Fall (Justin Bieber & Niall H...

By justbelictioner

797 1 0

Allyson Cavalieri (Barbara Palvin) seorang gadis yang bercita-cita menjadi seorang model professional. Ia di... More

Prologue

Chapter 1

376 0 0
By justbelictioner

Namanya Allyson Cavalieri. Seorang gadis cantik berusia delapan belas tahun yang tumbuh di panti asuhan bernama ‘Elizabeth Orphenage’. Berada di kawasan Westminster, sebuah kota yang masih terletak di wilayah Inggris dengan populasi 236,000 jiwa.

Sejak berusia delapan tahun, ia telah menjadi anak yatim piatu. Kedua orang tuanya –Ny. Roselyne dan Tn. Dan Cavalieri- meninggal akibat sebuah kecelakaan mobil yang terjadi di Durham. Awalnya, keluarga Cavalieri berencana untuk berlibur ke sebuah kebun binatang yang ada di Durham. Namun, mobil mereka menabrak sebuah truk pengangkut barang yang melaju cepat tepat dihadapan mereka. Hanya Allyson yang selamat dari kecelakaan maut tersebut.

Sejak saat itu pula, Allyson yang sudah tidak mempunyai siapapun di asuh oleh Ny. Marie. Ia adalah sahabat dari Ny. Roselyne, yang saat itu juga menghadiri upacara pemakaman keduanya. Ny. Marie yang melihat Allyson menangis menjadi tak tega, mengingat gadis kecil itu tak mempunyai keluarga selain kedua orang tuanya. Akhirnya, wanita berusia tiga puluh tahun itu mengajak Allyson ke rumahnya.

Rumah Ny. Marie terletak di pedalaman Westminster, sehingga sedikit jauh dari keramaian kota. Rumah itu juga terlihat sederhana, namun sangat besar. Di depannya ada sebuah baleho bertuliskan ‘Elizabeth Orphenage’. Ya, rumah itu adalah sebuah panti asuhan yang Ny. Marie dirikan bersama ibunya-Ny. Julia.

Allyson yang sedari tadi masih menangis, mempererat genggaman tangannya pada Ny. Marie. Menyadari hal tersebut, Ny. Marie menghentikan langkahnya. Ia sedikit membungkuk, berusaha menyamakan tingginya dengan Allyson.

“Kau tak perlu takut” tuturnya sembari menghapus air mata gadis berambut brunnete itu. “Kau akan mempunyai banyak teman disini.” Pun Ny. Marie mengarahkan pandangannya menuju ke halaman depan rumah tersebut, menampakkan beberapa anak –mungkin seusia dengan Allyson- yang tengah bermain.

“Tapi bibi, bagaimana jika mereka tak menyukaiku?” tanya Allyson ragu, membuat Ny. Marie kembali menatapnya.

Ny. Marie hanya mengulas senyum mendengarnya. Ada rasa iba dalam dirinya, mengingat apa yang baru saja gadis itu alami. Di sentuhnya pipi halus Allyson dengan lembut. “Mereka akan menyukaimu, percayalah.”

Detik selanjutnya, Ny. Marie dan juga gadis kecil bernama Ally itu telah berada di area panti asuhan. Kedatangan mereka di sambut oleh beberapa anak yang mulai berhamburan mengerubungi keduanya. Sebagian lagi, ada yang memandang mereka—mungkin lebih tepatnya memandang Ally—dengan rasa heran.

“Kau sudah pulang, Marie?” tanya wanita tua yang ku yakin bernama Ny. Julia. Mungkin usianya sekitar lima puluh tahun-atau lebih? Kendati demikian, Ny. Julia masih terlihat muda dan sehat. Lagi, Ny. Marie hanya mengulas senyum. Allyson yang berada di balik punggung Ny. Marie masih saja memegang tangannya dengan erat. Menyadari hal tersebut, membuat Ny. Julia tertarik untuk mengalihkan pandangan ke belakang puterinya. “Lihat, siapa yang berada di belakangmu?”

“Ibu, dia puteri dari Roselyne” tutur Ny. Marie.

“Roselyne?” tanya Ny. Julia. “Sepertinya, aku pernah mendengar nama itu?”

“Roselyne adalah kawanku. Aku pernah mengajaknya kemari enam bulan yang lalu, ibu ingat?”

Untuk beberapa saat, Ny. Julia hanya terdiam seperti tengah memikirkan sesuatu. “Ya, sekarang aku mengingatnya. Dimana dia sekarang? Apa dia juga ada disini?”

 “Mereka…” Ny. Marie memberi jeda untuk melanjutkan ceritanya. “Roselyne dan suaminya mengalami kecelakaan yang merenggut nyawa mereka. Ia tak mempunyai siapapun. Oleh sebab itu aku mengajaknya kemari.”

Ny. Julia mengangguk mengerti. Pandangannya kembali beralih kepada seseorang yang berada di balik tubuh Ny. Marie. “Kemarilah” tuturnya lembut seraya menjulurkan tangan kanannya. Pun Allyson yang sedari tadi berada di balik punggung Ny. Marie mulai menampakkan diri. “Siapa namamu?”

“Allyson”

“Nama yang indah. Dan kau cantik sekali, persis seperti ibumu” ucap Ny. Julia. “Mulai sekarang kau tak akan sendiri. Kau akan tinggal disini bersama kami. Lihat lah, mereka semua temanmu.” Lanjutnya sembari menunjuk anak-anak yang berada di sekitar mereka.

Ally hanya terdiam mendengarnya. Selain karena masih terbawa perasaan sedih, ia juga tak tahu harus bagaimana. Gadis itu belum pernah berada di sekitar orang asing. Canggung. Ia sama sekali tidak mengenal orang yang berada di sekitarnya saat ini.

“Hai Ally.” Ucap salah seorang anak perempuan berambut pirang. “Casey. Kau cukup memanggilku Casey.” Lanjutnya penuh percaya diri. Well, Casey adalah anak yang –bisa di bilang cerewet- paling mudah bergaul. Ny. Julia dan Ny. Marie tersenyum melihatnya.

“Casey, bisakah kau tunjukkan dimana Ally akan tidur? Mulai hari ini, ia akan tinggal disini.” kata Ny. Marie.

“Baiklah.” Jawab gadis dengan bintik di wajahnya itu singkat. “Ayo, aku akan menunjukkan tempat tidurmu.” Pun Ally mengikuti Casey di belakang.

Delapan tahun ia berada di panti asuhan itu. Di tempat itulah Allyson tumbuh. Di tempat itulah Allyson melewati masa-masa sedihnya. Di tempat itulah Allyson mendapatkan banyak teman. Allyson yang semula adalah gadis kecil yang penakut dan cengeng. Kini ia tumbuh menjadi gadis cantik yang periang. Mengingat ia mempunyai banyak teman di panti asuhan.

“Ally…” seru Casey yang datang menghampiri Ally di taman belakang. Ia berlari dengan membawa sebuah map besar berwarna cokelat.

“Ada apa? Mengapa kau berlari seperti itu, Casey?” tanya Ally yang tengah memanggang daging bersama  anak-anak lainnya.

“Lihat” jawabnya sembari menunjukkan map yang ia bawa.

“Apa yang kau bawa?”

“Entahlah, aku mendapatkannya dari seorang tukang pos. Ini untukmu.”

“Untukku?” Casey mengangguk, kemudian memberikan map itu kepada Ally.

University of Westminster.

Ally melirik Casey ketika membaca nama universitas yang tertera di map itu. Pun Casey mengangguk, menandakan jika Ally harus segera membuka map itu. Detik selanjutnya, Ally membuka map itu dan mulai membaca selembar kertas yang semula ada di dalamnya.

Raut wajah Ally berubah seketika setelah membacanya. Mulutnya menganga seakan tidak percaya. Membuat Casey bertanya-tanya.

“Bagaimana?” tanya Casey.

Ally tersenyum melihat Casey. Pun ia menganggukkan kepalanya dua kali. “Di terima” jawabnya singkat. Kontan, mendengar hal tersebut membuat Casey berteriak histeris. Ia memeluk sahabat yang ia kenal sejak kecil itu dan memberikan selamat.

Well,  kurasa kau juga akan melakukan hal yang serupa dengan Casey. Tentu kau juga akan merasa bahagia jika sahabatmu mendapatkan apa yang ia inginkan. Seperti Ally yang baru saja di terima di University of Westminster.

“Ada apa Casey? Ally?” tanya Bibi Marie yang baru saja muncul dari dalam rumah. Wanita itu muncul sesaat setelah mendengar suara teriakan Ally dan juga Casey. “Mengapa kalian berteriak seperti itu?” Pun Ally memberikan surat itu kepada wanita yang di panggil Bibi Marie itu. Ia membaca surat itu perlahan. “Kau di terima?” tanyanya setelah membaca isi surat tersebut.

Ya.

Ally hanya mengangguk kemudian menghambur memeluk Bibi Marie. “Ini sungguh berita yang baik. Semoga Tuhan memberkatimu, nak.” Tutur Bibi Marie bahagia.

***

Hari ini adalah hari pertama Ally menginjakkan kaki di University of Westminster. Sebuah universitas yang akan menjadi tempat ia menempuh pendidikan. Sebuah universitas yang akan membantunya mewujudkan cita-citanya menjadi seorang model professional.

Dan Ally tak pernah menyangka jika hari pertama adalah hari yang jauh dari kata menyenangkan. Mungkin kata menyenangkan itu akan lebih tepat jika di ganti dengan kata membosankan. Ya, kelas yang sangat membosankan.

Well, biar ku beri tahu jika Allyson sangat bosan jika di beri materi. Ia lebih menyukai praktik ketimbang materi. Menurutnya, materi akan sangat mudah membuatnya mengantuk.

Setelah selesai, Ally memutuskan untuk membeli minuman di Starbucks yang ada di sebelah kampus. Mungkin segelas cokelat bisa membuatnya kembali segar.

Benar saja, segelas cokelat panas berhasil membuatnya kembali segar. Rasa kantuk yang semula mengganggunya, perlahan mulai pergi.

“Boleh aku duduk bersamamu, nona?” tanya seorang pria yang tiba-tiba saja muncul. Mengejutkan. Ya, tentu saja kehadirannya sangat mengejutkan. Di saat Ally sama sekali tak menyadarinya. Untung saja ia tidak sedang makan atau minum. Mungkin ia akan tersedak karena kaget.

Ally menaikkan sebelah alisnya ketika melihat pria yang ada di hadapannya. Ragu. Tentu saja! Bagaimana tidak? Lihat saja penampilannya!  Tangannya yang penuh dengan tato. Juga telinga yang di tindik. Oh, semoga saja ia bukan penjahat yang akan menculikku. Batin Ally.

“Kau tak perlu takut. Aku bukan penjahat yang akan menculik, membunuh atau bahkan memperkosamu.” Kata pria itu seolah mengerti apa yang ada di pikiran Ally. “Jadi, bolehkah aku duduk disini? Lihatlah, tempat ini sudah penuh pengunjung.”

Pun Ally melirik ke sekitarnya. Benar saja, tempat ini memang sudah penuh. “Baiklah” jawab Ally singkat.

“Terima kasih, nona?”

“Allyson. Kau bisa memanggilku Ally.”

“Baiklah, Ally.” Ucap pria itu dengan tersenyum. Meskipun penampilannya terkesan garang, tetapi senyumnya sungguh… Well, kau tentu tahu apa maksudnya kan? Mempesona! Dan harus Ally akui jika ia juga mempunyai wajah yang tampan. Sial! “Namaku Justin. Justin Bieber.”

Ally hanya tersenyum mendengarnya. Detik selanjutnya, ia mengalihkan pandangannya ke sekeliling Starbucks. Maksudku, gila saja. Seorang pria yang sedikit terlihat garang namun sangat tampan berada di hadapanmu. Tentu saja itu akan membuat Allyson gugup. Di tambah jika Justin tersenyum padanya.

Pandangan Ally terhenti ketika melihat tiga orang pria yang duduk di sudut Starbucks ini. Mereka terlihat, tampan!

Jesus. Mengapa aku harus bertemu banyak sekali pria tampan? Batin Ally. Well, apakah empat bisa di katakan banyak?

“Kau mengenal mereka?” tanya Ally.

Justin yang sedari tadi menikmati minumannya, melirik ke arah yang di tunjuk Ally.

“Tentu saja.” Jawabnya dengan yakin. “Sekelompok pria idiot.”

“Idiot? Apa maksudmu?”

“Ya. Sekelompok pria idiot yang suka memainkan hati wanita.”

Kening Ally mengkerut ketika mendengar penjelasan Justin. “Bagaimana kau tahu jika mereka suka memainkan hati wanita?” tanya Ally penasaran.

“Aku mengenal mereka jauh sebelum kau mengenalku.”

Tentu saja. Aku baru mengenalmu lima menit yang lalu.

Sesaat kemudian, ketiga pria itu bangkit dan beranjak meninggalkan tempatnya. “Siapa nama mereka?”

“Pria berambut keriting itu Harry, kemudian si pirang itu Niall dan  yang itu Zayn.” jawab Justin.

Mereka pergi dari Starbucks secara bersamaan. Sebelum pergi, salah satu dari mereka lebih tepatnya si pirang itu –Niall— melirik ke arah Justin dan juga Ally. Ada sorot kebencian yang Justin tunjukkan. Entahlah.

Niall? Jadi namanya Niall?

Continue Reading