LOOKING FOR MOONLIGHT

By Authorable_ID

3.5K 285 75

By @yooahra03 [Setiap Minggu] Mulai Agustus [Jia] Kamu adalah duniaku, seperti namamu, Sekai- dunia. Aku tahu... More

Opening : Jia's Diary
1. Percakapan di Sore itu.
2. New Classmate
3. Dia Memang Aneh
4. Rasa Bernama Kesepian
5. Mencari Sebuah Perhatian
6. Teman
7. Cahaya Bulan
8. Dalam sebuah kesendirian
9. Ingin Bertemu
10. Jarak
12. Antara Kita
13. Memahami
14. Perasaan (2)
15. Sesuatu tentang masa lalu
16. Hal yang tak terduga
17. Hujan Meteor
18. KITA
Penutupan (Jia's Diary)
19. Bulan

11. Perasaan

93 7 0
By Authorable_ID

"Jadi di sana lagi musim gugur?" tanya Alden pada sosok cowok dengan usia lima tahun lebih tua darinya. Saat ini ia sedang video-call dengan Varo lewat aplikasi skype. Wajah kakaknya terlihat cerah seperti biasa. Menunjukkan kalau kehidupannya di Tokyo baik-baik saja. Mungkin ia sangat bahagia di sana.

"Iya, tapi...malam mulai dingin."

Alden tersenyum.

"Gimana sekolah kamu, Dan?"

"Biasa aja."

Alis Varo bertaut. "Kamu nggak bikin masalah kan?" ia ingat sewaktu SMP, Alden pernah beberapa kali bertengkar dengan teman sekelasnya. Insiden yang membuat Alden kemudian dicap sebagai trouble-maker di sekolah.

Alden menggeleng. Ia masih tersenyum dan tampak tertegun. Memikirkan sesuatu.

"Aku punya teman, sekarang."

"Oh ya? Itu bagus. Harusnya emang begitu, Dan."

"Tapi susah untuk bener-bener ngerti orang lain." Ucap Alden kemudian.

"Pelan-pelan aja. Persahabatan bukan hubungan yang dipaksakan. Semua berjalan secara alami."

Ia tersenyum. Varo selalu bisa membuat perasaannya lebih baik. Andai saja Varo tetap di sini, mungkin ia akan merasa jauh lebih baik lagi.

"Jadi, kapan pulang, Kak?"

Varo terkejut lalu tertawa kemudian. "Kamu kira Kakak di sini main-main. Kakak kuliah di sini."

Alden tersenyum kecut. Yah, Varo memang beralasan pergi ke Jepang untuk kuliah. Namun Alden bukannya tak tahu itu juga menjadi alasan untuk 'lari' dari ayah mereka. Menjelang lulus SMA, Varo sering bertengkar dengan ayah mereka. Alden tak tahu banyak, namun ia yakin Varo sangat kecewa. Ayah mereka benar-benar enggan memandang mereka lagi. Jarak semakin terbentang jauh. Tidak ada yang berkenan mendekat lebih dulu.

"Kak Varo yakin bakal pulang kalo kuliahnya selesai?"

Varo diam. "Ada tawaran kerjaan yang bagus di sini."

Jawaban itu menunjukkan kalau Varo belum berniat untuk kembali.

"Apa aku harus susul Kak Varo ke sana?"

"Itu bukan ide bagus."

Alden tertawa kesal. Di satu situasi Varo bisa terasa begitu mengesalkan bagi Alden, walaupun ia sangat menyayangi kakaknya itu.

"Jadi Kak Varo bakal bikin aku terus nunggu? Kakak nggak mikirin kalo aku tertekan? Papi bahkan nggak pernah liat aku lagi." Alden menunduk, menyembunyikan amarahnya. Ia membuat masalah di sekolah dengan harapan ayahnya akan datang ke sekolah, setidaknya menatapnya sebentar. Namun apa yang dilakukan ayahnya, beliau malah menunjuk asistennya untuk mengurus masalah itu. Di rumah, ayahnya bagaikan bayangan yang sejenak hilang lalu muncul lagi dan Alden tak bisa meraihnya.

"Aku juga lagi nunggu, Dan. Di sini, Kakak juga lagi nunggu."

Alden menghela napas, kesal.

"Mungkin kita emang cuma bisa nunggu. Nunggu Papi ngerasa kalo kita lagi nunggu dia."

Alden tak pernah mengerti cara berpikir kakaknya.

"Jadi, gimana temen-temenmu? Mereka baik?" Varo mengalihkan pembicaraan. Alden menyahut dengan gumam. Lalu ia teringat seseorang. Jantungnya berdesir pelan.

"Kayaknya...aku suka seseorang."

Varo kaget lalu tampak senang. "Kamu udah dewasa."

Alden melirik ke layar. Wajah kakaknya tampak menggoda. Ia terlalu jujur hingga mampu menceritakan hal serahasia ini pada kakaknya. Bukan terlalu jujur, ia memang sangat percaya pada kakaknya itu.

"Siapa namanya?"

"Udah. Infonya segitu dulu."

Varo tertawa lalu percakapan mereka menjadi tak menentu. Setidaknya untuk saat ini mereka merasa jauh lebih baik. Mengisi kekosongan satu sama lain dan belum berhenti berharap agar ayah mereka suatu saat akan mengulurkan tangan. Ikut bergabung dan saling melengkapi—seperti yang seharusnya dilakukan sejak dulu. Sejak ibu mereka meninggal.

***

Setelah pembicaraan yang cukup lama dengan Varo kemarin malam, Alden akhirnya membulatkan tekadnya untuk mengikuti program study-exchange yang diadakan sekolah. Ia tak akan terlalu berharap terpilih mengingat nilai sekolahnya juga tak begitu baik. Namun setidaknya ia akan berusaha jadi ia tidak menyesal melewatkan kesempatan yang ada.

Usai memberikan formulir pada guru penanggung jawab, Alden tampak lega. Ia mulai memikirkan persiapan apa saja yang harus ia lakukan untuk mengikuti ujian seleksinya. Saat tengah berpikir seperti itu, ia dikejutkaan oleh Jia yang sedang memandangnya heran.

"Kenapa?" tanya Alden.

Jia tak menyahut. Ia mendekati Sekai yang sedang membaca buku biologi. Gadis itu berbisik. "Tuh, kan dia ngikutin aku lagi, Kai."

Alden bisa mendengar itu walau samar. Ia tak menghiraukan. Untuk saat ini mood-nya sedang kurang baik. Ia sedang tak ingin mengganggu Jia. Ia perlu berpikir tentang keseriusannya mengikuti seleksi. Memikirkan seberapa persen kemungkinan dirinya akan berhasil meraih kesempatan itu. Hanya akan ada dua orang yang menerima program study-exchange ini. Peluang bagi Alden sangat kecil. Mungkin ia harus meminta asisten ayahnya mencarikan guru les yang terbaik.

Jia diam-diam mengamati cowok itu. Ia hanya merasa sedikit aneh. Terlebih setelah itu, pada saat kelas berlangsung Alden tampak serius memperhatikan pelajaran. Lalu ia berpikir lagi. Sesekali menulis sesuatu di buku catatan dan berpikir. Ketika tatapan mereka bertemu, Alden hanya diam lalu kembali fokus. Aneh. Ada yang aneh dan Jia penasaran.

"Kamu...lagi ada masalah?" tanya Jia saat sekolah sudah berakhir. Sekai sedang mengembalikan buku ke perpustakaan bersama Tobi selaku piket hari ini.

Alden yang baru saja menyandang tas di bahunya menoleh. "Apa kamu mulai peduli?" ia tersenyum. Jia bergidik. Alden yang ia kenal tampaknya sudah kembali. Mungkin beberapa saat yang lalu jiwanya dicuri oleh alien. Jia sudah tak tertarik untuk mencari tahu. Dan ia tidak peduli pada Alden. Namun menegaskan itu pada dirinya malah membuatnya berpikir kalau barusan ia memang sedang peduli, tepatnya khawatir.

"Aku...emang senang di dekat kamu." Alden mengaku. Membuat Jia kaget dan hampir menjatuhkan tasnya ke lantai. Ia berdeham pelan. Ia merasa ucapan Alden membuat situasi mereka jadi aneh. Tapi hanya Jia yang merasa begitu. Alden tampak santai dengan kata-katanya.

"Tapi niatku ikut seleksi itu bukan karna aku pengen di dekat kamu."

Jia kaget. Berarti Alden mendengar apa yang ia bisikkan pada Sekai tadi.

"Kakakku kuliah di Tokyo, udah tiga tahun. Dan kami nggak pernah ketemu kecuali lewat chatting. Jadi aku mikir ini kesempatan untuk bisa ketemu sama dia."

Jia tak berkata. Ia sedang berpikir betapa seriusnya Alden menjalani sebuah hubungan pertemanan dengannya. Barusan Alden cerita tentang masalah pribadinya bukan? Alden serius kalau ia memberikan Jia kepercayaannya.

"Aku kangen Kak Varo. Kalo ada dia seenggaknya rumah nggak bakal kerasa sepi, kayak sekarang ini." Alden menghela napas.

"Kenapa kamu ikut seleksi itu?" pertanyaan Alden mengejutkan Jia. Ia tak pernah berpikir kalau ia akan mendapatkan pertanyaan seperti itu. Dan ia tak menyiapkan jawaban yang tepat.

"Kamu suka Jepang?"

Tidak juga. Dalam pikiran Jia, hal yang menarik dari Jepang adalah bunga sakura yang bermekaran. Dan itu tak cukup menjadi alasan untuk menyukai negara maju itu.

"Kamu pengen sekolah di luar negeri?"

Tidak juga. Satu hal yang merepotkan bagi Jia adalah mempelajari bahasa asing. Sekolah di luar negeri bukanlah tujuannya.

"Karna...Sekai?"

Jia terdiam semakin lama. Alden sudah menemukan jawaban lewat raut wajah gadis itu. Ia tersenyum kecil.

Ya, memang karena Sekai. Itulah alasannya. Jia selalu berpikir, apapun itu asalkan dia berada di sisi Sekai maka jalan hidupnya akan baik-baik saja. Apa yang lebih membahagiakan selain berada di samping orang yang disukai?

"Kamu beneran suka banget ya sama Sekai."

Jia merasa tak perlu menjawab. Lagipula Alden sudah tahu tentang itu lebih dari siapapun.

"Sebenarnya kenapa kamu bisa suka sama dia?" Alden selalu punya jenis pertanyaan yang tidak penting. Namun pertanyaan tak pentingnya kali ini justru membuat Jia berpikir. Kenapa ia bisa menyukai Sekai? Ah, benar. Apa alasan dirinya bisa menyukai Sekai?

***

"Sebenarnya kenapa kamu bisa suka sama dia?"

Jia cemberut di balik selimut yang membungkus tubuhnya. Seharian ini ia memikirkan pertanyaan itu dalam kepalanya. Rumahnya sepi seperti biasa. Bi Arisa sudah beristirahat karena lelah membersihkan rumah.

Jia turun dari kamarnya, menuju dapur untuk minum segelas air dingin. Kemudian ia duduk di ruang makan. Memandangi gelas yang masih berisi air.

Kenapa ia bisa menyukai Sekai?

Sekai memang menarik—dari segi penampilannya, tapi Jia tak pernah menjadikan itu sebagai alasan. Lalu apa yang ia sukai dari Sekai, sebenarnya.

Jia menopang dagunya, berubah cemas. Kalau Alden melihatnya begini, ia yakin cowok itu akan menertawakannya, menggodanya. Jia bisa membayangkan bagaimana suara tawa riang cowok itu.

Sekai. Dia baik. Teman pertama Jia, sahabatnya. Tempat kedua di mana ia merasa begitu nyaman setelah ayahnya. Apakah kebaikannya yang membuat Jia jatuh hati? Jia menghela napas gusar. Ia bersandar di kursi lalu cemberut. Apa ia perlu bertanya pada ayahnya tentang perasaannya ini? Ah, tidak. Itu terasa memalukan.

Jia mengetuk meja tanpa irama yang jelas. Pertanyaan Alden muncul lagi dalam benaknya. Lalu ia berpikir apakah seseorang butuh alasan akurat untuk menyukai orang lain? Tiba-tiba Jia ingin tahu mengapa ayahnya pernah mencintai ibunya? Apa alasannya? Apa karena wajah Rika Oriana itu cantik? Atau karena dia orang yang baik?

Sekali lagi gadis itu membuang napas. Ia merebahkan kepala di atas meja. Ketukan jarinya melambat lalu berhenti. Ia memandangi gelas.

Sekai.

Jia tidak pernah tahu sejak kapan perasaannya bermula. Ia pikir itu sejak Jia merasa betapa nyamannya dirinya di sisi Sekai hingga jadi sangat membutuhkannya. Cinta adalah kebutuhan. Jia pernah baca pernyataan itu di sebuah majalah. Manusia butuh cinta untuk melengkapi hidupnya. Ah, Jia rasa itulah alasannya.

Keesokan harinya Jia menahan langkah Alden menuju kelas. Cowok itu memasang wajah heran. Jia tampak serius memandangnya.

"Aku suka Sekai karna aku benar-benar nyaman sama dia. Sekai orang pertama yang ngajak aku berteman. Sekai adalah orang yang aku butuhin."

Alden tak mengira kalau Jia sangat memikirkan pertanyaannya kemarin. Ia tersenyum tipis. Sedikit kesal karena gadis yang ia sukai malah mengaku ia menyukai orang lain. Jadi begini rasanya patah hati?

"Kita nggak perlu alasan akurat kenapa bisa suka sama orang lain. Cinta itu lahirnya dari hati. Bukan dari sini." Alden mengetuk pelan kepala Jia kemudian berlalu. Setelah itu Alden sadar jantungnya berdebar kencang usai mengatakan hal itu. Tentang kalimat yang baru ia katakan, Alden pernah membacanya di buku saat ia merasa berdebar-debar memikirkan Jia.

Jia menoleh ke arah Alden yang sudah duduk di kursi mereka. Cowok itu menyembunyikan wajahnya ke meja. Jia tak tahu kalau cowok itu tengah menyembunyikan wajah malunya.

Jia menghela napas. Lalu berniat menaruh tasnya. Namun dari belakang Kinal tanpa sengaja menabraknya. Buku cetak yang dibawa Kinal jatuh ke lantai. Jia dengan cepat memungutnya. Ia kaget ketika menemukan formulir study-exchange. Ia memandang Kinal heran.

"Kamu...juga mau ikut seleksinya?"

Saat itu Sekai baru tiba di kelas dan melihat keduanya. Kinal tak menyahut. Ia mengambil kembali buku cetaknya beserta formulir itu. Sekai mengikuti gerakan Kinal sampai di meja mereka.

Sementara Jia, ia mengawasi keduanya. Cara Sekai melihat Kinal, itu sedikit berbeda dengan caranya memandang Jia. Gadis itu mulai merasakan kekhawatirannya terbukti benar.

***

"Aku nggak ngira kalo kamu ikutan seleksi juga." Sekai berkata di sela-sela kesibukannya menyusun buku di perpustakaan. Ia melirik Kinal yang sibuk di salah satu rak. Melakukan hal yang sama. Keduanya mendapat tugas untuk mengembalikan buku panduan ke perpustakaan.

"Aku penasaran kenapa kamu ikut."

Kinal tanpa mengalihkan pandangan dari tumpukan buku di tangannya, menyahut, "nggak semua hal yang bikin kamu penasaran harus dapat jawaban."

"Kamu mulai lagi." Sekai tertawa. Pekerjaannya sudah selesai. Ia mendekati Kinal untuk membantunya. Gadis itu tak menolak namun tak tampak senang juga.

"Aku gabung sama kalian bukan untuk ngebiarin kalian tau masalahku." Ucap Kinal. Sekai tak suka dengan jenis ucapan Kinal yang agak kasar. Ia tertawa hambar.

"Tapi aku ngajak kamu temenan untuk saling berbagi masalah satu sama lain."

Kinal balas tertawa kesal. "Aku nggak mikir kayak gitu." Ia menyusun buku terakhirnya. Selesai. Ia akan pergi namun sebelumnya ia berkata, "jangan terlalu baik. Orang lain bisa aja salah paham sama kebaikanmu."

Sekai tak mengerti mengapa Kinal mengatakan hal itu.

"Jangan bilang kamu nggak tahu sesuatu."

Ia semakin tak mengerti.

"Dan satu lagi. Aku benci orang baik." Lalu Kinal benar-benar pergi.

***

"Sekai?"

Sekai tersentak dari lamunannya. Jia yang berjalan di sebelahnya tampak bingung. Sejak tadi ia mengoceh tentang seleksi study-exchange yang akan mereka ikuti dua bulan lagi. Namun Sekai larut begitu lama dalam lamunannya.

"Ngelamunin apa sih?"

Sekai tertawa pelan. "Yang pastinya bukan kamu."

Jia memukul pelan bahu Sekai. Cowok itu tertawa lagi. Jia cemberut.

"Aku lagi mikirin Kinal, Zee."

Jia tersentak. Sekai terlalu jujur mengatakannya. Tak sadar kalau itu membuat Jia berpikir keras.

"Kinal kenapa?"

"Dia bener-bener susah dimengerti. Aku frustasi ngadepin dia, kadang-kadang." Sekai menghela napas.

"Emangnya ada gitu yang maksa kamu buat ngadepin dia. Kamu sendiri yang pernah bilang, berteman itu nggak pake paksaan."

Sekai tertawa. Entahlah, ia merasa ada pengecualian ketika melihat Kinal. Apakah ini normal? Ia tak tahu.

Jia ingin bertanya, tapi ia ragu. Ah, ia harus menanyakannya supaya rasa cemasnya hilang.

"Jangan-jangan...kamu..."

Sekai menoleh sebelum Jia menuntaskan kalimatnya.

"Kamu suka Kinal ya?"

Sekai kaget. Pertama kalinya caranya terkejut terasa berbeda. Sekai merasakan jantungnya berdentam kuat. Seperti menubruk sesuatu yang sangat keras.

"Eh?" reaksi Sekai terlihat seperti orang bodoh. Jia malah kian cemas setelah bertanya. Sepertinya kekhawatirannya sudah terbukti. Sekai memang punya ketertarikan lain pada Kinal. Ia menyukai gadis itu. Kalau tidak untuk apa Sekai bertahan? Berusaha mencari-cari sesuatu dalam diri Kinal.

"Kamu mikirnya kayak gitu, Zee?" Sekai malah bertanya, seperti membutuhkan pembenaran.

"Siapapun mungkin bakal mikir kayak gitu, Kai. Nggak ada alasan lain untuk cowok kenapa mereka merhatiin cewek kalo bukan karna mereka suka."

Sekai tertawa lalu mengacak rambut Jia. "Kamu dari mana dapat kata-kata kayak gitu."

Entahlah, mungkin Jia pernah membacanya di salah satu artikel majalah. Atau mendengarnya dari acara di televisi.

"Aku rasa aku cuma peduli, sama Kinal."

"Peduli juga awal dari perasaan suka, Kai. Terlalu polos kalo kamu nggak tau itu."

Sekai mengubah tawanya menjadi senyuman tipis. Ia memikirkan ucapan sahabatnya barusan. Dan ia tak punya ide untuk menyangkalnya. Jadi, kepeduliannya ini juga bentuk rasa suka pada Kinal? Kenapa ia tak sadar akan perasaannya sendiri?

Jia memandang lama ke arah Sekai—yang kembali larut dalam lamunan.

Baiklah. Situasi yang ia takutkan memang sudah tiba. Saat di mana sahabatnya, Sekai, menyukai gadis lain. Sayangnya Jia tak pernah mempersiapkan diri untuk menghadapi situasi seperti ini.

***

Continue Reading

You'll Also Like

3.4M 278K 62
⚠️ BL Karena saking nakal, urakan, bandel, susah diatur, bangornya Sepa Abimanyu, ngebuat emaknya udah gak tahan lagi. Akhirnya dia di masukin ke sek...
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

1.7M 55.6K 25
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
2.6M 139K 62
"Walaupun وَاَخْبَرُوا بِاسْنَيْنِ اَوْبِاَكْثَرَ عَنْ وَاحِدِ Ulama' nahwu mempperbolehkan mubtada' satu mempunyai dua khobar bahkan lebih, Tapi aku...
289K 17.1K 36
JANGAN LUPA FOLLOW... *** *Gue gak seikhlas itu, Gue cuma belajar menerima sesuatu yang gak bisa gue ubah* Ini gue, Antariksa Putra Clovis. Pemimpin...