Mereka Panggil Aku Psikopat

By QueenNakey

41.4K 4K 1.2K

Aku bukan psikopat. Semua yang kulakukan hanya pembelaan diri saja. Katakan, hal menyeramkan macam apa yang k... More

Mereka Panggil Aku Psikopat

41.4K 4K 1.2K
By QueenNakey

Cerita ini gak ada hubungannya sama cerpen Satu ... , Satu ... Dua ... , Tiga-Tiga ..., atau pun mati. cuma nama karakternya aja yang sama.

Tidak sesadis Satu ... Dua ..., tapi agak bikin jijik. #mungkin

***

Aku tetap diam mengawasi dari balik tembok. Cowok itu selalu tampak berkilau juga memukau. Ke mana pun pergi dikelilingi teman-temannya, tidak terhitung jumlah cewek yang jatuh cinta padanya.

Revaldo Giofardo. Cowok yang benar-benar baik. Semua teman dekatnya memanggil dia 'Aldo'. Aku berharap, suatu hari nanti memiliki kesempatan untuk memanggilnya dengan panggilan akrab juga.

Dia sudah menolongku beberapa hari lalu.

Saat aku belanja di minimarket dan lupa membawa uang, dia tersenyum kecil sambil berkata dia yang akan membayar.

Semua total belanjaanku empat puluh delapan ribu. Dia bilang aku tidak perlu menggantinya. Tapi ini satu-satunya kesempatan agar kami bisa saling bicara lagi. Aku ingin memperkenalkan diri di depannya dengan cara yang lebih pantas.

Namaku Key Diana. Mahasiswi semester tiga, dan sudah Aldo buat jatuh cinta pada pandangan pertama.

***

Di kampus, aku selalu pergi sendiri. Tidak suka berbaur dengan orang lain, karena semua bisa kulakukan seorang diri. Aku bukan sosok yang mencolok di kelas, dengan teman-teman, aku hanya bertegur sapa seperlunya saja.

Tapi, mereka selalu berusaha mendekatiku. Mereka bilang aku cukup pintar dan murah senyum. Pemalu, tetapi ramah pada setiap orang baru.

Seperti hari-hari sebelumnya. Saat Aldo berbincang di teras kelas dengan beberapa temannya. Aku mengintip diam-diam dari balik tiang. Ikut tersenyum saat dia tertawa, sedikit merengut saat beberapa cewek datang mendekatinya.

Aldo itu cowok yang benar-benar ganteng. Tidak terhitung kakak atau pun adik kelas yang naksir padanya. Orangtuanya kerja di luar negeri. Anak Manajemen, lahir 7 Maret dua puluh dua tahun yang lalu. golongan darahnya A+, statusnya masih jomblo. Tinggi Aldo 183 cm. Aldo menguasai bahasa inggris, Indonesia, Jerman, Perancis, dan Jepang.

Aldo suka memakan steak setengah matang. Minuman favoritenya jus mangga. Dia suka kucing bertolak belakang denganku. Aldo juga pintar dan selalu jadi mahasiswa andalan dosen atau pun teman-temannya.

Aldo sangat sempurna. Jangan bertanya darimana aku tahu semua itu? sampai hari ini, aku mengoleksi empat puluh fotonya dari berbagai sudut tanpa diketahui orangnya. Aku tidak mau Aldo menganggapku cewek aneh.

Rencananya, kalo sudah mengumpulkan seribu foto, aku akan mengungkapkan perasaanku. Walau aku tau, sosok sepertiku tidak pantas bersanding dengannya, tapi aku benar-benar menyukai Aldo.

Aku bersembunyi saat Aldo mengalihkan atensi padaku. Apa dia mulai sadar selama ini aku sering memerhatikannya? Apa dia akan jijik?

Berkecamuk. Dipenuhi segala pemikiran buruk. Bagaimana kalau Aldo memandangku sebagai cewek freak yang mengerikan? Apa yang akan aku lakukan kalau dibenci cowok yang aku sukai selama ini?

"Key, 'kan?"

Terkejut. Aku tersentak kemudian mendongak. Tubuhku sedingin es. Sejak kapan dia ada di sampingku? Cowok itu tertawa kemudian lebih mendekat.

"Kak Revaldo." Aku memanggil lirih. Sadar sikapku tidak sopan, cepat-cepat aku menunduk. "Sa-saya. Mau ganti uang wa-wa-waktu itu."

Merogoh tas, kuambil amplop merah muda kemudian menyerahkannya. Aldo diam sesaat, dia tertawa lagi kemudian menerimanya, "Padahal gue udah bilang gak perlu ganti. Tapi karena kayaknya lo udah susah payah gini, gue ambil aja."

Dia sangat perhatian dan pengertian. Lagipula, darimana dia tau namaku? Senang sekali. Rasanya seperti mimpi dia mengenali nama dan masih mengingat wajahku.

"Makasih udah nolong, Kak Revaldo."

"Aldo aja." Dia tersenyum kecil. Membuatku mendongak lalu tersipu. "Nyebut Revaldo itu pasti susah sama kepanjangan, 'kan?"

"Boleh?"

"Boleh dong. Gue seneng dipanggil akrab sama adik kelas yang manis kayak gini." Dia menepuk puncak kepalaku. Aku kian bersemu.

"Oh, Aldo mainnya sama adik kelas sekarang? Yang dideketin cewek freak lagi." Salah satu temannya yang lewat mengejek sambil terbahak. Aku menatap cowok itu sesaat, kemudian menunduk lagi.

Kalau kami digosipkan, Kak Aldo pasti dipandang buruk, 'kan? Lagipula sejak awal kami memang tidak sejajar. Aku harus memperbaiki nama baiknya.

"Bukan, Kak. Saya cuma-"

"Key lo gak perlu jelasin apapun." Aldo memotong tegas. Dia menatap temannya tajam. "Mulut lo bisa sopanan dikit? Key cewek loh."

"Dia emang freak kok. Sinting." Dia menggerakkan telunjuk di depan kening. "hati-hati deh. Tiap yang deketan sama dia, pasti tiba-tiba ilang."

Aku mengepalkan kedua tangan sedih. "Kak Aldo, gak bakalan ilang kok."

"Gak usah lo dengerin omongan dia, Key." Aldo menepuki pundakku. "Terus lo, mendingan pergi sebelum gue marah."

"Terserah!" cowok itu berlalu pergi.

Aku merapikan tasku, kemudian mendongak dan tersenyum kikuk, "Maaf, Kak. Udah bikin Kak Aldo kena masalah. Kak Aldo pasti dipandang buruk kalo deket-deket sama saya."

"Jangan ditanggepin. Gue yang mutusin sama siapa mau deket? Persetan sama tanggapan orang." Aldo mengulum senyuman. "Lain kali kalo mau ngobrol gak perlu ngumpet. Gue gak makan orang kok. Gue ada kelas, duluan, ya."

Aku mengangguk dan menyentuh kepalaku yang tadi disentuhnya. Masih terasa hangat. Tangan Aldo benar-benar besar dan hangat.

Orang baik. Tidak memedulikan reputasinya yang bisa saja hancur kalau berdekatan denganku, dia tetap memperlakukanku sama baiknya dengan teman-temannya yang lain.

Suatu hari nanti, aku juga mau jadi orang baik seperti Aldo.

***

Rasanya aku tidak mau mencuci rambut. Bersenandung di toilet, aku tidak bisa berhenti tersenyum. Tidak menyangka bisa ngobrol selancar tadi dengan cowok yang kukagumi.

Pintu toilet terbuka. Aku menatap dua orang cewek yang masuk sambil menyorotku bengis. Mengawasi dari pantulan cermin. Aku tidak menghiraukan mereka. Membungkuk, kembali membasuh muka.

Dugh!

"Ukh." Memekik kesakitan. Aku berusaha berdiri saat kran air diputar. Salurannya ditutup. Tangan yang mendorong kepalaku menenggelamkan wajahku di dalam wastafel. Aku berusaha menepis.

Tapi tangan lainnya justru memukul punggungku keras.

Sesak. Aku tidak bisa bernapas.

"Gue denger ada cewek aneh yang jadi stalker Aldo belakangan. Lo, 'kan? Tau diri dong! Lo juga yang ngasih surat cinta sama dia? Zaman udah canggih masih jadul aja kayak tampang lo!"

Aku terbatuk dan mengambil udara banyak-banyak saat dorongan di kepalaku melonggar. Berbalik, kurasakan darah yang merembes menyusuri pelipis kanan. Perih. Tadi terantuk kran keras sekali.

"Itu bukan surat cinta." Aku menggeleng. Sepertinya mereka salah paham. Aku hanya takut Aldo malu kalau mengembalikan uang yang tidak seberapa secara langsung. Itu akan mengurangi kekerenannya. "Saya bayar hutang sama Kak Aldo. Dulu dia nolongin saya."

"Bohong!" cewek satunya mencibir sinis. Entah sejak kapan ponselku sudah ada di tangannya? Dia mengarahkan layaknya padaku. "banyak banget foto Aldo di sini. Lo saiko, ya?"

"Enggak." Aku menggeleng lagi. "tolong balikin hape saya."

Tapi mereka tidak mendengarkan. Dengan kejamnya justru melemparkan ponselku ke lantai sampai hancur. Aku merintih, menatap mereka sedih, "Salah saya apa, Kak?"

Yang memakai baju biru, namanya Elga. Yang pakai baju merah, bernama Nelis. Dua cewek yang cukup mencolok di kampus. Mereka yang selalu menempeli Aldo ke mana pun dia pergi.

Satu. Dua. Tiga. Empat.

Aku terhuyung mendapat empat tamparan. Menjerit kecil saat rambut basahku kembali dijambak. Nelis melotot marah, dia mendesis, "Berani lo gak tau diri lagi terus deket-deket Aldo, gue bunuh lo!"

"Bu-nuh?"

"Iya. Lo bakalan gue mampusin!"

Aku tertunduk saat perutku ditinju. Mereka benar-benar cewek yang kasar. Kenapa sampai hati berbuat sejauh ini?

"Gue bakalan kasih tau Aldo soal hape lo tadi. Biar dia sadar, kalo lo itu bikin jijik."

"Jangan, Kak!" Aku menyambar tangan Elga. Menggeleng memohon. Manikku kian panas. "Kakak boleh pukul saya. Tapi tolong jangan bilang sama Kak Aldo. Saya gak ada maksud buruk kok."

"Kak Aldo?" Nelis mendelik bengis. Dia menoyor kepalaku berkali-kali. "Kak Revaldo. Cewek dungu!"

Aku mengangguk. Dikatai dungu juga tidak apa-apa. Dipukul dan ditendang aku tidak masalah. Tapi aku benar-benar berharap mereka tidak membeberkan rahasiaku. Aldo pasti tidak akan mau lagi walau sekedar melihat wajahku.

"Kak, tolong jangan dibilangin ke Kak Revaldo."

"DIEM!" Elga lagi-lagi menamparku. Kedua pipiku terasa bengkak. Sakit dan perih membuat bicara pun susah. "Mati aja lo sekalian. Mau beneran kita mampusin? Enyah!"

"Dasar cewek sinting!"

Puas mengerjaiku. Nelis berbalik melangkah menuju pintu diikuti Elga. Aku menatap punggungnya tajam. Mudah sekali bagi mereka menyiksa dan mengancam akan membunuh orang.

Mereka tidak tau mati itu sesakit apa?

Mereka lancang mengancamku, seolah benar-benar berani melakukannya saja. Sampah. Rendahan. Tidak layak hidup. Harusnya~

"Kalian aja yang mati." Aku mendorong Elga sekuat tenaga. Elga menubruk Nelis dan karena Nelis hilang keseimbangan, dia menghantam tembok dengan kepala yang lebih dulu membentur.

Mereka menjerit kesakitan.

Memanfaatkan kesempatan, aku mengambil plastik hitam di dalam tas untuk membungkus tangan. Meraih kepala Nelis yang kali ini berbalik, sekali lagi kuhantamkan ke dinding sampai terdengar suara retakan.

Pelan-pelan, Nelis terduduk lunglai. Jejak darah di dinding terlihat amat memukau.

Elga menjerit syok. Percuma. Ini sudah sore. Biasanya toilet wanita ujung gedung memang jarang dipakai. Aku seringkali jadi satu-satunya yang datang. Gosip santer membuat orang-orang bahkan terlalu takut untuk datang ke tempat ini.

Katanya~ toilet ini berhantu. Mereka pasti sengaja datang untuk menakutiku. Memanfaatkan kesendirianku.

"Lo gila, ya?!" Elga berteriak marah. "Lo mau bunuh kita?"

"Kalian yang ngancem mau bunuh saya duluan." Aku menggeleng. Meluruskan kesalahpahaman. "Saya cuma membela diri."

"Lo-!"

"Ssst!" tangan kananku bergerak, menusukkan pulpen ke lehernya. Darah menciprat ke wajahku begitu pena itu kucabut lagi. Elga meringkik, jatuh sambil memegangi lehernya yang berlubang dan mengucurkan darah. "Saya ngehindarin bagian fatal kok, Kak. Jadi Kakak gak bakalan mati."

Aku tersenyum kecil. Mendorong Elga sampai telentang, menarik tangan kanan Elga paksa agar menggenggam pena yang tadi menusuknya. Elga meronta, aku menggencet dada kanannya dengan lutut sampai dia meringkik lagi. Tidak ada suara yang bisa keluar melewati tenggorokkannya.

Pulpen itu ujungnya kuarahkan ke mata Elga. Kakak kelasku mengelak. Namun tenaganya semakin menipis saja. Mata kirinya melotot merah saat pena itu berhasil menusuk mata kanannya. Darah menyembur keluar. Aku tertawa bahagia.

Bergantian, kali ini ujung pena kuarahkan ke mata kanannya. Menusuk pelan-pelan, membiarkan Elga lebih lama merasakan kesakitannya.

Dia buta.

Tubuhnya terus mengejang. Aku lebih menekan dadanya dengan lutut sekuat tenaga. Membuat dia kian sulit bernapas.

Darah kian tercecar menggenang di lantai.

Pasti akan sulit membersihkannya.

Aku merogoh lagi tas, mencari sesuatu yang lebih menyenangkan untuk dimainkan. Kudapati sebuah pisau kecil. Bangkit dari tubuh Elga, kuinjak-injak kepalanya melampiaskan kekesalan sejak tadi.

"Kenapa kalian kasar?" Aku tidak mengerti. Manusia semakin susah dipahami. Selalu menjadikan kekerasan sebagai jalan penyelesaikan. Padahal masalah past bisa diselesaikan kalau dibicarakan secara damai.

"Kenapa kalian mau bikin aku dibenci sama Kak Aldo?"

Duduk di samping Elga, dia memberontak lemah saat satu demi satu jarinya kuiris. Kumasukan ke dalam kantung plastik yang baru. Kenang-kenangan, hadiah yang akan kuberikan untuk seseorang yang paling berharga.

Aldo~ suka makan sup jari tidak, ya?

Sebenarnya aku tidak suka makan daging manusia. Mereka menjijikkan. Apalagi organ yang disebut mata. Selalu memandang rendah seseorang yang berbeda kasta. Mata juga yang membuat mereka sombong kalau merasa lebih cantik dan lebih tampan dari orang lain.

Aku terdiam saat mendengar suara erangan. Tampaknya tidak lama lagi Nelis akan sadar. Aku menyapu pandang, mencari sesuatu yang bisa dipakai untuk mengikatnya agar tidak melawan.

Kosong.

Aku tidak memperkirakan ini sebelumnya.

Benda panjang apa yang bisa kupakai?

Aku menatap perut Elga. Tersenyum kecil. Mungkin usus-ususnya akan berguna. Aku menyayat perut Elga pelan-pelan, tidak ada respons. Sepertinya dia memang sudah mati.

Membuka perutnya sampai lebar. Darah merembes mengotori pakaian kami berdua. Aku mengoyaknya, meraba sesuatu yang kuinginkan.

Usus Elga kutarik keluar. Memotong setelah mengambil sebagian besar. Aku mendesis jijik saat terdapat kotoran.

Bau.

Cepat-cepat kuikat tangan Nelis menggunakan usus temannya.

Aku diam sebentar. Nelis juga pasti akan berteriak. Aku butuh sesuatu untuk menyumpal mulutnya.

Aku menatap perut Elga lagi. Mungkin, ada jantung atau hati yang bisa kupakai. Menariknya sampai lepas, aku membuka mulut Nelis lebar-lebar, lalu memaksa memasukkan semua liver Elga ke dalam mulut kakak kelasku tercinta.

Lenguhan kedua. Nelis tampak kesulitan bernapas. Pelan-pelan matanya terbuka. Aku lebih mendekat, tersenyum lebar saat dia memekik terkejut. Dia berusaha mundur tapi tersudut. Pekikannya kembali mengaung saat melihat sosok Elga di sampingku.

"Kak Nelis, makan hatinya Kak Elga loh."

Nelis menggeleng dan tampak mual. Lalu dia memuntahkan semua yang ada di mulut dan perutnya. Lantai semakin kotor.

Aku merogoh sesuatu yang lain di perut Elga, kemudian melemparkan ke wajahnya. Dia menjerit melengking.

"LO GILA, YA! BENER-BENER GILA! DASAR PSIKOPAT!!!"

Diam. Aku tersenyum simpul. "Kakak, kalo ampe nuduh saya psikopat lagi, bakalan saya bunuh loh."

Ini korbanku yang keberapa? Aku juga tidak menghitungnya. Selalu saja mereka menghinaku dengan kata-kata yang sama. Psikopat? Itu terlalu kejam. Memangnya mana perbuatanku yang dan menunjukkan aku mengalami gangguan jiwa?

Tidak ada yang salah dengan nilaiku di kampus. Aku dibesarkan di panti asuhan, sebelum akhirnya diadopsi oleh Mama dan Papaku delapan tahun lalu.

Mereka mengajariku bagaimana cara melawan saat ditindas. Aku pasti dipukul dan dicambuk kalau melakukan kesalahan.

Aku tidak punya alasan untuk jadi seorang psikopat.

Mama dan Papa juga sudah mengakui kebaikanku. Mereka tidak pernah lagi memukuliku. Keduanya tampak akur dan tidur di kasur, tidak berpergian lagi seperti yang lalu-lalu.

Kalau bukan karena uang pensiunan mereka, aku tidak akan hidup layak seperti sekarang. Mama dan Papa memang sudah terlalu tua. Wajar kalau bangkit dari tempat tidur saja sudah tidak bisa.

"Psikopat itu yang macem apa?" Aku menarik bibir bawah Nelis, merobeknya dengan pisau. Nelis menggeleng menolak. Membuat robekannya melebar sampai ke dagu.

"TOLOOONG!!!" Nelis terus berteriak. Menendang-nendang pintu dengan kakinya. "TOLOOONG!!!"

Berisik. Benar-benar berisik.

Aku menghujamkan pisau ke pahanya. Dia lagi-lagi menjerit. Kucabut, kutusukan lagi. Cabut lagi, dan tusuk lagi. Terus kulakukan berkali-kali membuat dia kian melemah. Membuatku khawatir cairan merah amis itu merembet sampai keluar toilet.

Merepotkan.

Berdiri. Kutendang kepala Nelis sekuat tenaga, "Saya tanya psikopat itu yang macem apa? Kenapa Kakak tega nuduh saya psikopat? Emang saya salah apa?!!"

Nelis memohon ampun. Dia bersujud di bawah kakiku. Dia sampai terisak-isak.

"Ampun, Key."

"Ck!" kutendang lagi dia sampai telentang. Kuarahkan tombak sepatuku ke mata kanannya. Sebelum Nelis sempat berbalik, kuinjakkan sampai heelsku menghancurkan bola matanya.

Nelis beteriak lagi.

Entah kenapa aku senang mendengar suara tangisnya?

Saat mulutnya terbuka. Aku menarik kembali kakiku kemudian menghujamkan ke mulutnya. Heelsku mencapai tenggorokkannya. Aku tertawa.

Sepatuku semakin basah.

Kotor.

Aku rasa ini sudah cukup. Dengan ini, mereka tidak akan berani lagi menggangguku. Mereka juga tidak akan memberitahukan kebiasaanku pada Aldo.

Meringis. Aku menendang tubuh Nelis yang kakinya menghalau pintu. Sudah malam. Seharusnya tidak ada lagi seorang pun murid di kampus mengingat universitas kami tidak mengizinkan adanya perkuliahan malam.

Setelah ini, besok aku akan bertemu lagi dengan Aldo.

Pelan-pelan, aku membuka pintu. Tertegun melihat seorang cowok yang berdiri di hadapanku. Aldo pun tampak terkejut. Dia memerhatikanku dari ujung kaki sampai kepala.

"Key?"

Kenapa dia bisa ada di sini? Apa dia mendengar suara jeritan Nelis?

"Kak Aldo. Jangan salah paham! Ini saya kotor bukan darah. Tapi tinta warna merah!" aku menjelaskan.

Habis sudah. Tidak mungkin Aldo akan percaya.

Aku tertunduk dalam. Bersiap karena dia pasti akan memakiku. Tubuhku gemetaran. Namun Aldo tidak berkata apapun.

Aku bungkam. Heran melihat tangan kanan Aldo yang menggenggam sebuah pisau besar. Tau arah tatapanku, Aldo menyembunyikan tangan kanannya di balik punggung.

"Kak Aldo?" panggilku resah.

Aku mundur beberapa langkah saat Aldo justru mengukir senyuman aneh.

Tamat

Silakan tebak-tebak sendiri cerita kelanjutannya sesuai ekspektasi anda. Saya tidak akan memberikan kelanjutannya.

Continue Reading

You'll Also Like

9.2K 1.6K 26
Bagaimana mungkin zaman sekarang ada mitos tentang penculikan seseorang oleh Alien? Entahlah itu hanya kata peramal saja. Tepat di hari ulang tahun J...
17.4K 638 15
Kami menikah bukan karena cinta, tapi karena kejadian satu malam yang membuat kami harus menikah. Bisakah kami menjadi orang tua yang baik untuk dia...
33.5K 3.1K 51
Ini cerita pertamaku jadi maklumi jika ada yang salah. dan mohon dukungannya agar aku dapat menulis dengan lebih baik. _Disaat kehadiranmu tidak kusa...
190 81 11
Aruna si perempuan yang dikenal membosankan itu tiba-tiba mendapat serangan 'panah cinta' dari dua laki-laki yang saling berteman, tak menyangka mera...