LOOKING FOR MOONLIGHT

By Authorable_ID

3.5K 285 75

By @yooahra03 [Setiap Minggu] Mulai Agustus [Jia] Kamu adalah duniaku, seperti namamu, Sekai- dunia. Aku tahu... More

Opening : Jia's Diary
1. Percakapan di Sore itu.
2. New Classmate
3. Dia Memang Aneh
4. Rasa Bernama Kesepian
5. Mencari Sebuah Perhatian
6. Teman
7. Cahaya Bulan
8. Dalam sebuah kesendirian
9. Ingin Bertemu
10. Jarak
11. Perasaan
12. Antara Kita
14. Perasaan (2)
15. Sesuatu tentang masa lalu
16. Hal yang tak terduga
17. Hujan Meteor
18. KITA
Penutupan (Jia's Diary)
19. Bulan

13. Memahami

93 8 4
By Authorable_ID

"Setelah dikabarkan dekat dengan salah satu aktor ternama Indonesia, Rika Oriana justru akan menikah dengan seorang pengusaha asal Singapura. Kabarnya pernikahan ini akan digelar secara tertutup di sebuah hotel berkelas di Jakarta."

Jia nyaris menjatuhkan gelas berisi susu cokelatnya ketika mendengar berita itu dari televisi. Bi Arisa—yang tidak tahu apa-apa hanya memandang heran ke arah majikan mudanya. Mengira bahwa mungkin Jia salah satu dari sekian banyak penggemar Rika Oriana.

Jia tak percaya ini. Pada akhirnya ibunya memang tidak akan mungkin kembali bersama mereka—dia dan ayahnya. Rika Oriana akan menikah. Jia tak pernah memikirkan kemungkinan itu sebelumnya.

Di sekolah Jia tidak fokus belajar. Bahkan ia tak berselera menghabiskan makan siangnya. Hal itu tentu saja membuat ia jadi perhatian Alden dan Sekai. Namun ketika ditanya, Jia hanya menggeleng ringan dan memaksakan senyum. Membuat keduanya tetap merasa curiga.

Lalu ketika kembali dari kantin mereka berpapasan dengan beberapa siswi yang membicarakan seputar kabar pernikahan Rika Oriana. Saat itulah Sekai dan Alden sadar hal itulah yang mungkin membuat Jia menjadi seperti saat ini.

"Jadi karna kabar itu? Kamu yakin itu memang benar? Bukan gosip?" tanya Sekai.

"Hei, ada apa?" Tobi bertanya—ia selalu ingin tahu. Alin dan Kinal hanya memandang heran ke arah mereka tanpa tahu apa yang sedang dibahas. Sebab sejak tadi keduanya memang fokus bicara berdua. Tentang pelajaran.

Wajah Jia mulai muram. Matanya berkaca-kaca, tanpa bisa ia hindari ia ingin menangis saat ini. Ia memegang lengan Sekai. Seperti sebuah isyarat agar mereka bicara berdua saja. Sekai mengerti, ia mengajak gadis itu pergi. Alden yang sebenarnya sangat ingin tahu perasaan gadis itu berniat menyusul. Namun ia mengurungkan niatnya ketika keduanya benar-benar melangkah cepat.

Alden tak bisa menghindari rasa kecewa dalam hatinya. Namun ia memang tidak sepantasnya memaksakan Jia cerita padanya. Sekai adalah sahabat gadis itu. Tentu lebih mudah baginya untuk percaya pada Sekai ketimbang dirinya yang baru beberapa bulan dikenalnya.

"Kenapa sih, Al?" tanya Tobi yang belum juga menemukan jawaban atas sikap Jia yang aneh. Alden tak menyahut. Matanya terus memandang ke arah Sekai dan Jia—yang kemudian menghilang di belokan koridor.

***

Untuk sesaat Sekai kehilangan kata-kata usai mendengarkan cerita Jia. Gadis itu menangis di depannya. Sekai hanya bisa mengusap bahunya, untuk menenangkan. Ia pernah mendengar harapan Jia tentang ibunya yang akan kembali ke keluarga mereka. Memulai hubungan yang baik dan menjadi keluarga yang utuh. Namun kabar pernikahan yang tak terduga ini membuat segala harapan Jia menjadi pupus. Tak punya kesempatan menjadi nyata.

"Hidup emang nggak selalu berjalan seperti yang kita mau, Zee." Entah itu tepat sebagai kalimat penghibur atau tidak, namun Sekai berharap ia bisa membuat Jia lebih baik dengan ketulusannya.

"Aku kira dia bakal mikirin aku setelah kami bertemu waktu itu, ternyata justru kabar kayak gini yang muncul di TV."

Sekai menatap sahabatnya. Jia sedang mengusap matanya yang basah.

"Sebagai model terkenal, dia pasti profesional sama pekerjaannya. Mana mungkin dia melibatkan perasaan. Kalo kabar tentang dia punya anak dan pernah nikah tersebar luas, mungkin karir modelnya bakal terpengaruh dan dia akan dicap sebagai orang yang munafik—sama semua orang, termasuk penggemarnya."

"Aku benci kalo mikirin kecintaannya sama dunia model. Dia bahkan ngelupain anaknya sendiri."

"Ada bagian dari manusia yang nggak pernah kita tau dengan pasti, Zee." Sekai mengerti betapa berkecamuknya perasaan ia akan emosi. Ia marah, kecewa sekaligus sedih. Sekai mencoba memahami dan ia tahu rasa sakit itu. Saat hidup berjalan tak sesuai harapan, saat itulah manusia merasa kecewa dan putus asa.

"Pikiran dan isi hati mereka."

Jia terdiam.

"Bukan nggak mungkin ibu kamu nggak mikirin kamu. Pasti dia pernah, walau cuma sebentar dia pasti pernah mikirin kamu."

Jia mencoba memahami perasaan yang mungkin dirasakan Rika Oriana. Ketika mereka bertemu waktu itu, Jia menemukan raut kaget ibunya. Bukan tak mungkin sebenarnya Rika Oriana ingin Jia tetap tinggal di sana lalu mereka bicara. Selalu ada kemungkinan bukan?

"Kalo menurut aku, Zee..." Sekai menarik napas. "Satu-satunya yang bisa kamu lakuin cuma ikhlas. Terlalu percaya sama angan-angan bisa jadi boomerang yang bikin kamu terluka. Yah, emang nggak salah sih kita punya harapan. Tapi, apa yang paling kita nggak ngerti dari hidup ini adalah gimana cara takdir berjalan. Kadang, kita dibikin bener-bener terkejut sampe nggak mau percaya inilah kenyataannya." Sekai tersenyum samar. Ia seolah mengingat sesuatu. Sekai dengan cepat membuat senyuman lebar di wajahnya lalu mengusap pelan rambut Jia.

"Pasti ada alasan kenapa ada kejadian-kejadian nggak terduga dalam hidup, Zee."

Jia terdiam. Sekai mungkin benar. Lagipula apa yang bisa ia lakukan dengan pernikahan ibunya? Apa ia bisa mencegahnya? Lalu andai pun ia bisa, apa itu akan membuat Rika Oriana kembali pada ayahnya lalu mereka jadi keluarga yang Jia idamkan? Hidup tak akan berjalan semudah harapannya. Dari sanalah manusia belajar mengikhlaskan sesuatu, menerima jalan takdir-Nya dengan lapang dada.

"Udah ngerasa lebih baik?" tanya Sekai kemudian. Jia menoleh, lalu tersenyum kecil. Mencoba menjadi lebih baik, itu yang harus dilakukannya.

"Hm, makasih, Sekai."

"Nggak ada terima kasih dalam persahabatan, Zee. Cukup dengan kamu ngerasa lebih baik, aku ikut baikan juga."

Jia mengangguk. Mereka kemudian kembali ke kelas. Tak disangka ternyata Alden dan yang lain menunggu dengan cemas. Tobi bahkan dengan cepat menghampiri untuk tahu apa yang sebenarnya terjadi. Jia tak menyangka ia mendapatkan sebuah kepedulian. Sekai sedikit bingung lalu mencoba membuat sebuah kebohongan kecil, namun ia melerainya.

"Zee?" ia heran. Jia tersenyum kecil. Mereka berempat sudah jadi bagian dari persahabatan mereka. Sahabat artinya tiada celah. Jadi untuk apa menutupinya. Jia hanya butuh memberikan kepercayaan, entah mereka akan menjaganya atau tidak, biarlah jadi urusan belakangan. Akhirnya gadis itu menceritakan sendiri apa yang terjadi, termasuk tentang Rika Oriana yang merupakan ibu kandungnya.

Awalnya mereka kaget, tentu saja. Namun mereka tahu Jia bukanlah seorang pembohong dan mereka mengerti perasaan seperti apa yang dirasakan Jia tadi.

"Ah, akhirnya aku tau kenapa kamu punya wajah cantik dan cocok jadi model." Ucap Alin, sebenarnya ingin menghibur. Tobi mendecak seraya menggeleng. "Harusnya lo nggak ngomong begitu, Lin."

Jia hanya tertawa pelan. Baginya itu bukan masalah lagi.

"Janji ya, ini rahasia antara kita." Ucap Jia. Mereka mengiyakan. Sekai tersenyum. Turut senang melihat perubahan kecil dari sahabatnya. Ia mengacak gemas rambut Jia. Membuat gadis itu protes dengan membalas memukul bahunya. Mereka tertawa.

Kinal memikirkan pernikahan ibunya sendiri. Andai ia bisa menghadapi perasaan marah ini semudah Jia.

Alden, ia memikirkan hal lain.

***

Jia terbelalak ketika ayahnya menunjukkan kertas tebal berwarna merah marun dengan tulisan 'Undangan' di permukaannya. Lalu di bawahnya nama Rika Oriana dan Hendric Deecker tercetak timbul.

Tama menunggu bagaimana reaksi putrinya. Namun Jia tampaknya lebih tenang dari yang ia pikirkan. Tama awalnya memprediksi bahwa Jia akan memandangnya sedih lalu menangis. Namun yang dilihatnya saat ini, Jia diam dan tersenyum samar.

"Aku nggak nyangka Papa dapat undangan."

"Um, yah...Papa juga mikir begitu." Ia kembali mengamati wajah putrinya. Setidaknya walau Jia berusaha menahannya, ia masih bisa melihat sisa sedih itu.

"Jia nggak apa-apa, Pa. Mama berhak jalani hidupnya, iya kan?"

Tama mengusap kepala Jia penuh sayang. Jia menitikkan air mata, namun lekas diusapnya cepat. Ia kemudian menceritakan jika sebelumnya ia sudah pernah bertemu dengan Rika Oriana. Namun mereka tak sempat bicara karena rasa terkejut keduanya. Tama tentu saja terkejut kemudian menyesali diri.

"Harusnya Papa mikirin gimana pengennya kamu ketemu mama kamu."

Jia tersenyum samar. "Tapi aku juga mikirin gimana perasaan papa, kalo aku minta ditemukan sama mama."

"Jadi...undangan ini...gimana? Papa kasih keputusan sama kamu."

Jia diam sesaat. Ia sebenarnya ingin menghadiri resepsi itu. Barangkali ini kesempatan terakhirnya untuk melihat ibunya. Setidaknya ia ingin bertemu, entah itu hanya menyapanya atau sekadar menyaksikan momen bahagianya.

"Apa aku egois kalo minta kita pergi ke sana, Pa?"

Tama tertawa pelan. "Enggak juga. Papa yang egois kalo ngelarang kamu ketemu mama kamu sendiri."

Jia ikut tersenyum, merasa sedikit lebih baik. Walau ia memikirkan akan seperti apa nanti jika ia bertemu dengan Rika Oriana. Akankah ia diakui sebagai anaknya.

"Pa, Jia mau tanya sesuatu."

"Apa itu?"

"Gimana perasaan Papa sama mama?"

Tama kaget lalu menghela napasnya. Ia tersenyum kemudian.

"Perasaan manusia selalu bisa berubah, tergantung gimana kondisi dan sifat manusianya sendiri. Yah, Papa mencintai mama kamu tapi itu dulu. Sekarang Papa udah bisa menerima keadaan yang ada, kalau Papa dan mama kamu nggak berjodoh lagi."

"Kalo gitu, kenapa Papa nggak nikah lagi? Padahal Papa masih keren loh."

Tama menarik hidung gadisnya itu. Jia mengeluh.

"Bagi Papa, kamu itu udah cukup. Nggak ada lagi yang lebih berharga untuk Papa selain kamu."

Jia tersenyum. "Papa pasti tukang gombal dulunya."

Lalu mereka tertawa bersama.

***

Sebagai public figure yang low profile, pernikahan Rika Oriana tentu menjadi sorotan banyak media. Itulah alasan yang membuat pernikahannya dilangsungkan secara tertutup di sebuah hotel yang namanya juga dikenal media dan masyarakat, Lavender Hotel. Tamu yang diundang hanya sekitar seratus orang—dan merupakan kerabat dan rekan-rekan Rika Oriana dan suaminya.

Jia merasa gugup dengan suasana pesta yang klasik. Semua berpakaian rapi dengan jas dan gaun-gaun mahal. Beberapa di antaranya merupakan model—yang adalah teman-teman Rika Oriana. Jia merasa dirinya menciut dengan gaun biru pastel bermode A dan flatshoes senada. Rambutnya yang biasa ia gerai, kini dikepang sederhana dengan hiasan pita tali berenda berwarna putih. Sedangkan ayahnya berpenampilan sedikit lebih elegan dari biasanya.

Jantung Jia berdebar. Tenggorokannya tercekat. Matanya melihat sosok Rika Oriana dengan balutan gaun pengantin yang sederhana. Tampaknya inilah karakter asli ibunya—yang lebih menyukai hal-hal sederhana di balik glamour-nya dunia model. Gaun putih tanpa lengan dengan kuntum bunga yang timbul pada bagian bawah. Riasan wajahnya juga tampak natural namun tak mengurangi kesan cantik pada wajahnya.

Di sebelah Rika Oriana, tampak pria berusia empat puluhan dengan mata yang sedikit sipit. Dialah suami sang model itu. Keduanya sedang berfoto bersama tamu undangan. Jia menemukan raut bahagia di wajah ibunya. Apakah ia pantas merasakan sedih untuk kebahagiaan ibunya sendiri?

Rika Oriana tampak kaget ketika melihat mantan suaminya datang bersama putri mereka. Tama tersenyum kemudian mengucapkan selamat. Jia tersenyum, sulit mengendalikan bibirnya yang merasakan efek kegugupan. Ia tak bisa mengucapkan kata selamat sekalipun di rumah ia sudah berlatih bagaimana cara mengatakannya. Yah, itu tetap bukan perkara mudah baginya.

Akhirnya Jia tak mengatakan apapun dan mereka kemudian berfoto. Terasa kaku, bagi Jia. Ketika mereka akan pergi, Rika Oriana menahan. Ia berbisik sejenak ke arah suaminya, meminta izin. Kemudian ia menghampiri mantan suaminya.

"Tama, boleh aku bicara sebentar sama Jia?"

Tama menoleh ke arah Jia. Gadis itu kaget dan kemudian mengangguk.

Kini ia dan Rika Oriana berada di ruang kamar—yang sepertinya tempat tinggal ibunya itu. Suasana di antara mereka terasa kaku. Mengingat mereka belum pernah bertemu sejak Rika Oriana meninggalkannya usai bercerai.

"Gimana kabar kamu, Jia?" akhirnya Rika Oriana yang memulai. Ia tak mau waktu singkat mereka berakhir tanpa kata-kata yang tepat.

"A..aku baik." Rasanya sulit untuk memberikan panggilan 'Mama' di belakang jawabannya. Jia benar-benar gugup. Ia menebak-nebak isi hati ibunya saat ini.

"Mama nggak nyangka kamu udah besar. Kamu cantik."

Jia tersenyum. Ada rasa hangat ketika Rika Oriana mengakui diri sebagai ibunya.

"Karna mamaku juga cantik." Ucap Jia.

Rika Oriana kaget, kemudian ia tersenyum. Lambat laun pembicaraan mereka mulai lebih lancar. Mereka saling bertanya keseharian masing-masing. Rika Oriana senang karena Jia punya banyak teman dan ia punya nilai bagus di sekolah. Lalu setelah itu, terjadi jeda yang cukup lama.

"Mama minta maaf."

Jia menoleh. Ada raut sesat di wajah ibunya.

"Mama bukan orangtua yang baik kan? Yang ninggalin anaknya cuma karena mimpinya jadi model."

"Soal itu, aku juga nggak bisa menilainya...Ma."

Rika Oriana tersentak saat mendengar Jia menyebutnya 'Ma' pertama kalinya. Ia menyesali waktu yang ia lewatkan untuk mendengar kata itu lebih awal. Jika ia mengesampingnya impiannya dan memilih tetap bersama Tama mungkin ia akan melihat bagaimana pertumbuhan Jia dari bayi hingga seperti sekarang. Ia ingin mengetahui bagaimana cara Jia mulai belajar duduk, merangkak hingga bisa berjalan. Lalu bagaimana rewelnya ketika ia sudah bisa berbicara. Apa yang akan ditanyakannya pertama kali. Bagaimana caranya merengek untuk meminta sesuatu.

"Mama selalu berpikir untuk mengunjungi kamu atau paling enggak nanyain kabar kamu tapi...selalu ada yang menghalangi. Mama berpikir apa pantas bertanya tentang kamu setelah pergi begitu aja."

Jia terdiam, hanya memilih mendengarkan.

"Apa kamu benci sama Mama, Jia?"

Jia tak menduga kalau ia akan diberi pertanyaan seperti itu dan ia tak bisa memberikan jawaban secepat mungkin. Benci? Walau ia tak pernah memikirkan itu namun ketika ia diberikan pertanyaan seperti itu, ia jadi memikirkannya. Mungkinkah ia pernah tanpa sengaja membenci ibunya sendiri?

"Aku juga kurang tau pasti, tapi...selama ini aku cuma berharap bisa ketemu Mama."

Rika Oriana menatap lama ke arah Jia.

"Mama senang kamu punya harapan kayak begitu." Matanya berkaca-kaca.

"Mungkin aku pernah marah sama mama karna ninggalin aku, dan aku sempat kecewa dengar kabar pernikahan ini tapi...aku ngerasa sedikit lebih baik setelah tau gimana sebenarnya perasaan mama selama ini."

"Temanku bilang, hidup nggak selalu sesuai sama harapan." Jia tak bisa menahan dirinya untuk satu harapan yang tersisa di benaknya. Namun apa daya, air matanya justru keluar tanpa diminta.

Rika Oriana merasa terluka melihat Jia menangis.

"Mama menyesal karena mematahkan harapan kamu."

Jia mencoba tersenyum dalam derai air matanya.

"Tapi kenyataan yang kayak gini kan yang bikin kita jadi kuat?"

Rika Oriana ikut meneteskan air matanya. Ia memeluk Jia, tak bisa lagi menahan dirinya atas rasa bersalah dan rindu yang terpendam lama. Kini tanpa kata, keduanya hanya meluapkan perasaan lewat air mata dan isak tangis.

Setelah merapikan make-up, Rika Oriana dan Jia kembali ke acara. Keduanya sempat tertawa melihat bagaimana riasan wajah masing-masing meluntur oleh air mata. Dan sebelum berpisah, Jia akhirnya bisa mengucapkan selamat untuk pernikahan ibunya.

"Semoga mama bahagia." Ucapnya tulus, tanpa ada beban lagi. Yah, seperti kata Sekai, ia hanya perlu mengikhlaskan. Jalan hidup manusia yang tak sesuai harapan sebenarnya sumber dari kekuatan bagi mereka untuk menjalani cobaan lain dalam hidup ini. Ah, pemikiran Sekai kadang terlalu dewasa untuk usianya yang masih remaja.

"Mama juga berdo'a untuk kebahagiaan kamu."

Jia mengangguk. Sebelum tamu lain mendatangi Rika Oriana, mereka berpelukan sejenak. Rasanya masih ingin punya banyak waktu untuk bercerita.

"Kalo ada waktu Mama pengen ketemu lagi sama kamu." Bisik Rika Oriana sebelum Jia pergi. Gadis itu hanya mengangguk dan tersenyum. Ia kemudian mencari ayahnya di antara tamu lain. Dan bukannya menemukan sang ayah, Jia justru menemukan seseorang yang tak asing di antara tamu undangan.

Alden, dengan setelan jas rapi sedang berdiri dalam diam. Ia tampak melamun.

"Alden?"

Ia tersentak. "Jia? Kok kamu bisa di sini?"

"Harusnya aku yang tanya, kenapa kamu di sini?"

Alden menghela napas. "Kamu lupa? Ini Hotel-nya Papi!" Lalu ia mengingat bagaimana cara ayahnya mengajaknya ikut ke acara resepsi pernikahan ini. Ayahnya hanya memberikan setelan jas melalui bi Uti dan menyuruhnya bersiap-siap. Alden hanya menurut, mengira ini waktu yang tepat untuk bicara—entah apa—pada ayahnya. Namun yang terjadi justru, ia diabaikan di acara ini setelah ayahnya mengenalkannya pada rekan bisnisnya.

"Uhm, jadi...kamu diundang? Sama mama kamu?" tanya Alden, hati-hati.

Jia mengangguk. Tak seperti yang Alden duga, Jia tampaknya sudah lebih baik dari sebelumnya.

"Kamu...nggak apa-apa?"

Jia kaget lalu mengiyakan.

Alden mendecak pelan. "Aku iri." Jia tak mengerti. "Sama Sekai." Sambungnya.

"Dia selalu jadi yang pertama, yang tau gimana masalah kamu, perasaan kamu."

Oh, karena itu. Jia tersenyum kecil. "Itu wajar aja, Al. Dia sahabat aku, dari dulu."

Alden cemberut. Jia seolah tengah membandingkan hubungan antara dirinya dengan Sekai.

"Aku...cemburu." Ucap Alden, tanpa memandang gadis itu. Jia memandangnya tak mengerti. Cemburu? Ia berpikir untuk apa Alden meralat kata iri menjadi cemburu? Walau bermakna sama kedua kata itu tetap saja memiliki perbedaan. Cemburu lebih mengarah kepada perasaan yang berhubungan dengan cinta. Tunggu... Jia hendak mengoreksi namun ayahnya sudah terlihat.

"Astaga, Papa nyariin kamu dari tadi."

Jia cemberut menatap ayahnya. "Aku juga nyariin papa."

Tama melihat cowok seumuran Jia di sebelahnya. Tampak bingung.

"Oh, ini teman sekelas, Pa. Namanya Alden."

Alden yang menutupi gugupnya menoleh ke arah ayah Jia.

"Halo, Om. Saya Al Dante Widana." Ia mengenalkan namanya dengan lengkap. Membuat ayah Jia takjup.

"Oh, ya salam kenal." Tama melihat ke arah putrinya. "Kita pulang sekarang, ya. Besok pagi, Papa harus berangkat lagi."

Jia mengiyakan. Ia pun pamit pada Alden.

"Dia bukan orangnya?" tanya Tama setelah mereka menuju pintu ke luar. Jia tak mengerti. "Temen sekelas yang bikin kamu kesal."

"Oh." Jia tertawa sejenak kemudian mengiyakan. "Tapi...sekarang dia udah jadi salah satu teman baik Jia, Pa."

***

Dalam mobil yang melaju, Alden dan Hadi, ayahnya hanya diam. Keduanya duduk di jok belakang dengan arah pandangan yang berlawanan. Alden memandang ke luar jendela. Ke arah gedung-gedung tinggi yang seolah bergerak pelan. Sedangkan ayahnya fokus memandang layar tablet, masih berkutat pada pekerjaan. Benar-benar tak ada kata di antara mereka. Hanya diam, yang membuat sebuah jarak.

Sesampainya di rumah, Hadi bergegas menjajaki anak tangga, menuju kamarnya. Alden tertinggal di belakang. Ia sedang ragu memikirkan sesuatu. Namun akhirnya ia memberanikan diri memanggil ayahnya.

"Papi."

Langkah ayahnya terhenti. Beliau menoleh. Alden bingung kemudian. Lidahnya seolah kelu, kehilangan kalimat yang dirancangnya sejak tadi.

"B...bisa kita bicara sebentar?"

"Papi mau istirahat, besok mau pergi lagi." Hadi melanjutkan langkahnya.

"Aku mau ikut seleksi study exchange ke Jepang." Ucap Alden cepat.

Langkah ayahnya terhenti. Terkejut, tentu saja.

Alden mengira-ngira seperti apa tanggapan ayahnya tentang itu. Ia resah menunggu.

"Kamu nggak akan ke mana-mana. Papi sudah pikirkan rencana masa depan kamu." Hadi kembali menjajaki anak tangga. Sedangkan Alden, ia kecewa dengan respon ayahnya.

***

Continue Reading

You'll Also Like

HER LIFE By hulk

Teen Fiction

7.4M 364K 64
Sudah terbit di Glorious Publisher. Dia, gadis culun yang dibully oleh salah satu teman seangkatannya sampai hamil karena sebuah taruhan. Keluarganya...
859K 6.1K 10
SEBELUM MEMBACA CERITA INI FOLLOW DULU KARENA SEBAGIAN CHAPTER AKAN DI PRIVATE :) Alana tidak menyangka kalau kehidupan di kampusnya akan menjadi sem...
757K 56.4K 60
Namanya Camelia Anjani. Seorang mahasiswi fakultas psikologi yang sedang giat-giatnya menyelesaikan tugas akhir dalam masa perkuliahan. Siapa sangka...
453K 34.5K 43
"Seru juga. Udah selesai dramanya, sayang?" "You look so scared, baby. What's going on?" "Hai, Lui. Finally, we meet, yeah." "Calm down, L. Mereka cu...