN SANKSI, JADI HATI-HATI^^...