The Ending [Sekuel The Letter]

By MsLoonyanna

60.6K 6K 924

[ROMANCE-HURT/COMFORT-ADVENTURE-ACTION-SUSPENSE] Setelah perpisahan menyesakkan di Menara Astronomi dan juga... More

Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
do me a favor?
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Epilog - When it All Ends
NEW FF! Mind to Read?

Chapter 9

3K 380 91
By MsLoonyanna

Harry Potter © J. K. Rowling
The Ending © MsLoonyanna
(Ms. Loony Lovegood)
.

Adventure-Suspense-Romance
Setting : Hogwarts War, 7th Year

Modifikasi buku ke-7 : Harry Potter and the Deathly Hallows

[Semi Canon]
.
.
.

P.S. :
I guess that it'd be better if you guys listen to Twenty One Pilot's song "Truce" for this chapter. Enjoy!

•••

"Stupefy!" Sebuah lemparan mantra berhasil menguarkan pusat konsentrasi Draco yang sedari tadi terus memikirkan gadisnya bersama Harry Potter—mereka tampak kelewat akrab dan bahkan terlihat nyaris melebihi seorang 'sahabat'. Err, setidaknya begitu pikirnya.

Pemuda bermanik abu itu menghindar dengan gesit secara menakjubkan. Pada saat keadaan seperti ini, rasa-rasanya punggungnya pun seolah memiliki mata dua arah. Well, jangan salahkan intuisi seseorang yang sudah terlampau sering mengalami hal-hal buruk dalam hidup mereka, yeah, sehingga sikap waspada pun selalu menjadi hal nomor satu.

"Weasley sialan!" jeritan murka Bellatrix yang mengerikan seolah mampu membelah otokrasi jagat keremangan di heningnya atmosfer sekitar. Kini penyihir berpelupuk mata tebal itu sedang one-by-one bersama Ronald Bilius Weasley.

Draco dapat mendengar jelas percakapan keduanya yang berada tak jauh dari tempatnya berdiri, tepat di saat ia berhasil menghindari mantra pemingsan dan melempar balik sebuah kutukan yang sama terhadap penyerangnya itu.

"Kau pikir Lestrange tidak sialan, eh?" tantang Ron sengit, pemuda Weasley itu meludah kasar. Tangannya mengacung ke depan, memegangi tongkatnya dengan erat, sebagai atestasi bahwa darah singa benar-benar mengalir di setiap inci nadinya. Percayalah, Ron benar-benar mengeluarkan aura Gryffindor-nya untuk malam ini. Ya, dia tampak berani. Sangat berani.

Pemuda berwajah bintik-bintik dengan hidung panjang itu berkali-kali memberikan autosugesti pada dirinya sendiri. Bagaimanapun, ia harus memiliki estimasi personal yang baik untuk bisa menghadapi semua ini.

"Dasar kau, bedebah! Darah Pengkhianat! Cih! Keluarga miskin!" cemooh si wanita keriting bertubi-tubi.

"Jangan pernah kau berani menghina keluargaku, jalang!" Emosi Ron naik seketika. Wajahnya yang sudah memerah karena suhu udara yang tiba-tiba terasa panas kini semakin menjadi merah padam ketika ia berusaha keras untuk menahan amarah yang faktanya sudah mencapai taraf kulminasi maksimal.

"Kurang ajar kau, Weasley kecil!" Bellatrix menggeram berbahaya. "Kau berani mengataiku?" Atensi wanita berkulit agak gelap itu membulat sempurna, memancarkan aura mengancam dalam detik yang bersamaan.

"Memangnya kau pikir kau siapa? Kau bahkan tak ubahnya seorang kacung idiot nan setia si Voldemort menjijikan itu! Cih!" Ron kembali mendecih dan itu bukanlah pertanda baik ketika dengan tiba-tiba Bellatrix menyeringai misterius. Entah apa yang tengah dipikirkannya sekarang.

"Aku akan menghancurkanmu," ia berbisik pelan, tetapi masih dapat didengar jelas oleh Ron.

"Coba saja kalau kau berani!" Ron tak gentar sedikit pun, membuat wanita di hadapannya itu justru semakin menaikkan satu ujung bibirnya, meremahkan.

"Baiklah ...," ucap Bellatrix dalam nada lambat.

"_"

"CRUCIO!" Atensi biru terang Ron berpendar terkejut seiring dengan jeritan menyakitkan yang berhasil menembus gendang telinga orang-orang di tempat itu.

"Aaaarrrrgh!"

"HERMIONE!" Draco dan Ron berteriak nyaring secara bersamaan tatkala tanpa disangka-sangka mantra dari tongkat Bellatrix justru mengincar Hermione sebagai target kutukannya, alih-alih Ron.

Dan ... bingo! Itu sungguh tepat sasaran. Si gadis Gryffindor kontan menjerit kesakitan, sementara Harry yang begitu terkejut akan peristiwa yang sepintas lalu terjadi dengan secepat kilat tepat di depan hidungnya hanya bisa ternganga. Pemuda Potter itu refleks menahan tubuh Hermione yang nyaris limbung ke atas tanah, meskipun sebenarnya ia sendiri belum bisa dikatakan dalam kondisi yang baik; dada, kepala, serta sekujur tubuhnya masih terasa sangat perih dan sakit luar biasa.

"Apa-apaan kau?!" raung Ron Weasley garang. Kini ia beringsut mendekat ke arah Bellatrix yang berdiri pongah tak jauh darinya sembari tertawa-tawa bak orang gila.

"Huuuhh, little Weasley marah, eh? Hahaha. Wajahmu sangat lucu!" Lengkingan tawa si wanita kejam, Bellatrix, membahana di dalam hutan bermandikan darah nan sepi itu.

"Menyerangmu secara langsung hanya akan membuang-buang waktuku. Nah, mengapa tidak melalui gadis lumpur itu saja jika efeknya ternyata sama luar biasanya? Kurasa kau menyukainya, eh?"

Bellatrix maju selangkah dan mengelus-elus pipi Ron dengan kuku-kuku tajamnya. "Kau begitu membelanya, tapi ... lihat, apa yang dia lakukan? Jalang menjijikan itu lebih memilih keponakanku yang berdarah murni untuk menjadi kekasihnya, hm? Padahal seorang Darah Lumpur sepertinya hanya pantas dengan seorang Darah Pengkhianat sepertimu! Karena kalian sama-sama kotor!" Bellatrix menggulirkan matanya muak.

Kekasih? Jadi ternyata Hermione dan Malfoy sudah memiliki hubungan sejauh itu? batin Ron mulai protes, ia merasakan ngilu di bagian dadanya. Jujur, ia baru tahu akan hal ini dan, well, itu cukup mengagetkannya. Sangat, kalau boleh terus terang.

"Lepaskan tangan kotormu itu." Akhirnya Ron kembali menemukan suaranya. Ia berusaha untuk tetap memberikan afirmasi terhadap setiap kata yang diucapkannya, meskipun yang terjadi justru berkebalikan. Sekarang ia merasa hatinya rapuh dan perih mengetahui hal yang begitu ia sangsikan selama ini akhirnya benar-benar terjadi.

Ron salah mengira, ia pikir Hermione menyukainya. Ia pikir Hermione mencintainya, bukan mencintai pemuda pirang yang kini tengah beringsut mendekati gadisnya itu. Ya, gadisnya. Setidaknya, ia masih menganggap gadis itu akan menjadi miliknya sebelum si keriting Bellatrix datang dan memberitahukan hal yang paling tak ingin ia dengar di dalam hidupnya.

Apakah ia sudah sangat terlambat menyadari perasaanya terhadap sahabat perempuan satu-satunya itu? Bagaimanapun, ia merasa bersalah karena ... ya, begitu terlambat untuk terbangun dari kenyataan bahwa Hermione benar-benar tumbuh sebagai seorang 'gadis' yang akhirnya mampu menangkap perhatiannya, dan jelas perasaan ini berbeda dengan apa yang pernah dirasakannya terhadap Lavender Brown dulu. Percayalah, Ron benar-benar merasa telah menjadi pemuda paling bodoh di dunia dalam sekejap kedipan mata.

Pandangan pemuda Weasley itu lurus dan terfokus ke arah depan. Sama sekali tak tergoyahkan oleh agitasi sang wanita keturunan Black itu. Ya, setidaknya ia mencoba tegar di saat-saat seperti ini. Namun, suara-suara mengintimidasi berbalut ejekan kental itu kembali memenuhi serebrum kepala merahnya, membuat sang empunya sulit untuk mengontrol emosi—yang kata Hermione bahkan hanya sebesar sendok teh. Ia tersenyum kecil mengingatnya, tapi ...

Astaga! Apa yang ia harapkan? Hermione sudah menemukan orang yang dicintainya dan itu bukan dirinya. Itu berarti harapannya sudah pupus terhadap sang gadis. Tak lagi ada celah untuknya sama sekali. Tak ada lagi jalan untuk menyusup ke tengah-tengah dua hati yang telah telanjur menyatu Ah, ia kalah. Ia terlambat.

"Kau tak ada apa-apanya dibanding keponakanku, Draco, Weasley. Kau tahu? Kau hanya seorang pemuda miskin dengan darah pengkhianatan yang mengalir menjijikan di nadimu. Tak akan ada satu pun gadis yang tertarik padamu, sekalipun itu Granger si Darah Lumpur yang begitu kau kagumi!" desis Bellatrix tajam tepat di cuping telinga pemuda yang kini tengah berdiri membatu itu. Bibirnya menyeringai mengejek. Sedangkan Ron? Ia tampak seperti baru saja menatap langsung ke arah mata kuning sang Basilisk.

Ron Weasley berusaha keras untuk memunculkan rasa percaya dirinya. "Diam kau!" bentak pemuda itu garang.

Bellatrix kembali mengelilingi tubuh Ron yang masih menegang. "Merasa kalah, eh?" Wanita itu terkekeh pelan.

"Ron! Ayo kemari! Tinggalkan dia! Kita harus pergi dari tempat ini secepatnya!" Yang dipanggil segera menoleh ke arah sumber suara yang menyuarakan namanya barusan. Namun, hal yang paling tak ingin dilihatnya saat ini justru terjadi begitu saja. Ia melihat Hermione yang kini berada dalam dekapan sang Malfoy junior, Draco Malfoy. Sementara Harry berdiri lemas di sebelah mereka. Tampaknya semua Pelahap Maut sudah berhasil mereka tumbangkan—minus Bellatrix Lestrange, tentu saja.

"Lihat sendiri, 'kan? Kau memang tak ada apa-apanya." Seringai mencemooh terpeta jelas di bingkai wajah sang penyihir wanita pengikut setia The Dark Lord itu. Ya, devosi wanita itu memang sangat tinggi terhadap tuannya.

"Aku tak peduli apa katamu!" Ron berlari menjauhi wanita yang masih berdiri sembari menyunggingkan senyum kejinya itu.

"Kenapa kau biarkan mereka pergi?" sahut salah seorang Pelahap Maut yang rupanya masih tersisa.

"Lihat saja nanti."

"Ron! Ayo cepat! Kita tak punya banyak waktu!" teriak Harry lagi.

"Satu ...."

"Ayo, Weasel! Cepatlah sedikit!" Draco mulai menggerutu melihat Ron yang jaraknya masih sekitar sembilan meter dari mereka.

"Diamlah, ferret," Ron berkomentar di tengah-tengah napasnya yang tersengal karena berlari.

"Dua ...," Bellatrix kembali menghitung, entah ia sedang mengalkulasikan apa.

"Ti—" Bibir wanita itu berkedut, menahan seringai lebar yang sebentar lagi akan tercuat keluar. "—ga!" sambungnya kemudian.

"Ayo berpegangan semuanya! Kita akan segera ber-apparate!"

"HERMIONE AWAAAAASSS!"














"Aaaarrrrgh!" Lengkingan suara Hermione terdengar begitu jelas, membuat Harry maupun Draco terperangah tak percaya. Apa yang baru saja terjadi?

Hermione memejamkan matanya rapat-rapat ketika dilihatnya belati perak yang tiba-tiba terlempar persis menuju ke arahnya, tepat mengincar jantung gadis itu. Benar-benar sudah hampir menghunus di dalam rongga terdalamnya, tetapi mengapa ia tak merasakan sakit sama sekali?

"Ron ...."

"Weasley ...."

Sayup-sayup, Hermione mendengar dua suara maskulin berbeda yang masing-masing menyuarakan nama Ron Weasley. Dengan perlahan, gadis itu akhirnya membuka kelopak matanya yang seketika berpendar dalam keremangan cahaya. Beberapa kali ia mengerjap-ngerjapkan hazel-nya sebelum atensi itu benar-benar terfokus pada objek di depannya.

Pemuda jangkung berambut merah dengan belati perak yang tertancap tajam tepat di dadanya—dan mungkin saja hingga menghunjam jantungnya—menyambut pandangan Hermione Granger.

"Sialan!" Bellatrix mengumpat dari kejauhan menyaksikan konstansi seorang Ronald Bilius Weasley dalam melindungi Hermione Jean Granger, gadis yang dicintainya. Ia merasa bahwa gratifikasi positif sama sekali tak merayapi sudut-sudut hatinya. "Sungguh picisan!" cemoohnya lagi.

"Ron? ROOOOONNN!" Suara Hermione menggelegar pilu, memenuhi keheningan seisi hutan.

"Her-Hermione ...."

Gadis yang dipanggil Hermione itu kini tak lagi sanggup membendung fluktuasi gemuruh di dadanya yang sebentar lagi akan tumpah ruah membuncah rasa pedihnya.

Perlahan, bulir-bulir bening mulai jatuh satu per satu membasahi pipi gadis cantik itu. Ia meletakkan kepala Ron di atas pangkuannya sembari terus-menerus mengelus pipi pemuda tersebut yang kini mulai tampak memucat, berharap Merlin mengirimkan keajaibannya sekarang juga.

"Ron, kumohon ... bertahanlah," pinta gadis Granger itu terisak.

Harry menggeleng pasrah melihat sahabatnya yang sudah terbujur lemah dan bersimbah darah. Ini bahkan terlihat berpuluh kali lipat lebih mengerikan dibanding luka splinching yang pernah menyobek lengan pemuda Weasley itu beberapa waktu lalu.

Harry Potter tahu betul bahwa belati perak itu sudah diberi racun oleh Bellatrix, racun yang dengan sekejap mata akan menggerogoti tubuhmu dan melepas nyawamu secara paksa dari ragamu.

Dengan perlahan, jemari kokoh Ron mulai menjelajahi lekuk wajah Hermione. Mencoba untuk menghapus jejak-jejak air mata yang baru saja keluar dari sang empunya.

"Jangan menangis, 'Mione. A-ada Mal-Malfoy dan Har ... Harry yang a-akan selalu men-menjagamu untukku." Ia menoleh susah payah ke arah dua pemuda yang entah sejak kapan telah ikut bersimpuh di sebelahnya. Draco dan Harry ikut terhanyut dalam kesedihan satu sama lain.

"Ku-kupikir, waktuku su-sudah habis untuk bersamamu, t-tapi ketahuilah, aku se-senang melakukan ini un-untukmu, 'Mione. Aku senang bi-bisa melindungimu di akhir hayatku." Pemuda Weasley itu tersenyum sendu, sebulir air mata lolos dari mata biru pucatnya. "Meski ... meskipun sekarang a-aku tahu bahwa kau hanya me-menganggapku tak lebih dari sekadar sa-sahabat. Maaf ... maafkan aku, a-aku terlambat menyadarinya, 'Mione ...."

Hermione semakin terisak, ia tahu ke mana arah pembicaran ini berlabuh. Ya, Hermione sangat menyukai Ron dalam artian yang lebih dari sekadar sahabat. Namun, itu dulu. Dulu sekali, sebelum gadis itu akhirnya merasa sakit hati dan mendapati dirinya berpaling ke sosok yang bahkan tak pernah ia bayangkan sama sekali.

"Aku ... aku men-mencintaimu, Hermione. A-aku menyayangimu dan juga Ha-Harry," jelas Ron sulit, membuat gadis itu benar-benar tak kuasa dan akhirnya segera memeluk Harry di sampingnya.

Untuk kali ini, Draco merasa tak cemburu sama sekali melihat Harry dan Hermione yang saling berpelukan seperti itu. Ia sadar bahwa bagaimanapun, pemuda Potter tersebut telah nyaris menghabiskan separuh hidupnya bersama Hermione. Sementara dirinya? Mereka bahkan baru dekat sekitar dua atau tiga tahun belakangan. Ia tahu betul bahwa yang dilihatnya hanyalah pelukan persahabatan. Tidak lebih.

"Malfoy ...."

Pemuda pirang itu sedikit tersentak. Ron menolehkan kepalanya pelan ke arah Draco yang kini ekspresinya bahkan masih begitu sulit untuk dijelaskan. Ia ... sedih, mungkin? Entahlah.

"To-tolong, jaga Hermione untukku. Ka-kau harus berjanji akan ... akan me-melindungi Hermione hi-hingga perang berak ... hir—uhuk, uhuk!" Pemuda itu terbatuk-batuk parah, mengeluarkan cairan kental berwarna merah pekat dari bibir pucatnya yang lama-kelamaan juga semakin memutih, seolah beku.

"Pasti. Aku akan menjaga Hermione dengan segenap jiwa dan ragaku. Bukan hanya hingga perang berakhir, tetapi hingga seumur hidupku. Aku janji, Weas—Ron." Sungguh, lidah Draco terasa kelu untuk menyebut nama kecil pemuda itu untuk pertama kalinya. "Aku ... A-aku minta maaf atas segalanya."

Draco menunduk, merasa sangat bersalah atas segala hal buruk yang pernah ia lakukan terhadap sang Gryffindor sejati di depannya—yang segera dibalas dengan tatapan 'Tak-apa-aku-juga-minta-maaf, Malfoy'.

Tangan Ron kemudian bergerak meraih jari jemari mungil Hermione dan jari jemari kokoh Draco Malfoy, mencoba untuk menyatukannya dalam satu genggaman di atas tubuh lemahnya.

"Ka-kalian harus ... hi-hidup bahagia." Ron tersenyum samar, memejamkan matanya sepersekian detik, sementara Hermione semakin terisak.

"Ha-Harry, sahabatku. Te-terima kasih atas segalanya. Ka-kau harus menang dan mengalahkan Pangeran Ke-kegelapan, mate. Kau .... kau harus janji."

"Aku janji, Ron!" tegas Harry mantap, meski sesungguhnya dadanya sangat sesak. Matanya perih menahan tangis. Maksudku, sungguh tak apa, kan, kalau seorang lelaki menangis? Ayolah, Harry, kau harus tahu itu.

"To ... tolong, bawa jasadku pa-pada Mom dan Dad. Ka-katakan pada mereka dan ju-juga saudara-saudaraku bahwa aku ... ak-aku me-menyayangi mereka, dan ku-kumohon jaga Ginny un-untukku. Ma-maaafkan aku ...."

...

...

...

"Ron? Bangun, Ronald Bilius Weasley! RON?!" Hermione menepuk-nepuk pipi Ron Weasley yang kini sudah memutih total bak kapas. Ya, seluruh napasnya sudah melecut keluar menembus karotidnya, membuat jasad itu kini tak lagi memiliki nyawa.

Ronald Bilius Weasley telah tiada. Ia telah pergi dengan mulia dan gagah berani untuk menyelamatkan orang yang sangat dicintainya, Hermione Jean Granger. Meskipun pada akhirnya cintanya tak terbalas, tetapi baginya, itu sudah lebih dari cukup. Ia bahagia jika Hermione bahagia. Klise memang. Namun, apa lagi yang bisa ia harapkan? Setidaknya, kini ia telah pergi dengan tenang untuk selamanya.

Selamat jalan, Ron Weasley ....

Tak akan ada lagi banyolan-banyolan konyol yang akan terlontar dari mulut pemuda komikal itu.

Tak akan ada lagi canda tawa dan senda gurau yang akan menghiasi hari-hari The Golden Trio setelah ini—karena sekarang ... nyatanya mereka tak lagi bertiga.

Tak akan ada lagi sosok yang selalu makan dengan rakus dan berbicara dengan mulut penuh makanan di Aula Besar.

Tak akan ada lagi yang akan marah ketika Harry berani mencium Ginny di muka umum atau bahkan marah ketika Hermione digoda oleh Draco.

Ya, sosok itu tak ada lagi.

Dan tak akan pernah ada lagi.

Untuk selamanya.

Namun, bagi orang-orang terdekatnya dan seluruh masyarakat sihir, sosok
pemuda tangguh pahlawan dunia sihir itu akan terus tumbuh dan hidup di sanubari mereka.

Sampai kapan pun.

Ya, sosok Ronald Weasley akan sangat sulit untuk dilupakan. Bahkan ada saatnya di masa depan, orang-orang akan mendongeng tentang sosok tangguh bernama Ron Weasley kepada anak dan cucu mereka.

Semua orang akan mengingatnya dengan baik, tentu saja. Semua akan mengingatnya sebagai pahlawan gagah berani yang sangat menyayangi keluarga serta sahabat-sahabatnya lebih dari apa pun di dunia.

"Sudahlah, 'Mione. Ron sudah pergi meninggalkan kita." Harry menunduk dalam keheningan yang sesak setelah sebelumnya pemuda itu mengembuskan napas berat. Tetesan-tetesan bening mulai meleleh dari balik netra emerald-nya. Tangannya bergerak mengusap bahu Hermione pelan.

"Tidak, tidak, Harry! Draco, tolong katakan bahwa ini hanya mimpi! Tidak, ini tidak mungkin!" Gadis itu sedikit meraung. Namun, sayang, Draco hanya dapat menatapnya sendu, seolah mengatakan bahwa 'kau-harus-ikhlas, Hermione. Weasley-sudah-pergi-untuk-selamanya'.

"ROOOOON!" Jerit pilu kembali membelah cakrawala malam.
.
.
.
To be continued ....

-----

Aduh, ini apa?:( Bagaimana menurut kalian? Saya harap feel-nya cukup ngena, ya. Anw, ini chap yang cukup panjang dan saya harap tak begitu membosankan.

And yes, this is the Christmas "surprise" that I've told you guys earlier. I'm sorry, I had to do it:(

Ah, ya, chapter ini spesial untuk Ron Weasley yang telah gugur dengan gagah berani di fic ini. Good bye, Ronald:'( we'll miss you.

Thanks for the vomments in the previous chapter. Sebentar lagi tamat. So, keep giving me some feedback if you liked it so far, ok? Love ya!

(I have checked it a few times, but still ... tell me if you found any typos, yeah? I will fix it soon!)
.
.
Salam,
MsLoonyanna

Continue Reading

You'll Also Like

196K 9.6K 31
Cerita ini menceritakan tentang seorang perempuan yang diselingkuhi. Perempuan ini merasa tidak ada Laki-Laki diDunia ini yang Tulus dan benar-benar...
825K 87.2K 58
Menceritakan tentang kehidupan 7 Dokter yang bekerja di rumah sakit besar 'Kasih Setia', mulai dari pekerjaan, persahabatan, keluarga, dan hubungan p...
332K 27.7K 39
"I think ... I like you." - Kathrina. "You make me hate you the most." - Gita. Pernahkah kalian membayangkan kehidupan kalian yang mulanya sederhana...
483K 5.1K 86
•Berisi kumpulan cerita delapan belas coret dengan berbagai genre •woozi Harem •mostly soonhoon •open request High Rank 🏅: •1#hoshiseventeen_8/7/2...