Somebody Else

By maharaniii_

265K 28.5K 3.1K

#16 In Teen Fiction (17/12/2016) More

[Begining]
1. Eyes Closed
2. Her Name
3. Midnight
5. Argue
6. Saturday Night
7. Long Night, Long Journey
8. Promise and Punishment
9. First and Second
10. Lula
11. Cupcakes
12. Panitia Pensi
14. Matematika
15. To-get-her
15. Pukulan Akbar
16. Sepulang Sekolah
17. Perayaan Perpisahan
18. Berjarak Agar Tetap Dekat
19. Unexpected
20. Sweet Revenge
21. Titik Balik
22. Sweetest Sadness
23. Another Day
24. Bet Her Pride
25. Abu-abu
26. Dia Tidak Pernah Memilihnya
27. Jarak
28. Choosen one
29. Never Meant To Be

4. Under The Rain

17.2K 1.8K 97
By maharaniii_

PELAJARAN Matematika adalah satu dari sekian banyak pelajaran yang dibenci Akbar. Pelajaran berbau angka dan segala tetek bengek hitung-hitungan memang sama sekali bukan kesukaan Akbar. Jadi, sejak setahun lalu, saat penjurusan di kelas sebelas, Akbar mengikrarkan diri untuk menjadi anak IPS dan membuang jauh-jauh kalimat IPA dari kepalanya.

Ya walaupun di IPS tetap ada Matematika, tapi setidaknya tidak separah IPA.

Bel istirahat pertama sudah berbunyi tiga detik lalu, dan itu tandanya, pelajaran Matematika milik Pak Agung juga sudah usai. Seluruh murid berhamburan keluar kelas untuk menuju ke kantin, toilet, ataupun ke perpus.

Lain dengan Akbar, anak lelaki itu dengan semangat empat lima yang dia miliki sudah berlari menyusuri koridor hanya untuk menuju ke kelas Edo dan Arya, sahabatnya.

Dua langkah di belakang Akbar, sudah ada Jaya dan Fingky yang mengikuti. Keduanya terlalu malas berlari sehingga akhirnya tertinggal di belakang begini.

Kelima cowok ini tadinya, sih, saat kelas sepuluh memang sekelas. Tetapi, saat naik ke bangku kelas sebelas, mereka terpecah. Akbar, Jaya, dan Fingki masuk ke IPS dan si jenius Edo ditambah Arya masuk ke kelas IPA.

"Mau ngapain si Akbar?" tanya Jaya menoleh ke arah Fingki yang saat itu tengah memasukkan tangannya kesaku celana dan melihat-lihat sekeliling.

"Gatai." Fingki mengangkat bahu. Dan sesaat setelahnya, mereka sadar bahwa lelaki bernama Akbar itu sudah berdiri mematung di depan pintu kelas 12 IPA-2 sambil merapihkan baju seragamnya.

"Lo mau ngapain, sableng?" tanya Jaya begitu dia sudah sampai di sebelah Akbar.

"Bentar, bentar," kata Akbar sambil melongokkan kepala ke dalam kelas. Edo dan Arya ada di dalam, tengah bersiap keluar setelah melempar candaan ke arah dua teman lelaki mereka. "Mana ya anaknya?"

"Siapa, sih?" tanya Fingki ikut-ikutan memanjangkan leher sampai dia bisa mengintip seisi kelas. "Edo sama Yanto?"

"Bukan lah!"

"Gue kirain lo ke sini mau nyamper mereka?" imbuh Jaya.

"Ya iya. Tapi ada yang lain juga." Akbar terus bicara tanpa menggubris raut dua wajah temannya yang sama-sama kebingungan itu. "Apa dia nggak masuk kali, ya?"

"Siapa, nyet? Lo mah kalo ditanya bukannya jawab!" Jaya menoyor kepala Akbar dari arah belakang.

"Bita."

"OOH YANG KEMAREN KITA BAHAS DI GRUP!" Fingki mengangguk antusias.

"Iya! Kok nggak ada ya?" Akbar masih terus mengamati bahkan saat Edo dan Arya berjalan keluar kelas untuk menemui ketiga sahabat mereka yang sejak tadi entah mengapa celingukan di depan pintu.

"Kantin apa ke Mamang?" tanya Arya yang baru saja bergabung.

"Eh, si itu nggak masuk, ya?" tanya Akbar tanpa menjawab pertanyaan Arya.

"Siapa? Bita?" tanya Edo. Yang ditanya langsung mengangguk.

"Siapa, Do? Yang anak baru?" tanya Arya ling-lung. Dan Edo langsung mengiyakan.

"Tadi tuh dia—"

"Permisi?" Suara seorang anak perempuan langsung membuat Akbar menoleh ke sumber suara dan mendapati Bita sudah berdiri mematung di belakangnya.

"Ha—" Akbar berdeham, untuk mengatasi rasa gugupnya. "Hai, Bit?"

Bita yang disapa hanya mengerutkan dahi. Merasa heran dengan kelakuan lelaki yang baru saja empat hari menjadi tetangganya. Sementara raut wajah Fia, perempuan bertubuh bantet itu langsung menatap Akbar dan Bita, teman barunya, itu bergantian.

"Lo udah pada kenal?" tanya Fia menunjuk sepasang remaja itu.

"Apasih lo, ndut? Gangguin aja," komentar Arya.

"Berisik lo, Yanto."

Sementara teman-temannya sibuk berdebat, Bita lebih memilih diam dan tidak banyak berkomentar. Bahkan saat Akbar menyapanya secara terang-terangan, perempuan itu hanya tersenyum sekilas. Lalu dia berlalu begitu saja masuk ke dalam kelas.

Fia langsung menatap Bita saat cewek itu lantas menariknya masuk ke dalam kelas setelah Bita disapa oleh Akbar. "Bit?"

"Ya?"

"Akbar kenal sama lo? Kok bisa? Kan lo baru dua hari sekolah dan belom keliling-keliling?"

"Iya," Bita mengangguk sambil membuka bungkus snack yang baru ia beli dari kantin. "Gatau tuh, gue tetanggan sama Akbar."

"Serius lo tetanggaan?"

"Iya."

***

AKBAR yang baru saja mengalami kejadian semacam itu langsung merasa awkward sendiri. Seorang Akbar Imantaka baru saja diabaikan seorang gadis. Rangkulan pada bahunya langsung membuat Akbar menoleh dan mendapati Jaya sedang menatap ke arahnya.

"Sabar, Bar. Orang sabar idungnya mekar."

"EH BAGUS YA KAYAK GURINDAM GITU MASA!" kata Fingki antusias dan perkataan lelaki berkulit sawo matang itu langsung disambut ernyitan alis mata oleh teman-temannya.

"Apaan dah lo, Fing?"

"Jayus."

"Idih tolol. Maksud gue, omongan si Jaya tuh kayak bentuk Gurindam gitu masa, ngarti nggak lo?" cerocos Fingki dengan tangan yang bergerak menjelaskan.

"Enggak," sahut Jaya.

"Gurindam apaan?"

"Tolol, makanya kalo mapel Bahasa jangan pada bolos." Lelaki itu menoyori kepala temannya satu-persatu. Selanjutnya, tanpa bicara apa-apa lagi, dan tanpa perintah apapun, kelima lelaki itu berjalan bersamaan ke arah Warung Mamang yang terletak di samping sekolah.

Akbar diam saja sejak dia terakhir kali menegur Bita. Sebetulnya empat lelaki yang lain juga sadar akan perubahan sikap Akbar. Hanya saja mereka memilih bungkam. Tapi tidak dengan Edo. Dia memilih menyenggol pinggang Akbar dengan sikunya sampai lelaki itu reflek menoleh.

"Apaan?"

"Lo masih mikirin si Bita?" tanya Edo akhirnya dan teman-teman mereka langsung menyimak perbincangan keduanya.

"Iya. Soalnya tuh— aneh sumpah." Akbar menggaruk pangkal hidungnya sekilas, lalu menatap ke arah Edo serius. "Lo percaya nggak?"

"Apa?"

"Sama cinta pandangan pertama yang kayak di film-film gitu?"

"Hah?!" Arya yang sedaritadi sibuk dengan ponselnya langsung menoleh ke arah lelaki yang beberapa senti lebih tinggi darinya. "Apaan dah lo, Bar?"

"Lo jangan aneh-aneh dah, bangsat. Lula pikirin, Lulaaaa!" tambah Edo mengingatkan seraya menepuk-nepuk jidat Akbar.

"Serius anjir,"

"Gue nggak percaya," kata Fingki. "Ya lo pikir aja nih ya, ibarat kata, lo kenal dia juga kaga, lo tau sifatnya juga boro-boro. Terus? Bisa jatuh cinta gitu? Penasaran mah iya."

"Tapi kalo kata gue mungkin-mungkin aja sih," sanggah Jaya. "Nyatanya? Kakek sama Nenek gue dulu awalnya gara-gara cinta pandang pertama gitu, jadi yaaaa..., percaya gak percaya, sih."

"Emangnya lo seriusan mau deketin si Bita-Bita itu?" tanya Arya ingin tahu. Lalu ia memasukkan ponselnya ke saku celana sebelum kemudian menatap Akbar yang mukanya sekusut baju belum disetrika dengan pewangi dan pelembut.

Akbar diam, walaupun jauh dilubuk hatinya cowok itu jelas tahu bahwa ia ingin sekali menjawab iya. Tapi, disisi lain ia juga tidak bisa melupakan posisi Lula, yang sudah menjalin hubungan dengannya tiga tahun belakangan ini.

"Mendingan jangan." Edo menimpali, seolah sudah bisa menebak apa isi hati dan otak Akbar yang hanya bungkam saat ditanya.

"Jangan apa?"

"Ya jangan deketin Bita. Lagian lo udah ada cewek goblok. Udah dah sekarang lo move on aja." Edo menepuk bahu sahabatnya itu.

"Apaan sih? Geli banget pake acara move on segala? Pacaran kaga, dia tau si Akbar naksir juga boro-boro?" Arya menatap Edo dengan rasa tidak percaya.

"Cuma gimana yak— gue juga bingung soalnya tiap liat dia gue tuh kayak yang— ah tai, gajelas lah anjing." Akbar tidak menggubris perkataan Arya lagi. Lalu lelaki itu mulai menatap ujung sepatunya yang bergerak maju bergantian.

"Lagian ya, Bita juga udah punya monyet."

"Hah? Serius?" Fingki melebarkan pupil matanya. "Gagal dong rencana gue untuk menikung Akbar."

"Njrit lo." Akbar terkekeh sebentar, sebelum bicara kembali, "lo kata siapa?" imbuh Akbar sambil menatap Edo penuh tanya.

"Kata Fia." Ada jeda. "Lo mau tau nggak pacarnya siapa?"

"Siapa?"

"Bimo." Edo dan Arya bicara dalam sekon yang sama tanpa dikomando siapa-siapa. "Terus mereka udah jalan delapan apa tujuh bulan gitu kalo gak salah. Gue lupa."

"Bimo? Bimo yang anak IPS 2?" tanya Akbar memastikan. Dan yang ditanya langsung mengangguk.

"Iyalah Bimo siapa lagi? Masa Bimo tukang galon." Arya menimpali dan sedetik setelahnya, Jaya langsung mengalungi leher lelaki itu dengan tangannya yang kekar. Dan dalam hitungan detik, kepala Arya terbenam ke dalam ketiak Jaya.

"HA! Lucu."

"Jay, Jay! Sumpah ya ketek lo bau sampah!"

***

LANGIT di atas kepala Bita mulai mengelap. Awan-awan hitam berarakan mendekat seolah menandakan bahwa beban yang mereka tanggung sebentar lagi akan luruh dalam bentuk hujan.

Gemuruh guntur seolah menjadi lagu pengiring. Pukul dua siang hari ini lebih bisa disebut sudah seperti pukul lima sore karena gelapnya bentang di atas sana.

Bita masih berdiri di depan gerbang. Matanya mengawasi dalam gelisah dan cemas. Apa yang dia tunggu belum juga muncul dan Bita tidak tahu orang itu di mana. Seharusnya, Bimo masih ada di sekolah, dan dia bisa mengantar Bita pulang seperti rencana mereka tempo hari.

Tapi yang terjadi, hari ini Bimo tidak bersekolah. Padahal tadi pagi, anak itu masih menampakkan batang hidungnya. Ia masih mengantar Bita ke sekolah. Dan Bita, sebagai kekasihnya justru tidak tahu menahu kalau Bimo akan keluar dari kawasan sekolah dan memutuskan izin hari ini.

Bita menghela napas berat. Lehernya masih memanjang mengawasi tikungan jalan. Sepi. Mobil milik Bimo belum juga terlihat. Sementara itu, tetesan hujan mulai berjatuhan menimpa segala yang ada bumi. Termasuk tubuh Bita yang dibalut seragam putih abu-abu berlapis jaket.

Perempuan yang memakai jaket warna biru navi itu tidak bisa mengambil resiko untuk basah-basahan di hari kedua dia bersekolah di tempat ini. Jadi, yang dilakukan Bita adalah berlari secepatnya dan mencari tempat berteduh.

Langkah panjangnya membawa gadis itu menepi di sebuah emperan toko kelontong di depan sekolah. Bita tidak sendirian. Di sekitarnya, ada beberapa orang yang juga ikut berteduh dan tidak mau kehujanan. Untungnya, pemilik toko tidak keberatan jika teras tokonya dibuat tempat singgahan sementara.

Bita melingkari tubuhnya dengan kedua tangan. Sesekali dia menatap ke atas dan melihat ke arah langit yang mulai meluruhkan bebannya.

"Lo belom balik?" Suara bariton dari arah belakang langsung membuat tubuh Bita berbalik dan matanya mencari-cari siapa pemilik suara itu.

Dia lagi?

Batin Bita. Tapi dia memilih diam saja. Sebelum akhirnya tersenyum sebagai jawaban.

"Belom dijemput?" tebak Akbar yang sudah berdiri di samping Bita sambil membuka bungkus permen yang baru saja dia beli di warung kelontong tempat keduanya berteduh itu.

"Belom."

"Mau permen karet?" tawar Akbar sambil menyodorkan kemasan permen rasa tutti fruity yang isinya tinggal empat biji. Bita sempat menatap benda kecil dengan rasa manis yang ditawarkan Akbar sebelum ia meraihnya dan mengambil satu buah permen berbentuk persegi itu dari sana.

"Makasih."

"Sama-sama," katanya. Akbar lalu berdeham sebelum menatap ke arah langit. Hujan masih berjatuhan. Dia bisa melihat tetesan air membasahi aspal dan mengeluarkan aroma khas dari sana. "Suka bau tanah nggak?"

Mata Bita menyipit
Ngapain nih lelaki ngelantur kemana-mana nanyanya?

"Hah?" Bita reflek menoleh, "bau tanah maksudnya, kayak— orang mau mati?"

"Bukan, ini beda lagi." Akbar terkekeh lalu ia menggaruk pangkal hidungnya sebagai gerakan spontan. "Bau-bau tanah yang ketimpa hujan."

"Ooh," Bita mengangguk canggung. "Suka-suka aja." Perempuan itu lalu menoleh ke arah Akbar. "Tapi lebih enak lagi, bau bensin."

"Iya. Bau bensin emang enak." Akbar mengangguk setuju. "Oh iya... Soal HP lo, minggu depan gue ganti, ya?"

Bita terdiam, tampak seperti sedang mempertimbangkan ucapan Akbar beberapa detik yang lalu. Sebelum akhirnya dia mengangguk tiga kali, "okay."

"Gue mau balik. Lo mau bareng?" tawar Akbar sembari memasukkan sisa permen karet yang dia punya ke saku jaket sebelah kanan.

"Lo mau balik?" Bita justru balik bertanya. "Ini kan masih hujan."

"Terus kenapa?" Akbar tersenyum simpul. "Nggak pernah tau ya kalo hujan-hujanan itu seru?"

"Enak aja! Gini-gini, dulu gue hobi main air hujan waktu kecil." Bita ikut terkekeh. Lalu ia mengusap lengannya yang kedinginan.

"Masa?"

"Iya."

"Gue nggak percaya." Akbar mengangkat bahunya cuh tak acuh, bibirnya melengkung kebawah seolah meremehkan sosok perempuan yang berdiri di sampingnya.

"Beneran juga,"

"Yaudah ayo, balik sama gue," kata Akbar sembari memutar arah tubuhnya sedikit menghadap pada Bita. "Ntar kita naik sepeda."

"Hah?" Bita reflek membuka mulutnya dan menjeda kegiatan sebelumnya, yaitu mengunyah permen karet. "Gak ah!"

Akbar terkekeh lagi. Meremehkan.

"Tuhkan, lo cemen." Lelaki itu lalu berjalan, menghampiri sepeda yang sebetulnya bukan milik Akbar. Sepeda itu adalah milik Rian yang sengaja dipinjam Akbar demi melancarkan aksi modusnya untuk mendekati Bita.

Bita masih mematung ditempatnya dengan segala kebimbangan di dalam kepala. Matanya menatap Akbar yang sudah menuntun kendaraan roda dya itu hingga berhenti tepat di depan Bita, bersamaan dengan rintik hujan yang mulai menimpa jaket lelaki itu.

"Yakin lo nggak mau bareng gue?"

Bita menggeleng.

"Katanya suka main hujan?" Akbar menaikkan alis matanya. "Masa segini doang takut basah?"

"Gue nggak takut, ya!"

"Yaudah, gue balik duluan. Lo kalo takut hujan kayak kucing, di situ aja sampe subuh." Setelah selesai bicara, Akbar langsung naik ke atas ke atas sadel dan bersiap mengayuh. Sampai suara Bita membuat senyuman merekah lagi di sudut bibirnya.

"Oke, gue ikut."

"Nah gitu dong, kan gue jadi bisa mo— main hujan-hujanan," kata Akbar nyaris keceplosan dengan tujuan sebenarnya yang membuat dirinya susah-susah meminjam sepeda milik Rian siang ini.

"Yaudah, jalan sekarang?"

"Iyalah, masa besok Sabtu?"

Bita lalu mengamati anak lelaki itu baik-baik. "Gue duduk di mana?"

"Di sini," kata Akbar menepuk besi yang terbentamg antara stang sepeda dan tempat di mana Akbar duduk.

"Hah?" Bita melebarkan matanya. "Yang bener aja lo?"

"Udah cepetan, ngikut gak?"

"Iya, iya!" Bita akhirnya mengalah. "Awas lo ya kalo pegang-pegang gue."

"Iye, kagak." Akbar mengacungkan ibu jarinya. Senyumnya merekah saat Bita akhirnya duduk di besi sepeda yang melintang di depannya.

Modus accepted.

***

Author Notes

Sampai jumpa di bab selanjutnya

Continue Reading

You'll Also Like

1M 99.8K 54
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...
296K 22K 34
Namanya Camelia Anjani. Seorang mahasiswi fakultas psikologi yang sedang giat-giatnya menyelesaikan tugas akhir dalam masa perkuliahan. Siapa sangka...
930K 67.2K 36
Aneta Almeera. Seorang penulis novel legendaris yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwany...
448K 23.4K 72
Zaheera Salma, Gadis sederhana dengan predikat pintar membawanya ke kota ramai, Jakarta. ia mendapat beasiswa kuliah jurusan kajian musik, bagian dar...