Mozaik Kenangan

By titi_keke

847 20 14

Sarah merasa sangat bahagia dengan kehidupan yang dijalaninya. Punya tunangan yang tampan, lembut, dan memuja... More

Prolog

Wanita Di Bawah Dedaunan Yang Berjatuhan

429 10 3
By titi_keke

Suara decit karet sepatu yang beradu dengan aspal, bergema di dalam sebuah lorong gelap. Dengusan nafas si pemilik sepatu naik turun berirama seiring langkah kakinya yang mantap menyusuri jalan.

Arais sudah melakukan putaran kedua dari marathonnya pagi itu. Terowongan yang dilaluinya sekarang, merupakan penanda bahwa sebentar lagi targetnya akan segera tercapai. Tujuh kilometer. Setiap hari.

Sejak setengah lima subuh, Arais sudah merajai jalanan. Berlari. Dari pusat keramaian sampai ke sudut gang yang kumuh. Arais tak peduli meski sepaatu olahraganya yang mahal harus terpercik noda lumpur di jalanan becek berlubang seperti gigi manula. Dia terlalu menikmati keindahan pagi. Sesuatu yang menjadi candu sejak dulu sampai dengan sekarang ini.

Ketika akhirnya setitik cahaya di ujung lorong bertambah benderang, Arais tahu dia harus berhenti. Sebentar lagi sebuah firdaus akan ditemuinya dan disitulah dia akan menghempaskan lelah.

Eden yang dimaksud Arais terdiri dari beberapa hektar pepohonon, sebuah padang rumput seluas lapangan sepakbola, beberapa kolam, dan sebuah danau kecil. Taman itu diketahuinya beberapa minggu setelah dia memutuskan untuk pindah di kota metropolitan ini. Kota kelahirannya yang ditinggalkan sejak remaja. Sekarang Arais kembali untuk melebarkan sayap perusahaan yang dimilikinya. Tapi, sesungguhnya ada lebih dari sekedar niat memgembangkan bisnis agar semakin besar. Arais ingin menata hatinya yang sempat hancur.

Kaki Arais yang kokoh baru saja keluar dari terowongan, ketika wajahnya disambut terpaan dedaunan. Arais mengambil beberapa helai yang menyangkut di rambutnya yang tebal dan bergelombang. Musim gugur baru saja menyapa. Membuat sesisi taman semarak dengan perpaduan warna merah, jingga, kuning, dan emas.

Sebuah bangku di bawah sebatang pohon maple yang daunnya sangat rimbun menjadi tempat yang dipilih Arais untuk beristirahat sebentar. Sambil mengatur nafasnya yang masih sedikit memburu, dia memperhatikan orang-orang yang beraktifitas di sekitarnya.

Penjaja makanan kecil, penjual balon, pelukis, atraksi pantomim, seniman jalanan. Arais menyaksikan semua kegiatan dihadapannya seraya mengulum senyum. Kalau sahabatnya melihat kelakuannya saat ini, pastilah dia akan menganggap Arais gila.

Seperti bisa mendengar pikiran Arais, ponsel di sakunya berbunyi. Tertulis nama sahabatnya di layar.

"Kamu di tempat itu lagi, ya?" tanpa basa-basi kawan karibnya langsung bertanya saat Arais menjawab telepon.

"Heeiii...galak sekali."

"Aku hanya berusaha membuatmu waras," di seberang saluran sahabatnya mencibir, "Sampai jam berapa kamu akan melamun disitu? Memangnya apa bagusnya memandang daun-daun yang jatuh dan orang-orang berseliweran?"

"Kamu harus mencobanya sekali-kali. Bisa membuat otakmu istirahat sebentar." Arais terkekeh.

"Kalo otakku istirahat, siapa yang akan membantumu menjalankan perusahaan?"

"Baiklah...baiklah. Aku akan segera ke kantor. Kamu selalu saja mengatakan itu untuk membuatku bersalah."

"Aku tahu kelemahanmu, Kawan." giliran temannya yang terkekeh sekarang. "Satu jam lagi kamu harus segera sampai di kantor. Ada rapat bersama dengan klien baru. Kamu harus datang!" telepon pun ditutup. Arais mendengus sebal. Kadang-kadang karibnya itu bisa sangat menjengkelkan.

Arais memandang jam antik di pergelangan tangannya. Dia masih punya waktu lima puluh lima menit lagi. Apartemennya hanya berjarak sepuluh menit dari taman. Lima menit jika ditempuh dengan berlari. Kantornya juga terletak satu blok dengan kediamannya. Jadi, dia masih punya waktu sekitar sepuluh sampai lima belas menit untuk menikmati suasana.

Arais memutuskan untuk mengelilingi tempat itu sebentar. Masih ada beberapa sudut yang belum dijamahnya. Keterbatasan waktu setiap pagi membuatnya tak bisa menjelajah leluasa.

Arais melangkah perlahan menelusuri jalan kecil yang di terletak di tengah taman. Daun-daunan yang berguguran membuat jalanan itu seperti tertutup karpet berwarna jingga dan kuning. Angin yang tiba-tiba berhembus kencang membuat helai demi helainya berterbangan ke udara.

Arais tersenyum senang, sampai wajah tampannya berbenturan dengan sebuah benda. Senyumnya hilang seketika. Diambilnya benda tersebut dan diperhatikan dengan seksama.

Payung? Siapa yang membawa payung di cuaca yang berangin seperti saat ini?

Merasa sangat jengkel karena kesenangannya terganggu, Arais mencari si pemilik payung dengan matanya yang setajam elang. Kepalanya ditengokkan kesana kemari. Berusaha menembus tordano kecil yang terdiri dari daun yang bergulung-gulung. Saat itulah Arais melihatnya.

Dia berlari kecil di antara kepungan dedaunan. Tubuhnya yang mungil mencoba menyibak tabir, helai demi helai. Kulitnya yang berwarna langsat terlihat sangat serasi dengan warna jingga dan merah yang mengelilinginya. Rambutnya pekat seperti malam tanpa bulan dan bintang. Kontras dengan daun berwarna keemasan yang singgah di rambutnya yang bergelombang dan jatuh dengan lembut di bahunya. Gadis itu layaknya lukisan.

Arais tidak pernah percaya dengan cinta pada pandangan pertama. Baginya itu omong kosong. Bualan yang dibuat para pria untuk menjerat wanita yang sukainya. Apalagi berdasarkan pengalamannya sendiri, Arais bukan tipe lelaki yang mudah jatuh cinta. Perlu beberapa waktu baginya untuk menyadari bahwa dia menyukai seseorang dan butuh lebih banyak lagi waktu untuk membuatnya jatuh cinta.

Tapi, nyatanya Arais harus menyerah dengan dorongan hatinya sendiri. Tanpa bisa dikendalikan detak jantung Arais berpacu. Dia memandang wanita di depannya hampir tanpa berkedip.

Matanya yang cokelat terang mengikat Arais sampai tak bisa berpaling. Ada sesuatu dari matanya yang membuat Arais terpana. Layaknya danau di musim dingin. Dalam dan misterius.

"Maaf...payungku mengenai, Anda?" gadis itu tersenyum manis dan Arais hanya bisa membisu.

***

"Terima kasih, untuk kerjasamanya Pak Arais. Saya pikir ini akan jadi bisnis yang menguntungkan kedua belah pihak."

Arais membalas jabat tangan wanita di hadapannya dengan kurang antusias. Sejak tadi dia sering mengirimkan 'sinyal' suka. Mungkin mengajaknya makan malam akan semakin mempermudah suksesnya proyek Arais.

Perempuan itu memang menarik. Seksi malah. Sayang Arais tidak tertarik. Dia sudah cukup puas dengan semua wanita semacam itu.

"Terima kasih kembali. Saya harap kita bisa bekerja secara profesional." Arais menekan nada suaranya di bagian kata 'profesional'.

"Saya menunggu telepon Pak Arais untuk pembicaraan selanjutnya." wanita itu tidak peduli dengan ketidaksukaan Arais yang terang-terangan.

Arais hanya mengangguk dan tersenyum sopan. Dia lebih memilih ditembak ketimbang kencan dengan perempuan itu.

***

"Ara..iss..."

"Arais..."

"Heiiiii....bumi memanggil Arais." Rick menjentikkan jari berkali-kali di depan batang hidung Arais, tapi tidak digubris.

"Heeiiiii, Dude! Sadarlah!" kesal, akhirnya Rick menggoncangkan tubuh Arais sekencang yang dia bisa. Tidak mudah. Meski bertubuh ramping, namun Arais memiliki badan padat berotot. Hasil rutinitasnya berolahraga.

"Ap...apaa??" Arais tergagap-gagap menjawab.

"Kamu kemana saja?" Rick mencibir.

"Apa maksudmu? Kau lihat sendiri aku tak kemana-mana."

"Tubuhmu memang ada di depanku, tetapi jiwa dan pikiranmu tidak ada disini." Rick menatap Arais tajam. Ini tidak seperti Arais yang dikenalnya. "Ada apa sebenarnya?"

"Tidak ada apa-apa." seakan tersadar, Arais buru-buru mengambil berkas yang ada di hadapannya. Hasilnya berkas-berkas itu berserakan karena diambil secara serampangan.

"Hei, Dude! "Rick menghentikan kegiatan Arais. Ditatapnya dalam-dalam manik mata sahabatnya. "Apa kamu sakit?"

"Whaat??" Arais mengerutkan keningnya dalam-dalam lalu menggeleng kuat-kuat. "Nope."

"Hmmm...lalu apa yang sebenarnya terjadi? Sejak rapat tadi konsentrasimu selalu pecah. Setiap kali ditanya kamu hanya menjawab 'Ya' atau 'Tidak'. Untung saja calon klien kita mengerti saat kukatakan kalau keluargamu ada yang meninggal belum lama ini karena itu kamu tidak fokus."

Kesibukan Arais mengatur berkas terhenti. Sesaat dipandangnya Rick kemudian dia tertawa terbahak-bahak.

"Saudaraku yang mana yang kau sumpahi cepat mati? Bob? Frank? Grace? Si Jahil Mark? Atau mantanmu Julie?" ujar Arais di sela tawanya.

"Berhentilah tertawa. Aku sedang berusaha menyelamatkanmu dari kegagalan yang bodoh." Rick berdecak sebal.

"Aku tidak gagal, Dude. Kau lihat sendiri tadi."

"Yeah. Aku lihat bagaimana perwakilan mitra kerja kita menunjukkan rasa sukanya terhadapmu. Kenapa kau tidak mengajaknya kencan saja?"

"Nope. I'm not interesting."

"Sadisss... Ha ha ha ha."

"Kau tau aku sudah berubah."

"Semenjak kau kenal Caroline." tatapan mata Arais berubah tajam.

"Tidak usah kau sebut namanya lagi."

"Maaf. Aku tidak bermaksud untuk menyinggung masa lalu. Tapi, Carrie benar-benar membawa perubahan yang besar padamu. Perubahan yang positif."

"Aku tau." wajah Arais berubah sendu.

Rick yang merasa tidak enak, langsung mengubah pembicaraan. "Jadi, siapa wanita itu? Apakah dia cantik? Apakah aku kenal dia?"

"Maaf?" Arais mengerutkan kening. "Apa maksudmu?"

"Kau melamun ketika aku memanggilmu. Satu-satunya yang bisa membuatmu melamun di kantor adalah kala kamu jatuh cinta." Rick menyeringai.

"Aaarrrggghhh." Arais menjambak rambutnya frustasi. "Kenapa kamu selalu tau apa yang kupikirkan?"

"Karena aku sahabatmu. Sejak kecil." seringai Rick bertambah lebar.

"Aku benci kamu."

"Ha ha ha ha ha. Terserah kamu berkata apa. Sekarang bilang padaku siapa gadis itu?"

"Aku tidak tahu." Arais mengangkat bahu.

"Tidak tahu? Aku tidak mengerti."

"Entahlah....aku bertemu dengan wanita ini tadi pagi dan..."

"Tunggu...tunggu. Tadi pagi? Tadi pagi?"

"Iya!!" Arais menggeleng tidak sabar. "Kami bertemu hanya sebentar. Tapi, entah kenapa aku tidak bisa menghilangkan bayangannya dari kepalaku." Arais menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Kau?? Jatuh cinta pada pandangan pertama?" Rick terpingkal-pingkal. "Ini bukan Rick yang kukenal. Halooo... Kau masih Arais?" Rick meletakkan tangannya di bahu Arais dan memandangnya lekat-lekat.

"Jangan berlebihan." Arais mepis tangan Rick dengan jengkel. Wajahnya memerah.

"Gilaa!!! Kau benar-benar jatuh cinta. Tunggu sebentar." Rick duduk di sofa putih dalam kantor Arais yang luas dan tertawa disana sampai air matanya keluar.

Arais hanya mengawasi dari sudut ruangan sambil memasang wajah kesal. Ingin rasanya dia meninju wajah Rick. Walaupun sahabatnya itu tidak salah. Dia hanya tertawa.

Dulu Arais berkata tidak akan pernah jatuh cinta pada pandangan pertama. Dia bilang begitu, karena tidak suka melihat Rick yang terlampau sering jatuh cinta. Pada pandangan pertama pula. Arais percaya perasaan seperti itu adalah hal yang mustahil dan bodoh.

"Sudah selesai?" Arais bertanya tajam.

"Belum." Rick tertawa makin lebar.

"Heii!! Sudahlah! Ini sudah hampir sepuluh menit. Tidakkah kau lelah?"

"Dude, ini adalah berita besar. Biarkan aku tertawa sepuasnya."

Arais menghela nafas panjang. Menyesali keterbukaannya. Juga perasaan yang tidak bisa dibendung. Kenapa bisa dia jatuh cinta pada wanita yang tidak dia kenal?

***

Decit suara sepatu lari Arais menggema di jalanan. Dengusan nafasnya memburu. Dia sudah keliling kota sampai tiga kali. Sengaja melewati taman tempatnya bertemu dengan gadis tanpa nama itu. Tapi, tidak bertemu sekalipun dengan orang yang dicarinya.

"Kemana dia?" Arais berhenti dan menggeram. Sebal karena niatnya belum kesampaian. Juga marah pada dirinya sendiri yang bertingkah aneh.

Tornado kecil yang terdiri dari dedaunan mapel, menghantam wajah Arais ketika dia berlari kembali. Saat itulah dia melihatnya.

Wanita itu berdiri di antara kepulan dedaunan. Tubuh mungilnya terbalut gaun berwarna jingga. Persis seperti daun yang dipegangnya. Dia tertawa melihat daun-daun mengelilinginya seperti anak kecil yang mengajak bermain. Arais hanya bisa terpesona.

***

"Melamun kembali, Kawan?" kepala Rick muncul dari balik pintu. "Aku sudah mengetuk pintu 20 kali."

Arais tidak menggubris pertanyaan Rick. "Ada perlu apa?"

"Kita diajak makan siang?"

"Siapa yang mengajak?"

"Miss Miranda."

Arais memutar bola matanya jengkel. "Wanita kemarin?"

"Yup. Dia bilang ada yang ingin dibicarakan."

"Ti..."

Rick langsung memotong. "Ini penting. Terkait proyek yang kita kerjakan bersama. Kau tidak boleh menolak."

"Kenapa tidak langsung ke kantor saja."

"Dia ingin berbicara dalam suasana yang santai." Rick mengetuk-ngetuk kaca meja. "Ayolah. Jangan terlalu keras kepala. Ini hanya obrolan bisnis."

"Baiklah. Asalkan kau ikut." Arais berkata tegas.

***

Arais harus mengakui Miranda pintar memilih. Kafe ini kecil, tapi sangat nyaman. Bertemakan kebun dan jauh dari kata resmi. Terkesan hangat seperti di rumah sendiri.

Mereka memilih tempat di bawah gazebo kecil yang dikelilingi rumpun bunga Morning Glory.

Arais membiarkan Rick yang banyak berbicara. Dia lebih memilih untuk menikmati suasana. Rasanya sudah lama sekali dia tidak serileks ini.

"Suka dengan tempat yang saya pilih, Pak Arais?" Miranda berujar.

"Arais. Bukankah Anda ingin santai sedikit" Arais tersenyum.

"Kalo begitu jangan panggil 'Anda'. Panggil saja Miranda." Miranda balas tersenyum manis.

"Setuju." Rick menyela. Mereka bertiga tertawa.

Arais, Rick dan Miranda terlibat pembicaraan seru. Tentang bisnis, ekonomi, politik, sampai film.

Miranda ternyata wanita yang cerdas. Arais harus mengakui itu. Dia tidak cuma menarik dari tampilan, 'isi'nya juga berbobot. Namun, tetap saja Arais tidak sampai berpikir mengajaknya kencan. Miranda lebih cocok menjadi kawan wanitanya.

"Dari mana kamu tau kafe ini?" Rick bertanya sembari menyeruput cappucino.

"Teman saya bekerja disini. Tepatnya kafe ini milik bibi dan pamannya."

"Maaf menyela, kamar kecil dimana, ya?" Arais celingak celinguk.

"Lurus saja dari sini kemudian belok kiri. Langsung keliatan tandanya." Miranda menjawab. Arais mengangguk lalu berjalan ke arah yang ditunjuk.

Tidak terlalu banyak orang saat ini. Hanya ada beberapa pelanggan berdiri di meja kasir dan sepasang manula duduk di tepi jendela berhias bunga mawar. Arais melewati mereka. Dia disapa dengan lambaian tangan dan senyum.

Sepertinya orang-orang yang bersantap disini sudah saling mengenal. Pikir Arais.

Ketika akan membelok, Arais tercenung. Seperti proyektor hitam putih, Arais mengulang kembali memori beberapa hari yang lalu.

Di bawah dedaunan hijau yang bergelantungan, wanita itu berdiri. Memakai celemek berwarna putih dan gaun berwarna jingga. Dia sedang menulis pesanan seorang tamu. Senyumnya begitu manis.

Arais tidak mau membuang kesempatan dengan hanya melihatnya dari jauh seperti biasa. Ini sebuah pertanda. Apakah kebetulan belaka jika kamu selalu bertemu dengan orang yang sama?

Perlahan Arais mendekati gadis itu. Jantungnya berdegup kencang. Tangannya berkeringat.

"Halo." Arais menyapa. Suaranya bergetar karena gugup.

Wanita itu memalingkan wajah, lalu tersenyum. "Halo."

Dia jauh lebih cantik dilihat dari dekat.

"Ada yang bisa saya bantu?" wanita itu bertanya ramah.

"Masih ingat saya?" Arais menelan ludah. Bodoh sekali rasanya bertanya seperti itu. Mereka belum pernah berkenalan.

"Pardon, me. Do I know you?" dia mengerutkan kening. Memandang Arais lebih seksama.

Bahasanya sangat formal.

"Tidak. Belum. Saya yang waktu itu kena payung Anda," Arais berdoa semoga wanita di hadapannya tidak menganggapnya gila, "Di taman."

Wanita itu diam sejenak. Berpikir.

"Oh, yah. Anda yang marah-marah waktu itu?" dia terkekeh. Muncul binar di matanya.

"Benar." Arais menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Salah tingkah. "Maafkan saya."

"Tidak masalah." dia melambaikan tangan.

"Tapi, saya ingin menebusnya." ucap Arais serius.

"Tidak perlu." dia berkata tidak kalah serius.

"Saya ingin mengajak Anda makan malam sebagai permintaan maaf." Arais menatapnya lama dan dalam. "Bolehkah?"

***

qf

Continue Reading

You'll Also Like

1.4M 68.1K 51
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
424K 30.3K 86
Cinta hanya untuk manusia lemah, dan aku tidak butuh cinta ~ Ellian Cinta itu sebuah perasaan yang ikhlas dari hati, kita tidak bisa menyangkalnya a...
6.7M 336K 74
"Baju lo kebuka banget. Nggak sekalian jual diri?" "Udah. Papi lo pelanggannya. HAHAHA." "Anjing!" "Nanti lo pura-pura kaget aja kalau besok gue...
1.1M 53.3K 66
Follow ig author: @wp.gulajawa TikTok author :Gula Jawa . Budidayakan vote dan komen Ziva Atau Aziva Shani Zulfan adalah gadis kecil berusia 16 tah...