Qila terbangun dari tidurnya. Dilihatnya Fiqa yang masih terlelap di ranjang sebelah kanannya. Terbesit perasaan jahil untuk membangunkan kembarannya itu. Namun urung ia lakukan karena mendengar suara bundanya samar-samar.
Masalah menjahili Fiqa bisa ditunda nanti, yang terpenting saaat ini ialah dirinya masih ingin melepas rindu dengan bundanya.
Qila turun dari ranjangnya. Kaki kecilnya terus berjalan menuju pintu kamar. Saat dirinya membuka pintu, dirinya melihat bundanya yang sedang mengajak seorang anak kecil berbicara. Qila terus mengingat siapa anak kecil itu.
"Qila udah bangun?" Suara khas Nadya membuyarkan pikiran Qila.
Qila mengangguk.
"Sini main sama Zachra."
Qila sekarang ingat, tadi siang bundanya datang bersama dengan anak itu.
"Zachra, rumah kamu di mana? Kok bisa sama Bunda?" Qila melontarkan pertanyaan yang terlintas di kepalanya. Namun, yang ditanya hanya bungkam.
Nadya tersenyum dan menjawab pertanyaan Qila. "Tinggal sama Bunda. Zachra anak Bunda."
"Emangnya dulu Zachra tinggal di mana? Kan dulu Bunda tinggalnya cuma sendirian." Kedua mata Qila membulat, menantikan jawaban dari sang bunda.
"Qila, liat." Gio yang baru datang langsung menyalakan televisi. Tepat saat pandangan Qila teralih pada televisi besar di hadapannya, ada sebuah tayangan yang selama ini sudah Qila dan kembarannya nantikan.
Sebuah iklan yang dibintangi oleh keduanya.
"Zachra, liat!" Qila menunjuk layar televisi. "Itu aku sama Fiqa." Qila berucap bangga.
Zachra hanya memperhatikan tanpa berminat untuk bersuara.
"Lho, Qila udah bangun?"
Suara yang tidak asing bagi Qila itu berhasil membuat anak itu menengok ke sumber suara.
"Oma!" pekik Qila senang. Dirinya berlari menghampiri wanita yang masih terlihat sehat dan segar meski sudah memiliki cucu.
"Oma, aku kangen." Qila memeluk tubuh wanita yang ada di hadapannya.
"Oma juga kangen sama kau, Sayang." Wanita itu membalas pelukan Qila.
"Opa mana, Ma?" Qila menatap wajah omanya yang sudah telihat garis-garis keriput.
"Ada tuh di bawah. Lagi ngobrol sama Mama." Oma membelai rambut Qila.
"Oma, aku mau ke bawah." Qila memita izin.
"Ya udah. Oma mau di sini aja sama Bunda."
***
"Iya, Bi. Gio suka kasar sama anak-anak, tapi suka aku ingetin, sih." Mel memasukan adonan kue ke dalam oven.
Pria yang ada di dekat Mel tertawa. "Dulu Abi juga kasar sama dia. Wajar lah dia kasar ke anaknya sekarang."
"Pantesan kuping panas, ternyata lagi diomongin." Suara itu membuat Mel dan pria yang dipanggil Abi menengok.
"Opa!" Qila berlari memeluk opanya.
"Kamu sama Abi ngomongin aku, ya?" Gio yang sudah ada di samping Mel bertanya memastikan.
"Jawab gak nih, Bi?" Mel kembali bertanya kepada ayah mertuanya.
"Istri kamu nanya kenapa kamu suka galak sama anak-anak." Abi membuka suara.
"Terus Abi jawab apa?" Gio duduk di kursi samping Abinya.
"Ya Abi jawab, itu karena dulu Abi juga keras sama kamu." Abi memangku Qila di atas pahanya.
"Kalau bukan karena didikan Abi, aku gak akan nyampe di titik ini, Ma." Gio berucap datar.
Mel yang menyadari momen ini akan menjadi haru pun menyuruh Qila bermain bersama Fiqa dan Zachra. Qila pun menuruti perintah mamanya.
"Abi bisa ada di titik ini juga gak gampang. Kamu tau sendiri kalau nenek sama kakek bukan orang yang berada. Abi bisa jadi TNI berkat perjuangan Abi sendiri." Abi membuka cerita. "Ya emang dibantu do'a dari Nenek, sama uang tabungan Kakek."
Abi tersenyum. "Abi keras ke kamu sama Nadya, itu karena Abi gak mau anak-anak abi lembek, manja, selalu ketergantungan sama orang lain."
"Abi masih inget waktu kamu nangis dan bilang kalau Abi gak sayang sama kamu. Kamu tau? Abi sedih waktu kamu ngomong kayak gitu, tapi Abi pura-pura tegar dengan marahin kamu balik. Abi gak mau jagoan Abi cengeng."
"Lagi ada momen sedih, ya?" Suara Nadya berhasil menghancurkan momen.
"Kenapa? Kamu juga mau bilang benci sama Abi?" Abi tertawa menyambut kehadiran anak perempuannya.
"Gimana gak benci, nilai cuma turun nol koma satu, tetep dihukum." Nadya mencibir. "Tapi itu dulu, sih. Sekarang nggak." Nadya memeluk Abinya.
"Lah, gue anak cowok kalau pulang telat satu menit aja kena pukul, Nad." Gio membuka suara.
"Itu, kan udah perjanjiannya, Kamu sendiri, Yo yang nentuin mau pulang jam berapa, kamu sendiri yang telat." Abi menjelaskan. "Kalau Abi gak hukum kamu, apa kamu ada keinginan buat dapet nilai bagus di sekolah, Nad? Itu semua Abi lakuin demi kebaikan kalian."
Mel merasa canggung berada di tengah-tengah keluarga yang sedang bercerita tentang masa lalunya. Mel beranjak ingin pergi dengan alih-alih ingin bermain dengan anak-anaknya.
Gio menahan tangan Mel. "Kamu di sini aja, dengerin masa kecil aku dari Pak Jendral."
Mel berbisik, "tapi aku gak enak sama Abi."
"Kenapa? Kamu istri aku." Gio menenangkan.
Mel kembali duduk di kursinya. "Kok kamu gak ngikutin jejak Abi?"
"Emang kamu mau punya suami jarang pulang? Aku sih gak mau kalau harus jarang pulang, kangen sama kamu." Gio tersenyum penuh arti.
Pipi Mel merona merah. "Apa, sih."
"Abi, makasih."
Gio dan Nadya berucap secara bersamaan.
Abi mengeryitkan kedua alisnya.
"Kalau bukan karena Abi, kita gak akan sampe di titik ini. Maaf udah pernah ngira Abi gak sayang sama kita." Gio membuka suara.
"Sekali lagi, makasih, Bi. Nadya sayang Abi." Nadya tersenyum memandang wajah abinya yang sudah mulai menua.
"Gio juga sayang Abi."
"Udah jadi tugas Abi buat didik kalian." Abi tersenyum. "Makasih juga buat Umi kalian, kalau bukan karena Umi, Abi gak akan setegar ini."
Nadya menitikan air matanya. Gio yang memiliki ikatan batin dengan Nadya pun mati-matian menahan agar air matanya tidak terjatuh.
"Peluk Nadya, Pa." Mel berbisik.
Gio bangkit dari duduknya dan berpindah ke kursi di samping Nadya. Gio menarik Nadya ke dalam pelukannya, membuat tangis Nadya semakin jadi.
"Ya, jangan nangis. Nanti aku dimarahin Abi," ucap Gio yang langsung mendapat bogem mentah dari Nadya.
"Yo, gue geli dengernya." Nadya tertawa di sela tangisnya.
Gio dan Nadya saling melempar pandangan sebelum akhirnya memeluk abi mereka untuk mengucapkan rasa terima kasih.
Abi ikut menitikan air mata. "Kalian harus tetep jadi Gio sama Nadya yang Abi kenal. Jangan jadi orang yang sombong, ya."
Nadya kembali menangis. Gio yang sudah tidak kuat menahan air matanya pun ikut menangis.
"Kalian berhenti nangis atau Abi kunciin di kamar mandi?" Abi tertawa sebelum akhirnya ikut meneteskan air mata.
Ketiganya kini berpelukan. Mel yang ikut terbawa suasanapun juga meneteskan air matanya.
"Ma, kamu juga mau dikunciin di kamar mandi?" Gio yang memergoki istirnya menangis pun bertanya.
Mel tersenyum sopan menjawab pertanyaan Gio. Dirinya bingung harus menjawab apa.
"Bi, mau tau sesuatu, gak?" Gio bertanya.
"Apa?"
"Abi gak kayak Abi yang aku kenal." Gio tertawa.
"Ada saatnya Abi galak, ada saatnya Abi baik. Masa mau galak terus?"
"Tumben Abi nangis," ucap Nadya.
"Ini tangisan haru tau." Abi membela diri.
Gio sibuk menghapus jejak air matanya yang dibantu oleh Mel.
"Anak cowok mah gitu, ya. Gak mau keliatan lemah." Nadya menyindir.
"Anak Abi gak ada yang lemah. Iya, kan Bi?" Gio bertanya meyakinkan.
Abi mengangguk.
"Yo, jangan sampe kamu apa-apain Mel, ya. Kamu boleh kasar ke anak-anak kamu demi masa depan mereka. Tapi nggak ke Mel." Abi mengancam.
"Siap, Pak Jendral." Gio bergaya seperti orang hormat.
"Mel, Abi titip Gio, ya. Kalau dia ngapa-ngapain kamu, langsung kasih tau Abi aja. Nih." Abi mengepalkan tangannya dan mengarahkannya pada Gio.
"Iya, Bi. Pasti." Mel tersenyum lembut.
"Aku cowok beneran, Bi. Gak akan ngapa-ngapain cewek." Gio meyakinkan abinya.
"Abi mau ke atas, mau liat Fiqa." Abi pamit dan bangkit dari duduknya.
Nadya mengikuti langkah abinya. Kini, hanya Gio dan Mel yang berada di dapur.
"Ma, makasih."
Mel menatap suaminya. Kini keduanya saling bertatapan dan melakukan sebuah adegan yang tidak bisa author jabarkan karena ingat akan dosa.
***
02-10-2016
Maaf telat update:")
Mana nih haters Gio? Dapet salam dari Gio.
yakin masih mau nge hate Gio pas tau mukanya kayak gitu?
Awas, zina. HAHAHA