My Naughty Boy [SUDAH TERBIT]

By anavetj

3.1M 19.5K 1.3K

SUDAH TERSEDIA DI TOKO BUKU Dikenal sebagai dosen killer dan kaku, Britt di takuti oleh semua muridnya... More

Pengumuman [UPDATED]
I. The Black Mail
II. Once Bitten, Twice Shy
III. The Ugly Truth
IV. Play, Rewind, and Repeat

V. Dream and Nightmare

170K 3.1K 199
By anavetj

Brittany bangkit duduk dan mengerjapkan mata melihat sekelilingnya. Sisi ranjang sebelah kanannya sedikit berantakan, gaun dan celana dalamnya tergeletak begitu saja di kaki ranjang, dan tenggorokkanya kering seolah-olah ia tidak minum selama berhari-hari. Untuk sesaat, Brittany bingung dengan kondisi tubuhnya yang tak mengenakan busana sehelai pun di balik selimut dan kondisi kamarnya yang terlihat berantakan. Lalu kesadaran menghantamnya.

"Oh, God!" erangnya sambil membenamkan wajahnya ke bantal yang berada di pangkuannya.

Ingatan tentang kejadian semalam menghantamnya bertubi-tubi. Tidak ada satu bagian pun yang terlewatkan dari ingatannya. Ia, Brittany Brooks, dengan sangat sadar membiarkan muridnya sendiri bercumbu dengannya. Apa yang sebenarnya ia pikirkan semalam?

Mengangkat wajahnya lagi, Brittany baru menyadari bahwa Ethan tidak terlihat pagi ini. Ia tidak tahu apakah Ethan masih ada di kediamannya ini ataukah pria itu sudah pulang ke apartemennya sendiri. Brittany berharap yang terakhir.

Keluar dari balik selimut, Brittany berjalan cepat masuk ke dalam kamar mandi. Ia tidak mau mengambil resiko Ethan masih ada di sini dan melihatnya dalam keadaan telanjang. Meskipun apa yang mereka lakukan seharusnya membuat kondisi tubuhnya yang telanjang menjadi hal sepele, namun Brittany terlalu sadar pagi ini untuk tidak merasa malu.

Ia meraih jubah mandi dan mengikat talinya kuat-kuat. Memegang keliman jubah tersebut erat-erat, Brittany berjalan keluar dari kamar mandi dan mengintip keluar. Ia menilai situasi apartemennya dan ketika dirinya tidak melihat tanda-tanda keberadaan Ethan di sana, Brittany memberanikan diri berjalan ke luar.

Ruangan pertama yang ia singgahi adalah dapur. Brittany mengambil segelas air putih dingin dari lemari es dan meneguknya banyak-banyak, merasakan sensasi dingin yang meredakan rasa haus di kerongkongannya. Setelah itu, ia mulai membuat sarapan untuk dirinya sendiri karena perutnya berbunyi kencang menandakan lapar. Mungkin aktifitasnya semalam telah menghabiskan banyak energinya.

Selang beberapa waktu kemudian, Brittany menghabiskan sarapannya dan mulai bersiap-siap. Ia melirik jam dinding yang menunjukkan waktu yang sudah tidak pagi lagi namun Brittany mengambil waktunya dengan santai karena ini adalah hari terakhir mengajar dalam minggu ini ia tidak memiliki kelas pagi di hari Jumat.

Brittany menangkap secarik kertas yang ditempel di meja riasnya saat ia hendak merias wajah. Ia tidak mengingat melihat kertas tersebut saat bangun tidur tadi dan meraih kertas tersebut. Membaca tulisan acak-acakkan di sana membuat jantung Brittany melompat kecil. Pesan itu bertuliskan:

"I had one of the greatest time with you last night, Professor. Can't wait to do it again anytime soon! –Ethan- P.S. Don't even try and think to change your password, you won't like the consequences."

Brittany meremas kertas tersebut menjadi bola kertas kecil dan melemparnya ke dalam tempat sampah. Entah kenapa pesan Ethan berhasil membuat Brittany merona dan membencinya di saat bersamaan. Well, mungkin tidak sungguh-sungguh membenci hanya saja seharusnya Brittany setidaknya marah terhadap pria itu dan bukannya merona seperti anak ingusan.

Menyingkirkan Ethan dari pikirannya, Brittany memandang pantulan dirinya dan mulai merias diri. Ia baru saja mengangkat rambutnya yang sudah kering untuk di ikat seperti biasanya namun berhenti ketika matanya menangkap kemerahan abstrak di bawah telinga kanannya.

Buru-buru Brittany melepaskan rambutnya. Ia baru ingat bahwa Ethan meninggakan bekas ciuman baru di sana yang tidak dapat ditutupi dengan kerah pakaian yang tinggi. Dengan terpaksa, Brittany membiarkan rambutnya tergerai lurus menutupi lehernya.

Setelah siap dengan semua persiapannya, Brittany kemudian berangkat menuju universitas. Ia baru saja memarkirkan mobilnya di parkiran khusun pengajar ketika mobil SUV hitam milik rektor universitasnya datang dan parkir tepat di samping sedannya.

"Ms. Brooks!" panggil Mr. Johnson ketika pria itu turun dari mobilnya dan melihat Brittany.

"Selamat siang, Mr. Johnson," sapa Brittany dengan senyum sopannya.

Pria tua yang sudah kehilangan sebagian rambutnya itu menganggukkan kepala kepada Brittany dan mulai berjalan menjajari langkah wanita itu.

"Bagaimana dengan penelitianmu?" tanya Mr. Johnson.

"Aku belum memulainya, Sir," jawab Brittany.

Mr. Johnson mengerutkan keningnya tanda tidak setuju. "Kenapa? Apakah kau menemukan kendala?"

Brittany menggeleng, "Well, aku belum menemukan kandidat lain yang cocok setelah Winnie Fran dengan berat hati menolak panggilanku."

Brittany sudah mengirimkan e-mail kepada salah seorang murid paska sarjananya, Winnie Fran yang sudah lulus tahun lalu, memberikan penggilan kepada wanita itu untuk menyelesaikan program S3-nya dan melakukan penelitian untuk Brittany. Sayangnya Winnie berkata bahwa ia menikah baru-baru ini dan hamil dengan kondisi janinnya yang kurang baik sehingga tidak memungkinkan baginya untuk bekerja.

Mr. Johnson mengetukkan telunjuknya di dagu dan berpikir. "Hmm, aku memiliki kandidat lain yang kurasa cocok untuk membantumu," ucapnya.

"Siapa?"

"Namanya Marcus Leroy, dia adalah salah seorang muridku 4 tahun yang lalu," jawab Mr. Johnson. "Dia lulus dengan nilai fantastis dan dia juga memiliki tingkat ketekunan dan ketelitian yang tinggi. Aku bisa menjamin bahwa Marcus akan menjadi asisten yang pantas untukmu, Ms. Brooks. Jika kau tidak keberatan dengan rekomendasiku, aku bisa mengiriminya e-mail dan memintanya untuk datang segera mungkin."

Brittany menganggukkan kepala. "Tentu, Mr. Johnson. Jika kau sangat merekomendasikan Marcus Leroy, aku tentu akan menerimanya dengan tangan terbuka."

Keduanya menghentikan langkah mereka ketika sampai di depan ruangan Brittany.

"Good!" ujar Mr. Johnson sambil menepuk pungungnya ramah. "Aku akan menghubunginya kalau begitu."

"Oke."

Mr. Johnson melambaikan tangannya sambil berkata, "Omong-omong, kau terlihat lebih mudah didekati dengan rambut tergerai. Kau harus sering-sering melakukannya."

Tangan Brittany secara refleks naik menyentuh rambutnya. Sebuah senyum heran menghiasi bibirnya dan ia tidak tahu kenapa. Tidak ada perasaan risih dan janggal karena ia harus berpenampilan berbeda dari biasanya. Yang ada hanyalah perasaan nyaman dan... bebas? Brittany tidak yakin.

Menggelengkan kepalanya, ia membuka kunci ruangannya dan masuk. Ia masih memiliki banyak waktu hingga kelasnya di mulai, cukup untuk mengecek semua materi pelajarannya. Dan itulah yang Brittany lakukan sepanjang siang.

***

Ethan berjalan melewati ruangan Brittany setelah kelasnya selesai beberapa menit yang lalu. Ia berdiri di sana untuk beberapa saat dan menimbang apakah ia akan masuk atau tidak?

Sebenarnya sekarang ia sedikit ragu dengan dirinya sendiri dan apa yang sedang dilakukannya selama hampir seminggu ini. Professornya yang dingin jelas merupakan salah satu faktor penting di dalamnya.

Ethan tidak pernah berpikir bahwa ia adalah seorang pria yang brengsek namun ia juga tidak pernah menganggap dirinya adalah pria gentleman yang tidak pernah mengambil keuntungan dari tubuh seorang wanita. Namun, bersama dengan Brittany, ia merasa bahwa ia menjadi seorang pria yang melampaui brengsek.

Biasanya, jika ia sedang menginginkan tubuh seorang wanita, ia akan mencari pasangan cinta satu malam dan berpisah keesokan paginya. Wanita yang pernah bersamanya tidak penah menuntut lebih karena tahu bahwa Ethan tidak memiliki perasaan apapun terhadap mereka. Namun dengan Brittany, sesuatu yang berbeda jelas telah terjadi.

Seperti contohnya, 'pertemuan' mereka yang sudah terjadi sebanyak tiga kali. Ethan sama sekali tidak menyetubuhinya dan memilih untuk memuaskan diri sendiri atau mandi air dingin agar hasratnya reda. Ia yakin jika Brittany adalah wanita lain, Ethan pasti sudah melampiaskan nafsunya sejak ciuman mereka yang pertama.

Ia tidak perlu mendengar langsung dari bibir dosennya bahwa ia masih perawan, semua reaksi yang diberikan oleh Brittany berteriak bahwa wanita itu masih perawan. Ethan bahkan tidak yakin bahwa Brittany pernah berhubungan khusus dengan seorang pria seumur hidupnya. Jadi, apakah itu alasannya? Karena Brittany masih perawan?

Ethan tidak yakin.

Oh, dan pagi tadi. Saat ia bangun di samping tubuh telanjang Brittany, yang ingin Ethan lakukan adalah melanjutkan bergelung bersama wanita itu dan menghabiskan harinya di atas ranjang. Ia ingin melanjutkan menggoda Brittany seperti sebelumnya, menyaksikan bagaimana ia memancing sisi panas Brittany. Sesuatu yang belum pernah terlintas ingin dilakukannya ketika ia bersama dengan wanita lain.

Belum lagi perasaan enggan yang menyergapnya begitu ia tahu bahwa ia harus pergi karena memiliki kelas pagi ini. Itu semua membuatnya bertanya-tanya kepada dirinya sendiri apa yang sebenarnya sedang terjadi terhadapnya. Apakah ia...? Tidak, sepertinya tidak mungkin.

Ethan menggelengkan kepalanya, ia lalu memilih untuk melanjutkan langkah kakinya dan pergi. Sepertinya ia mulai gila atau sudah kena batunya karena telah berani menggoda dosennya sendiri.

"Ethan!" seru seeorang memanggilnya.

Ethan menghentikan langkah dan menoleh. Ia melihat Anthony setengah berlari ke arahnya dengan membawa beberapa buku pelajarannya.

"Kau mau kemana?" tanya Anthony sambil terengah-engah mengatur napasnya.

"Pulang," jawab Ethan singkat.

Anthony menggelengkan kepalanya. "Kau seharusnya ikut denganku ke rumah sakit, bukan?"

Ethan mengerang ketika ia ingat akan hal itu. Ia sudah berjanji untuk pergi bersama Anthony menjemput Joanne dari rumah sakit.

"Maaf, aku lupa," gumamnya. "Kita langsung berangkat sekarang?"

Anthony mengangguk. Mereka lalu berjalan bersama menuju parkiran. Motor yang biasa selalu dikendarai oleh Ethan tidak terlihat hari ini. Sebagai gantinya, sebuah Mercedez-Benz S Class berwana hitam terparkir di sana. Mereka langsung menaikinya dan melaju menuju rumah sakit.

Ia sengaja membawa mobil yang jarang ia kendarai itu karena akan menjemput Joanne di rumah sakit. Ethan menawarkan diri untuk membantu Anthony menjemput Joanne dari rumah sakit karena pria itu tidak memiliki kendaraan sama sekali dan Ethan tidak tega membiarkan Joanne naik kendaraan umum saat kondisinya masih belum benar-benar pulih.

Sedikit informasi, kedua orangtua Anthony sudah meninggal beberapa waktu yang lalu. Meskipun orangtua Anthony memiliki cukup tabungan, namun dengan kondisi Joanne yang memiliki kelainan jantung sejak kecil maka pria itu harus berkerja sambilan di berbagai tempat untuk menambah keuangan mereka.

Mereka juga harus sering-sering berhemat. Seperti sekarang ini, sebenarnya Joanne masih harus berada di rumah sakit untuk satu minggu lagi namun gadis itu memohon kepada dokter yang merawatnya sejak kecil agar ia bisa keluar dan tinggal di rumah. Dengan berat hati dokter tersebut mengijinkannya dengan syarat bahwa Joanne harus istirahat total di rumahnya.

"Apakah kondisi Joanne kali ini sudah lebih baik?" tanya Ethan.

"Ya, kuharap demikian. Kami masih harus melihat perkembangannya terlebih dahulu," jawab Anthony.

"Kau tahu 'kan bahwa kau hanya perlu mengatakan padaku jika kalian membutuhkan sesuatu?"

Anthony tersenyum dan menepuk pundak Ethan. "Aku tahu. Thanks, man."

Ethan mengangguk meskipun ia tahu bahwa Anthony akan lebih memilih untuk mengandalkan diri sendiri daripada harus meminta bantuan Ethan.

Saat mereka sampai di rumah sakit, Joanne sudah berganti pakaian dan menunggu mereka di ruang rawat. Gadis itu sedikit pucat namun tetap tersenyum lebar menyambut kedatangan mereka.

"Akhirnya!" erang Joanne. "Aku sudah berlumut menunggu kalian."

"Hai, Jo," sapa Ethan sambil mengusap kepala gadis itu. "Bagaimana keadaanmu?"

"Better than ever," jawabnya riang. "Bolehkah kita pergi sekarang?"

"Lima menit, Jo," ucap Anthony. "Aku harus menyelesaikan administrasinya."

Anthony kemudian pergi meninggalkan Ethan berduaan dengan Joanne.

"Trims, Ethan," ucap Joanne tiba-tiba.

Ethan menaikkan alisnya bingung. "Untuk apa?"

"Untuk selalu menjadi teman yang baik bagi Tony dan juga menjadi kakak keduaku," mata gadis itu terlihat sedikit basah.

"Ada apa, Jo?" tanya Ethan khawatir. Ia menyentuh tangan gadis yang biasanya selalu tersenyum riang itu. "Apa ada yang sakit?"

Joanne menggelengkan kepalanya kuat. "Tidak, aku hanya sedang merasa terharu. Kenapa kau begitu bodoh harus menanyakannya?"

Ethan terkekeh mendengar ucapan Joanne. Ia lalu merangkulkan sebelah tangannya dan mengusap lengan gadis itu lembut. "Sama-sama, Jo."

Joanne menyandarkan kepalanya ke dada Ethan dan balas merangkul pria itu sejenak sebelum akhirnya melepaskan rangkulan mereka.

"Ayo!" seru Anthony ketika pria itu kembali.

Ethan langsung meraih tas berpergian Joanne dan membawanya sementara Anthony mengalungkan tangan Joanne pada lengannya. Bertiga mereka berjalan beriringan keluar dari rumah sakit dan pulang menuju kediaman Lane bersaudara. Sesampainya di rumah Anthony, mereka memesan pizza untuk makan siang dan Ethan menghabiskan waktunya selama beberapa jam di sana.

Baru setelah pukul 9 malam Ethan akhirnya pulang ke apartemennya sendiri. Saat ia memarkirkan mobil di basement, ia melihat Brittany yang baru saja kembali dan keluar dari mobilnya sendiri.

Ethan mengerutkan kening bingung. Walaupun terdengar seperti penguntit, Ethan tahu bahwa Brittany hanya memiliki 2 kelas hari ini dan seharusnya sudah pulang sejak beberapa jam yang lalu.

Dari jenis pakaian formal yang dikenakan Brittany, Ethan tahu bahwa dosennya belum pulang sama sekali dan langsung pergi ke tempat lain setelah kelas yang diajarnya selesai sore tadi.

Wanita itu terlihat lelah dan putus asa. Sekilas ia melihat Brittany mengusap matanya sendiri. Apakah dosen killernya sedang menangis? Yang benar saja! Buru-buru Ethan keluar dari mobilnya sendiri dan berlari mengerjar Brittany yang sudah terlebih dahulu masuk ke dalam gedung.

"Professor!" seru Ethan.

Wanita itu tidak menghiraukannya dan berdiri menghadap pintu lift dan menunggu. Ethan tahu Brittany mendengarnya karena sekilas ia dapat melihat perubahan tubuh Brittany yang menjadi kaku saat ia memanggilnya.

"Apa anda baru pulang?" tanya Ethan berbasa-basi sambil berdiri di sampingnya.

Brittany tidak menoleh dan memandang ke layar digital di atas pintu lift. "Apa yang kau inginkan, Mr. Hart?" tanyanya dingin.

Mulut Ethan terbuka sedikit. Ia tahu bahwa biasanya Brittany selalu bersikap dingin dan datar namun kali ini ia dapat menangkap sesuatu yang berbeda dari nada ucapan wanita itu.

"Apakah terjadi sesuatu, Professor?" tanya Ethan ragu-ragu. Ia ingin tahu apa yang membuat suasana hati Professornya menjadi seperti ini namun ia juga tidak ingin dikatakan suka ikut campur.

Brittany tiba-tiba tertawa dingin dan menoleh kearahnya. Ethan kaget ketika mendengarnya dan lebih terkejut lagi saat melihat sepasang mata dibalik kacamata itu memandangnya dengan kedinginan yang belum pernah ditunjukkannya.

"Tidak perlu bersikap manis, Mr. Hart," ucap Brittany sinis. "Sudah cukup permainanmu. Katakan, apakah kau belum puas memanfaatkanku?"

"Apa? Aku tidak pernah memanfaatkanmu, Professor."

Brittany mendengus tidak percaya. "Kau sama saja dengan kedua orang tuaku, selalu memanfaatkanku untuk kepentingan pribadi. Well, mereka juga selalu lupa ketika melakukannya."

Ethan hanya bisa mengerutkan dahinya bingung. Ucapan yang keluar dari bibir Brittany lebih terdengar seakan wanita itu sedang mengeluh kepada dirinya sendiri. Namun Ethan tidak bisa melewatkan kemarahan dan kepahitan yang tersirat dalam perkataan Brittany.

Apa yang sudah terjadi dalam kurun waktu kurang dari 12 jam?

Pintu lift kemudian terbuka dan Brittany melangkah masuk ke dalam. Wanita itu memandang Ethan dingin dan berkata, "Selamat malam, Mr. Hart."

Ucapan wanita itu secara tidak langsung menyuruh Ethan untuk tidak menaiki lift yang sama. Ethan mengepalkan tangannya. Ia tidak bergerak dari posisinya dan melihat pintu lift yang menutup dengan Bittany yang berada di dalamnya.

***

Brittany membanting pintu apartemennya dengan kencang dan langsung terduduk di lantai. Ia menopang kedua tangannya diatas lutut dan mengusap kedua pelipisnya sambil bersandar di daun pintu.

Ia lelah dan marah.

Setelah semua hal yang terjadi di hidupnya, ini adalah pukulan tertelak yang pernah di hadapinya. Brittany tahu bahwa ibunya selalu bersikap sinis kepadanya dan ayahnya lebih memilih untuk menutup mata akan apa yang terjadi di antara dirinya dan Sonya. Tapi ia tidak pernah berpikir bahwa ada hal yang lebih buruk yang dapat menimpanya.

Sore tadi Sonya tiba-tiba saja menghubunginya dan memintanya untuk datang ke rumah. Ia seharusnya ia tidak memenuhi panggilan Sony dan belajar bahwa tidak pernah ada hal baik yang akan terjadi jika itu sudah menyangkut diri Sonya, dan Brittany dengan polosnya pergi menemui orangtuanya.

"Apa pendapatmu tentang Frans dan James?" tanya Sonya sore tadi ketika dirinya sampai ke rumah mereka.

"Frans dan James? Kedua ilmuwan yang kau undang untuk makan malam?"

Sonya mengangkat kepalanya dan mengangguk kecil. "Tentu saja, siapa lagi jika, bukan?"

"Well, mereka oke kurasa. Apakah kau akan melakukan investasi dengan mereka?"

Sonya mengangguk dan tersenyum. Senyum yang memberitahu Brittany bahwa ia tidak akan suka mendengar perkataan Sonya berikutnya.

"Kita akan berinvestasi dengan mereka," ucap Sonya.

"Kita? Maksudmu kau dan aku?"

"Dan ayahmu tentunya."

Brittany mengerutkan keningnya. "Apa yang sedang kau rencanakan?"

"Aku ingin kau menikah dengan salah seorang dari mereka," jawab Sonya lantang.

Wanita itu masih tersenyum setelah mengucapkan hal yang kekonyolan terbesar abad ini sedangkan Brittany mengepalkan tangannya erat-erat. Tidak peduli seberapa besar Brittany berharap bahwa Sonya tidak sungguh-sungguh dengan ucapannya, ia terlalu mengenal Sonya.

"Kau gila!" teriak Brittany. Ia sudah terlalu marah untuk dapat meredakan suaranya. "Umur mereka bahkan lebih tua dari ayah!"

"Mereka memang sedikit tua namun tidak ada larangan yang mengatakan bahwa kalian tidak boleh menikah hanya karena perbedaan usia yang jauh."

"Dan kenapa aku harus menikah dengan mereka?" tanya Brittany sambil menggertakan giginya. Ia bersusah payah menahan amarahnya agar tidak melakukan hal yang akan disesalinya nanti.

"Tentu saja untuk menghasilkan anak-anak yang sempurna," jawab Sonya.

"What?!"

"Kau mendengarku. Jika tingkat intelektualmu dan salah satu dari mereka digabungkan, bayangkan betapa cerdas anak kalian nanti."

"You are out of your mind," ucap Brittany. Ia tidak memiliki energi untuk meluapkan amarahnya lagi. Brittany tahu saat itu bahwa Sonya sudah terlalu terobsesi dengan apapun yang ada dipikiran wanita itu. Ia bahkan tidak bisa lagi merasakan kasihan pada Sonya karena tidak memiliki hati.

"No," ucap Brittany. "Kau gila jika berpikir aku akan menurutimu."

Senyum Sonya turun dan matanya mendelik penuh kekesalan pada Brittany. "Tidak bisakah kau menjadi anak yang berguna barang sekali saja, Britt?"

Brittany ingin tertawa mendengarnya. Ia bukan boneka yang bisa dimainkan oleh orangtuanya sesuka hati dan dimanfaatkan kapanpun mereka mau. Ia tidak tahu apa yang ada dipikiran Tuhan ketika memberikannya pada sepasang manusia yang tidak mengerti arti menjadi orangtua.

Menggelengkan kepalanya, Brittany keluar dari kediaman orangtuanya. Cukup sudah usahanya selama ini untuk menjadi anak yang berbakti dan mencoba untuk menyadarkan orangtuanya bahwa ia adalah manusia dan masih merupakan putri mereka. Cukup sudah.

Memijat tulang di antara kedua matanya, Brittany menghelakan nafas. Hatinya seharusnya sudah kebal dengan semua drama Sonya dan Jeff namun entah kenapa ia dapat merasakan sebuah lubang menganga di sana.

Tidak peduli bagaimanapun sifat Sonya dan Jeff, mereka masihlah orang tuanya dan Brittany tidak pernah mengharapkan hal lain selain diterima oleh orangtuanya apa adanya.

"Tidak ada yang akan menerimamu apa adanya, Britt. Kapan kau akan belajar?" gumamnya kepada diri sendiri.

Bagaimana mungkin Sonya dan Jeff akan dapat menerimanya jika muridnya sendiri bahkan bisa mempermainkan dan memanfaatkannya? Brittany harus mulai menerima kenyataan pahit bahwa sepertinya ia memang bernasib jelek.

Continue Reading

You'll Also Like

10.1K 915 39
[COMPLETEDβœ”] Memang benar yah, kalau sahabatan sama lawan jenis itu pasti salah satunya bakal jatuh hati. Sama halnya seperti mereka. Penasaran? Baca...
92K 4.1K 56
Orang-orang dengan hidup yang mudah selalu berharap mendapatkan sesuatu yang lebih rumit untuk memberikan hidup mereka sebuah tantangan. Namun ora...
260K 9.5K 59
Seorang gadis yang mempunyai kehidupan berbeda dimana dia harus mengambil alih beban dan konsekuensi besar dari kehidupan sebelumnya , kehidupan yang...
3.6M 38.6K 32
(βš οΈπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žβš οΈ) [MASIH ON GOING] [HATI-HATI MEMILIH BACAAN] [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] β€’β€’β€’β€’ punya banyak uang, tapi terlahir dengan satu kecac...