Another Way to Destroy The Wo...

By aulizas

50.8K 6.5K 1K

[15+] Jauh di masa depan, musim dingin panjang telah berakhir dan keadaan bumi sudah hampir kembali ke sedia... More

Prolog
1. Iova dan Kotanya
2. Akai dan Koleganya
3. Iova dan Penyelinapannya
4. Iova dan Misinya
5. Iova dan Pria Botak
6. Dae dan Sumpahnya
7. Eunah dan Pertemuannya
8. Dae dan Fobianya
9. Eunah dan Sebuah Kisah
10. Iova dan Teman Barunya
11. Akai dan Perasaannya
12. Dae dan Dugaan Langit
13. Eunah dan Pelariannya
14. Iova dan Pantulannya
15. Akai dan Masa Lalunya
16. Eunah dan Gua Ali Baba
17. Dae dan Sang Doa
18. Akai dan Penampungan
19. Iova dan Si Kacamata
20. Eunah dan Perjalanannya
22. Iova dan Permintaan Bangsawan
23. Iova dan Mata Super
24. Akai dan Tawaran Riri
25. Eunah dan Tetangga Baru
26. Akai dan Para Monster
27. Akai dan Pengalaman Mereka
28. Iova dan Pertemuan Bangsawan
29. Akai dan Pelayan Xanx
30. Iova dan Salam Perpisahan
31. Eunah dan Sebuah Rahasia
32. Eunah dan Pelariannya (Lagi)
33. Eunah dan Ayahnya yang Super
34. Dae dan Masa Depan
35. Dae dan Cameron serta Tuan Kincaid

21. Dae dan Tiga Pilihan

787 116 12
By aulizas

AN: Untuk pembaca lama, sebenarnya ada adegan tambahan di chapter 6 dan 8 bagian Dae dikarenakan ada karakter tambahan yang mungkin kalian sadari namanya muncul di chapter sebelumnya.

Maaf atas kelabilan ini. Mumpung masih di Wattpad, aku edit-edit sajalah. Lain halnya kalau sudah jadi buku beneran (Aamiin). Terima kasih sebelumnya.

====================

Ketakutan.

Itu adalah kata yang mampu mendeskripsikan perasaan Dae ketika ia membuka mata. Angin yang berembus sangat dingin dan lembap, sampai-sampai Dae bisa merasakan bibir serta hidungnya seolah membeku ketika ia berusaha bernapas. Sekuat apa pun Dae mata mencari cahaya, pandangannya hanya menemukan kegelapan tak berujung yang berakibat pada gemetarnya dia.

Lutut Dae lemas, begitu pula tumitnya. Akhirnya, cowok itu memilih untuk diam di tempat, memeluk diri serta memejamkan mata. Walau tak memberi perbedaan apa-apa pada sekitarnya, setidaknya Dae tahu bahwa dia tak akan melihat hal menyeramkan yang mungkin akan muncul dari balik kelamnya suasana.

Cowok itu berjongkok, mencoba untuk meraba tanah. Namun, tangannya hanya menemukan udara kosong. Seolah-olah kakinya memang berpijak pada kehampaan. Leher Dae tercekat. Perutnya mulas. Dia ingin muntah, tetapi tak ada yang mampu dikeluarkan oleh lambungnya.

Dae mencoba mengalihkan pikiran dengan mengisi kepalanya dengan kenangan-kenangan paling bahagia yang pernah dia rasakan. Akan tetapi, bayangan yang muncul hanya sosok tanpa tubuh di kegelapan. Sosok yang selalu muncul ketika Dae terjebak di tempat yang gelap, seperti saat lampu tiba-tiba padam di tengah malam atau ketika dia terkunci di dalam gudang. Mata-mata tajam yang mengawasi Dae hingga lututnya gemetaran.

Dae menahan napas. Wajahnya panas, demikian pula kandung kemihnya.

Munculnya seberkas cahaya mengharuskan Dae untuk membuka mata. Sebatang pohon besar berlubang tempat kakaknya menghilang adalah hal yang ia lihat kemudian. Pohon itu terang, seperti pohon yang selalu tampak di alun-alun Kota Yuza ketika musim dingin tiba. Padahal suasananya masih sama, udara kosong yang lebih kelam daripada malam.

Sesuatu di dalam diri Dae meminta dia untuk berdiri. Sembari membersihkan keringat dari pelipisnya, cowok itu terpaksa mengikuti. Dia melangkah berat mendekat ke arah pohon yang semakin dipandang tampak seperti monster besar yang tengah memamerkan gigi-geligi tajamnya, seakan siap untuk melahap Dae.

Ketika tiba selangkah lagi Dae masuk ke dalam lubang di pohon, seseorang tak kasat mata mendorongnya. Dae tersungkur ke depan dengan kepala yang berjarak seinci lagi dari lubang. Terlihat titik-titik cahaya yang berkerlip bagai bintang. Namun, alih-alih menganggapnya indah, napas Dae dibuat saling berlomba.

Dae tahu adegan ini. Dia sudah berulang kali mengalaminya dan untuk ke sekian kalinya, Dae berdoa agar semua ini berhenti segera.

"Kenapa Dae tidak menyusul?"

Tidak! Dae berteriak dalam hati. Jangan lagi!

Suara Eunah terdengar seiring titik cahaya yang mendekat. Ingin Dae melompat menjauh, tetapi tangan serta lututnya seolah melekat di bawah. Susah payah dia mencoba menariknya, tetapi sia-sia. Terutama, ketika titik-titik cahaya itu menjelma menjadi kakak perempuannya dengan sosok yang sedikit berbeda. Sebab alih-alih berwarna amber, mata gadis itu bersinar hijau neon.

"Pe-pergi. Kumohon." Dae berkata dengan suara serak.

"Kenapa Eunah harus pergi?" Suara sang gadis menggema saat bertanya. Dae meneguk liur.

Mengibas rambut ambernya sebelum menelengkan kepala, gadis itu kembali bertanya, "Apakah Dae tidak rindu dengan Eunah? Karena Eunah sangat merindukan Dae."

Mata belang Dae melebar. Air mukanya tampak tak percaya ketika di belakang Eunah muncul titik-titik cahaya lain, berputar-putar bagai kunang-kunang musim panas. Bersamaan dengan memudarnya pohon berlubang, titik-titik cahaya itu membentuk dua sosok lain yang sangat ingin ditemuinya sejak dia berada di Negeri Langit.

Mengabaikan sepasang mata yang bersinar terang, sosok ibu Dae tersenyum lembut. Di belakangnya berdiri pria tinggi berambut amber panjang yang dikuncir kuda. Senyumnya tak kalah menenangkan dengan istrinya. Kedua tangan kurus ayah Dae memegang pundak kedua wanita di hadapannya. Sepasang tangan besar yang dulu senantiasa menepuk pundak Dae ketika fobianya kambuh.

"Kau sudah besar, Nak." Ayah Dae menyapa.

Dae menggertakkan gigi sebelum menundukkan kepala untuk menatap jemarinya yang masih melekat. Kulitnya berubah pucat seperti orang sakit, memperlihatkan dengan jelas urat-urat nadi yang berwarna biru keunguan.

"Dae," Ibu menjulurkan tangan kirinya, "pulanglah bersama kami."

Ketiga orang itu menjauh. Sungai berair biru jernih tiba-tiba muncul memisahkan Dae dan mereka. Cowok itu tersentak ketika menyadari bahwa dia telah mampu menggerakkan anggota tubuhnya. Dae berdiri, memperhatikan sekeliling. Padang rumput luas dengan bunga-bunga beraneka warna telah menggantikan ruangan yang gelap gulita. Sewaktu ia menoleh pada anggota keluarganya, dada Dae tertohok menyadari mereka telah menghilang.

"Tanpa Eunah, kau benar-benar bukan apa-apa, ya?" Suara lelaki lain terdengar.

Seorang anak laki-laki seumuran Dae berdiri lima kaki di belakangnya. Dia mengenakan seragam sekolah Dae, kemeja putih dengan dasi biru dengan dua garis kuning pada ujungnya yang meruncing. Rambut gelap kebiruannya disisir rapi dengan sangat licin. Mata hijau neonnya menatap Dae tajam.

"Ca-Cam?" Suara Dae hampir tak keluar.

Cameron mengangguk sekali. "Kautahu apa yang harus kaulakukan, Dae." Dia menunjukkan tiga jarinya. "Kau punya tiga pilihan."

***

Di waktu lain, Dae kembali menemukan kegelapan tak berujung, kemudian berubah menjadi adegan yang berbeda daripada sebelumnya. Kini, Dae berada di dalam dojang. Teman-teman sesama taekwondoinnya duduk melingkari Dae, seolah-olah menunggu Dae melakukan sparring--latih tanding--dengan seseorang.

Namun, ketika menyadari kalau yang berada di hadapannya adalah guru taekwondonya, Dae meneguk liur.

"Sa-sabeumnim!" Spontan Dae membungkukkan badan.

Sabeum Nam tersenyum seperti biasa, membuat Dae tak sanggup berkata-kata. Pria setengah baya dengan wajah kotak itu menyangkutkan kedua telunjuknya pada sela-sela sabuk hitamnya. Walau mata bercahaya hijaunya hanya menunjukkan kekosongan, Dae merasa tertekan.

Dia kembali menegakkan tubuh tepat sewaktu Sabeum Nam berkata, "Kau adalah jeeja kebanggaanku, Dae. Aku tahu kau akan menang saat pertandingan nanti, tetapi," leher Dae tercekat mendengarnya, "kau akan hadir di pertandingan atau tidak, pilihan ada di tanganmu," lanjutnya sembari menunjukkan tiga jarinya.

***

Pemandangan lain dan Dae mendengar kalimat yang amat dikenalnya.

"Murid kebanggaan sekolah! Perwakilan Kota Yuza yang berada di bawah perwalianku!"

Itu suara wali kelas Dae, Pak Percy, yang juga menjabat sebagai guru sejarah. Pria itu tampil seperti biasanya, setelan jas ekstra rapi dengan kacamata bundar yang khas. Rambut putihnya tersisir ke belakang, hampir mirip dengan model rambut Cameron di hari terakhir Dae berada di permukaan. Ada sedikit kumis tipis di bawah hidung besarnya.

Di belakang Pak Percy berdiri teman-teman sekelas Dae. Mata mereka semua bercahaya hijau seperti sosok-sosok lain yang ditemuinya selama beberapa terakhir ini. Mereka semua tersenyum bahagia, seperti Pak Percy yang kini merentangkan tangan ke depan, siap-siap untuk memeluk. Akan tetapi, alih-alih melakukannya, pria itu malah menunjukkan tiga jarinya.

"Masa depanmu, berada dalam genggamanmu, muridku."

***

"Cukup."

Suasana di sekitar perlahan berubah. Tiang-tiang pualam muncul satu demi satu membentuk sebuah ruangan tanpa dinding dengan lantai putih mengkilap. Dae membuka mata, tahu karena siksaan tadi telah berakhir. Penglihatannya menangkap sesepuh tengah berdiri bungkuk di hadapan Dae. Tongkatnya mengetuk-ngetuk lantai, dahinya mengerut heran.

Pria tua itu berjalan mendekat, memperhatikan Dae yang telah kehilangan kekuatan di antara kaki-kakinya. Cowok berambut amber tersebut duduk lemas dengan napas tersengal. Keringat mengalir dari pelipisnya, menetes di atas pakaian putih-putihnya.

"Hari yang berat, Kincaid?" Sesepuh bertanya dengan senyum hangat.

Dae hanya mengangguk untuk menjawab.

Pria tua melanjutkan. "Kautahu apa yang harus kaulakukan untuk melewati ini dengan segera?"

"Melampaui rasa takut," jawab Dae cepat. Dia sudah menghafal jawaban ini sebab telah seminggu penuh orang-orang yang melatihnya menanyakan hal yang sama berulang-ulang, hingga telinga Dae bosan mendengarnya.

Dae pun mengangkat wajah, lalu berkata "Tidakkah kau berpikir kalau Lona--"

"Doalona," koreksi sesepuh.

"Doalona--benar, mungkin salah orang? Aku sudah puluhan kali menjalani tes yang sama, tetapi hasilnya selalu--"

"Beliau tidak salah orang, Kincaid."

Dae memberi jeda sebelum bertanya, "Kenapa kau begitu yakin?"

"Karena menjadi seorang Doa berarti dipilih oleh Sang Penentu Takdir."

"Jadi, hanya karena Lo--maksudku, Doalona yang mengatakannya kalian jadi percaya?"

Sesepuh terdiam sebentar. "Biar kutanyakan hal yang sama. Apakah kau percaya dengan perkataan ibumu tentang hal yang baik dan buruk?"

"Itu tentu saja, bukan? Lagi pula, sekali pun ibuku berbohong dia pasti melakukannya demi kebaikanku."

"Hal yang sama berlaku pada Doalona," balas sesepuh, lalu berjalan mendekat. "Dengar, Kincaid. Kau tak perlu alasan khusus untuk percaya pada orang lain. Karena ketika hatimu," dia berhenti dua langkah di depan Dae, kemudian menunjuk dada Dae dengan tongkat kayunya, "tidak ragu padanya, maka dia orang yang pantas kau percaya."

Pria itu berbalik badan, berjalan lambat menjauhi Dae. "Orang-orang yang menyayangimu pasti tidak akan dengan sengaja menyakitimu, begitu pun kau pada mereka." Dia menolehkan kepala. "Maka, itulah yang kau sebut dengan rasa saling percaya," lanjutnya tersenyum tipis.

Sesepuh beranjak dari tempat latihan, meninggalkan Dae bersama wanita bermata merah yang Dae ketahui bernama Manuka. Wanita itu menatap Dae tajam, selendangnya melayang-layang di sekitarnya, tetapi tidak mengucapkan sepatah kata pun. Hari ini, wanita inilah yang bertugas melatih Dae, walau Dae tidak tahu apa tujuannya menunjukkan guru serta teman-teman sekolahnya.

Manuka berjalan mendekat. Badannya yang tegap terlihat menunjukkan kekuasaan atas Dae. Ketika berhenti melangkah, Manuka berkacak pinggang. "Apa yang menghalangimu, mata belang?" tanyanya ketus.

Dae hanya menatap Manuka tanpa menjawab karena, sesungguhnya, dia juga tidak mengerti dengan adegan-adegan yang ditunjukkan padanya selama seminggu terakhir. Walaupun adegan-adegan itu selalu seputar kehidupannya: teman-teman, sahabat, guru, serta keluarganya. Namun, tak pernah sekali pun Dae menjawab pilihan yang dilontarkan padanya.

Tiga pilihan yang tak kuinginkan. Dae memandangi tangannya yang mengepal, lalu berdiri. Apa yang sebenarnya aku takuti? Aku hanya tinggal memilih, kan?

"Bukan hanya memilih." Manuka melipat tangannya di depan dada. "Pikirkan baik-baik. Kautahu pilihanmu akan memengaruhi masa depanmu, masa depan tiga dunia."

Manuka melayang rendah, kemudian berputar meninggalkan Dae. "Latihan hari ini sampai di sini. Kau juga harus belajar untuk berhenti pipis di celana."

***

Pintu kamar Dae terbuka setelah ia mempersilahkan seseorang untuk masuk. Nara, wanita bermata dan berkalung jingga, melayang rendah ke arah Dae. Di tangannya ada nampan dengan menu makan siang yang selalu disantapnya di waktu yang sama selama seminggu terakhir ini. Dae tegang, tetapi tetap mengizinkan sang manusia langit mendekat ke arah tempat tidurnya.

"Saya akan meletakkan makanannya di sini." Nara menyimpan nampan itu di atas nakas sebelah tempat tidur, tetapi, mungkin karena Dae tidak merespons, Nara memutuskan untuk duduk di sebelah Dae yang masih terdiam dan menunduk memperhatikan kakinya yang tidak beralas.

"Saya mendengar dari Manuka kalau Anda selalu ngompol setiap selesai latihan," ujarnya ramah, membuka percakapan.

"Ha-haruskah, haruskah dia mengatakan itu?" kata Dae terbata-bata menahan malu. Wajahnya memerah.

"Nah, karena saya ditugaskan untuk mengawasi Anda, saya rasa saya perlu mengetahuinya."

Mengawasi, seolah aku dapat kabur dari sini. Dae menggerutu. Kedua tangannya memegang sisi kasurnya erat-erat.

"Tidak. Memang tidak," kata Nara, yang membuat Dae tahu bahwa wanita itu baru saja membaca pikirannya. "Lagi pula, bila Anda memilih untuk kabur, Anda hanya akan jatuh dari ketinggian ribuan kaki."

Dae hanya mengerling tajam pada Nara selama sedetik sebelum kembali menatap lantai.

Sesungguhnya, dia ingin sekali meminta Nara berhenti melakukan hal yang tidak sopan seperti itu. Akan tetapi, Dae terlalu takut untuk menentang. Bayangan akan kemungkinan yang terjadi muncul di kepalanya, berdesak-desakkan seperti kacang polong di dalam stoples. Bisa saja Nara tidak akan bersikap hangat lagi padanya atau Dae tidak akan diberi makanan yang enak lagi. Bahkan, yang terparah, Dae bisa saja dilempar dari pulau mengapung ini.

Nara hanya memandangi Dae iba.

Wanita itu berdiri, melangkah menuju salah satu tirai ungu yang berkibar-kibar di terpa angin, tetapi tidak turut mengibarkan selendang yang melayang di belakangnya. Dae hanya mendapati dari sudut matanya kalau Nara tengah memandangi sesuatu di luar sana. Penasaran, cowok itu menoleh ke arah jendela belakang tempat tidurnya. Sayang, ia tidak menemukan pemandangan spesial.

Matanya hanya melihat awan-awan putih kecil terbang dengan gerakan lambat di luar. Beberapa manusia langit terlihat melintas. Tangan mereka membawa bakul-bakul berisi aneka makanan, kain warna-warni, serta lain sebagainya. Selendang yang melayang memutari tubuh mereka terlihat berkilauan. Entah itu karena sihir mereka atau sebab sinar matahari. Dae tidak terlalu yakin.

Seminggu di Negeri Langit bukan berarti Dae mengetahui segala hal tentang tanah yang mengapung ini. Lagi pula, selama Dae di sini dia hanya pergi ke dua tempat: pulau awan yang menjadi rumah tinggalnya dan pulau awan kediaman sesepuh tempat ia berlatih. Manusia-manusia langit yang ia paling sering temui pun hanya empat orang: Nara, sesepuh, Manuka dan pria emas yang bernama Kaheeng. Bahkan, Lona tidak menampakkan dirinya lagi sejak pertemuan pertama mereka.

Mungkin pekerjaan sebagai Sang Doa membuat dia sangat sibuk, pikir Dae. Dia menghela napas. Padahal, Dae ingin sekali bertemu dengan Lona untuk menanyakan keadaan ibunya dan kalau-kalau Eunah telah kembali dari Kota Bawah Tanah. Sebagai seorang doa, Lona telah menunjukkan kalau dia mampu untuk menangani permintaan sepele seperti itu.

"Apa yang sebenarnya mengganggumu, Dae?" Pertanyaan Nara membuyarkan lamunan Dae. Cowok itu menoleh cepat-cepat ke arah si wanita jingga yang kini menatapnya lurus-lurus. Matanya meredup, begitu pula kalung yang ia kenakan.

Pertanyaan yang sama dengan yang diajukan Manuka. "Entahlah. Aku--aku tidak begitu yakin." Dae menjawab seadanya.

"Apa yang kaulihat selama seminggu terakhir di sana? Apa yang menyebabkan kau tidak bisa melewatinya?"

"Aku tidak tahu."

"Kenapa kau tidak tahu?"

"Karena aku. Tidak. Tahu. Oke?" Dae menjawab lamat-lamat dengan penuh penekanan. "Aku tidak paham dengan apa yang kulihat. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Eunah, Cam, Sabeumnim, Pak Percy, bahkan ibu dan mendiang ayahku menanyakan hal yang sama; tiga pilihan yang tak ada satu pun kuinginkan.

"Manuka, Kaheeng bahkan sesepuh itu hanya mempertemukan aku dengan sosok palsu orang-orang terdekatku. Tapi, itu ... aku ...," napas Dae tertahan, wajahnya memanas, "aku ... aku hanya ingin pulang," lanjutnya susah payah karena ia segera terisak. "Aku ingin pulang dan menjalani kehidupanku yang biasanya, bukan malah berada di sini dan dilatih untuk menjadi Sang Terpilih hanya karena mataku istimewa--atau apalah."

Sang wanita jingga terdiam sebentar. "Apakah itu yang kautakutkan?"

"Yang kutakutkan?" Dae mengerjap-ngerjap heran.

Nara tersenyum simpul. "Kami, para manusia langit, akan mendapatkan ujian yang kurang lebih seperti milikmu sebelum mendapatkan kalung ini." Dia memegang kalung yang menggantung di lehernya, menunjukkan pada Dae betapa berkilau dan berharganya kalung jingga tersebut. "Kalung ini memberi kami warna dan sihir jenis apa yang dapat kami gunakan. Akan tetapi, itu akan terjadi jika kami bisa melewati ketakutan terbesar kami.

"Ketakutan terbesar?"

"Benar. Kegelapan itu menunjukkan ketakutan terbesarmu. Dan, sesuai dengan yang kauceritakan, ketakutan terbesarmu adalah orang-orang yang kaucintai." Wanita itu kembali tersenyum. "Kau harus melewati mereka. Buat mereka tahu kau yang sebenarnya."

***

Di hadapan Dae ada gadis berambut amber pendek, Eunah Kincaid. Sedangkan, suasana di sekitar mereka gelap gulita. Eunah berdiri membelakangi Dae, posisi yang sempurna menurut Dae karena ia memang tak suka melihat mata bercahaya dari sesosok palsu saudarinya. Hal ini bisa membuat hati Dae makin mantap untuk menyelesaikan urusannya dengan orang-orang jadi-jadian ini.

"Hari ini Dae datang lebih cepat dan tanpa bantuan," kata Eunah yang kedua tangannya kini saling terkait di belakang punggungnya.

Dae mengangguk. "Iya. Aku--aku sudah punya jawaban."

"Apakah Dae yakin?"

"Aku sangat yakin."

Sosok itu terkekeh. "Baiklah. Biar Eunah beritahukan lagi pilihan yang tersedia untuk Dae: 1) pulang ke rumah dan berkumpul bersama keluarga Dae untuk menantikan kehancuran dunia; 2) diam di tempat untuk menyelamatkan diri Dae sendiri dan membiarkan kehancuran dunia akan terjadi terlambat dari yang seharusnya; 3) ikut dengan Eunah untuk mendapatkan kekuatan Dae dan Dae 'mungkin' dapat mencegah kehancuran dunia," jelasnya dengan penekanan kata mungkin. Lalu, Eunah memberi jeda, yang membuat bulu kuduk Dae meremang. "Jadi, apa pilihan Dae?" lanjut cewek itu.

Dae menarik napas dalam-dalam sebelum mengembuskannya. "Aku memilih pilihan keempat."

"Tidak ada pilihan keempat, Dae."

"Ada! Pilihan itu adalah aku akan menemukan keberanianku sendiri dan mencegah kehancuran dunia itu tanpa bantuanmu." Dae mengepalkan tangan. "Aku memilih itu."

Eunah berbalik badan. Akan tetapi, alih-alih sosok sahabat palsunya yang berada di depan Dae, kini Dae melihat dirinya sendiri, seolah-olah dia tengah dihadapkan pada cermin raksasa. Mata belang yang sama, rambut amber acak-acakan yang sama dan pakaian yang sama. Doppelganger Dae tersenyum lebar dan penuh percaya diri, sangat berbeda dengan Dae yang biasanya hanya bisa menatap ujung kakinya sendiri.

"Pilihan yang bijak," ujar Dae kedua yang diikuti berubahnya ia menjadi seberkas cahaya yang melayang ke arah Dae.

Dae berinisiatif untuk mengangkat tangan, meraih cahaya itu yang sekarang telah berubah menjadi benda padat berbentuk oval. Dae menggenggamnya erat-erat , lalu membawanya ke depan untuk memperhatikan kalung dwiwarna yang membentuk lambang yin dan yang mengkilap di tangannya. []

Continue Reading

You'll Also Like

768K 69.4K 32
Ini adalah kisah seorang wanita karir yang hidup selalu serba kecukupan, Veranzha Angelidya. Vera sudah berumur 28 tahun dan belum menikah, Vera buk...
2M 106K 39
Menjadi istri dari protagonis pria kedua? Bahkan memiliki anak dengannya? ________ Risa namanya, seorang gadis yang suka mengkhayal memasuki dunia N...
124K 8K 17
Ini dia jadinya kalo gadis bar-bar seperti Joana transmigrasi ke dalam sebuah novel romansa dan menjadi anak perempuan dari protagonis yang digambark...
222K 19.1K 19
Follow dulu sebelum baca 😖 Hanya mengisahkan seorang gadis kecil berumur 10 tahun yang begitu mengharapkan kasih sayang seorang Ayah. Satu satunya k...