Cerita Tentang Kita

By misfil

119K 3.1K 2.4K

[TELAH DITERBITKAN] 'Cukup dengan merasakannya, kau akan tahu itu cinta atau bukan.' Dari insiden menghilangk... More

❤ Book Trailer ❤
PROLOG ✔
DUA ✔
❤ Yuk Baca Cerita Tentang Kita di Gramedia Digital! ❤

SATU ✔

11.6K 1.2K 1.5K
By misfil

Hujan.

Harapan.

Hati yang telah patah.

Dan... bisikan-bisikan itu.

Gadis berumur lima belas tahun itu bergerak gelisah, lalu terbangun. Meski matanya sudah terbuka penuh, napasnya masih berantakan. Dia mencoba mengatur napas kembali. Ini ketiga kalinya dalam kurun waktu enam bulan terakhir. Mimpi buruk itu hadir dan kali ini durasi mimpinya terasa lebih lama dari sebelumnya.

"Nada Almira, kamu harus tenang. Tarik napas, keluarkan, tarik napas lagi, keluarkan dengan perlahan. Bagus. Semua akan baik-baik saja, Nad. Kamu harus percaya itu."

Sugesti itu berhasil membuat Nada sedikit lebih tenang. Nada hanya harus menganggap mimpi buruk itu sebagai angin lalu. Nada harap mimpi yang hadir sebagai bunga tidurnya tadi adalah mimpi buruk terakhirnya.

Keheningan sesaat yang tercipta kemudian sirna ditempa suara getaran. Secepat kilat, pandangan Nada berubah haluan dan ia menemukan ponselnya telah bergetar ribuan kali—untung saja tidak terjatuh dari meja.

Nada menepuk jidatnya begitu ingat hari ini adalah hari apa.

Hari pertama masa orientasi siswa.

Segera Nada meraih benda pintar itu dan menekan-nekan tombol di atas sana. Ternyata sudah jam setengah empat. Lalu, ia membuka group chat Tiga Serangkai di Facebook. Ada banyak percakapan yang terjadi sejak semalam. Nada tahu itu. Suara notifikasi yang terlalu berisik semalaman membuat Nada harus mengubah pengaturan suara menjadi mode senyap. Tanpa memedulikan percakapan kemarin malam, langsung saja Nada memusatkan perhatiannya pada percakapan hari ini.

Koko: Gimana? Gimana? Persiapan MOS sudah oke?

Mia: Oke dong. Sudah lengkap semua.

Jawaban Mia ini sekaligus mewakili jawaban Nada karena lagi-lagi Nada tidak kunjung memberikan balasan.

Koko: Kamu gimana, Nad? Udah semua? Kan kamu yang paling pelupa di antara kita bertiga.

Sebenarnya Nada sudah selesai membaca seluruh pesan, akan tetapi Nada belum memberikan respons apa pun. Hanya ada dua kemungkinan kenapa Nada seperti ini: Pertama, Nada tidak tahu harus merespons apa. Kedua, Nada lebih memilih menjadi pengamat saja.

Koko: Nada Almira, yuhuuu!

Mia: Udahlah, Ko. Mungkin dia lagi hemat kuota. :p

Dengan Mia angkat bicara, dapat dipastikan setelah ini group chat Tiga Serangkai akan dikuasai oleh mereka.

Koko: Btw, kita aneh ya... Rumah sebelahan gini pakai bikin group chat segala. Hahaha.

Koko: Duh! Nggak terasa hari ini udah MOS aja. Pasti jadi incaran cewek-cewek.

Mia: Lagian kamu sih. Kan kamu yang invite kita berdua, Ko. Mentang-mentang baru bikin Facebook. Syukuran dulu. Traktiran, traktiran, traktiran!

Mia: Dih, pede banget sih!

Koko: Dulu gitu juga pas zaman Friendster. Minta traktiran mulu dan begonya kok aku mau ya.

Mia: Udah ah, aku mau ngecek persiapan MOS dulu, Ko. Aku logout sekarang juga ya.

Koko: Yah, ditinggal sendirian deh. :')

Mia: Nggak urus!

Mia: Kamu juga siap-siap deh, Ko, daripada ada yang ketinggalan ntar. :p :p :p

Mia: Nad, awas aja kalau kamu read doang. Siap-siap juga gih! Bentar lagi kita grebek rumahmu.

Tiga Serangkai adalah nama geng yang dicetuskan Nada satu tahun yang lalu. Anggota Tiga Serangkai terdiri dari Nada, Mia, dan Koko. Ketiganya menjalin persahabatan sejak kecil. Seakan-akan status sebagai tetangga dekat belum cukup, dari TK, SD, SMP, bahkan sekarang SMA, mereka bersekolah di tempat yang sama.

Hari ini merupakan hari pertama mereka mengikuti masa orientasi siswa. Jarum panjang memang belum menunjuk angka dua belas, akan tetapi Mia sudah dibuat naik darah. Bisa-bisanya Nada belum siap di saat kedua temannya sudah berada di halaman depan rumahnya.

"Tenang, aku siap-siapnya cepat kok," ucap Nada santai begitu kepalanya timbul di ambang pintu. Rambutnya masih berantakan, badannya masih belum wangi. Berbanding terbalik dengan dua sahabatnya yang sudah dalam keadaan siap.

"Cepetan ya! Pokoknya cepetan! Nggak mau tahu. Kalau lama, beneran kita tinggal," ancam Mia dengan kepanikan yang tersirat dalam ucapannya. Mia betul-betul keberatan kalau baru satu hari berstatus sebagai murid SMA tapi sudah masuk dalam daftar hitam.

"Sabar, sabar." Koko menenangkan Mia yang terus menatap jam tangannya.

Nada masuk lagi ke kamarnya bahkan sebelum dia sempat mendengar perkataan Mia dengan utuh. Setelah sepuluh menit berlalu, Nada selesai bersiap-siap. Itu pun dia hanya sempat membasuh muka dan memakan roti selai cokelat. Meskipun belum mandi, Nada percaya diri kalau dia tidak akan membuat orang-orang di sekitarnya pingsan secara massal.

"Yuk!" kata Nada sambil memakai tas karung goninya. "Siapa yang mau angkut aku kali ini?"

Nada memang ada motor di rumah, tapi dia masih dikategorikan pengemudi amatir. Sangat amatir, kalau boleh dikatakan. Saking amatirnya, baru beberapa kali mengendarai motor, Nada sudah berhasil membuat motor baru milik Bapak lecet-lecet. Semenjak itu Nada tidak berani bawa motor lagi, kecuali jika keadaan sangat mendesak.

"Nggak ada yang mau! Dih, kamu jalan kaki aja."

Mia memasang ekspresi jutek ala tokoh antagonis yang ada di sinetron-sinetron. Ekspresi pura-pura Mia itu tampak nyata dan sukses menipu seandainya Nada bukan teman baik Mia sejak mereka berdua masih memakai popok.

Berkat colekan dan rayuan jitu Nada, kejutekan Mia langsung luntur seketika.

Koko hanya tersenyum tipis melihat kedua sahabatnya. "Kamu bareng aku aja, Nad," kata Koko akhirnya.

Hari pertama masa orientasi siswa berhasil dilewati dengan baik. Beruntunglah Dewi Fortuna masih berada di pihak Nada. Akan tetapi, itu tidak berlaku untuk hari ini, hari terakhir MOS.

Saat kegiatan baris berbaris akan segera dimulai, kebiasaan buruk Nada kumat. Nada baru menyadari bahwa di dalam tas karung goninya sama sekali tidak ada topi. Dia mencari lagi dan lagi, tapi tetap tidak kunjung menemukan. Seingatnya, dia sudah memasukkan benda tersebut ke dalam tas tadi malam.

"Gimana? Ada?" tanya Koko saat Nada masih sibuk mencari topinya. "Coba periksa lagi."

Berbeda dengan Koko, Mia masih sempat menertawakan ekspresi Nada yang seharusnya bisa ia abadikan saat ini juga kalau saja mereka semua diperbolehkan membawa ponsel.

"Bisanya ngetawain. Bantu cari juga, kek. Kayak Koko itu loh, Nyak."

"Habisnya kebiasaan deh, Nad," respons Mia seakan-akan dengan berkata seperti itu bisa membuat topi Nada muncul dalam sekejap.

Nada mengembuskan napas. Kesal. Raut wajahnya semakin terlihat ingin menangis.

Koko tidak tega melihatnya. "Mau pakai topiku kah?" tawar Koko, lalu ia melepaskan dan menyodorkan topinya ke arah Nada.

Nada menolak. "Nggak perlu, Ko. Nanti malah kamunya yang kena. But, thanks ya."

"Ayo, dek! Waktu kalian tinggal lima menit lagi. Kalian sudah harus ada di lapangan."

Hati Nada langsung menciut ketika mendengar salah satu kakak OSIS berteriak demikian.

Begitu mendengar kalimat selanjutnya, barulah Nada merasa lega.

"Buat kalian yang nggak bawa topi, kalian bisa pinjam ke kakak kelas."

Kelegaan Nada tidak berlangsung lama, kini berganti dengan sebuah kepanikan. Siapa kakak kelas yang rela meminjamkan topinya ke orang tidak dikenal?

Nada belum kenal siapa pun di sekolah ini kecuali Koko, Mia, dan beberapa teman seangkatan yang berasal dari SMP yang sama.

Nada bergegas ke kelas kakak tingkat terdekat. Selama perjalanan, Nada menemukan satu temen cewek yang ternyata memiliki kasus serupa, yaitu lupa membawa topi.

Cewek berkuncir kuda itu bersyukur. Dengan bertemu orang itu, Nada tidak harus berbicara panjang lebar. Cukup berada di sebelahnya dan kakak kelas akan tahu kalau adik kelasnya butuh pinjaman topi. Lebih tepatnya, dua topi.

"Woi! Teman-teman, ada yang punya topi nggak? Mereka butuh dua nih," tanya Cantika dengan suara menggelegar khasnya. Seolah-olah berteriak semacam itu sudah menjadi rutinitas sehari-harinya. Mendengar teriakan itu, tiba-tiba tenggorokan Nada jadi kering.

Bukannya hening, suasana kelas justru pecah. Tidak ada yang sudi meminjamkan, yang ada hanya aksi saling tunjuk satu sama lain. Berhubung Cantika memaksa beberapa temannya, mau tidak mau dua orang harus berkorban, merelakan topinya untuk dipinjamkan ke adik kelas yang bahkan tidak mereka tahu siapa namanya.

Saat ini Nada sudah memegang topi SMA milik entahlah-siapa-yang-punya. Bahkan Nada tidak sempat melihat siapa pemiliknya dengan jelas karena kakak OSIS sudah memanggil adik-adik kesayangannya untuk turun merapat ke lapangan.

Sudah satu jam Nada dan teman-teman seangkatannya berpanas-panas ria. Kini mereka semua telah selesai latihan baris berbaris.

Nada berjalan menuju tepi lapangan, duduk, lalu mengibas-ngibaskan topinya—yang sudah seperti miliknya sendiri.

"Topi punya siapa tuh?" tanya Koko penasaran. Koko duduk tepat di sebelah Nada yang saat ini bagaikan orang yang akan mati kelaparan, seperti angin adalah makanan yang harus disantap kalau ia tidak mau mati begitu saja.

"Kakak kelas," jawab Nada singkat dan padat.

Nada melirik ke sekitar. "Eh, Mia mana, Ko?" tanya Nada begitu Mia tidak tertangkap di indera penglihatannya.

"Tadi aku lihat lagi asik ngobrol sama ketua OSIS kita."

"Maksudmu Kak Naga?"

"Iya," jawab Koko.

"Oh."

Hanya oh.

Selanjutnya, tidak ada kejadian yang berkesan. Nada hanya mengikuti jadwal yang sudah diatur oleh panitia MOS. Duduk manis dalam ruangan, tidak ribut dengan yang lain, terlihat fokus mendengarkan materi, namun tidak aktif dalam sesi tanya jawab. Nada berharap dengan sangat, semoga MOS segera berakhir, agar dia tidak perlu lagi memakai atribut konyol seperti tas karung goni dan name tag dari sandal jepit.

Harapan Nada terkabul. Akhirnya, masa orientasi siswa berakhir.

Seharusnya itu bisa membuat Nada istirahat dengan tenang saat ini. Namun, ternyata tidak semudah itu.

Ada misteri yang harus Nada pecahkan.

Entah sejak kapan Nada mondar-mandir tidak jelas. Tidak terhitung sudah berapa jumlah langkah kaki Nada dan berapa jumlah kalori yang terbakar selama ia meresahkan sesuatu yang dilampiaskan dengan berolahraga kecil. Sejak tadi ada sesuatu yang menganggu pikirannya. Untuk memejamkan mata saja rasanya sulit, apalagi untuk tidur.

Satu, topi yang dipinjamkan ke Nada hilang.

Nada sudah mencari dengan sungguh-sungguh, akan tetapi topi itu tetap tidak bisa ia temukan. Apa ketinggalan di sekolah? Kalau iya, peluang topi itu masih ada di sana sangat kecil.

Dua, Nada tidak tahu sama sekali siapa pemilik topi tersebut.

Sewaktu dia meminjam topi, yang terpenting adalah topinya, bukan melihat wajah sang pemilik topi. Nada berusaha mengingat kronologis dari awal hingga topi itu ada di genggamannya, tapi wajah kakak kelas yang meminjamkan topi padanya terlihat kabur di ingatannya.

Nada tidak bisa mengingat. Terlalu dipaksakan hanya akan membuat kepala Nada pening.

Kalau harus ke kelas kakak tingkat itu, Nada belum punya keberanian sejauh itu.

Baiklah, Nada sudah membulatkan keputusan. Berhubung Nada tidak tahu siapa pemiliknya, jadi hanya ada satu cara yang mana Nada yakin bisa melakukan.

Hanya ada satu cara, yaitu dengan berpura-pura tidak terjadi apa-apa.

Continue Reading

You'll Also Like

6.1M 261K 58
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...
8.1M 1M 48
"𝙷𝚞𝚓𝚊𝚗 𝚓𝚞𝚐𝚊 𝚖𝚎𝚗𝚐𝚎𝚛𝚝𝚒 𝚔𝚎𝚗𝚊𝚙𝚊 𝚑𝚊𝚛𝚞𝚜 𝚝𝚞𝚛𝚞𝚗." -𝓐𝓶𝓮𝔂𝓼𝓲𝓪𝓪, 01.00 ••• "Kematian yang mencintai kehidupan." - 01.00 ...
4.8K 468 82
Orang yang menyembunyikan tentang banyak hal dengan senyumannya, entah itu rasa sedih, trumatis atau bahkan depresi. Mereka berusaha merasa baik - ba...
Nestapa By Ardee

Teen Fiction

4.7K 457 30
Namanya Amarta, dan aku mencintainya.... Tak peduli dengan apa yang dia lalui di masa lalu, bagiku dialah cintaku. Sebagaimana nestapa, maka seluas...