BLUE

By summerfaith99

1.7M 92.7K 1.4K

Adriana Azura adalah seorang gadis sederhana. Selain dari kecerdasan otaknya, Adriana tak mempunyai apapun un... More

Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
Empat Belas
Lima Belas
Enam Belas
Tujuh Belas
Delapan Belas
Sembilan Belas
Dua Puluh
Dua Puluh Satu
Dua Puluh Dua
Dua Puluh Tiga
Dua Puluh Empat
Dua Puluh Lima
Dua Puluh Enam
Dua Puluh Tujuh
Dua Puluh Delapan
Dua Puluh Sembilan
Tiga Puluh
Tiga Puluh Satu
Tiga Puluh Dua
Tiga Puluh Tiga
Tiga Puluh Empat
Tiga Puluh Lima
Tiga Puluh Enam
Tiga Puluh Tujuh
Tiga Puluh Delapan
Tiga Puluh Sembilan
Empat Puluh
Empat Puluh Satu
Empat Puluh Dua
Empat Puluh Tiga
Empat Puluh Empat
Side Note
Empat Puluh Enam
Empat Puluh Tujuh
Empat Puluh Delapan
Empat Puluh Sembilan
Lima Puluh (TAMAT)
KOK PART NYA GAK ADA?
Tiga (REPUBLISHED)
Tujuh (REPUBLISHED)
Delapan (REPUBLISHED)
Dua Puluh (REPUBLISHED)
Dua Puluh Satu (REPUBLISHED)
Dua Puluh Tiga (REPUBLISHED)
Dua Puluh Empat (REPUBLISHED)
Tiga Puluh Sembilan (REPUBLISHED)
Empat Puluh (REPUBLISHED)

Empat Puluh Lima

21.7K 977 17
By summerfaith99

Jakarta

"Gimana, Nes? Venue nya udah dapet?"

Ben menyesap kopi paginya perlahan sambil menerawang jauh ke langit-langit kota Jakarta dari kantornya. Langit pagi itu biru cerah, secerah senyumnya. Sebulan setelah kepulangan Adriana dari New York, kini Ben menjadi orang yang lebih ceria.

Hari ini, ia memulai persiapan-persiapan.

Persiapan apa?

Melamar Adriana.

"Permintaan lo tuh banyak banget, Ben. Jadinya gue susah banget untuk nemuin yang pas," ujar Vanessa, teman Ben yang merupakan seorang wedding organizer.

Ben tertawa. "Lo kan tau gue perfeksionis."

"Nyiapin event lo itu udah kayak nyiapin wedding sungguhan tau," ujar Vanessa setengah mengeluh.

"Kan fee nya juga above standard, Nes," kata Ben. Lelaki itu memang membayar Vanessa lebih mahal dari standar biasanya.

"Iya gue tau," ujar Vanessa yang diikuti tawa Ben. "Padahal sejauh yang gue tau Adriana itu cewek yang simple."

"Adriana memang simple, tapi gue enggak simple, Nes," ucap Ben.

"Everyone in this whole universe know that, Ben," ujar Vanessa lalu tertawa. "Tapi lo tenang aja, semuanya bakal jadi perfect di tangan gue. Walaupun lo banyak mintanya, I'll try my best to set up everything beyond your expectation."

"Good," gumam Ben. "Okay nanti gue telpon lagi. Thanks ya, Nes."

Tiba-tiba, pintu ruangannya terbuka lebar. Ben buru-buru memutus sambungan telponnya dengan Vanessa dan pura-pura meneliti dokumen di mejanya ketika ia melihat Adriana melangkah masuk dengan wajah gembira.

"Good morning," sapa Adriana ceria. Gadis itu terlihat santai dengan baju terusan berwarna baby pink dan flat shoes berwarna senada.

Ben mengangkat kepalanya, lalu otomatis tersenyum melihat Adriana. Segalanya terasa mudah ketika gadis itu berada di sisinya.

"Good morning, beautiful," sapa Ben. "Kamu keliatan happy banget hari ini."

Adriana mengangguk. Gadis itu lalu setengah berlari mendekat pada Ben, lalu mengecup pipinya. "Seneng rasanya bisa balik ke kantor walaupun cuman iseng doang ngunjungin kamu."

Ben balas mengecup bibir Adriana. Lelaki itu lalu tersenyum jahil. "Kamu udah ketemu sekretaris aku yang cantik itu?"

Adriana memutar bola matanya. "Kok kayaknya cantikan aku ya daripada dia."

"So confident," ujar Ben di tengah tawanya. "Tapi memang iya kok. Kamu tambah cantik, apalagi waktu pertama aku ketemu kamu di depan Starbucks hari itu di New York."

Adriana tersenyum jahil. Tangannya lalu memainkan ikal rambutnya. "I know I get prettier everytime you're not around."

Ben tertawa, hampir terbahak. "Oh ya? Bahaya dong? Berarti harus cepet-cepet aku resmiin, ya?"

"Emangnya aku gedung harus diresmiin?" ujar Adriana sedikit merajuk.

"Oh ya, ada yang mau aku tanya sama kamu," ucap Ben. Wajahnya berubah serius.

"Apa?"

"Apa rencana kamu habis ini?"

Adriana terdiam. Pandangannya mengarah pada jendela kaca lebar di belakang kursi Ben. Adriana tahu arah pertanyaan ini. Adriana tahu bahwa pertanyaan ini akan muncul tak lama setelah kelulusannya.
"I've made decision. Aku udah pertimbangin hal ini sejak lama."

"Apa keputusan kamu?" tanya Ben. Jantungnya sedikit berdebar lebih cepat dari biasanya. Keputusan Adriana adalah hal yang sangat penting kali ini.

Adriana menatap Ben, dalam dan sungguh-sungguh.

"I'll stay wherever you are," ujar Adriana, tulus.

Ben terpaku, tenggelam di dalam tatapan tulus Adriana. Kata-kata tak bisa menggambarkan perasaannya kali ini. Rasanya ia ingin berteriak, melompat-lompat bahagia. Keputusan Adriana memberinya lampu hijau untuk segera menikahi gadis itu.

"Ben?" panggil Adriana. "Kamu kok bengong?"

"I just... I just," ucap Ben terbata. "I just don't know what to say. I'm overwhelmed with happiness."

Ben lalu bangkit dari kursinya, berjalan mendekat pada Adriana, lalu mencium bibir gadis itu sekilas. Ben lalu mendekap Adriana dalam pelukannya. Bibirnya tersenyum lebar ketika ia memeluk Adriana.

Adriana selalu bereaksi sama ketika ia merasakan bibir Ben menyentuh bibirnya. Terpaku. Ketika ia sadar, ia telah berada dalam pelukan Ben.

"Kamu kenapa?" gumam Adriana yang tak mengerti dengan situasi saat itu. Pikirannya masih belum sepenuhnya pulih.

Ben lalu melepas pelukannya dan menatap Adriana. "Aku seneng."

"Terus?"

"Terus bahaya."

"Bahaya kenapa?"

"Karena rasanya aku gak bisa kerja kalo ada kamu disini."

"Kenapa begitu?"

"Cause if you're here, I feel like starring, hugging, and kissing you all day long. It won't be good for the company, Babe," ujar Ben lalu mengecup kening Adriana.

Adriana tersipu lalu tertawa. "I don't mind going home, Ben."

"I appreciate that," ujar Ben. "Pulang kerja aku ke rumah kamu, ya."

"Okay," ujar Adriana lalu tersenyum. Gadis itu lalu memeluk Ben sebentar, sebelum akhirnya berjalan keluar.

"Hati-hati ya," ucap Ben. "Kamu mau dianter supirku?"

Adriana menggeleng. "Enggak usah. Aku bisa pergi sendiri, kok. Bye."

"Bye, love."

----

Adriana mendorong pelan pintu kaca sebuah cafe di bilangan Jakarta Selatan. Ia sebenarnya sudah berencana untuk tidak berlama-lama berada di kantor Ben karena lelaki itu perlu bekerja. Maka dari itu, Adriana punya rencana lain. Hari ini ia akan bertemu dengan Aura, Charista, dan Naomi, sahabat-sahabatnya yang sudah lama tak ia jumpai.

Ketiga wanita itu sudah berada di cafe saat Adriana tiba.

"OMG ADRIANA!!!" seru Aura heboh ketika ia melihat Adriana. Beberapa pengunjung di sekitar mereka menatapnya risih karena kehebohan yang ia buat.

"RIRI MY RIRI!" seru Charista, meski tak seberisik Aura.

"Adrianaaa!" seru Naomi, yang paling tenang diantara mereka bertiga.

Aura, Charista, dan Naomi pun bangkit berdiri dan menyambut Adriana. Adriana tersenyum melihat mereka bertiga, kemudian berlari kecil ke arah mereka. Mereka berempat pun berpelukan hangat.

"I miss you so much, girls," ucap Adriana. "Thanks for the loud welcome."

Aura tertawa. "Who cares?"

"Ayo duduk!" kata Naomi. "Hari ini kita harus seneng-seneng karena Adriana akhirnya pulang juga! Kalian pesen apapun yang kalian mau, gue yang traktir."

"Jangan gitu Naomi, biar gue yang traktir," ujar Adriana.

"No, Adriana, I'm the oldest here. Gue yang traktir. Titik," ujar Naomi seakan tak bisa dibantah lagi.

Adriana tersenyum. "Thank you, Naomi."

"Lo tau ga sih, Ri, gue agak pangling lihat lo tadi," ujar Charista. "Kok lo makin cantik sih?"

"Ah masa?" ucap Adriana tersipu. Pikirannya kembali melayang saat Ben memuji dirinya yang menurutnya bertambah cantik.

"Iya, Ri. Asli, lo makin cantik. Kulit lo makin bagus dan glowing, style rambut lo juga cocok banget," ujar Aura. "Cuman tetep aja lo gak suka pake make up."

"Ini udah make up tau," ujar Adriana sedikit cemberut. "Gue udah pake bedak, lipstik, sama mencoba gambar alis."

Charista memutar bola matanya. "Itu gak bisa dibilang make up."

"Polos banget sih lo, Ri," ujar Naomi. "Gak make up aja cantik, gimana make up?"

"Ah jangan begitu lah jadi malu," ucap Adriana tersipu.

"By the way gimana New York's life?" tanya Aura. "Dari dulu gue pengen kuliah disana tapi gue males belajar lagi."

"Seru banget, kok," ujar Adriana. "Gue belajar banyak banget dari kultur orang Amerika, dan sedikit banyak gue mulai mencontoh yang positif."

"Tapi lo tadi masih telat," canda Charista.

"Enak aja, kan kemarin janjiannya jam 2," kata Adriana. "Ini bahkan masih jam setengah 2."

"Lo gak bisa bohongin orang pinter, Char," ujar Naomi lalu tertawa.

Charista merengut dan mengundang tawa Aura, Naomi, dan Adriana.

"Tapi, Ri, lo itu bener-bener the luckiest girl ever. Ben so sweet banget gak sih sampe ngejar lo ke Amerika buat ngehadirin graduation lo? Sampe bawa keluarga lo juga," ujar Aura.

"Padahal Ben lagi sibuk-sibuknya," ucap Naomi kagum pada adiknya itu.

"Kapan ya gue punya pacar kayak Ben?" ujar Charista dengan ekspresi sedih yang dibuat-buat.

"He literally puts you first," kata Aura.

Adriana tersenyum kecil. Ia tak menampik, dirinya memang beruntung memiliki kekasih seperti Ben yang begitu mencintainya.

"Terus lo gimana ke depannya? Kerja disini atau di Amerika?" tanya Naomi.

"Gue udah memutuskan kalo gue bakal stay disini," ujar Adriana. "Prinsip gue, sejauh-jauhnya kita belajar di negeri orang, harus tetep kembali pulang untuk membangun negeri sendiri."

Aura, Charista, dan Naomi tak berbicara, tapi menunjukkan ekspresi kagum pada Adriana.

"Tapi ada beberapa alasan lain sih. Pertama prinsip, kedua karena keluarga gue masih butuh gue disini, ketiga karena gue rasanya gak mau lagi LDR sama Ben," ujar Adriana sedikit tersipu dengan alasan ketiganya.

"Duh lovebirds," gumam Charista.

"Gue kan pergi ke Amerika atas keinginan gue sendiri, jadi rasanya egois banget gue kalo mau ninggalin Ben lagi," jelas Adriana. "Ben udah berkorban dengan nungguin gue kuliah 3 tahun ini, sekarang giliran gue yang membalas dia."

"Tapi, Ri, lo berdua itu sebenernya gimana sih? Udah siap menikah?" tanya Aura.

Adriana tertawa canggung. "Sejujurnya udah ada omongan kesana."

"WHAT?!" pekik Naomi. "Are you serious?"

Adriana mengangguk. "Ben itu udah banyak ngomongin hal ini dari dulu, tapi karena gue ngerasa masih pengen kuliah dan kerja, gue jadi kayak ngalihin pembicaraan gitu setiap kali dia ngomongin pernikahan. Tapi sekarang kan gue udah kelar kuliah, gue rasa gue udah cukup siap untuk mulai serius."

"Sumpah, Nyokap gue bakal kegirangan abis denger berita ini," kata Naomi. "Dari dulu dia pengen banget bisa organize pernikahan anaknya."

"Gue kan bukannya mau nikah bulan depan, Naomi," ucap Adriana yang sedikit tertawa melihat kegirangan Naomi.

"Siapa yang gak seneng sih Ri, denger sahabatnya bakal nikah sama adeknya sendiri? Kalo itu terjadi sama gue sih, gue pasti juga seneng banget!" kata Aura.

"Gue sih gak ngebet," ujar Adriana. "Tapi gue tau secara pasti kalo Ben gak pernah main-main. He is always serious from the very beginning."

Dan pembicaraan mereka pun terus mengalir, seraya melepas rindu satu sama lain yang telah jarang bertemu. Aura menceritakan rencananya untuk merantau ke Korea, Charista yang sedang berbunga-bunga karena tengah dekat dengan seorang lelaki, dan Naomi yang masih sibuk mewujudkan mimpi-mimpinya. Sementara Adriana, gadis itu tidak banyak bercerita. Sedari dulu ia hanya suka mendengarkan keluh kesah teman-temannya. Saat ini rasanya Adriana tak punya keluh, ia hanya merasakan kebahagiaan yang tiada tara ketika bisa kembali ke rumah dan berjumpa dengan orang-orang yang dicintainya.

----

"Apa? Ke Bali?"

Adriana mengerutkan keningnya, tak habis pikir dengan Ben yang mengajaknya liburan di tengah hari kerja seperti sekarang ini.

"Iya, emangnya kenapa?" tanya Ben santai, sambil sesekali menyesap macchiato nya. Siang itu Ben dan Adriana sedang makan siang bersama di sebuah restoran hotel di bilangan Jakarta Pusat.

"Kamu gak kerja?" tanya Adriana. "Jangan keseringan main lah, Ben. Kita semua punya tanggung jawab."

"Jangan keseringan main ya," ujar Ben, lalu tertawa kecil. "Kamu itu wife materials banget sih."

"Ben aku serius," ucap Adriana. "Jadwal kamu itu padat banget. Setiap lunch pasti seharusnya kamu sekalian meeting dengan klien, dinner pun kadang harus sekalian meeting juga. Sekarang kamu selalu ngajak aku lunch dan dinner bareng, kapan kamu meeting nya? Aku pernah jadi sekretaris kamu dan aku tahu betul kalo jadwal kamu itu super padat. Apalagi sekarang kamu pimpinan tertinggi Mattheson Corporation, aku gak ngerti lagi seberapa pusing sekretaris kamu sekarang dalam mengatur jadwal kamu."

Ben tersenyum, lalu mengusap rambut Adriana lembut. "Sayang, aku udah selesaikan semua project perusahaan tahun ini dan semuanya berhasil. Klien dan investor hampir semuanya puas, kinerja aku juga sangat diapresiasi sama board of director."

Adriana terdiam.

"Aku stres kerja sepanjang tahun ini, aku butuh liburan," ujar Ben. "Aku udah selesaikan semua pekerjaan aku. I guess it's the right time for me to have a short vacation. Lagipula cuma ke Bali, kok."

Adriana terdiam sebentar sebelum mulai berbicara. "Berapa lama?"

"2 hari aja," ujar Ben. "Lusa kita berangkat, oke?"

"Lusa? Aku belum izin ke orangtua aku," ujar Adriana.

"Mereka udah tau kok, aku malah kemarin ngajak mereka untuk ikut tapi mereka nolak," ucap Ben. Beberapa detik kemudian ia sedikit menyesali perkataan yang keluar dari mulutnya.

"Kamu udah ngomong ke Ibu Bapak? Kamu udah rencanain ini sebelumnya?" tanya Adriana, matanya menyipit curiga.

Ben tertawa canggung. "Aku kan begitu. Semuanya udah aku siapin sebelum minta persetujuan kamu."

"Aneh," gumam Adriana. Jantung Ben berdebar. "Biasanya Ibu selalu ngomong sama aku tentang kamu. Jangankan ngerencanain sesuatu, kalo kamu nelpon Ibu pun pasti dia cerita sama aku."

"Ya, I told her to keep it a secret," ucap Ben. Jantungnya masih berdebar-debar.

"Ibu itu gak bisa jaga rahasia, Ben," kata Adriana. "Well, ya sudah lah kalau dia udah tau."

Ben bernafas lega. "Kalo gitu lusa aku jemput kamu, ya. Kali ini kita naik pesawat komersial, aku pengen tahu rasanya naik pesawat biasa."

Adriana membelalakkan matanya. "Selama hidupmu, kamu belum pernah naik pesawat komersial?"

Ben menggeleng polos. "Papa udah punya jet pribadi bahkan sejak belum menikah sama Mama."

"Another surprising fact," ujar Adriana, tak habis pikir dengan kekayaan yang dimiliki keluarga lelaki itu. "Jangan-jangan kamu belum pernah naik transportasi umum yang lain, ya?"

"Enak aja," sanggah Ben. "Dulu waktu di New York aku sering naik subway."

"Syukurlah," gumam Adriana sambil tertawa kecil. "Setidaknya kamu pernah rasain rasanya jadi orang biasa."

----

Bali

Pesona Pulau Dewata tak pernah pudar di mata Adriana. Tempat ini selalu mendatangkan senyum dan kegembiraan bahkan sejak pesawat mendaratkan dirinya di landasan pacu Bandar Udara Internasional Ngurah Rai.

Biasanya Adriana bahkan sudah tersenyum lebar ketika hamparan biru Samudera Hindia yang mempesona telah terlihat dari jendela kecil pesawat. Kali ini, ia tak bisa asyik memandangi lautan luas itu dari ketinggian.

Semua itu karena Ben memohon padanya agar lelaki itu duduk di sisi jendela pesawat.

"Adriana itu lautnya udah mulai keliatan!" ucap Ben seperti anak kecil yang baru pertama kali naik pesawat. "Wah luas banget ya lautnya! Ini jadi motivasi buat kita bahwa dunia itu luas! Sky is the only limit!"

Adriana memutar bola matanya sebal, sekaligus menahan malu. Seorang perempuan muda yang duduk di samping kanannya terlihat menahan tawa. Adriana tahu pasti, perempuan itu tertawa karena mendengar perkataan Ben.

Pasti mbak-mbak ini mikir kalo Ben baru pertama kali naik pesawat. Padahal bocah satu ini udah punya pesawat pribadi bahkan sebelum Bapaknya nikah sama Ibunya! , batin Adriana sambil menepuk dahi menahan malu.

"Kamu bisa gak sih enggak norak?" bisik Adriana pada Ben. Gadis itu mencubit lengan berotot Ben sebal. "Kamu itu billionaire, Ben. Keluargamu itu bahkan salah satu yang paling kaya di dunia!"

Ben menatap Adriana, lalu tersenyum polos.

"Kita cuman naik pesawat ekonomi dan kamu girangnya bukan main. Tadi kita bahkan hampir berantem gara-gara rebutan pengen duduk di deket jendela," ujar Adriana sebal. "Padahal tempat dudukku memang di deket jendela." 

"Entahlah, everything seems new to me. Baru kali ini aku naik pesawat dengan ratusan penumpang, biasanya kan cuman aku dan sekretaris aku," ujar Ben. Lelaki itu lalu kembali menatap langit. "Memang ya, bersama dengan kamu selalu aja ada hal baru yang bisa aku syukuri."

Adriana kembali menepuk dahinya. "Kamu bener-bener berlebihan, Ben."

Ben kembali tersenyum polos, lalu menyandarkan kepalanya pada bahu Adriana. Lelaki itu jauh lebih tinggi dari Adriana, sehingga Adriana tahu bahwa posisi bersandar lelaki itu bukanlah posisi yang nyaman. Adriana tak tahu mengapa lelaki itu bersandar padanya.

"Aku tau ini gak nyaman buat aku," gumam Ben seakan bisa membaca pikiran Adriana. "Tapi kamu harus tau, setiap ada kamu, segalanya jadi lebih mudah."

Adriana tak mampu menahan senyum yang mengembang pada bibirnya. Adriana lalu menyentuh pipi Ben, kemudian mengusap rambut lelaki itu pelan.

"Seperti anak kecil yang kehilangan ibunya, seperti itu aku kalo gak ada kamu."

----

Ben dan Adriana pun tiba di Bali. Jika biasanya sudah ada supir dan mobil mewah yang siap menjemputnya di bandara, kali ini tidak demikian.

Lagi-lagi atas dasar "sekali-sekali", Ben ingin merasakan naik taksi.

"Kamu gak keberatan kan naik taksi?" tanya Ben sambil mendorong troli berisi koper mereka.

Adriana menggeleng. "Taksi itu udah mewah buat aku."

Ben tertawa. "Jujur ya, kayaknya aku belum pernah naik taksi."

Rasanya Adriana sudah tak kaget lagi mendengar Ben yang tak pernah begini, atau tak pernah begitu. Terlahir dalam keluarga yang sudah kaya raya turun temurun, pastilah banyak pengalaman orang biasa yang tak pernah dialami Ben.

Ben pun menghampiri taksi yang terparkir di depan terminal kedatangan bandara. Setelah memberitahu tempat tujuannya pada sang supir, Ben langsung masuk ke dalam taksi.

"Ayo masuk," panggil Ben dari jendela mobil ketika ia melihat Adriana yang hanya diam.

Adriana menggeleng-geleng. Gadis itu lalu langsung masuk ke dalam mobil.

"Kamu gak tawar taksinya?" bisik Adriana. "Tiga ratus ribu rupiah untuk jarak 3 km?"

"Ini daerah wisata, Adriana," ujar Ben santai. "Aku tau aku gak pernah naik taksi, tapi bukan berarti aku gak tau pasaran harga. Memang sih masih kemahalan, tapi ini udah malem dan aku males nawar."

"Well, kali ini cukup masuk akal," ujar Adriana lalu bersandar pada jok taksi.

"Kita mau makan apa habis ini?" tanya Ben, girang.

"Hmm, apa ya," gumam Adriana. "Pengen makan yang pedes. Makanan di Bali kan banyak pedesnya."

"Well, karena kamu yang minta, aku gak bisa nolak," kata Ben. "Tapi kita check-in hotel dulu ya."

Jalanan di Bali yang ramai dan cenderung macet walaupun saat itu bukanlah hari libur nasional membuat pandangan Adriana selalu terpaku pada jendela. Sejak dulu, Adriana suka melihat keramaian, meski tak terlalu suka berada di dalamnya. Di Bali ada begitu banyak hal menarik untuk diamati, membuat perjalanan selalu menyenangkan baik saat macet atau saat lancar.

"Kamu ngeliatin apa sih?" tanya Ben penasaran, lalu mengikuti arah pandang Adriana.

"Selalu ada keindahan di balik hal-hal yang kontras," ucap Adriana masih terpaku pada jendela. Ia lalu menatap Ben. "Itu yang aku liatin."

"Puitis banget kamu," gumam Ben.

Adriana tertawa. "Kamu tahu, aku suka banget liat berbagai macam budaya hadir di satu tempat. Makanya Bali jadi tempat favorit aku."

"I see," gumam Ben. "Kontras yang kamu maksud itu pasti percampuran antara orang Indonesia dengan orang-orang Bule."

"Yup," gumam Adriana. "Coba kamu lihat sepanjang trotoar ini. Kalo di Jakarta biasanya kita cuman lihat orang-orang berambut hitam, atau kadang-kadang ada juga yang rambutnya sengaja diwarnain pirang. Sekarang kamu lihat di Bali, berbagai macam warna ada disana."

Dan Ben pun mengamati rambut orang-orang yang sedang berjalan kaki di pinggir jalan itu. Hitam, pirang, cokelat, merah, bahkan ada yang hijau.

"I see diversity," ujar Ben, mengangguk-angguk kagum.

"Don't you find it beautiful?" tanya Adriana.

"Definitely," gumam Ben. Lelaki itu lalu menatap Adriana. Adriana balik menatap Ben.
"But I guess the woman sitting next to me is far more beautiful than that."

---

"Ayo kita ke Beachwalk!"

Adriana berseru gembira sesaat setelah Ben dan Adriana selesai membereskan koper mereka di kamar hotel. Tentu saja, mereka punya kamar hotel yang berbeda.

"I see, kamu mau shopping?" tanya Ben, tersenyum melihat kegembiraan yang nampak jelas di wajah Adriana.

"Astaga, aku gak mau shopping, Ben," gerutu Adriana. "Aku cuman pengen jalan-jalan."

"Ya sudah, ayo."

Ben dan Adriana pun keluar dari hotel yang memang berada tak jauh dari Beachwalk, sebuah mall di pinggir Pantai Kuta. Malam itu Ben hanya mengenakan kaos putih polos dan celana selutut dipadukan dengan sendal jepit. Adriana pun tampak santai, dengan hanya mengenakan jumpsuit pendek dan sendal jepit. Gadis itu pun menggulung rambutnya agar lebih nyaman.

Tetapi Ben iseng melepas jepitan rambut Adriana.

"Aduh!" seru Adriana kaget ketika ia merasa gulungan rambutnya lepas. Rambutnya pun tergerai indah.

"Aku lebih suka rambut kamu digerai," ujar Ben dengan senyum kecil. Lelaki itu lalu mengecup puncak kepala Adriana.

"Duh terserah deh," gumam Adriana, yang sebenarnya pun tidak keberatan jika rambutnya digerai.

10 menit kemudian, mereka telah sampai di Beachwalk. Saat itu memang bukan hari libur nasional, sehingga mall tidak begitu ramai. Ben dan Adriana berjalan-jalan di sana, masuk ke toko ini dan toko itu, mencoba barang-barang yang dijualnya, dan membelinya jika dirasa cocok.

Tiba-tiba, Ben merasa ingin memastikan sesuatu.

"Adriana," panggil Ben. Adriana sedang berdiri di depan cermin besar dengan memegang sebuah baju di tangannya. Gadis itu menoleh.

"Ya?"

"Aku keluar sebentar ya, mau telepon staf," ujar Ben.

Adriana mengangguk.

Ben pun melesat keluar dari toko dan segera menelepon Vanessa, temannya yang juga seorang wedding organizer. Vanessa lah yang mengurus segala persiapan untuk melamar Adriana.

"Halo, Nes?" sapa Ben. Nafasnya memburu. "Gimana semuanya?"

"Everything's perfect," ucap Vanessa. "Ini gue lagi di venue buat final check."

"Berarti besok malem udah siap ya?"

"Udah, tapi gue kayaknya masih perlu siapin beberapa hal besok pagi."

"Apa itu?"

"Makanan. Gue lupa nanya, kalian mau dinner apa?"

"Ya ampun, gue lupa mikirin hal itu. Gue terlalu fokus sama teknis."

"Nah iya. Lo mau masakan apa? Biar gue bisa hubungin chef nya malem ini juga."

"Hmm apa ya?"

Ben berpikir keras. Adriana suka banyak makanan, jadi ia sedikit bingung memilih. Lelaki itu kemudian menoleh ke arah toko, dan betapa kagetnya ia bahwa Adriana tengah menatapnya balik. Raut wajahnya bingung. Takut ketahuan, Ben tersenyum kecil pada Adriana lalu berjalan menjauh dari toko agar gadis itu tidak mendengar pembicaraannya.

Namun sepertinya, Ben berjalan terlalu jauh.

---

Selesai menelepon Vanessa, Ben berjalan kembali menuju toko tempat Adriana berada. Ia tersenyum girang. Lelaki itu sudah tak sabar ingin melamar Adriana.

Sesampainya di depan toko, Ben mencari-cari Adriana. Namun, Adriana tak ada di dalam toko. Ben lalu masuk ke dalam, mengecek kamar pas, namun Adriana tetap tak ada dimana-mana. Ben lalu menghampiri seorang penjaga toko.

"Mbak, cewek yang sama saya tadi kemana ya?" tanya Ben tenang.

"Lho, tadi sudah keluar, Pak," ujar sang penjaga toko.

"Keluar?" tanya Ben bingung, dahinya berkerut.

"Iya sudah agak lama," ujar sang penjaga toko.

"Ke kanan apa ke kiri?" tanya Ben. Entah kenapa, dari dalam hatinya ia mulai merasa gelisah.

"Ke sebelah kanan, Pak," ujar si penjaga toko.

"Terima kasih."

Ben pun berlari keluar, sambil menggenggam ponselnya. Ia menelepon Adriana, sambil berusaha tetap tenang.

Handphone Adriana tadi ada di tasnya, dan dalam keadaan nyala. Seharusnya dia bisa angkat teleponnya, batin Ben.

Karena pernah bekerja sebagai sekretaris, Adriana menjadi terbiasa untuk selalu memastikan ponselnya aktif setiap waktu. Adriana juga bukan tipe orang yang suka pergi tiba-tiba. Ia selalu memberitahu Ben kemanapun ia ingin pergi ketika sedang bersamanya.

Nada panggilan terasa begitu lama di telinga Ben, sampai akhirnya suara operator terdengar.

Nomor yang anda tuju tidak menjawab.

Seketika itu pula, Ben mulai panik. Ini jelas aneh, Adriana tak pernah tak mengangkat teleponnya. Ben ingin memberitahu dirinya sendiri bahwa semuanya baik-baik saja, dan bahwa Adriana pastilah sedang berada di suatu tempat dalam keadaan baik-baik saja. Tetapi entah kenapa, sebagian kecil dari dirinya tahu bahwa ini tidak baik-baik saja.

Ben kembali menelepon Adriana untuk yang kedua kalinya, ketiga kalinya, keempat kalinya, hingga akhirnya rasa panik itu mulai menguasai dirinya.

Selagi ia sedang berlari dan terus menelepon Adriana, Ben tak sengaja mendengar nada dering ponsel yang terasa familiar di telinganya. Ben mencari-cari sumber suara itu, dan menemukan sebuah tas selempang cokelat tergeletak diantara rumput-rumput di dekat taman tengah Beachwalk. Ben hampir saja mengabaikan tas itu, hingga ia ingat bahwa tas yang tadi dikenakan Adriana juga berwarna cokelat. Lelaki itu lalu membungkuk, dan betapa rasa panik kembali menguasai dirinya dengan begitu hebat kala ia melihat isi tas tersebut.

Ponsel, dompet, dan kunci kamar hotel Adriana.

---

Hello dear readers!
So sorry author udah gak update sampe berbulan-bulan, kegiatan di sekolah dan di luar sekolah buat mempersiapkan UN SMA dan SBMPTN bener-bener menyita waktu author :(

Semoga setelah UN SMA, author jadi punya lebih banyak waktu buat update cerita ya :)

Last but not least, good luck buat dear readers sesama kelas 12 dan pejuang SBMPTN! Semoga semua kerja keras kita berbuah manis nantinya dan semoga Tuhan selalu beserta kita sekarang dan selama-lamanya! 💕

Continue Reading

You'll Also Like

443K 20.7K 52
Tidak ada yang berjalan indah dalam hidup AMEERA AYUNDA, gadis manis berparas cantik berusia 20 tahun. Baik itu keluarganya, kisah cintanya dan juga...
337K 51.2K 51
Silakan baca cerita 'Young Mother' lebih dulu. Claire terpaksa menjalani hubungan jarak jauh dengan kekasihnya, Nolan. Claire pergi ke Amerika untuk...
6K 187 126
Coba baca bagian pertamanya dan ini cerita cuma terjemahan saja ok
939K 3.6K 14
LAPAK DEWASA 21++ JANGAN BACA KALAU MASIH BELUM CUKUP UMUR!! Bagian 21++ Di Karyakarsa beserta gambar giftnya. 🔞🔞 Alden Maheswara. Seorang siswa...