Down There Is What You Called...

By Atikribo

91.9K 10K 2.6K

Kepergian sahabatnya meninggalkan sebuah tanda tanya besar dalam diri Raka. Ketika semua orang mengatakan pen... More

Sebelum Menjelajah
Chara Profile
Surface - 1
Surface - 2
Surface - 3
Surface - 4
14 Years Ago, Capital City
Somewhere - 1
Somewhere - 2
Surface - 5
Surface - 6
1st Floor
3rd Floor
4th Floor
5th Floor
At The Corner Of His Memories
6th Floor
10K READS: GIVE-FRICKIN-AWAY!! (Closed)
7th Floor
GIVEAWAY CLOSED
GIVE-FRICKIN-AWAY WINNER
8th Floor
9th Floor
10th Floor
11th Floor
12th Floor
13th Floor
14th Floor
15th Floor
Somewhere - 3
16th Floor
17th Floor
18th Floor
19th Floor
20th Floor
Antarkasma - 4
Antarkasma - 5
21st Floor
Antarkasma - 6
Antarkasma - 7
22nd Floor
23rd Floor
Orenda, 14 Years Before
Orenda - 7 Years Before
24th Floor
Antarkasma - 8
25th Floor
26th Floor
27th Floor
28th Floor
Antarkasma - 9
29th Floor
30th Floor
31st Floor
Epilog
Afterwords & Surat Cinta
Bincang Ubin Vol.1
FLOOR NEW YEAR SPECIAL: College AU
Bincang Ubin Vol. 2
Maps & Glossarium

2nd Floor

1.2K 189 46
By Atikribo

"Raka?" Nova tak habis pikir bagaimana bisa pemuda itu hilang tepat di hadapannya. Sekilas Nova menyadari bahwa Raka menoleh ke belakang. Satu kerjapan mata, pemuda itu lenyap.

Tidak ada cahaya yang membutakan ketika hal itu terjadi. Tidak ada pula angin kencang yang menyebabkan debu-debu beterbangan dan masuk ke dalam matanya. Rasa heran gadis itu sama ketika ia datang ke permukaan atas untuk pertama kali: begitu asing seolah-olah mimpi. Tidak mungkin ada seseorang yang raib begitu saja.

Menarik napas panjang, Nova menggenggam kalungnya. Memperlakukannya sebagai jimat, ia berharap bisa mendapatkan kekuatan dari kalung pemberian ibunya itu. Membuka mata, ia kembali berjalan meskipun kecepatan langkahnya lebih lambat dari sebelumnya, "Dasar, Raka bodoh," kutuk gadis itu.

Nova tergoda untuk berjalan menuju arah cahaya azuline, tetapi gadis itu tidak mau mengambil resiko. Ia mencoba mengingat jalur seperti apa yang biasa dilewati oleh para pengendara pagna. Namun seumur hidup ia menaiki kendaraan umum itu, jalur bawah tanah selalu gelap gulita. Sumber cahaya hanya berasal dari aksen flourecent dan topi yang dilengkapi senter dikenakan oleh para pengendara.

Gelap, kata ini bisa menjadi sebuah petunjuk agar ia bisa keluar dari Huva Atma secepatnya. Hanya saja ia tidak punya mata yang sensitif dalam kegelapan layaknya seekor burung hantu. Gadis itu mungkin tau ke mana ia harus berjalan namun kegelapan ini hanya membuat kakinya tersandung-sandung dan sakit. Nova lelah. Ia melepas sepatu bot, mengambil napas panjang.

Perutnya terasa ngilu. Gadis itu menahan napas sembari menekan tangannya di bekas luka. Menata pikiran, teringat seseorang yang membantunya pergi ke Permukaan Atas: seorang pria misterius berjubah usang. Orang itu tidak menyebutkan namanya, tetapi dia tahu Nova. Ketika sudah hampir seminggu gadis itu mencari ibunya ke sana kemari dan tidak kunjung ketemu, suatu malam seseorang mengetuk pintu flatnya.

"Nova Sarojin," sapa pria itu ketika pintu yang terbuka tertahan dengan rantai.

"Siapa?" tanya Nova waspada.

"Seorang teman," wajah pria itu tidak terlihat dengan syal dan tudung yang ia kenakan. Meskipun begitu tubuhnya tampak tinggi besar, "Di mana Kirana?"

Nova tertegun. Kirana adalah nama ibunya, "Kenapa aku harus memberitahumu?"

"Dia belum pulang, ya?"

Nova tidak menjawab. Pria itu menahan pintu yang hendak Nova tutup. "Dia bilang untuk mengembalikan ini," tangannya yang besar masuk dari sela-sela pintu menggenggam sebuah liontin perak. Gadis itu hafal betul barang kepunyaan ibunya, apalagi dengan liontin yang dia selalu pakai setiap hari. Batu safir di tengah memantulkan cahaya; batu kesukaan ibunya.

Nova mengambil kalung perak itu, mendorong tangan si pria asing, menutup pintu kemudian membuka selotnya. Tinggi pria itu mungkin habis dua meter dan Nova hanya setinggi pinggangnya saja. Gadis itu menengadah. Wajah pria asing itu tidak terlihat karena siluet yang disebabkan dari lampu di lorong. "Di mana kau mendapatkan ini?" tanya Nova.

"Jadi Kirana memang belum pulang," pria itu terdengar cemas, "Dia menitipkan ini padaku dan meminta untuk mengantarkan kalungnya ke rumah. Kirana bilang dia harus pergi ke Permukaan Atas sebentar."

"Seminggu tidak sebentar," Nova merengut.

"Yah, aku tahu," pria itu membenarkan syalnya yang melorot. Nova tidak bisa melihat apapun kecuali mata biru gelapnya, "Kau mau mencari ibumu di sana?"

"Bagaimana caranya?" tanya Nova, "Bukannya sulit dengan segala embel-embel yang dilakukan raksaka?"

"Kami mempunyai sebuah pintu," ia merogoh-rogoh sesuatu di balik jubah kemudian memberikannya kepada Nova, "dan jika kau tidak berhasil menemukan Kirana di Permukaan Atas, kau tinggal melakukan apa yang tertulis di sini. Seharusnya dia bisa membantumu untuk kembali."

Kita? Dia? batinnya heran sembari mengambil selembar kertas dengan coretan yang agak sulit ia baca. Pria asing itu menyuruh Nova untuk berkemas dan mengikutinya. Ia tidak memperkenalkan diri, tidak menjelaskan pula apapun tentang siapa kami atau dia. Jika Nova masih mempunyai akal sehat, mungkin gadis itu tidak akan memilih untuk mengikuti orang asing, tetapi dia sudah terlanjur putus asa. Sedikit nekat ia harap tidak akan membawa bencana.

Nova mengerang. Sekarang ia berada di dalam Huva Atma, labirin tempat bersemayamnya jiwa-jiwa —setidaknya itu yang dipercaya para Floorian. Renungan ini memberikannya lagi sebuah petunjuk: pria asing berjubah itu. Gadis itu menepuk pipinya tiga kali. Tidak ada siapapun yang bisa menolongnya sekarang, hanya kedua kakinya yang masih utuh yang dapat membantunya pergi.

*

Jika menoleh ke belakang dapat membawanya ke tempat lain, apakah dengan menoleh ke belakang sekali lagi ia akan kembali berpindah tempat?

Raka benar-benar tergoda untuk berbalik sekali lagi. Lagipula ia sudah terlanjur hilang arah. Jika memang ia akan berpindah tempat lagi, sepertinya hal itu tidak akan memperburuk keadaan. Kecuali ia berpindah tempat tepat di hadapan seekor pagna yang belum pernah ia lihat sebelumnya.

Persetan, pikirnya. Pemuda itu perlahan memutar kepala sambil menelan air liur. Alih-alih berpindah ruang menjadi tempat yang lebih gelap, Raka tahu betul bahwa ia tetap di posisi yang sama. Cahaya temaram kebiruan azuline masih sama. Posisi ia duduk pun sama, terlihat dari retakan batu bata yang ia tandai sebagai patokan ia pindah tempat atau tidak.

"Brengsek," umpatnya, "apa-apaan?"

Raka menyalakan ponsel, menunggu layarnya menyala sehingga ia dapat menggunakan senter. Sesungguhnya cahaya temaram yang dihasilkan azuline cukup untuk membantunya melihat, tetapi ia harus mencari tahu ke mana jalan yang sebaiknya ia ambil. Dalam jeda yang terasa begitu lama itu, ia lagi-lagi mendengar suara seorang perempuan yang sama, memanggil namanya.

"Berisik," desis Raka.

Seharusnya aku menceitakannya padamu, bukannya pergi ke sini.

"Kau siapa sih?" Raka tidak peduli lagi jika ia hanya berbicara pada ruang kosong, "Bagaimana kau bisa tahu namaku?" Ia mendongak dan melihat jumlah azuline yang bertambah, baik di atas kepala maupun yang mengelilingi tubuhnya. Raka mengibaskan tangan, dalam lubuk hati terdalam berharap ada sebuah raket nyamuk yang bisa ia pakai.

Tentu saja, pertanyaan yang Raka lontarkan tidak mendapat balasan. Menghela napas, pemuda itu mengarahkan senternya ke depan dan mendapati tembok di sisi kirinya sementara sebuah jalan besar di sisi yang lain. Raka mengambil tiga langkah selebar bahu dan berjongkok, memerhatikan jalan.

Teksturnya masih sama dengan jalan yang ia lalui bersama Nova: bebatuan yang cukup licin. Namun ketika ia mengendus, baunya benar-benar tidak enak. Ia mencium bau tanah dan sesuatu yang lain... sesuatu dengan bau tidak sedap. Tinja? Ah, sial. Ia mengelap jemarinya di atas celana. Ketika ia berdiri, Raka mengarahkan senter sampai batas jarak maksimal. Campuran tanah dan tinja itu tidak hanya berada di tempat yang ia periksa, tetapi sepanjang jalan di hadapannya. Apakah jalur ini merupakan jalan yang biasa dilewati oleh pagna?

Raka kembali berjalan dan perempuan itu memanggilnya. Lagi. Raka tak paham mengapa suara perempuan itu yang selalu terdengar di telinganya, bukan suara yang lain. Siapa pula perempuan itu? Mengapa dia terdengar sangat tidak asing?

Lelah, pemuda itu memutuskan untuk menghibur dirinya dengan asupan nikotin. Meskipun rokoknya tinggal setengah bungkus dan ia sadar betul harus menghemat, keadaan ini membuat kepalanya penat. Ia menghembuskan asapnya ke arah beberapa azuline yang bertebangan di sekitar kepalanya. Kelipan pada tubuhnya semakin cepat, beberapa padam dan beberapa pergi menjauhinya, meskipun begitu tetap ada sekitar lima azuline yang terus mengikutinya. Keadaan menjadi sedikit lebih gelap namun Raka terus saja berjalan.

Ia dapat melihat dan merasakan selebar apa jalur terowongan di sebelah kirinya. Mungkin hanya muat empat orang berjalan sejajar dan itu tentu saja lebih kecil daripada jalur yang Raka lalui tadi. Jika ini adalah suatu saluran bawah tanah, pasti akan ada tangga atau suatu pintu untuk kembali ke permukaan 'kan? Setidaknya akan ada jalan keluar. Ia harus mencari pintu maupun tangga itu. Entah di mana letaknya. Rasa optimis pada dirinya tidak bertahan lama ketika ia kembali mendengar suara itu.

Raka.

Raka hanya berdecak saking malasnya.

Tolong aku.

"Bukannya saya tak mau bantu, tapi saya tidak tahu kau itu...siapa. Memangnya kita pernah kenal, ya? Bagaimana pula kau bisa tahu nama saya? Rasanya saya tidak mengukir nama saya di atas jidat."

Kamu di mana, Raka?

"Di sini, lho. Di sini," Raka menggosok hidung, menghembuskan asap rokok. "Saya 'kan solid, tidak seperti kamu yang..." pemuda itu mencari kata-kata yang tepat, "abstrak."

Tak lama, suara itu menangis, menggema di dalam kepala, bersahutan memanggil namanya. Baiklah, ini mulai tidak lucu lagi. Kenapa harus menangis? Apa orang-orang di sini mati karena tak hanya kehabisan energi, tetapi juga karena gangguan psikologisnya? Siapa yang masih waras jika mendengar suara yang kerap memanggil namanya, lalu menangis dan berteriak minta tolong? Edan, dunia sudah edan. Sinting.

Raka?

Raka, tolong.

Raka

Hiraka!

Jantungnya berdegup lebih cepat, napasnya kian memburu. Raka menggeram dan berteriak; jalannya melambat. Ia meraih tembok terdekat dan tanpa berpikir dua kali ia menjedukkan kepalanya ke sana, beberapa kali hingga terasa pening. Keras; ia tahu itu. Sakit; ia pun merasakannya. Tapi Raka tidak peduli. Setidaknya suara-suara di dalam kepalanya telah berkurang, entah sampai kapan.

Berkali-kali ia mengeluarkan napasnya dari mulut; menenangkan dirinya secara perlahan. Matanya bergerak liar, pendar kebiruan azuline masih ia tangkap dengan indranya.

Tak jauh dari sana terlihat sebuah lorong yang lebih kecil lagi, kurang lebih sekitar lima puluh langkah ke timur. Raka menarik napas panjang, membiarkan oksigen masuk ke otak lalu menghembuskannya. Sambil berjalan, ia mengusap keningnya dengan punggung telapak tangan. Keningnya berdenyut ketika ia tekan. Menjilat ibu jari, Raka mengusapnya ke kening yang terluka; berkali-kali hingga rasa besi tak lagi terkecap.

*

Mengingat kehancuran yang terjadi di dalam museum, baik itu Cyrus atau orang-orang yang mengejarnya pasti terluka. Namun betapa leganya prasaan Nova ketika mendengar suara serak Cyrus memanggil namanya.

Hampir gadis itu berbalik, jika saja pria itu tidak mencegahnya, "Jangan tengok ke belakang!" seru Cy, "Aku tahu kau pasti merindukanku, Nova Sarojin. Tapi akan terjadi masalah jika kau melakukan hal itu. Kau tahu, aku tidak suka jika sesuatu terjadi pada klienku. Aku lelah mendengar Masou mengoceh sepanjang hari. Untungnya kau tidak pernah mendengarnya berbicara panjang lebar, Nova Sarojin. Jika ya...."

Cy berhenti berbicara dan jantung Nova nyaris berhenti ketika pria itu sudah berada di sampingnya. Wujud Cyrus bukanlah wujud manusia yang ia jumpai pertama kali, melainkan wujud macan kumbang yang ia pakai ketika berada di musem tadi. Ditemani dengan makhluk buas yang setinggi bahunya bukanlah pengalaman menyenangkan. Jika Nova tidak tahu bahwa binatang buas disampingnya adalah Cyrus, Nova yakin ia akan memilih untuk mengambil langkah selebar dan secepat mungkin.

"Kau mengejutkanku, Cy," gerutu Nova, "Bukannya lebih nyaman jika menggunakan tubuh manusiamu ya?"

"Tidak, tubuh manusia itu tidak praktis. Cepat lelah, pandangan terbatas, tidak menyenangkan," jawab Cy, mendengkur, "Dengan tubuhku yang ini, aku dapat melihat dalam gelap lebih jelas." tidak biasanya pria itu berhenti bicara meskipun dalam keadaan genting. Tetapi kali ini Cyrus cenderung diam. Mata kuning tajam yang dimiliki oleh si macan kumbang mengamati seluruh lorong, ia mendengkur pelan, "Kenapa kau sendirian, Nova Sarojin? Ke mana si bodoh itu?"

"Raka... hilang," Nova mengigit bibirnya.

"Hilang?" Cyrus terdengar tidak percaya. Nova mencoba menjelaskan kejadian itu dan Cy hanya mendesah, "Si bodoh itu tidak pernah berpikir pakai otak ya sepertinya. Merepotkan saja. Aku tahu hal ini akan terjadi. Dasar otak kerbau, aku tahu orang itu pasti tidak akan mau mendengarkan omongan orang lain. Terus berjalan sajalah! Aku akan mengurusnya nanti."

"Kau akan mengurusnya nanti?" ada kecemasan dalam suara Nova.

Cyrus memandang Nova dengan mata tajamnya, "Kau tahu, sesungguhnya klien utama kami adalah kau, Nova Sarojin. Yang melakukan ritualnya adalah kau. Kami memang selalu mengawasi Hiraka, tapi si Bodoh itu mengganggu ritualnya dan sudah sepantasnya ia mendapatkan sedikit ganjaran. Kau tidak ingat perkataanya dengan Masou bahwa dia akan menjelajahi Floor demi mendapatkan jawaban mengenai kematian temannya itu? Seharusnya dia akan baik-baik saja. Biasanya orang bodoh memiliki umur yang lebih panjang. Meskipun tidak, kita hanya bisa berharap dia belum mati 'kan? Ingat tokoh-tokoh antagonis yang meskipun dibenci selalu mati belakangan? Hiraka juga seperti itu, dia bodoh meskipun tidak antagonis, tetapi yah sebut saja dia akan mati belakangan."

Nova mengerjapkan mata, berpikir bahwa perkataan Cyrus ada benarnya. Cyrus menambahkan, "Atau apakah kau juga ingin melihat ke belakang dan mencari Hiraka? Aku tahu kau tidak sebodoh itu. Kau seorang Floorian, kau tahu betul dengan Huva Atma dan kemampuan terkutuk azuline itu 'kan? Kau ingat tiga peraturan yang sangat umum untuk diketahui orang banyak 'kan?"

Tentu saja Nova ingat. Sejak kecil, gadis itu selalu diwanti-wanti oleh ibunya dengan kengerian dari tempat ini. Huva Atma memang bisa menjadi sebuah jalur pintas untuk sampai suatu distrik tertentu di Floor, tetapi resikonya terlalu tinggi. Pagna yang berkembang biak di sana salah satu alasannya.

Mereka buas dan beringas, ukuran tubuhnya yang terlampau besar dan tak pandang bulu untuk memakan apapun yang ada di hadapannya termasuk juga manusia. Hanya pengendara pagna yang mereka sebut sebagai rider yang dapat menjinakkan makhluk itu. Mengunakan jasa rider sebagai transportasi umum selalu menjadi pilihan utama untuk menggunakan jalur di Huva Atma daripada berjalan kaki seperti yang ia lakukan kini.

Azuline di sisi lain hanya akan mengacaukan pikiran para pendatang. Entah apa yang dilakukan makhluk itu, tetapi mereka akan mempermainkan emosi-emosi dalam diri manusia, mengambil memori mereka, mengeluarkan kenangan-kenagan yang menyakitkan, menjadikan pikiran orang-orang tak lagi waras. Nova sendiri tidak pernah melihat secara langsung apa yang terjadi dengan para korbannya, tetapi ia tahu hal itu takkan meninggalkan kenangan indah.

Menelan ludah, Nova sedikit banyak mencemaskan keadaan pemuda itu. Sosoknya yang hilang pasti disebabkan oleh azuline. Berada di Permukaan Atas baginya cukup mengerikan karena hal-hal asing di sekitarnya, tetapi Nova masih merasa aman. Di Permukaan Atas tidak ada azuline maupun pagna. Nova pun masih bisa menjelajahi tempat asing itu sendirian. Namun Raka tidak akrab dengan kota asalnya ini, terlalu bahaya. Jika hal-hal buruk terjadi pada Raka, Nova sudah memperingatinya sejak awal. Seharusnya Raka paham. Seharusnya.

Helaan napas Nova mendapat celaan dari Cyrus, "Kau lelah ya, Nova Sarojin? Kau mau istirahat, eh?"

"Ti-tidak," jawab Nova ragu. Sedikit banyak perjalanan Nova di sini membuat perutnya kembali sakit, tetapi ia tidak tahu harus mengatakan apa pada pria itu. Luka ini akan ia urus nanti ketika sudah keluar dari Huva Atma. Cyrus mengambil lorong kecil yang di sisi kanan dan ia merubah tubuhnya menjadi seekor kucing domestik yang berukuran lebih besar dari kucing kebanyakan. Dalam hitungan detik, pria itu kembali mengambil wujud manusia berpakaian serba hitam.

Melihat perubahan wujud Cyrus bukanlah hal asing lagi bagi Nova, tetapi sensasi penglihatan dan pendengaran yang ditangkap gadis itu membuatnya bergidik. Suara tulang-tulang yang bergemeretak menganggu telinganya. Pria itu meregangkan tubuh ketika sudah kembali ke wujud semula.

"Apakah semua raksaka dapat merubah wujudnya sepertimu?" tanya Nova penasaran.

Cyrus melirik Nova dari sudut matanya. Gadis itu tidak melihat apapun bahkan kilauan matanya. Terbayang tampilan geliginya yang buruk seolah-olah keropos karena terlalu banyak makan permen sembari berkata, "Terkadang seseorang hanya melihat apa yang ingin mereka mau lihat, Nova Sarojin. Apakah aku bisa merubah wujudku semauku? Apakah aku raksaka atau manusia? Apakah itu penting, Nova Sarojin? Aku ya aku, Masou ya Masou. Kemampuanku bisa jadi kemampuanmu juga, kalau kau mau."

Perkataan Cy terlalu rumit; Nova tidak paham akan hal yang ia ucapkan. Pria itu menepuk tangannya sekali dan pendaran cahaya berwarna kuning muncul entah dari mana. Cahaya itu mengingatkannya dengan tempat Masou dan jutaan kucing di dalamnya. Hanya saja pendarannya menunjukkan akhir dari lorong sempit itu. Sebuah tangga besi menempel di dinding dan sebuah pintu kayu terpasang pada langit-langit. Nova bertanya-tanya apakah dengan ini berarti ia dapat keluar dari Huva Atma dan kembali ke rumahnya atau mungkin mencari pria yang mengaku sebagai 'seorang teman'.

Cyrus menaiki tangga, mengetuk pintu itu beberapa kali. Sebuah tanda yang terukir di sana menganggu ingatan Nova. Simbol yang menyerupai burung hantu itu pernah ia lihat pada pengetuk pintu sebelum ia memasuki wilayah raksaka. Si gadis mengerjapkan mata, memikirkan kolerasi di antara keduanya.

Di sisi lain, Cyrus berdecak tak sabar seolah-olah seseorang akan membukakan pintu mungil itu. "Kau tahu, kalau kau terus berjalan ke arah utara, kau akan sampai di lingkar kedua Floor. Tetapi, apakah kau akan benar sampai sana? Selama berjalan dalam gelap, seringkali kita beranggapan akan baik-baik saja. Namun azuline akan muncul tanpa kau sadari, kau tahu, memintal pikiranmu, membuatmu berhalusinasi. Tidak ada tempat yang bisa kau bilang aman seutuhnya," Cyrus menengadah, melihat pintu yang tak kunjung terbuka, "Apa sih yang membuatnya lama? Seperti birokrasi saja," keluhnya.

"Kita ke mana sebenarnya?" tanya Nova.

Cyrus menunjuk sebuah plakat di dinding yang baru Nova sadari berada di sana. Plakat itu berwarna perunggu dengan gambar seekor armadillo yang telah dietsa bertuliskan 'Floor's finest home-brewing beer' di bawahnya.

"Ini Armadillo yang itu?" Meski Nova belum cukup usia untuk meminum alkohol, setiap ada seseorang datang ke rumahnya, mereka seringkali meminta armadillo. Ibunya selalu menyimpan persediaan bir ini di dalam kulkas, tetapi ia tidak pernah membelinya secara langsung. Semua orang yang pernah meminum minuman beralkohol tak bisa dipungkiri lagi mengatakan bahwa bir terbaik di Floor adalah home brewing buatannya.

"Armadillo langganan kami. Kau tahu semua orang di Floor sangat suka datang ke sini 'kan? Bahkan para rider pun akan datang dan meminum bir buatannya untuk melepas penat. Di balik dinding itu adalah tempat di mana ia membuat anak-anaknya, minuman favorit di Floor." Cy menunjuk dinding tempat plakat itu menggantung dengan dagunya, "Tempat ini populer, lho, populer! Tapi kau masih belum cukup umur ya, Nova Sarojin? Memang jadi anak kecil itu tidak menyenangkan, banyak pantangnya. Padahal sih kalau kau bisa pilah-pilah tidak akan masalah."

Cyrus mengetuk pintu itu lagi, kali ini lebih keras. Dalam lima belas detik yang terasa begitu cepat karena mendengar omongan Cy yang tak kunjung berhenti, akhirnya pintu itu terbuka, "Lama!" keluhnya, "Untung saja birmu enak."

Samar, Nova mendengar orang di balik pintu itu tertawa. Ucapannya singkat namun suaranya tenggelam dengan kegaduhan di belakangnya. Cy menaiki tangga lalu menghilang ke balik pintu. Tak lama wajahnya yang dipenuhi tindik kembali muncul, mata hitamnya memandang Nova yang setengah terkejut.

"Ayo naik Nova Sarojin, kau tidak mau diam di Huva Atma selamanya 'kan? Aku yang jelas tidak mau turun lagi meskipun kau bilang mau pergi mencari si Bodoh Hiraka itu."

Susah payah, gadis itu menaiki tangga dan perutnya kembali ngilu. Nova memasuki sebuah ruangan yang penuh dengan riders, terlihat dengan aksen flourecent pada jaket mereka yang cenderung gelap. Mungkin ada sekitar total dua puluh rider bersulang dan tertawa dengan minuman beralkohol mereka, bernyanyi di panggung kecil yang terletak di seberang konter bar, dan sisanya berbicara bersama si pelayan bar. Gaduh, semua orang jelas sekali melepas penat, mungkin tengah merayakan sesuatu yang Nova tidak ketahui. Meskipun Armadillo's terlihat seolah-olah tengah disewa oleh sekelompk rider, pengunjung umum tetap tampak berbau di kursi-kursi lainnya menikmati keramaian yang hadi di bar itu.

"Aku tahu barmu ini selalu ramai, Nigel," Cyrus menautkan jemarinya di balilk kepala, berbicara pada pria yang membukakan pintu bawah tanah itu, "tetapi aku tidak pernah melihatnya seramai ini. Kau memberikan sesajen apa lagi pada dewa-dewa? Memangnya mereka masih mendengarkan ya? Kau masih percaya mereka ada?"

Nigel bertubuh cukup kekar dengan perut yang tampak buncit. Kulitnya lebih gelap daripada Cyrus; rambut ikalnya tumbuh semerawut dan tampak berkilau putih karena uban yang mulai bermunculan. Ketika pria itu tertawa, terlihat kerutan halus di pinggir mata dan keningnya, dan menjawab dengan bibir tebalnya, "Ya dan tidak. Mereka ke sini karena mereka baru saja menangkap buruan besar, tahu!"

"Berburu pagna?" pertanyaan Cy dijawab dengan anggukan.

"Halo kedua tamu yang baru datang dari bawah sana!" sapa seorang rider di panggung dengan mikropon, ia jelas-jelas menunjuk Cyrus dan Nova. Suara miknya berdesing nyaring, membuat gadis itu meringis ngilu, "Hari ini hari keberuntungan kalian, kau tahu. Pesan minum sesukamu, kami yang bayar!"

"Heh, kau akan rugi lho!" seru Cyrus dengan suara seraknya sambil menyeringai. Para pengunjung tampak tertegun mendengar suara Cy, tetapi pria itu tidak peduli. Alih-alih ia berjalan mendekati panggung mendekati para rider dan berbisik sesuatu.

"Hei, kau salah satu klien Cy?" pria yang disebut dengan Nigel bertanya pada Nova. Ia mengangguk, mengikuti pria itu menuju konter bar. Pria itu memandang Nova dari atas ke bawah, matanya menyipit, "Kau terlihat familier."

Nova tidak pernah bertemu Nigel sebelumnya. Ia tidak tahu bagaimana wajahnya bisa mirip akan seseorang yang ia tidak kenal, tetapi pria itu tidak lagi bertanya lebih jauh. Nigel kembali menuju konter bar dan gadis itu mengikutinya dari belakang, duduk di atas bangku di hadapan konter. Suasana bar yang temaram tampak gemerlap dengan warna neon yang menjadi aksen jaket para rider. Di sampingnya duduk tiga orang rider yang tampak beberapa tahun lebih tua, berbincang dan tertawa seolah-olah hari itu merupakan hari paling membahagiakan dalam hidup mereka.

Di hadapan para rider itu, seorang pelayan bar menuangkan sepuluh gelas tequila shot. Ia hanya mengenakan kaos polos berwarna hitam. Berbeda dengan Nigel, usia pria itu terlihat seperti di pertengahan kepala dua. Senyumnya menampilkan deretan gigi rapi yang tampak menawan. Ketiga orang rider di sampingnya mungkin tengah bertaruh siapa yang bisa menenggak sepuluh gelas shot itu hingga habis. Pria itu menyadari akan kehadiran Nova, mengambil beberapa langkah untuk mendekatinya.

"Alkohol?" tawar si pelayan bar. Matanya hitam, senada dengan kulitnya yang lebih gelap daripada Nigel.

"Tidak, terima kasih."

"Apa kamu tidak bisa lihat dia masih di bawah umur, Liam?" ucap Nigel tak jauh dari mereka. Pria itu tengah mengelap gelas-gelas dan meletakkannya kembali ke dalam kabinet, "Dia begitu kecil. Pasti makannya sedikit, kami ada roti lapis kalau-kalau kau ingin sekadar camilan."

Nova lagi-lagi menolak. Pelayan bar mengangkat alisnya namun tidak pergi dari hadapan gadis itu. Tak lama, Cyrus muncul sambil merangkul akrab seorang rider yang menyapa dari panggung tadi. Cy seenaknya mengambil satu gelas shot yang dipakai taruhan oleh tiga orang rider di sisinya, menyebabkan salah satu diantaranya merengut dan meminta ganti degan kata-kata yang sudah tidak jelas pelafalannya.

"Nigel!" seru Cy, "Aku punya berita bagus untukmu! Anak ini bilang, dia akan membayar minum-minumku! Heh, Nak, jangan belagu. Nigel sudah mencatat banyak tagihan minum yang belum kubayar, kau tahu. Kau bilang tadi tidak percaya kan? Hei, Liam mana tagihan minumku? Berikan pada anak ini biar hutang-hutangku lunas."

Liam tertawa, dia mengambil sebuah catatan dan membukakan halamannya. Pemuda yang dirangkul Cy membelalak, rahangnya jatuh dan Cy hanya bisa menyeringai penuh arti, "Penyesalan selalu di akhir, anak muda. Sayang sekali padahal kau baru saja mendapatkan buruan yang bagus," ucap Nigel sambi memberikan segelas minum pada Nova, "Soda jeruk, gratis."

Terkejut, Nova berterima kasih. Gadis itu memerhatikan kegaduhan di sekelilingnya dan hal ini membuatnya menjadi pusing. Suara serak Cyrus terdengar balapan dengan keriuhan musik dari panggung. Tiga orang rider di sampingnya tertawa dan kembali meminta minum seperti tidak ada lagi hari esok. Suara denting gelas serta botol kaca tak kunjung berhenti, tawa orang-orang yang begitu lantang, pembicaraan para rider yang tak bisa lagi diperhatikan, semua hal itu membuatnya penat. Perutnya kembali sakit.

Tidak kuat lagi mendengar kebisingan, Nova mencari tanda toilet dan mendapatinya tak jauh dari pintu menuju bawah tanah. Gadis itu berjalan ke arah sana, sedikit berharap dapat mencari ketenangan, dan untungnya dinding kamar kecil ini dapat meredam kebisingan dari luar sana. Bersyukur ia ketika menemukan kotak P3K di dalam kamar kecil itu dan lebih bersyukur lagi ketika ia menemukan perban bersih. Setidaknya, ia dapat mengganti perban darurat yang diberikan Raka.

Ia masuk ke dalam bilik, membuka perbannya dan membuang kaos itu ke dalam tong sampah. Nova menahan napas ketika kembali membebat perutnya, berpikir bahwa ia harus cepat-cepat ke dokter. Merapikan rok terusan yang ia kenakan, gadis itu keluar dari bilik kamar mandi. Ia tidak menyadari akan kehadiran seseorang di sana; sengaja menghadang dan membekap mulutnya.

*

//Who's that man with the cloak? Who's the person who grabbed her in the toilet? Who..who are you?

Well, nothing much to say at this moment. I'm quite busy with some works and fortunately, I decided to update this story every two weeks. Haha. Anyway, thank you so much for reading this story. Leave comments and hit the star for your support! See ya! xoxo//

Continue Reading

You'll Also Like

848K 52.8K 22
[Completed Chapter] Anak itu muncul di jendela meski tak pernah ketahuan kapan masuknya. Tahu-tahu hidupku sudah dijajahnya. Banyu Biru bilang ingin...
4.4K 1K 32
[BOOK #3 OF THE JOURNAL SERIES] London dan Zevania adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Seolah ada benang tak kasat mata yang mengikatnya selam...
3.4K 254 25
[R12+] [√ TAMAT] Latum Alterum Entity © 2020, Ennvelys Dover, All right reserved. Cover Ilustration & Designer: Ennvelys Dover Symbol Illustration...
5.7K 1.5K 24
[Kelas X] Completed Synesthesia yang ia miliki, terus membuatnya tidak bisa hidup dengan tenang. Murid-murid sekolah menjauhinya karena kesalahpahama...