Somebody Else

By maharaniii_

265K 28.5K 3.1K

#16 In Teen Fiction (17/12/2016) More

[Begining]
1. Eyes Closed
2. Her Name
4. Under The Rain
5. Argue
6. Saturday Night
7. Long Night, Long Journey
8. Promise and Punishment
9. First and Second
10. Lula
11. Cupcakes
12. Panitia Pensi
14. Matematika
15. To-get-her
15. Pukulan Akbar
16. Sepulang Sekolah
17. Perayaan Perpisahan
18. Berjarak Agar Tetap Dekat
19. Unexpected
20. Sweet Revenge
21. Titik Balik
22. Sweetest Sadness
23. Another Day
24. Bet Her Pride
25. Abu-abu
26. Dia Tidak Pernah Memilihnya
27. Jarak
28. Choosen one
29. Never Meant To Be

3. Midnight

17.8K 1.9K 155
By maharaniii_

BITA tidak bisa memejamkan mata dan memaksa dirinya sendiri untuk terbang ke alam mimpi. Perempuan yang rambutnya dibiarkan tergerai dan tumpah ruah di atas bantal itu berulang kali merubah posisi tidurnya.

Jam dinding warna putih yang menempel di samping kiri pintu bercat cokelat itu masih terus berputar. Detik ke menit, menit ke jam. Dan detak jarumnya adalah ritme kedua yang bisa di dengan Bita selain detak jantungnya sendiri.

Perempuan itu tiba-tiba merasa bosan.

Seandainya saja, dia tidak bertemu si pembuat masalah, yang entah siapa namanya itu, pasti ponselnya tadi pagi tidak jatuh dari lantai lima sekolah barunya. Seandainya lelaki grusah-grusuh itu tidak dengan bodoh menarik tangannya dan mengira dia akan lompat bunuh diri, pasti sekarang Bita tidak akan sebosan ini.

Mungkin dia bisa main The Sims.

Mendengarkan lagu-lagu milik The 1975, 5SOS, dan sederet band favoritnya yang lain.

Atau mungkin Bita bisa bertukar kabar dengan teman-temannya, saudaranya, mantan kekasihnya. Terserah ke pada siapa saja.

Asal dia tidak diam, terbaring menghadap atap kamar begini. Dan yang membuatnya kesal adalah ucapan Anisa —Ibunya— tadi siang.

Kamu kan udah kelas dua belas, Neng. Mungkin itu cara Allah biar kamu fokus belajar. Nggak main HP mulu.

Bita memutuskan mendudukkan dirinya dan turun dari tempat tidur. Selanjutnya dia menyalakan televisi LED yang menempel di dinding dan mulai mencari acara yang bagus untuk ditonton. Setelah layar ajaib itu menyala, Bita memutuskan duduk di bibir tempat tidur dengan leher sedikit mendongak, mengamati satu persatu acara yang bermunculan.

Tapi, sepersekian menit mencari, tidak ada acara yang menarik perhatiannya. Bita lalu melemparkan remote yang dia pegang ke arah samping. Dan memutuskan menonton TV, entah apapun acaranya.

"You said some day we might
When I'm closer to your height
'Til then we'll knock around, endlessly... You're all I need"

Mata Bita menyipit begitu mendengar suara genjrengan gitar yang begitu piawai dibarengi dengan suara seorang anak lelaki dari arah luar jendela. Lalu dia melirik ke arah jam di dinding kamar.

Pukul 23.59 malam.

Dengan rasa penasaran dan takut sekaligus, Bita menghampiri jendela dan mengintip dari balik tirai yang tertutup sempurna itu.

"Don't you see me now? I think I'm falling, I'm falling for you,
Don't you need me?
I, I think I'm falling, I'm falling for you,
And on this night and in this light, I think I'm falling, I'm falling for you
Maybe you'll change your mind
I think I'm falling, I think I'm falling,"

Dahi Bita berkerut begitu lelaki yang tadi juga dia temui di sekolah menyanyikan sebaris lirik lagu yang sudah dia hafal di luar kepala.

Lelaki yang sama, yang menyanyikan lagu milik The Narrative yang bejudul Eyes Closed kemarin malam. Setelah mengamati cukup lama, perempuan itu lalu memperlebar jangkau pandangannya dengan menyingkap tirai lebih lebar.

"Bita," panggil anak lelaki itu semakin membuat kepala Bita dipenuhi tanda tanya dan tanda seru. Dengan satu gerakkan sponsan, gadis itu menarik tirai jendela lagi dan menutupnya rapat-rapat.

Tau nama gue dari mana ini orang...

Ia membatin. Tapi Bita masih memilih menyembunyikan dirinya sendiri di balik jendela yang belum kunjung dia buka.

"Bita gue minta maaf, ya?" ulang Akbar lebih jelas. "Soal HP lo," imbuhnya.

Bita diam. Tidak menjawab. Tidak juga bergerak dari posisinya berdiri sekarang. Tangannya menyelipkan rambut-rambut yang menutupi jarak pandang ke belakang telinga.

Lalu dengan keberanian penuh, perempuan itu membuka pintu balkon sehingga dia bisa keluar dari kamar dan melihat lebih jelas ke arah tetangga barunya itu.

"Hai?" sapa Akbar canggung. Dia tidak menyangka perempuan bernama Bita itu akan langsung merespon dan keluar dari kamar sesaat setelah dia bicara. "Gue— gue Akbar."

Bita diam. Tapi dia masih menatap ke arah jendela kamar Akbar. Sikunya sudah bertumpu pada pagar pembatas balkon dan dagunya ia topang dengan tangan.

Sementara di sisi lain, Akbar merasa dia hampir mati karena malu. Lawan bicaranya sedaritadi tidak merespon apapun yang dia katakan barang sepatah katapun. Bita diam. Dan pandangannya itu tidak bisa dibaca Akbar sama sekali.

"Soal HP lo," Akbar bicara lagi. Membuat Bita yang tadi sempat memalingkan wajahnya kembali menatap anak lelaki dengan gitar yang ada dipangkuannya itu. "Gue bakal ganti. Secepatnya."

Bita masih bungkam.

"Dimaafin nggak?" Suara Akbar meninggi ia takut kalau-kalau Bita tidak dengar.

"Emang muka gue tuh tampang-tampang depresi, ya?" Perempuan itu akhirnya mau mulai terbuka dan berbicara. Dan sedetik setelahnya, Akbar merasakan tali kasat mata yang menjerat dadanya bagaikan dilepas begitu saja.

Lega.

Akbar langsung terkekeh, menertawakan kebodohannya pagi tadi yang membuat mereka tanpa sengaja memulai interaksi. "Awkward banget ya, sumpah. Sorry, I didn't mean it." Akbar lalu menggaruk pangkal hidungnya dengan bibir yang masih melengkung.

"It's happened anyway." Bita ikut tersenyum. Sebenarnya, dia juga tidak tahu mengapa dia harus tersenyum ke arah anak lelaki yang baru tiga kali dia lihat itu. Tetapi, seperempat dalam jiwanya merasa harus.

"Berarti? Gue dimaafin?"

Bita mengangguk. "Appology accepted."

"Jadi...," ada jeda, "lo baru pindah ke sini dua hari?" Pertanyaan itu sebetulnya dikeluarkan Akbar bukan hanya karena faktor rasa ingin tahu yang sejak kemarin memenuhi otaknya, tapi setengahnya juga untuk mengalihkan pembicaraan.

"Lebih tepatnya tiga hari." Bita mengoreksi.

Akbar manggut-manggut dan Bita bisa melihat itu dari tempatnya berdiri. Keduanya terdiam selama beberapa menit. Sibuk dengan apa yang bermunculan di kepala mereka masing-masing. Sampai Akbar memulai pembicaraan lagi.

"Omong-omong, kita belom kenalan like bener-bener kenalan," katanya. "Gue Akbar."

Bita terdiam sesaat sebelum dia menjawab perkataan lawan bicaranya. "Gue Bita."

"Lo pindahan darimana, sih?" tanya Akbar tiba-tiba.

"Bandung."

"Bandung?" tanya Akbar memastikan. Yang ditanya mengangguk. "Pantesan!"

"Apa?"

"Can— hehe, nggak. Nggak apa-apa." Akbar tersenyum bodoh. Lalu dia menggaruk bagian belakang kepalanya yang sebetulnya tidak gatal sama sekali. "Lo kenapa belom tidur?"

"Gue?"

"Iya."

"Nggak bisa tidur." Bita mengangkat wajahnya yang tadi tertopang tangan dan melipat tangannya di depan dada. Lalu, dia kembali teringat alasan kenapa perempuan itu akhirnya memilih untuk membuka pintu balkon dan memulai pembicaraan. "Suka The Narrative sama The 1975?"

"Gue?"

"Iya."

"Suka." Akbar mengangguk. "Lo suka juga?"

"Iya."

***

INI hari Kamis. Hari kedua Bita memastikan diri menjadi salah satu murid di sekolah menengah atas dengan bangunan bercat putih yang lantainya ada lima.

Perempuan itu duduk diam di bangku sebelah kiri kursi kemudi. Di sampingnya, ada Bimo yang duduk anteng fokus ke arah jalanan dengan tangan yang mencengkram benda bulat di hadapannya.

"Bim," panggil Bita hati-hati. Lelaki yang sudah tujuh bulan dia pacari itu tidak juga mau diajak bicara. Bita dan Bimo memang memulai hubungan mereka sebagai pasangan LDR (Long Distance Relationship) karena Bita di Bandung dan Bimo di Jakarta. Dan untungnya lagi, Bimo bersekolah di tempat yang sama dengan Bita sekarang. Yah, satu sekolah dengan Akbar juga, sih.

Dan alasan kemarahan Bimo kali ini adalah karena Bita tidak bisa dihubungi sama sekali sejak kemarin.

"HP aku tuh rusak, Bim." Bita bersuara lagi. Ini sudah kesepuluh kalinya Bita mengatakan alasan yang sama tapi hasilnya, Bimo masih diam saja. "Ancur malah. Nggak cuma rusak."

"Terus aku peduli? Enggak." Bimo mulai lagi. Lelaki itu selalu begini. Meledak-ledak ketika marah. Dan nada bicaranya akan berubah sarkas seperti barusan. Pandangannya tetap mengarah pada jalanan tanpa menghiraukan Bita. Menganggap perempuan itu tidak ada.

"Aku minta maaf, Bimo."

"Emang nggak bisa kamu hubungin aku lewat HP temen?" tanya Bimo, kali ini dia melirik Bita. Sekilas.

"Ya aku kan baru tiga hari di Jakarta, jadi—"

"Kamu tuh sekarang alasan mulu, Bit." Bimo memutar setir ke arah kanan sampai mobilnya membawa mereka berdua masuk ke kawasan gedung dengan warna cat putih itu.

"Aku minta maaf," Bita meraih lengan Bimo dan mengusapnya penuh rasa sayang. "Kita baikan, ya?" ajaknya sambil mengulurkan jari kelingking ke udara sambil tersenyum.

Bimo diam. Dia sudah mematikan mesin mobilnya setelah mendapat tempat parkir untuk kendaraan roda empatnya itu. Tanpa menggubris uluran jari Bita sama sekali.

"Bim?" panggil Bita selembut mungkin. "Baikan?"

"Udah turun cepet. Nanti keburu bel masuk."

"Ya bilang kalo kita baikan dulu."

"Bita, aku serius," kata Bimo menolak.

"Ya bilang dulu!" rengek Bita.

"Yaudah iya!"

"Ehehe." Bita nyengir. Walaupun sampai detik ini uluran jari kelingkingnya tidak bersambut, tapi tidak apa-apa. Toh, yang penting Bimo sudah memaafkannya, kan?

"Udah sana turun. Ke kelas." Bimo menatap kekasihnya itu dalam dingin.

"Nggak bareng aja?"

"Aku masih mau nungguin temen," kata Bimo. Dan yang dimaksud Bimo sudah pasti Yudi. Teman sebangku anak lelaki itu.

"Yaudah, iya iya," Bita dengan gemas mencubiti pipi Bimo yang sebetulnya masih memasang wajah jutek itu. Entah lah apa yang membuat pria itu berubah temperamen akhir-akhir ini.

Bita lalu mencondongkan tubuhnya ke arah Bimo dan mendaratkan ciuman singkatnya di pipi sebelah kiri yang lelaki. "Aku duluan ya, love you."

Dan lima menit setelah Bita masuk ke dalam gedung berlantai lima itu, mobil milik Bimo keluar dari parkiran dan kawasan sekolah, bergerak ke arah tikungan jalan dan menepi.

Sebelum seorang perempuan dengan baju putih abu-abu berambut panjang masuk ke dalam mobil lelaki itu dengan senyuman merekah.

***

Author Notes:

Still flat, huh? I'll put the twist as soon as possible.

Maaf buat typos dan beberapa salah2 alur di part sebelumnya karena aku pelupa dan di part kali ini mungkin ada kesalahan juga soalnya ga dicek ulang Wkwk

Vote dan komen yang panjaaaang yaaa!
See you di bab selanjutnya

Continue Reading

You'll Also Like

3.3M 272K 62
⚠️ BL Karena saking nakal, urakan, bandel, susah diatur, bangornya Sepa Abimanyu, ngebuat emaknya udah gak tahan lagi. Akhirnya dia di masukin ke sek...
494K 24.9K 73
Zaheera Salma, Gadis sederhana dengan predikat pintar membawanya ke kota ramai, Jakarta. ia mendapat beasiswa kuliah jurusan kajian musik, bagian dar...
2.4M 121K 59
LO PLAGIAT GUE SANTET 🚫 "Aku terlalu mengenal warna hitam, sampai kaget saat mengenal warna lain" Tapi ini bukan tentang warna_~zea~ ______________...
1M 77.3K 39
Aneta Almeera. Seorang penulis novel legendaris yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwany...