Supranatural High School [ En...

By rainsy

2.6K 91 35

Mereka berpikir, aku gila. Aku selalu diasingkan. Bahkan orangtuaku sendiri pun sampai pernah mengirimku ke R... More

Kertas Selebaran
Teror (1)
TEROR (2)
Malam Satu Suro (1)
Malam Satu Suro (2)
Selamat Berjuang
Ujian Masuk
Peraturan Sekolah
Dia Telah Kembali
Topeng yang Terlepas
Kisah Lampau
Kutukan Sedarah
Gerhana Bulan
Hari yang Baru
Pelatihan
Museum yang Terabaikan (Noni Belanda)
Museum yang Terabaikan (Penjajah)
Bangkitnya Cay Lan Gong
Kesurupan Massal
Ritual
Rajah
Makanan Sesaji
Segel Pentagram
Gerbang Gaib
Gending Jawa
Dedemit
Arthur Samuel (Khodam)
Baron Bagaskara
Dylan Mahardika
Ernest Prasetyo
Ziarah
Welthok
Kelas Utara
Timur & Barat
Kelas Selatan
Helga Maheswari
Santet
Timbal Balik
Jenglot
Kuncoro
Umpan
Hira
Kuntilanak Merah
Taktik Licik
Penyelamatan
Jerat
Lolos
Membunuh atau Dibunuh
Tugu
Mata Batin

Pintu Rahasia

85 5 0
By rainsy

Saat ini tepat 50 Cm di depan Helga, dua buah cahaya merah tengah bersembunyi di balik semak belukar yang sebagian daunnya telah mengering. Dengan napas tersengal, Helga yang memang secara sengaja mengejar sosok misterius itu, melontarkan pertanyaan. "Siapa kamu? Bagaimana bisa kamu tahu namaku?" Helga menyipitkan matanya tajam ke arah rimbunnya semak yang terus memancarkan cahaya merah. Geraman mengerikan yang tiba-tiba saja terdengar, membuat Helga dengan sigap mengarahkan sinar senternya ke arah depan.

"Keluarlah! Dan katakan saja padaku langsung, apa tujuanmu memanggilku ke tempat ini!" Helga yang mulai kehabisan kesabaran, meninggikan nada bicaranya. Memaksa makhluk itu agar mau keluar dari tempat persembunyiannya. "Aku tahu, kamu ... bukan manusia. Jadi untuk apa kamu tetap bersembunyi di sana? Atau jangan-jangan ... kamu, takut denganku?"

Setelah mendengar nada sombong yang terselip dalam kalimat terakhir yang Helga ucapkan tadi, sang makhluk misterius itu pun terpancing untuk menunjukkan dirinya.

Tubuh Helga mulai limbung, dengan satu persatu kakinya yang gemetaran itu perlahan melangkah mundur. Karena berkat senternya, kini Helga dapat mengetahui dengan jelas makhluk astral seperti apa yang tengah berhadapan dengannya. Sebenarnya, saat ini nyali Helga untuk tetap mempertahankan keberaniannya mulai menyusut. Namun, mengingat ucapan Devian beberapa waktu lalu yang menyuruhnya agar tidak takut pada makhluk astral macam apa pun, membuat Helga kembali memiliki keyakinan, kalau manusia adalah makhluk yang paling tinggi derajatnya di muka bumi ini.

Wujud makhluk astral yang melayang tanpa tubuh di hadapannya itu membuat Helga meringis jijik, terlebih lagi setelah melihat usus dan organ dalam lainnya, menitikkan cairan merah yang berjatuhan ke tanah.

"Jadi, kamu sungguh-sungguh ingin tahu alasan kenapa aku mengundangmu kemari, Anak Manis? Tujuan utamaku membuatmu terpisah dari teman-temanmu itu adalah supaya aku, dapat dengan mudah memangsamu!" Hantu wanita itu membuka mulutnya lebar. Menunjukkan taring tajamnya yang dipenuhi lendir warna merah hati. Melihat makhluk itu terbang cepat ke arahnya, Helga pun memutar haluan untuk berlari menghindar.

"Kenapa? Kenapa sekarang kau berlari menghindar?! Di mana keberanianmu yang justru menantangku tadi?! Manusia. Benar-benar makhluk rendahan yang sangat munafik!!"

Meski diejek seperti itu, Helga yang masih memiliki keinginan besar untuk hidup, tetap mengayunkan tungkainya bergantian dengan cepat. Sedangkan kunyang yang mengejar di belakangnya semakin bersemangat saja untuk menyerang dan menancapkan taring tajamnya di leher Helga.

Alih-alih meminta tolong, Helga malah berusaha menyelamatkan dirinya dengan cara bersembunyi dari makhluk malam itu. Degup jantung Helga yang masih membuat dadanya naik turun, berusaha gadis itu netralkan, kala mendengar suara kunyang kembali memanggilnya. Helga yang tengah bersembunyi di balik batu besar itu membungkam rapat mulutnya sendiri menggunakan tangan, saat makhluk merah itu terbang melintas di sampingnya.

Tangannya yang gemetaran, juga air mata yang mulai membasahi wajah Jepangnya itu, menandakan betapa ketakutannya Helga saat ini.

Tak lagi melihat ataupun mendengar suara sang kunyang, Helga memutuskan untuk keluar dari persembunyiannya. Namun, baru beberapa langkah ia merangkak keluar dari bebatuan itu, entah dari mana asalnya sang kunyang sudah lebih dulu menghadang Helga.

Wajah mereka kini saling berhadapan, mata cokelat milik Helga pun bertemu pandang dengan mata tajam hantu wanita itu. Keringat dingin mulai mengucur deras di dahi dan leher Helga, saat sang kunyang mulai mengendus. "Aroma ini, sangat manis sekali. Aku rasa, selain darahmu yang sangat menggoda. Dagingmu pun pasti sangatlah lezat. Bisakah... aku memulai pestaku, gadis kecil? Tenanglah, kau tak perlu takut. Karena aku, akan merobek dan mencabik kulit mulusmu itu dengan sangat hati-hati."

Bulu kuduk Helga dibuat meremang saat sang kunyang mengatakan itu. Tak mau dirinya mati dengan sia-sia di tempat itu, Helga yang menemukan sebuah ranting di dekat tubuhnya yang setengah terbaring di tanah itu, langsung menggunakannya untuk menyerang makhluk mengerikan di depannya.

"AAARGH!!" Sang kunyang memekik kencang, kala ujung ranting yang Helga ayunkan berhasil melukai matanya. Geram karena mangsanya berani melawan, sang kunyang pun murka. Menunjukkan kebringasannya dengan membabi buta mengejar Helga; yang sudah kembali melarikan diri.

"Tolong! Tolong aku!!!" Teriakan meminta tolong itu baru terucap ketika Helga mulai kehilangan tenaganya untuk tetap terus berlari dengan kunyang yang terbang tepat di atas kepalanya. Lutut Helga yang mulai ngilu, memaksa gadis itu untuk menyerah. Helga jatuh terkulai di tanah, sedangkan hantu wanita di atas sana, kembali menunjukan seringainya. Merasa itu adalah kesempatan emas untuknya menerkam buruannya, sang kunyang langsung melesat turun untuk menyerang Helga.

Jarak sepesekian detik makhluk itu akan berhasil mencabik leher Helga, sebuah suara yang meneriakkan nama 'Banas Pati Geni' menjadi penghalang sang kunyang untuk menikmati dengan tenang makan malamnya. Sebuah bola api yang menyala terang, tiba-tiba saja menabrak tubuh kunyang hingga membuatnya terpelanting ke tanah.

"Hei! Lo, gak apa-apa kan? Ayo, kita harus pergi dari tempat ini." Aiden yang entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja sudah merangkul bahu Helga dan membantu gadis itu untuk bangkit berdiri. "Lo, masih bisa jalan 'kan? Kita harus cepat sampai ke SHS sebelum lo bener-bener jadi menu makanan makhluk buas itu." Kini, Aiden memapah tubuh mungil Helga untuk dibawanya pergi menjauh dari sang kunyang.

Sembari mengimbangi langkah lebar pemuda di sampingnya, Helga terus saja mengamati wajah Aiden yang ia rasa sudah tak asing lagi. Begitu mendapatkan ingatannya kembali akan peristiwa kecelakaan pemilik pesugihan beberapa waktu yang lalu, barulah gadis itu menghentikan pergerakan kakinya.

"Kenapa berhenti? Ayo, kita harus tetep lari sejauh yang kita bisa. Karena Banas Pati Geni peliharaan gue, bisa aja dikalahkan oleh kunyang buas yang kelaparan itu," ajak Aiden meraih jemari lentik Helga. Namun gadis itu malah menghempaskan tangan Aiden, membuat pemuda berwajah tegas itu menautkan kedua alisnya heran.

"Katakan dulu padaku, alasan kenapa makhluk itu mengejarku, dan kenapa kamu bisa ada di tempat ini?" tanya Helga dengan tatapan mengintimidasinya.

Aiden tersenyum miring, lalu berkata bahwa sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk menjawab pertanyaan itu. Alih-alih mengerti maksud dari apa yang Aiden ucapkan, Helga yang merasa dirinya telah dijebak oleh Aiden ke tempat berbahaya itu, malah berteriak meminta penjelasan.

Mendengar teriakan Helga, sang kunyang yang tengah bertarung dengan bola api yang memiliki bentuk seperti kepala manusia itu, langsung melesat terbang meninggalkan lawannya, Geni; Makhluk astral jenis api yang juga terkenal beringas itu, ikut melesat mengejar kunyang yang diperintahkan oleh tuannya untuk ia bunuh.

Rupanya, makhluk penyuka darah itu mendatangi tempat di mana Helga berada.

Merasa ada hal buruk yang akan terjadi, Aiden pun menarik paksa lengan Helga untuk diajaknya berlari lagi. Sembari mencari tempat teraman untuk mereka bersembunyi, Aiden menjelaskan bahwa aroma manis dari darah dan daging Helga sangatlah menggoda makhluk astral manapun. Jika Aiden yang akan kembali ke sekolahnya tidak segera menemukan Helga tadi, mungkin saja gadis itu sudah tidak bernyawa sekarang.

"Tunggu. Kembali ke sekolah? Apa ... sekolah yang kamu maksud itu ...."

"Ya. Gue salah satu murid di SHS. Sekolah yang sama dengan sekolah yang pengen lo tuju," terang Aiden yang tengah menapaki jalan perbukitan dengan jemari Helga yang di genggamnya kuat. "Ah! Itu dia tempat yang cocok untik kita bersembunyi. Ayo! Ikut gue." Aiden menunjuk sebuah goa kecil yang ada di atas bukit sana, lantas membimbing Helga agar mau ikut bersamanya masuk ke dalam gua tersebut.

Kilatan petir yang seolah membelah langit gelap di luar gua, membuat Helga yang tengah duduk memeluk lututnya itu, memejamkan matanya kuat. Ini kali pertama Helga berpetualang, dan petualangannya ini malah membuat nyawanya terancam. Jika sudah begini, haruskah Helga kembali ke rumahnya dan membiarkan orangtuanya mengirim gadis itu ke luar negri atau ke rumah sakit jiwa lagi?

"Gak! Lo harus tetep di sini. Mantepin hati lo buat sekolah di tempat ini. Karena setiap undangan yang Master sebar, itu ... memiliki takdir yang juga bisa mengubah hidup lo."

Bak mendengar semua risau di hatinya, Helga dibuat tercengang dengan kalimat yang baru saja Aiden katakan. Belum sempat Helga menanyakan apakah Aiden memiliki kemampuan dapat membaca pikiran orang lain seperti layaknya Devian, suara geraman sudah lebih dulu terdengar memenuhi gua. Dengan bermodalkan pencahayaan seadanya dari satu senter yang Helga bawa, Aiden yang sudah kembali waspada menyoroti setiap sudut gua persembunyiannya itu dengan sangat hati-hati. Sedangkan Helga yang kembali merasa takut, memilih untuk bersembunyi di balik punggung lebar Aiden.

"Gak ada apa-apa kok. Mungkin suara itu cuma halu dari kepala kita doang kali ya? Yuk, duduk lagi."

Belum sempat Aiden meluruskan kakinya di tanah, kilatan halilintar yang kembali muncul di luar sana, membuat pemuda itu mampu melihat keadaan dalam gua secara keseluruhan, meski hanya beberapa detik saja. Merasa ada sesuatu hal yang ganjil dari tempat itu; karena terdapat banyak tulang belulang dan remahan daging yang bertebaran di mana-mana. Aiden mengisyaratkan pada Helga untuk segera pergi dari gua yang merupakan rumah dari sang kunyang itu. Baru saja kepala Aiden menyumbul keluar gua. Sebuah serangan dari kunyang yang memang sejak tadi mencari keberadaannya. Membuat pemuda itu sedikit terkejut.

Melihat tuannya berusaha keras menjauhkan kunyang dari gadis yang bersembunyi di punggungnya, bola api yang baru saja datang itu, langsung menyerbu lawannya. Dengan api yang berkobar di tubuhnya, Geni berusaha membakar kunyang itu dengan membabi buta. Helga yang menyaksikan pertarungan sengit antara makhluk yang sama-sama dikenal penyuka darah itu, meremas jaket yang membalut pinggang Aiden kuat. Gadis itu meringis ngeri, saat pada serangan terakhirnya, Geni berhasil membuat kunyang itu hangus menjadi abu.

Mendengar jerit kesakitan dari kunyang sebelum meregang nyawa, segerombol kepala terbang dengan organ dalam yang menggantung di bawahnya, datang dari langit bagian Timur.

Satu kaki Aiden bergeser mundur, melihat betapa banyaknya teman kunyang yang telah dibunuh oleh peliharaannya itu, datang untuk membalas dendam atas kematian salah satu anggota kelompoknya tersebut. Sedetik beradu pandang dengan makhluk api peliharaannya, Aiden lantas menangguk mantap. Kemudian melanjutkan larinya bersama Helga.

"Kita gak akan mungkin berhasil. Makhluk itu, sebagian dari makhluk itu juga mengejar kita, Kak!" Melihat Helga sudah pasrah, Aiden yang tengah berisitirahat sejenak mengambil napas itu, menoleh ke belakang. Ia mengumpat kesal, kala melihat segerombol kunyang sudah sangat dekat dengan mereka. Keringat yang membuat rambut jabriknya basah itu, jatuh membentur tanah di bawah kaki Aiden yang tengah membungkukkan tubuhnya.

"Gak. Kita gak boleh nyerah sampe sini. Kita pasti bisa ngalahin mereka."

"Caranya?"

Aiden menarik satu sudut bibirnya ke atas, mengambil sebuah ranting kering dari pohon di dekatnya yang telah mati, kemudian memutar tubuhnya menghadap Helga. "Lo, masih pengen hidup 'kan?"

Helga mengangguk cepat.

"Kalo gitu, julurin lengan lo sekarang."

Meski ragu dengan intruksi yang Aiden berikan, Helga tetap mengikuti perintah itu dengan menjulurkan tangan kirinya.

SRETT

Belum sempat Helga bertanya untuk apa ia harus menjulurkan tangannya. Ia sudah lebih dulu dibuat mengaduh. Karena Aiden baru saja menyayat lengan Helga dengan ranting di tangannya. "Berbagi itu indah. Dengan lo nyumbangin dikit darah lo buat mereka, kita ... pasti akan selamat," ucapnya mengumpulkan darah yang menetes dari luka di lengan Helga menggunakan sapu tangannya.

Setelah dirasa cukup, Aiden memungut sebuah batu berukuran sedang di bawah kakinya, membungkusnya dengan sapu tangan yang tadi terdapat darah Helga, lalu dilemparnya ke arah para kunyang yang mengejar mereka.

"Kalian lapar? Kalau begitu, nikmatilah makan malam terakhir kalian!" seru Aiden menangkap dan meremas sedikit lengan Helga yang tersayat itu lantas ditariknya untuk kembali belari.

Melihat batu yang Aiden lempar jatuh ke lantai hutan, gerombolan kunyang yang memang terkenal dengan indera penciuman mereka yang sangat tajam, langsung melesat ke bawah. Saling berebutan darah Helga pada sapu tangan itu.

Aiden yang sempat menoleh ke belakang, tersenyum menyeringai. Lantas berucap sangat lirih, "Lakuin tugas terakhir lo sekarang, Geni."

Setelah mengucapkan hal itu, pohon di dekat tempat di mana batu dan sapu tangan itu terjatuh tiba-tiba saja terbakar. Awalnya hanya satu pohon namun beberapa detik berselang, pohon yang mengelilingi gerombolan kunyang itu juga ikut terbakar semua. Membuat para kunyang yang terkurung di dalamnya kembali berteriak kesakitan.

Mendengar jeritan itu dan api yang membumbung tinggi di belakangnya, Helga melempar tatapan tajamnya ke arah Aiden yang tengah tersenyum menjilati telapak tangannya yang masih terdapat bercak darah milik Helga.

"Darah yang manis. Pantes aja mereka ngejar lo mati-matian," seloroh pemuda itu membuat Helga mengerutkan dahinya. Lantas mengulurkan lengannya yang terluka itu tepat di depan wajah Aiden.

"Apa ini?"

"Kamu ... juga sama kayak mereka, kan? Kamu juga bukan manusia. Kamu juga makhluk astral yang lagi pura-pura jadi pahlawan padahal aslinya, kamu ... serigala berbulu domba."

Aiden tertegun sesaat, dengan bola matanya yang menatap lekat ke arah manik mata Helga yang berair. Kemudian menurunkan lengan gadis itu. "Hei, lo salah paham. Gue manusia kok. Nih buktinya, kaki gue napak tanah," Aiden menurunkan pandangannya ke bawah. Memperlihatkan sepasang kakinya yang ia hentak-hentakkan ke tanah. Melempar senyum ke arah Helga kilas, lalu kembali memasang wajah serius. "Cuma ... karena gue terlalu lama bergaul sama bangsa mereka, gue jadi sering nyicipin berbagai jenis makanan yang mereka makan. Ah! Udahlah. Ngapain sih ngomongin itu? Ayo, sebentar lagi kita sampai. Pintu gerbangnya ada di balik pohon besar itu," sambung Aiden dengan satu jarinya yang menunjuk ke arah Selatan.

©Rainsy™

Dylan yang baru saja membuka pintu gerbang besi di depannya, terbelalak kaget. Kala melihat pemakaman kuno yang tak terurus, kini menjadi satu-satunya pemandangan yang dapat ia lihat. "Kuburan?" Tas ransel yang sejak tadi memeluk punggungnya, Dylan jatuhkan ke tanah karena syok.

"Sial! Apa-apaan ini? Apa gue bener-bener dikerjain sama bocah panda itu? Atau jangan-jangan ... dia sengaja nyuruh gue sama temen-temen gue ke sini, cuma buat dijadiin tumbal yang bakal dimakamin di sini juga? DEVIAAANN!!! Awas lo ya!!"

Setelah puas melampiaskan amarahnya dengan cara berteriak dan memaki Devian yang dianggap Dylan telah menipunya, pemuda itu jadi teringat akan nasib teman-temannya yang lain. Di dalam hutan sana, apakah mereka selamat?

Dylan meraih kembali tas ransel yang ia jatuhkan. Kemudian bergerak kembali menuju pintu gerbang yang baru dilewatinya. Niatan Dylan yang ingin mencari keberadaan empat temannya yang lain, terurungkan. Kala pintu gerbang yang tadi terbuka sedikit itu, tiba-tiba saja tertutup rapat. Dylan yang berusaha untuk membukanya pun kesulitan. Padahal pintu gerbang itu tidak dikunci, tapi kenapa rasanya ... pintu gerbang itu seakan di gembok ya?

"Wooy!!! Siapa pun lo, tolong bukain pintunya! Bebasin gue dari sini!!! Gue pengen nyari temen-temen gue!!" Dylan berteriak seperti orang gila dengan kedua tangannya yang meremas kuat jeruji pada pagar besi tersebut.

Di bagian lain pemakaman kuno yang dipenuhi banyak patung manusia bersayap itu, Baron dan Ernest tengah menyusuri jalan setapak menuju ke tengah makam tanpa melepaskan rangkulan di bahu mereka. Raga yang melangkah di depan mereka membuang napasnya panjang, setelah telinganya mulai bosan mendengar ocehan kedua sahabat yang terus mengatakan hal yang tidak-tidak akan tempat itu.

"Hei! Bisa diem gak sih itu mulut?!" sentak Raga menghentikan tangkahnya. Baron dan Ernest menjingkat kaget dengan tingginya nada bicara Raga. "Kalian cowok apa cewek sih? Itu mulut nyerocos mulu dari tadi."

"Ya elaah ... Ini refleks kita kali, Kak. Kalo lagi takut," jawab Ernest yang ditimpali anggukan kepala oleh Baron.

"Maghrib-maghrib ke kuburan kuno kayak gini, sebagai manusia normal ... tentu gue takut. Lagian, pintu rahasia yang kayak gimana sih yang Kak Raga cari di tempat seserem ini?" imbuh Baron membuat Raga mendengus kesal.

"Jadi secara gak langsung, lo ngatain gue manusia yang gak normal, gitu?" Raga berkecak pinggang. "Eh, asal kalian tau aja ya. Pintu rahasia itu, adalah satu-satunya pintu masuk buat pergi ke SHS. Kalo kalian udah resmi jadi siswa di SHS. Kalian tiap harinya bakal ngelewatin jalan ini. Niat gak sih lo sebenernya buat pegi ke SHS? Kalo gak niat, mending sekarang kalian pergi gih sana!" usir Raga galak. Melihat Raga kembali meneruskan langkahnya tanpa memerdulikan keberadaan mereka yang ada di belakangnya, Ernest dan Baron yang tak ingin perjuangannya pergi ke SHS sia-sia pun memutuskan untuk menyusul Raga.

Jika saja tidak berhenti tepat pada waktunya, Baron dan Ernest yang saling berebutan mengejar Raga, hampir saja menabrak tubuh kakak seniornya yang secara mendadak kembali menghentikan langkahnya itu.

"Kak, kenapa berhenti di sini?" tanya Ernest melihat Raga terus memandangi sebuah makam paling besar yang berada di tengah pekuburan kuno itu.

"Kak, katanya lagi nyari pintu. Mana pintu rahasianya?" imbuh Baron yang langsung dijawab dengan pergerakan tangan Raga yang menunjuk ke arah makam di depannya.

"Ini. Ini pintu rahasianya." Raga membuka tutup makam yang lebih mirip seperti peti harta karun besar itu, lantas melompat masuk ke dalamnya. "Ayo, buruan masuk!" lanjutnya kemudian, mengajak Baron dan Ernest yang masih mematung di luar makam untuk ikut bersamanya.

"Yee ... kenapa malah diem? Buruan masuk! Ini bukan kuburan atau peti mati kok. Anggap aja ini lift. Jalan pintas biar kita cepet nyampe di SHS."

Ernest menggaruk tengkuknya bingung. "Tapi ini dijamin keamanannya 'kan ya, Kak?" tanyanya memastikan.

Raga mendesis. "Ya iya, buruan masuk! Gue tinggalin juga nih, dasar Duo Curut!" maki Raga yang sudah bersiap menutup pintu rahasia tersebut. Sebelum makam itu tertutup rapat, Ernest dan Baron memberanikan diri untuk ikut masuk ke dalam makam yang gelap nan sempit itu.

Selang beberapa saat setelah makam itu menelan Baron, Ernest dan Raga. Arthur dan Rucita yang baru datang dari arah Timur juga mengikuti jejak mereka. Dylan yang masih menjelajahi pekuburan kuno yang telah memenjarakannya itu langsung berlari ke tengah makam, sedetik sebelum tubuh Arthur yang dilihatnya, melompat masuk ke dalam makam bersama seorang gadis. "Arthur!!" Teriakan Dylan yang bermaksud untuk mencegah temannya masuk ke dalam makam itu, terlambat sudah. Karena begitu Dylan telah sampai di sana, makam tersebut sudah kembali tertutup rapat. Kesal karena dirinya telah gagal mencegah tindakan Arthur yang bisa saja akan ia sesali suatu saat nanti, membuatnya memukul keras bagian atas makam. Sadar bahwa permukaan makam yang dipukulnya memantulkan suara, Dylan pun segera memeriksa makam yang rupanya terbuat dari tembaga itu. "Gue harus nyelametin Arthur." Dylan membulatkan tekadnya untuk masuk ke dalam makam, setelah sebelumnya ia berhasil membuka bagian atas makam. Bertepatan dengan tubuh Dylan yang sepenuhnya telah masuk ke dalam makam, permukaan makam yang saat ini berada di atas kepala Dylan, tiba-tiba saja tertutup. Bahkan, Dylan yang berusaha keras untuk membukanya kembali menggunakan seluruh tenagannya pun gagal.

"Gimana ini? Kenapa susah banget dibukanya?" Dylan menggedor-gedor atap di atas kepalanya dengan terus berteriak meminta tolong. Berharap ada seseorang di luar sana yang bersedia membebaskannya.

Gelap. Ruang sempit yang Dylan tempati, benar-benar gelap. Bahkan, saking gelapnya Dylan harus sampai menggunakan kedua tangannya yang merambat pada dinding untuk memeriksa seperti apa ruangan sempit itu. Dylan yang terpuruk, semakin kesulitan untuk menghirup oksigen di sekitarnya yang kian menipis. Dylan semakin cemas kala menyadari ruangan kecil itu tidak memiliki jendela ataupun pintu.

Dylan benar-benar terjebak. Tak ada yang dapat pemuda itu lakukan sekarang, selain pasrah menunggu ajalnya. Di tengah kemelut yang menghantui pikirannya, Dylan dikejutkan dengan bergeraknya ruangan sempit yang ia tempati.

"Ada apa ini? Apa ada gempa?" Dylan semakin keras memukul-mukul dinding di depannya. Aktivitasnya baru berhenti setelah pergerakan ruangan sempit itu juga berhenti. Begitu dinding di depannya terbuka, Dylan pun bergegas keluar.

Merentangkan kedua tangannya lebar sembari menghirup dalam udara segar di tempat yang baru ia datangi. "Gue bebas! Akhirnya gue bebas sekarang!!" teriaknya bahagia.

Arthur, Baron dan Ernest yang tengah merayakan pertemuan mereka kembali setelah berpencar di hutan, melepaskan rangkulan yang mengikat tubuh mereka. Kala indra pendengaran mereka menangkap suara yang sangat dikenalnya.

"Dylan?" Arthur berucap lirih, binar di matanya menunjukan betapa terharunya ia, karena Tuhan masih melindungi empat sekawan itu. Melihat Dylan masih merentangkan tangannya, Ernest dan Baron langsung menghambur untuk memeluknya.

"Kita semua berhasil, Dy! Kita berhasil sampai di SHS Dy!" ucap Baron dengan antusiasnya menunjuk ke arah bangunan besar dengan desain kuno yang berjarak tiga meter di hadapan mereka.

"Ja-jadi ... gedung ini, Supranatural High School?"

Ernest dan Arthur mengangguk mantap. Setelah diyakinkan oleh ketiga temannya bahwa apa yang Dylan lihat saat ini bukanlah sebuah mimpi, satu garis lengkung pun mulai terukir di wajah pemuda itu.

"Kita berhasil? Wohoo!! Kita berhasil!" Dylan melompat girang, lantas merangkul kembali ketiga temannya.

Rucita yang sedari tadi menyaksikan tingkah konyol empat sekawan itu, menghela napasnya panjang. "Dasar anak kecil!" umpatnya mengurut kening.

Raga yang berdiri di samping gadis bule itu, terkikik geli melihat ekspresi tidak suka dari teman seangkatannya itu. "Biarin aja kenapa, mereka itu cuma lagi pengen ngerayain kemenangan kecil mereka aja. Harusnya lo tahu dong, kalau cowok emang suka gila pas kumpul sama temen deketnya," tukasnya berusaha merangkul Rucita, namun sebelum Raga mendaratkan tangannya pada bahu itu, Rucita sudah lebih dulu menangkis pergerakan tangannya.

"Eh, tunggu dulu. Di mana Helga? Perasaan dari tadi gue gak lihat dia, apa dia udah nyampe sebelum kita dateng?" pertanyaan yang secara spontan Dylan ajukan, membuat senyum di wajah Arthur, Baron dan Ernest jadi menyusut.

Benar juga. Bukannya mereka masuk ke hutan Wanagama berlima? Jika saat sampai di SHS hanya ada mereka berempat. Lalu di mana Helga? Apakah dia baik-baik saja?

"Di mana Helga? Apa di antara kalian bertiga tidak ada yang melihat dia?" ulang pemuda itu kembali bertanya, dengan kedua bola matanya yang terus bergerak meminta penjelasan pada ketiga temannya.

TING!!

Pintu ruang sempit yang ternyata merupakan sebuah lift itu, kembali terbuka. Menampakan dua pasang kaki yang melangkah seirama keluar dari sana.

"Jangan khawatir. Berkat gue, Bidadari kalian ini ... bisa selamat," ucap Aiden dengan satu tangannya yang memeluk bahu Helga.

Rucita dan Raga yang melihat kedatangan Aiden bersama murid baru yang satu lengannya diikat oleh sebuah kain robekan dari kemeja yang Aiden kenakan, membuat mereka mengerutkan dahinya. "Aiden??!" panggil Rucita dan Raga bersamaan.

"Oh, hai! Kalian udah sampe juga di sini?" sapa Aiden melambaikan tangannya kilas.

"Helga? Lo, lo baik-baik aja, kan?" Dylan yang memang sangat mencemaskan keadaan Helga langsung mendatanginya, dan menggenggam kedua lengan Helga.

Gadis itu menjawab dengan sebuah anggukan yang kemudian disambut oleh dekapan hangat dari Dylan singkat. "Syukurlah kalo gitu, sekarang ... kita semua bisa merayakan keberhasilan kita yang udah bisa sampai di SHS!" Dylan kembali memeluk Helga namun kali ini, Arthur, Baron dan Ernest tak tinggal diam. Mereka bertiga juga ikut memeluk tubuh mungil Helga dari empat penjuru arah untuk meluapkan kelegaan mereka yang telah selamat dari para makhluk astral penghuni Wanagama.

Suara tepuk tangan yang berasal dari dalam gedung bercat putih yang menjulang tinggi itu, memaksa kelima murid baru SHS yang tengah merayakan keberhasilan mereka, melepas rangkulannya. Arthur, Baron, Dylan, Ernest dan juga Helga mengernyit bingung setelah melihat kakak-kakak kelas mereka yang posisinya berseberangan dengan mereka, sudah membungkukkan tubuhnya dalam.

"Selamat datang di Supranatural High School, Pentagram Emasku."

Sapaan itu muncul bersama kedatangan seorang lelaki tua berjubah hitam yang tengah menuruni anak tangga di luar gedung sekolah.

Lelaki tua yang tampak masih bugar namun justru mengandalkan sebuah tongkat untuknya berjalan, bergerak menghampiri Aiden CS yang masih menunduk. "Kalian juga, kuucapkan selamat datang kembali ke rumah. Dan untuk misi yang aku tugaskan pada kalian bertiga, kuucapkan terima kasih banyak. Karena kalian bertiga telah berhasil menyelesaikannya dengan sangat baik. Sekarang, masuklah ke dalam. Kalian pasti sangat lelah," ujar lelaki itu menepuk bahu Aiden.

"Baik, Master!" balas Aiden CS patuh. Arthur, Baron, Dylan, Ernest dan Helga saling beradu pandang, setelah mendengar julukan yang Aiden CS berikan pada lelaki tua itu seperti tak asing lagi di telinga mereka.

Master?

Mungkinkah lelaki itu adalah ....

Bersambung

Continue Reading

You'll Also Like

315 29 2
BASED ON A TRUE STORY [Follow sebelum Membaca] "... ieu sanes panyawat sapertos biasana, tapi teluh bilatung tilu welas." Sari Damawanti, gadis remaj...
43.8K 1.7K 200
Not the romance stories, but these are just my unspoken feelings. You may read it or not. :)
52.6K 2.3K 29
Menceritakan tentang lima orang sahabat yang berniat untuk menghabiskan waktu untuk liburan. Fajri, Ryan, Riska, Nisa, dan Winda adalah remaja lulusa...
135K 10.5K 75
[COMPLETED] Kepindahan Dinda ke rumah baru yang baru saja selesai dibangunnya membawa kenangan masa remaja yang luar biasa menyenangkan. Pasalnya, li...