Down There Is What You Called...

By Atikribo

91.9K 10K 2.6K

Kepergian sahabatnya meninggalkan sebuah tanda tanya besar dalam diri Raka. Ketika semua orang mengatakan pen... More

Sebelum Menjelajah
Chara Profile
Surface - 1
Surface - 2
Surface - 3
Surface - 4
14 Years Ago, Capital City
Somewhere - 1
Somewhere - 2
Surface - 5
Surface - 6
2nd Floor
3rd Floor
4th Floor
5th Floor
At The Corner Of His Memories
6th Floor
10K READS: GIVE-FRICKIN-AWAY!! (Closed)
7th Floor
GIVEAWAY CLOSED
GIVE-FRICKIN-AWAY WINNER
8th Floor
9th Floor
10th Floor
11th Floor
12th Floor
13th Floor
14th Floor
15th Floor
Somewhere - 3
16th Floor
17th Floor
18th Floor
19th Floor
20th Floor
Antarkasma - 4
Antarkasma - 5
21st Floor
Antarkasma - 6
Antarkasma - 7
22nd Floor
23rd Floor
Orenda, 14 Years Before
Orenda - 7 Years Before
24th Floor
Antarkasma - 8
25th Floor
26th Floor
27th Floor
28th Floor
Antarkasma - 9
29th Floor
30th Floor
31st Floor
Epilog
Afterwords & Surat Cinta
Bincang Ubin Vol.1
FLOOR NEW YEAR SPECIAL: College AU
Bincang Ubin Vol. 2
Maps & Glossarium

1st Floor

1.4K 217 40
By Atikribo

BAHU RAKA terasa sakit. Tak hanya bahu, perutnya pun terasa dua kali lipat lebih sakit. Pukulan pria bermasker gas itu tepat mengenai ulu hatinya. Raka tak habis pikir bagaimana dia bisa memukulnya tepat sasaran padahal ia sudah memasang kuda-kuda pertahanan diri. Untungnya, ia tidak muntah darah.

Ketika pintu besi tertutup, Raka menarik napas panjang. Ia mencoba menenangkan diri dari aliran deras adrenalin di tubuhnya. "Siapa mereka?"

Nova tak segera menjawab. Alih-alih terdengar napas terengah disusul dengan rintihan menahan sakit. Mengambil ponselnya, Raka menyalakan senter mengarahkan ke gadis yang tengah meringkuk, memegangi perutnya, beberapa kali mengerjapkan mata, "Nova, kau enggak apa-apa?"

"Lukaku...terbuka," Nova menunjukkan telapak tangannya yang berwarna gelap.

Mengumpat, Raka berjalan bolak-balik di samping Nova yang meringkuk, tidak tahu harus melakukan apa. Ia tidak pernah tertusuk pisau dan tidak mengantisipasi kejadian ini. Raka hanya bisa berpikir, "Lukamu tidak dalam 'kan? Dokter kemarin bilang lukamu tidak dalam 'kan?"

Nova menggeleng lemah. Cepat-cepat Raka mengedepankan tas ranselnya. Mencari-cari kaos cadangan yang ia bawa, pemuda itu susah payah menyobeknya menjadi perban darurat. Ia berlutut di depan gadis itu kemudian mengambil botol mineral yang masih penuh dan menuangkan sebagian isinya pada sobekan kaos yang tak terpakai.

Berdecak melihat Nova yang hanya mengenakan gaun pendeknya, Raka berkata, "Angkat gaunmu."

"Apa?"

"Aku bukan dokter," ucapnya, "Tetapi, pendarahannya harus dihentikan. Kau mau aku menyingkap rokmu dan dituduh pelecehan seksual atau gimana?"

Tanpa berkata apapun, gadis itu mengangkat gaunnya. Raka memberikan Nova senter untuk membantu menerangi. Celana stoking yang gadis itu kenakan ia tarik sampai pinggang yang mulai ternoda karena darah. Di balik sana pun terlihat pakaian dalamnya yang berwarna hitam. Cahaya yang sekadarnya menunjukkan wajah pucatnya bersemu merah. Menelan ludah, Raka menarik stokingnya ke bawah, membersihkan noda di perut gadis itu. Beberapa jahitannya memang terbuka dan lukanya belum tertutup benar, tetapi sebenarnya darah yang keluar tidak sebanyak yang Raka kira.

Ia meminta Nova untuk menahan napas kemudian membebat perutnya; agak terlalu kencang sehingga gadis itu mengeluh tidak bisa mengambil udara, "Sori," Raka mengendurkan ikatan pada perban.

Raka menarik napas panjang dan terduduk di hadapan Nova. Ia menenggak air minumnya dan memberikan botol itu pada Nova yang telah membenahi gaun. Menerima botol air, gadis itu berterima kasih.

Raka berdiam diri sejenak. Lagipula rentetan kejadian itu terlalu mengejutkan meskipun sebenarnya hal ini membuatnya bersemangat. "Jadi sekarang kita sudah di —apa namanya— Huva Atma? Kita mau menunggu Cy atau pergi duluan?"

"Aku tidak tahu," tatapan gadis itu kosong. Mungkin terlalu syok, entahlah.

Mengingat banyaknya suara yang muncul ketika mereka memasuki pintu besi itu, Raka menduga para satpam telah berdatangan dan akan menangkap mereka. Cy bisa jadi terjebak atau mungkin ditembak. Mengingat kelihaiannya melompat belasan meter dari jembatan layang sepertinya tak perlu mengkhawatirkan Cy. Lagipula Raka bukan tipe orang yang hanya bisa duduk diam tanpa melakukan apapun.

"Kau bisa jalan?"

"Kita tidak akan menunggu Cyrus?" Nova terdengar terkejut.

"Dan enggak melakukan apapun?" Raka balik bertanya, "Yakin kau hanya mau menunggu? Kalau kau lelah, kita bisa berhenti dan memeriksa lukamu dulu. Kupikir Cy pasti bisa menemukan kita."

"Kalau tidak?"

"Pasti ada jalan keluar," Raka merogoh saku celananya dan mengambil sebatang rokok, menyulutnya dan menghisap dalam-dalam. Setidaknya asupan nikotin itu bisa membuat Raka sedikit tenang. Menumpu badannya pada kedua tangan, Raka bertanya, "Kau ingat perkataan Cy tentang peraturan di sini, Nov?"

"Jangan lihat ke belakang, jangan ikuti cahaya biru, dan pagna sama dengan lari," gadis itu menarik napas di sela-sela perkataannya.

Raka menghirup rokoknya lagi, menghembuskan asapnya ke samping. Ia meminta kembali ponselnya yang dari tadi digenggam oleh Nova, mengarahkan senternya ke kiri lalu ke kanan. Di sisi kirinya merupakan pintu besi tempat mereka masuk dan dinding mengapit pintu itu. Raka baru sadar ternyata lorong itu begitu kecil, gelap dan lembab. Udaranya memang terasa bau, tetapi buff yang ia kenakan setidaknya bisa menyaring aroma itu. Memilih jalan ke kiri berarti kembali ke museum. Mengarahkan senternya ke kanan, Raka tak melihat ujung dari lorong itu. Berharap apa dia dengan daya lemah lampu ponsel?

"Kalau ke kiri kita kembali lagi ke museum itu, mau enggak mau kita harus ke sana," Raka menunjuk arah berlawanan.

"Jadi kita benar-benar pergi tanpa Cyrus?"

Raka tidak mengerti mengapa gadis itu terdengar seperti seseorang yang paranoid. "Ya!" Raka memiringkan kepalanya, "Apa kau lebih memilih untuk duduk diam dan hanya menunggu? Yang benar saja."

"Setidaknya lebih aman begitu, 'kan?" Nova memeluk kakinya, tidak menatap Raka sama sekali, "Aku belum pernah ke daerah sini sebelumnya."

"Yeah, apa lagi aku," pemuda itu menghembuskan asap rokok, "Hey, kita tidak tahu berapa lama lagi Cy akan datang, Nov. Aku pribadi enggak mau buang-buang waktu tanpa melakukan apapun. Kita tahu peraturannya. Selama mengikuti itu, seharusnya akan aman 'kan?"

Sedetik, dua detik berlalu. Nova masih tidak menatapnya dan mulutnya tetap bungkam, "Aku lelah, Raka. Kamu jadi ikut repot gara-gara aku. Bagaimana kalau kamu terluka juga? Bagaimana kalau orang-orang tadi berada di luar sana? Bagaimana kalau aku malah menghambat, bukannya menjadi 'pemandu wisata' seperti yang kau bilang?"

Raka menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Gemas, ia menghirup rokoknya lagi, "Kau berpikir terlalu jauh! Kalau mencemaskan itu, apa kau mencemaskan orang-orang yang mengejarmu datang dari pintu itu? Bagaimana kalau Cy tidak bisa kembali dan orang-orang itu masuk ke sini untuk mencari kita? Kau kira kau bisa berlari dengan luka di perutmu itu? Jangan bego."

Raka berdiri, menepuk bokongnya yang terasa lembab. Ia memasukkan kembali barang-barang yang tadi dikeluarkan ke dalam tas kemudian mengulurkan tangannya, menunggu Nova untuk menyambut Raka.

"Ayo," ajaknya, "Kalau kau kenapa-kenapa, aku bisa membantu. Praktisnya begitu 'kan?"

Meminta maaf, Nova menyambut tangan Raka. Saking kecilnya, lorong itu tidak cukup jika dua orang berjalan berjajar bersamaan. Raka menyuruh Nova untuk berjalan di depan. Lorong itu terasa dingin dan lembab; terbuat dari batu atau lapisan semen. Raka tak habis pikir kenapa belakangan ia selalu berada di tempat-tempat yang sempit dan gelap. Hal ini pun tak hilang dari kata-kata lorong, lorong, lorong, dan lorong. Ini pertama kalinya Raka begitu ingin melihat matahari lagi.

Sejujurnya, ia tidak tahu bahwa ada ruang bawah tanah di museum itu. Datang ke sana saja baru kali pertamanya. Tidak melihat isinya pun bukan suatu hal yang mengecewakan. Karena Raka lagi-lagi mendapatkan pengalaman luar biasa di luar logika. Raka tersenyum kecil mengingat bagaimana kekacauan yang telah diciptakan Cy dan terbayang berita yang akan beredar di media massa besok pagi.

Kalau dia besok akan kembali, mungkin Raka akan penuh semangat menceritakan kejadian itu kepada teman-temannya. Namun mengingat entah kapan pemuda itu akan kembali, mungkin berita museum yang hancur sudah keburu basi. Meskipun begitu, Raka tidak yakin apakah mereka benar-benar sudah berada di Huva Atma. Pengetahuan nolnya mengenai ruangan itu membuat Raka berasumsi bahwa lorong yang sedang mereka jelajahi bisa jadi merupakan lorong di bawah museum itu sendiri.

Menanyakan keberadaan Huva Atma, Nova jawab dengan telunjuk yang mengacung pada sebuah cahaya biru kecil terbang tak jauh dari mereka. Keluar dari lorong kecil itu, mereka berhadapan dengan terowongan yang lebih besar dan pilihan perjalanan mereka lagi-lagi hanya arah kiri dan kanan. Cahaya itu berkedip pelan layaknya kunang-kunang dan warna biru yang berpendar pun tampak redup.

"Azuline, huh," Raka terpesona.

Satu cahaya biru memang tidak memberikan dampak yang signifikan. Tetapi, cahaya-cahaya biru lain mulai bermunculan dan gemerlap cahayanya secara mengejutkan memberikan ketenangan. Raka ingin meraih makhluk kecil itu, tetapi tangan Nova mencegahnya. Ia tidak sadar gadis itu dari tadi memerhatikan tindak tanduknya.

"Jangan pegang," Raka tidak bisa melihat dengan jelas bagaimana ekspresi Nova, suaranya terdengar sama normalnya seperti biasanya. Sedikit amarah, sedikit kecemasan.

"Kenapa? Enggak boleh mengikutinya, bukan berarti dilarang menyentuhnya juga 'kan?"

Menghela napas, Raka dapat membayangkan gadis itu memutar bola matanya, "Kamu itu benar-benar tidak mengerti arti kata 'bahaya' ya?"

"Kerjaanku bukan untuk baca kamus," Raka tertawa mencemooh, "sori saja."

"Jadi," Nova menghiraukan perkataan Raka, "ke mana?"

Raka melipat kedua tangannya di depan dada, mempertimbangkan kemungkinan jalan yang benar dari cabang terowongan itu. Jumlah azuline yang masih sedikit tidak dapat membantu mereka untuk tidak mengikuti makhluk itu. Ah, sudahlah, "Kanan," tunjuk Raka dengan jempolnya, "Hal baik selalu terjadi di jalur yang baik. Kanan pasti aman."

Nova mempertanyakan lagi apakah keputusan spontan yang Raka buat, benar. Hal ini membuat pemuda itu sedikit gemas dan bertanya pada gadis itu apakah dia terlihat begitu bodoh dengan pilihan-pilihan tak berencana ini, "Tentu saja iya!" jawab Nova seolah-olah pertanyaan Raka merupakan pertanyaan retoris.

Raka tertawa miris. Meskipun Nova meragukan keputusannya, gadis itu tetap berjalan bersisian dengannya. Lorong yang kini mereka lalui tampak jauh lebih besar dari lorong pertama. Mengarahkan senternya ke seberang, cahayanya terlihat kabur, tak cukup kuat hingga sampai pada sisi dinding satunya. Mungkin lebarnya sekitar lima meter. Melihat layer ponselnya, tidak heran Raka tidak mendapatkan sinyal. Baterainya pun tinggal menunjukkan 40% lagi. Ia mematikan senternya.

"Nova," Raka melirik gadis itu dari sudut mata, tetapi Nova tetapi pandangannya tetap lurus ke depan. Menganggap gadis itu belum tuli, ia melanjutkan, "kenapa orang-orang itu mencarimu? Mereka siapa?"

Raka kira gadis itu akan langsung menjawab, tetapi tidak. Dalam gulita, ia tak bisa memerhatikan bagaimana ekspresi Nova. Suaranya kecil ketika ia balik bertanya, "Mau tidak mau aku harus jawab ya?"

"Enggak ada salahnya 'kan?"

"Tapi aku tidak—"

"Tidak mau membahayakan orang lain?" potong Raka, "Dengar Nov, aku sudah sampai di sini dan enggak akan pulang sampai rasa penasaranku hilang. Aku sudah kena tonjok karena tidak tahu bahaya apa yang kau bawa. Yang gini-gini yang bikin orang celaka, paham kan?"

Menghela napas, Nova mengangkat tangannya ke depan, setinggi pinggang. "Kamu sudah lihat tato di tanganku 'kan?" Raka ingat itu adalah kali pertama melihat gadis itu hanya mengenakan pakaian dalam. Guratan tatonya rumit, membentuk pola-pola yang Raka belum pernah temui sebelumnya. Tentu saja Raka ingat.

"Tato itu tidak hanya terajah di tanganku, tetapi juga di seluruh punggung. Dia bilang tato itu penting dan aku harus menjaganya, tapi...," Nova menghela napas; Raka menunggu gadis itu melanjutkan dalam gema langkah mereka, "tato itu sudah hilang."

"Maksudnya?"

"Aku membakarnya," ucapan gadis itu sedingin es lalu dalam waktu yang cukup lama ia kembali terdiam sebelum menambahkan, "Bisa kita berhenti membicarakan itu?"

Raka berdecak. Entah kenapa perempuan seringkali bercerita setengah-setengah, membuatnya malah semakin bertanya-tanya, "Lantas kenapa orang-orang itu megejarmu? Memangnya apapun yang di punggungmu menggambarkan apa?"

"Entahlah Raka," gadis itu mengigit bibirnya, "Itu pekerjaan ayahku dan dia tidak menceritakan apapun. Dia hanya bilang bahwa itu akan berguna nanti."

"Tapi kau malah membakarnya?" Raka mendengus, "Hebat."

"Kamu tidak mengerti."

"Yah, aku sih enggak bakal pernah mengerti orang-orang," Raka bersiul kemudian tertawa, "Karena mereka sulit untuk dimengerti."

Ia tidak menyadari bahwa jumlah azuline bertambah di sekitar mereka. Gemerlap biru mulai berkeliaran dan entah bagaimana Raka benar-benar tergoda untuk menyentuhnya meskipun hanya sekali. Sedikit banyak ia bertanya sampai kapan ia harus berada di terowongan ini dan bagaimana ia bisa keluar, tetapi mau tidak mau Raka mencoba untuk menikmatinya.

Bosan berada di pinggir, Raka berjalan ke tengah terowongan. Ia berjongkok dan memegang lantainya. Permukaannya terbuat dari batu, sepertinya. Agak lembab dan sedikit licin. Terasa pula bagian yang basah karena air yang menetes dari pipa-pipa di atasnya. Raka melangkah lagi dan mendapati permukaan yang sedikit melengkung. Permukaannya masih sama namun terdapat sesuatu yang lebih padat yang tidak sesolid batu.

"Ada apa?" Nova berjalan mendekatinya.

Raka menanyakan tanah yang menempel di jemarinya, menurunkan buff yang menutupi hidung, dan mengendus jemarinya; memastikan lagi apakah itu tanah atau bukan. Gadis itu menjelaskan bahwa bisa saja tanah itu berasal dari jejak seekor pagna. Raka tidak paham seberapa besar pagna sebelum ia bisa melihatnya dengan mata kepalanya sendiri. Meskipun begitu Nova mengatakan bahwa makhluk itu kurang lebih hampir sama lebarnya dengan lorong itu.

Kembali berjalan, Raka tidak suka perjalanan mereka hanya diisi keheningan, "Ceritakan tentang dirimu dong," pinta Raka.

"Kenapa?" tanya gadis itu defensif.

Raka menggigit bibirnya, "Karena kita ini bersama dalam perjalanan ini 'kan? Bukankah akan lebih seru kalau kita tahu satu sama lain?"

"Kenapa? Kamu sudah tahu cukup banyak tentangku," Nova memasukkan tangannya ke dalam saku mantel, merapatkannya agar terasa lebih hangat, "Setelah keluar dari sini toh kamu akan pergi mencari tahu tentang ruska dan kematian temanmu itu 'kan? Kita tidak akan bertemu lagi."

"Hah? Kau berjanji menjadi pemandu wisataku di sini!"

"Ngawur!" sanggah Nova, "Itu hanya ucapanmu waktu di museum tadi! Aku tidak pernah bilang 'iya'!"

Raka mengerang gemas. Gadis ini benar-benar sulit ditebak. Di suatu waktu ia akan berbicara ini dan itu. Namun di sisi lain gadis itu akan mengunci mulutnya rapat-rapat jika membicarakan hal personal. Masa' Raka belum memintanya untuk menjadi pemandu wisata? Bukan berarti pemuda itu ingin selalu ditemani. Ia sebenarnya tidak masalah jika harus pergi bertualang sendiri, tetapi dengan seorang warga lokal seharusnya memudahkan segalanya.

Langkah Raka terhenti ketika sebuah —atau seekor, entahlah— azuline hinggap di hidungnya. Pemuda itu otomatis mengibaskan tangan di depan wajah, menangkap makhluk itu. Pendaran cahaya birunya memudar, tak lama hilang. Meraba, azuline memang terasa seperti serangga: kecil dan rapuh. Menepuk tangannya, Raka tidak ingat perkataan Nova agar tidak menyentuh azuline sama sekali.

Gadis itu terdiam ketika Raka sibuk dengan azuline di tangannya. Alisnya berkerut, ia memandang Raka takut. Pandangan mereka bertemu dan gadis itu hanya berkata untuk hati-hati. "Kita tidak salah jalan 'kan?" tanya Nova, ia tampak cemas dengan jumlah makhluk bercahaya biru yang semakin banyak itu.

Raka menepuk tangannya, mengencangkan tas ransel yang ia pakai dan kembali berjalan. "Kalaupun salah, kita tidak bisa membalikkan badan dan kembali ke jalan yang sebelumnya 'kan?" Raka tidak paham dengan kecemasan gadis itu. Ia berjalan mendekati Nova, merangkul tubuhnya yang terasa begitu kecil, "Tenang, Nov."

"Mana bisa aku tenang," gerutunya, "azuline semakin banyak."

Raka menepuk kepala gadis itu dan lagi-lagi berkata, "Enggak usah terlalu banyak pikir. Tenang saja!"

"Aku harus mencari ibuku, Raka," geramnya.

"Keluar lebih cepat dari sini pun tidak berarti bisa bertemu dengannya lebih cepat kan?" tanya Raka dan Nova terdiam.

Nova berusaha untuk melepaskan tangan pemuda itu, tetapi Raka malah menguatkan rangkulannya. Memang benar, azuline di sekitarnya semakin banyak, tetapi ia masih belum melihat cabang jalan lagi. Mereka terus berjalan hingga Raka tiba-tiba mendegar suara seorang perempuan memanggilnya.

Langkah pemuda yang berhenti membuat Nova menatapnya heran. "Kau dengar enggak, Nov? Ada yang memanggil namaku."

"Aku tidak mendengar apa-apa," sanggahnya.

Mungkin hanya perasaanku saja, pikirnya. Namun suara perempuan itu semakin lama semakin sering ia dengar. Dari intensitas rendah hingga tinggi, suara perempuan itu seolah-olah berbisik tepat di telinganya. Raka bergidik dan lagi-lagi menghentikan lagkah, membuat Nova khawatir.

"Ada apa?"

"Kau benar-benar enggak mendengar suara itu?"

"Suara apa?" Nova balik bertanya, kebingungan, "Aku tidak mendengar apapun."

Raka yakin ia mendengar suara seorang perempuan yang kerap memanggilnya. Raka... Raka... Raka.... Entah bagaimana Raka tahu bahwa orang dibalik suara itu adalah seseorang yang memiliki intensi baik. Anehnya, suara perempuan itu pun taka sing di telinganya. Seolah-olah Raka telah mengenal perempuan itu cukup lama, ia mencoba untuk mengingatnya, tapi nihil. Ingatan tentang suara itu begitu kabur, membuat sebuah lubang besar dalam memorinya.

Mereka kini berhadapan kembali dengan percabangan jalan dan memilih jalur dengan cahaya kebiruan yang lebih sedikit. Ia tidak tahu berapa lama lagi mereka harus berjalan dan Nova tak lama meminta untuk istirahat. Pernah mereka melihat sebuah lorong kecil seperti lorong pertama mereka masuk tempat itu, tetapi Nova mencegahnya untuk masuk. Gadis itu lebih memilih untuk berjalan di jalur utama, mengingat tidak tahu lokasi mereka secara persis. Sedikit kecewa, Raka memilih untuk mengalah.

Raka.

Suara itu lagi. Ia sudah bosan menanyai Nova apakah ia mendengar suara seorang perempuan yang memanggilnya; gadis itu selalu bilang tidak. Gadis itu bahkan penasaran dengan hal yang Rala lakukan hingga dapat berhalusinasi seperti itu. Akan tetapi, Raka bersikeras bahwa ia tidak berhalusinasi. Suara ini terlalu nyata jika dibilang sekadar perasaan belaka.

Raka menyipitkan mata, mengingat-ngingat kesalahan apa yang telah ia perbuat. "Kau menyentuh azuline ya?"

"Sebuah...seekor azuline hinggap di hidungku. Aku hanya menepisnya."

"Aku sudah bilang untuk tidak menyentuhnya. Sekarang kau paham kan bahayanya?" Nova menghela napas. Gadis itu melanjutkan, "Azuline mengambil kenangan dan memori orang-orang yang...tersesat. Hal itu akan mengacaukan pikiranmu dan bisa membuatmu gila jika kau terlalu sering dekat dengan cahaya biru itu; suara orang-orang di dalamnya akan membuatmu gila."

Raka.

"Bukan orang-orang," gumam Raka sambil meminum air dari botol, "Hanya seseorang dan dia terdengar tidak asing."

Raka.

Suara itu benar-benar mengganggunya. Raka tidak bisa mengacuhkannya karena suara-suara itu tepat berada di dalam kepala, mengacaukan pikiran dan konsentrasinya. Nova berkata bahwa ia ingin setidaknya bertemu dengan seorang pengendara pagna dan pergi ke distrik terdekat di Floor. Dengan begitu, mereka akan menghemat waktu untuk menemukan jalan keluar.

Raka.

"Kukira jika melihat pagna kita harus lari?"

"Ini berbeda," jelas Nova, "Para pengendara pagna seperti supir angkot di kotamu. Pagna menjadi alat transportasi umum asalkan ada pawangnya."

"Mungkin ki—"

Hiraka!

Refleks, Raka menoleh ke belakang. Panggilan ini terlalu sulit untuk diabaikan. Suara perempuan yang memanggilnya terdengar panik dan tidak banyak orang yang memanggil nama lengkapnya seperti itu.

Sensasi dingin menjalar dari sum-sumnya; jantungnya pun terasa berdegup lebih cepat. Nova tak lagi berada di sebelahnya. Raka yakin ia masih berada di terowongan super besar itu, hanya saja lokasinya tak lagi sama. Satu jentikan jari, tahu-tahu berpindah dimensi. Apakah ini hanya kekacauan dalam kepalanya saja? Kegelisahan muncul dalam diri Raka karena efek cahaya yang menyelimuti terowongan itu. Rambut halus pada tangan dan lehernya meremang, sensasi dingin menjalar di sepanjang punggung.

Mengumpat; Raka hanya bisa mengumpat.

"Asu. Asu. Asu. Asu. Asu!"

*

//HAPPY CHINESE NEW YEAR! Untuk kalian yang ber-shio ayam...let's feel old together. hahaha. 

Akhirnya kita sampai di lantai pertama!  Apa daya jika jumlah yang membaca ya segini-segini aja saya hanya ucapkan 'terima kasih' lagi dan lagi teruntuk para pembaca setia. Sesungguhnya karena alasan tertentu, saya nyaris ragu bisa update chapter baru. Kepalang komitmen, luka hayati jika tidak menepati janji pada diri sendiri. Sampai jumpa dua minggu lagi! xoxo//

Continue Reading

You'll Also Like

5.7K 1.5K 24
[Kelas X] Completed Synesthesia yang ia miliki, terus membuatnya tidak bisa hidup dengan tenang. Murid-murid sekolah menjauhinya karena kesalahpahama...
366K 26.9K 58
[COMPLETED] Terperangkap dalam obsesi yang menjerat membuat Sora, seorang perempuan yang mengalami potongan kejadian demi kejadian buruk yang mengali...
367K 21.1K 25
KAILA SAFIRA gadis cerdas berusia 21 tahun yang tewas usai tertabrak mobil saat akan membeli martabak selepas menghadiri rapat perusahaan milik mendi...
HISTRIONICS By Aesyzen-x

Mystery / Thriller

3.7K 932 16
[Thriller - Misteri - Action] Ersa dihadapkan dengan dendam masa lalu kakaknya, sosok yang Ersa kira menghilang tanpa jejak pada 2015 kembali muncul...