LOOKING FOR MOONLIGHT

By Authorable_ID

3.5K 285 75

By @yooahra03 [Setiap Minggu] Mulai Agustus [Jia] Kamu adalah duniaku, seperti namamu, Sekai- dunia. Aku tahu... More

Opening : Jia's Diary
1. Percakapan di Sore itu.
2. New Classmate
3. Dia Memang Aneh
4. Rasa Bernama Kesepian
5. Mencari Sebuah Perhatian
7. Cahaya Bulan
8. Dalam sebuah kesendirian
9. Ingin Bertemu
10. Jarak
11. Perasaan
12. Antara Kita
13. Memahami
14. Perasaan (2)
15. Sesuatu tentang masa lalu
16. Hal yang tak terduga
17. Hujan Meteor
18. KITA
Penutupan (Jia's Diary)
19. Bulan

6. Teman

131 11 4
By Authorable_ID

Ada yang pernah bilang, teman adalah orang yang menyelamatkanmu dari rasa sepi. Jia setuju untuk ungkapan itu ketika ia bertemu dengan Sekai. Ketika Sekai mengulurkan tangan padanya dan mengajaknya berteman. Namun kini, Jia jadi merasa ungkapan itu menjadi aneh ketika melihat bagaimana cara pertemanan yang ditunjukkan Alden padanya.

Sejak Alden 'mendeklarasikan' bahwa mereka teman, cowok itu selalu ikut ke mana Jia pergi. Setahu Jia, ia tak lagi bergaul dengan teman-teman dari kelas lain sejak insiden perkelahian mereka. Alden juga tak menjaga pintu kelas seperti biasanya. Jalan masuk ke kelas menjadi aman bagi para siswi.

Bagi Jia, Alden itu menganggu. Ia selalu berdua dengan Sekai selama ini. Tak ada yang menjaraki hubungan mereka. Namun keberadaan Alden seolah menciptakan spasi. Belum lagi Alden selalu bicara. Bertanya ini itu. Membelikan ini itu dan banyak lagi.

"Aku heran kalian bisa jadi dekat." Ucap Sekai di suatu siang, ketika akan kembali ke kelas usai dari perpustakaan.

Alden mengangguk-angguk.

"Jia bilang aku temannya." Sahutnya kemudian. Jia hendak protes. Ia tidak pernah bilang begitu. Alden-lah yang menyimpulkannya sendiri.

"Kalo gitu kita juga temen." Ucap Sekai. Alden tampak bingung. "Teman Jia, temanku juga." Sambungnya. Alden tersenyum kemudian mengulurkan tangannya. Mengajak Sekai berjabat tangan seperti yang pernah ditunjukkan Jia bagaimana caranya berteman. Sekai tertawa pelan lalu menyambut uluran tangan itu. Sementara Jia memukul pelan dahinya. Dasar Alden aneh! Rutuknya dalam hati.

"Jangan keliatan frustasi gitu, Zee. Ini permulaan yang bagus kan?" ucap Sekai sambil merangkul Jia. Gadis itu cemberut. Dari belakang Alden ikut bergabung. Merangkul Jia seperti yang dilakukan Sekai. Jia tersentak.

"Kita teman!" ucapnya, seenaknya. Jia lekas melepaskan diri dari dua cowok itu. Sekai tersenyum geli. Sedangkan Alden heran. Jia tak peduli, ia masuk ke dalam kelas dengan langkah yang cepat sebelum siswa-siswi lain heran melihat dirinya berada di antara dua cowok.

Ketika pelajaran Bahasa Indonesia dimulai, Alden tampak diam. Sementara Jia fokus dengan penjelasan Bu Dahlia tentang wacana yang akan mereka bahas.

"Hei..." panggil Alden. Jia menoleh sesaat. Lalu sadar kalau Alden tidak menyimak pelajaran sama sekali. Yang dilakukan cowok itu hanya mencoreti bagian belakang buku catatannya. Jia melihat Alden sedang menulis namanya dengan huruf kapital. Jia tak mengerti untuk apa Alden melakukannya.

"Sekai manggil kamu 'Zee'."

Seperti biasa ia membahas sesuatu yang terdengar kurang penting.

"Semua orang memang manggil kayak gitu, karena itu suku kata pertama namaku."

"Tapi dari buku yang baru kubaca, katanya dalam persahabatan ada baiknya memberikan nama panggilan khusus untuk lebih mengakrabkan hubungan."

Jia tak perlu hal yang seperti itu jika datangnya dari Alden yang aneh.

"Zianka Aneila. Dilihat dari tiap suku katanya, sedikit susah ya bikin nama panggilan."

"Panggil Zee aja, kayak Sekai."

Alden tampak berpikir. "Gimana kalo Zizi?"

Jia merasa geli mendengarnya. Seseorang akan merasakan lidahnya keram jika memanggilnya begitu.

"Jiji?"

Jiji? Jika ditambak huruf 'k' maka akan berubah menjadi 'jijik'. Jia merasa geli lagi. Haruskah Alden mengajaknya bicara tentang hal yang tak penting ini?

"Anka? Ila?" Alden berpikir keras seolah itu merupakan hal paling penting di dunia ini. Jia menghela napas. Ia sangat lelah menghadapi Alden. Gadis itu pun memilih menajamkan indera pendengarannya untuk menangkap kata-kata bu Dahlia di depan kelas.

"Zia. Jia?"

Jia menoleh. "Jia, itu bagus kan?"

"Kamu berlagak kayak kamu yang pertama kali nemuin nama panggilan itu."

Alis Alden bertaut. "Oh ya?"

"Papa manggil aku kayak gitu. Jia. Sebenarnya itu nama panggilanku, tapi waktu kenalan sama Sekai, dia ngotot manggil Zee. Dia lebih suka."

"Jadi kamu sendiri lebih suka yang mana?"

"Yang mana aja aku suka." Sahut Jia kemudian beralih ke depan lagi. Namun dalam hati, ia tentu saja lebih menyukai cara Sekai memanggil namanya. Bahkan jika Sekai hanya menyebutnya 'hei' saja, itu membuatnya merasa senang, nyaman.

Alden tersenyum, seperti memutuskan sesuatu.

"Jia kedengeran lebih manis. Sesuai sama kamu."

Jia tersentak. Abaikan saja, pikir Jia.

"Jia..." Alden memanggilnya. Entah kenapa Jia merinding. Tetapi bukan merinding karena takut. Entah perasaan seperti apa. Lambat gadis itu menoleh ke arah Alden. Cowok itu membuka buku cetaknya. Tampaknya ia akan mulai serius dengan pelajaran di depan kelas.

"Aku suka nama kamu. Cantik."

Dan Jia tak mengerti mengapa pujian itu membuat jantungnya berdebar-debar.

***

Hanya pandangan takjup yang dapat Jia dan Sekai tunjukkan ketika melihat Alden kembali ke meja kantin dengan tangan berisi milkshake cokelat dan kantung plastik berisi makanan manis. Dan seolah belum sadar bahwa ia diperhatikan, Alden mengeluarkan makanan dari dalam plastik seperti seorang sales. Cokelat bar, roti stroberi, wafer rasa vanilla, biskuit chocohips, serta beberapa jus buah dalam kemasan kotak.

"Kenapa? Kalian mau?" tanya Alden sembari menggigit roti stroberinya. Selai krim stroberi langsung menyapu tepi bibirnya.

Jia mengerjap. "Kamu serius makan beginian aja?"

Alden melihat makanan yang dibelinya tadi, lalu balik memandang Jia. "Kenapa emangnya? Nggak boleh?"

Jia menggeleng lalu berniat tak mencari tahu lagi. Ia melanjutkan makan siangnya dengan nasi goreng yang baru berkurang beberapa suap.

"Lo suka yang manis-manis ya?" tanya Sekai. Ia sudah menghabiskan roti isinya. Alden menjawab dengan sebuah cengiran. Tampaknya ia sangat menikmati roti stroberinya sampai tak sadar kalau mulutnya belepotan selai krim.

"Dulu bunda sering masak kue, jadi yah...aku suka yang manis. Sampai sekarang." Ia kemudian melihat serius ke arah Jia. "Kamu sukanya makanan apa, Jia?" tanyanya. Jia menahan suapan ke mulutnya. Ia sedang malas menanggapi Alden namun Sekai memberi isyarat agar Jia menjawab saja.

"Cokelat, keripik kentang." Sahut gadis itu singkat. Alden menyipitkan mata sembari mendecap. "Pantesan pipi kamu tembem ya."

Refleks Jia memegang pipinya. Apakah ia sudah menjadi lebih gendut karena mengabaikan pola makannya? Alden hanya tertawa pelan lalu membuka bungkus wafer. Ia menyodorkan pada Sekai, membaginya. Sekai mengambil satu. Sementara Jia menolak karena ia masih makan nasi gorengnya.

Sekai memandang ke sekeliling. Kantin yang selalu riuh di jam istirahat pertama. Semua murid tampak berdesakan ingin dilayani lebih dulu. Lalu berlanjut dengan berebut meja. Sekai menemukan Kinal di antaranya. Namun gadis itu tidak sedang berebut makanan maupun tempat duduk. Sepertinya ia berniat membawa makan siangnya ke luar. Jika di kantin penuh biasanya para murid akan makan di taman sekolah. Letaknya tepat di sebelah gedung kantin.

"Kinal!" Sekai memanggil, tanpa ragu. Gadis itu menoleh. Jia dan Alden turut melihat ke arah Kinal yang berhenti melangkah. Gadis itu tampak kaget karena Sekai memanggilnya—seolah mereka akrab.

Sekai melambai. Menyuruhnya ikut bergabung dengan mereka. Kinal bergeming. Jia memperhatikan gadis itu dengan saksama lalu sadar kalau ada perban di salah satu tangannya. Membuat ia teringat dengan luka di tangan Sekai kemarin. Kemarin malam Sekai bilang dia terluka di ruang ekskul fotografi karena pisau yang ia gunakan. Jia juga ingat kalau kemarin Sekai dan Kinal bolos di jam pelajaran yang sama sampai bel pulang berbunyi. Setelah itu keduanya benar-benar tidak kelihatan.

Kinal hanya berlalu, seperti biasanya. Sekai menghela napas. Lalu sadar kalau kini ia diperhatikan oleh Jia. Sekai mengacak pelan rambut gadis itu. "Buruan makannya, melotot mulu."

Jia menunduk ke arah piringnya, sembari diam-diam mengawasi Sekai. Mungkinkah ada sesuatu antara ia dan Kinal?

"Eh ini enak loh." Tahu-tahu tanpa diduga Alden menyodorkan cokelat ke arah Jia. Tepat mengenai bibirnya. Jia tersentak. Rasa cokelat yang manis-pahit menyentuh lidahnya. Ia menoleh ke arah Alden dan wajah cowok itu tertawa tanpa dosa. Alden, walaupun ia sudah 'jinak' tapi prilaku jahilnya masih tersisa.

"Nanti aku sisain lima potong untuk kamu."

Sekai tertawa. Sedangkan Jia mengusap bibirnya dengan muka cemberut.

"Gue gabung di sini ya." Tiba-tiba Alin, sang ketua kelas meletakkan nampan makanannya di atas meja mereka. Belum mendapatkan persetujuan gadis itu langsung duduk dan mengelap sendoknya dengan tisu.

Jia dan Sekai tampak berantisipasi jika ada 'serangan' mendadak.

"Tenang aja, Tobi nggak bakal ke sini. Dia..." Alin mendengus pelan lalu menyuap nasi ke dalam mulut. Ia melakukan gerakan dengan dagunya, menunjuk ke suatu arah. Jia dan Sekai melihat ke arah itu. Tobi berada di meja lain. Bersama dua senior, Gian dan Tama. Di sana, Tobi tampak mengoceh sekalipun kedua senior yang bersamanya tak begitu memperhatikan. Lalu ketika Tama gantian bicara, Tobi akan heboh menanggapinya.

Alin tampak kesal dengan pemandangan itu dan ia memilih tak melihatnya. Jia memperhatikan. Lalu ia menyadari bahwa setiap orang kenyataannya memang memiliki masalah mereka sendiri.

***

Kinal bertugas piket hari ini, makanya ia berangkat lebih awal. Tetapi sebenarnya setiap hari gadis itu memang berangkat pagi-pagi. Ia punya alasan mengapa melakukannya.

Dengan tangan yang masih sakit, Kinal kesulitan membawa tempat sampah yang penuh. Aneh, entah mengapa setiap jadwal piketnya tempat sampah itu selalu penuh. Mungkin murid yang piket sebelumnya tidak membuang sampah.

Kinal dengan susah payah membawa tempat sampah itu ke luar dari kelas. Ia hampir menabrak seseorang kalau orang itu tak menghentikan langkahnya.

"Eh, maaf." Ucap orang itu. Kinal mengangkat kepalanya. Gadis di depannya adalah Jia. Gadis yang selalu berada di manapun Sekai berada. Sahabat teman sebangkunya.

Raut wajah Jia tampak tegang ketika bertemu pandang dengan Kinal. Namun gadis itu memaksakan senyum kecil. Yang entah terlihat seperti apa dalam pandangan Kinal.

Kinal seperti biasa bersikap dingin. Ia kembali melanjutkan langkahnya. Jia bisa melihat betapa sulitnya Kinal membawa tempat sampah yang tampak berat itu. Gadis itu berperang dengan rasa inginnya menolong serta rasa ingin untuk menanyakan sesuatu. Tentang Kinal dan Sekai.

Jia pun menyusul Kinal. Membantunya. Kinal menoleh dengan sorot mata kaget sekaligus dingin. Jia tersenyum aneh.

"Kamu kayaknya kesusahan bawa ini ke lantai bawah."

Kinal tak mengatakan apapun namun tak juga menolak. Tak bisa dipungkiri, ia memang membutuhkan bantuan atau luka di tangannya akan terbuka lagi.

Sepanjang jalan menuju lantai bawah—tepatnya ke belakang sekolah, di mana pembuangan sampah—keduanya hanya diam. Jia sesekali melirik ke arah perban di tangan Kinal merasa penasaran. Mengapa ia dan Sekai seolah punya luka yang sama.

"Itu...kenapa?" tanya Jia, sebenarnya takut dengan reaksi Kinal.

Kinal menoleh. Tak menjawab karena tak tahu apa yang dimaksud Jia.

"Maksudku, tangan kamu itu." Lalu Jia menunduk. Rasa penasaran yang berlebihan kadang tanpa sadar membuat seseorang melakukan sesuatu di luar kendalinya, di luar kebiasaannya. Dan Jia sebenarnya bukan orang yang cukup peduli dengan masalah orang lain. Dalam kasus yang berhubungan dengan Sekai saja yang menjadi pengecualian baginya.

"Kena pisau." Sahut Kinal singkat. Alasan yang sama dengan Sekai. Menguatkan perkiraan Jia kalau pada saat Sekai membolos, ia sedang bersama Kinal. Tapi apa yang mereka lakukan? Sampai tangan mereka sama-sama terluka? Apa mereka bertengkar?

Mereka sampai di belakang sekolah. Jia masih membantu Kinal untuk membuang sampah itu ke dalam tong besar. Setelah itu Kinal sudah bisa membawa tempat sampah sendirian. Jia berjalan di belakangnya. Namun lekas gadis itu menyeimbangkan langkah mereka. Pokoknya ia harus segera bertanya, sebelum kehilangan kesempatan bicara dengan Kinal.

"Kamu sama Sekai..."

Kinal menoleh sebelum Jia sempat menyelesaikan ucapannya. Gadis itu tak mengatakan apapun. Jia jadi ragu mau melanjutka pertanyaannya.

"Uhm, maksudku apa yang terjadi sama kalian?" akhirnya ia tetap bertanya. Ia tak bisa menahan rasa ingin tahunya.

Kinal tak langsung menjawab, atau ia memang tak akan menjawabnya. Jia merengut. Gadis itu sangat cemas memikirkan jika Sekai mulai memperhatikan orang lain selain dirinya. Terlebih lagi seorang gadis.

"Bukan jenis hubungan yang kamu pikirin." Tak disangka Kinal menjawab. Jia kaget, tapi raut wajahnya masih cemberut. Seolah tak puas karema Kinal tak menceritakan kejadian detailnya. Hanya sekadar penjelasan.

"Dia ngajak aku temenan." Ucap Kinal lagi. Jia tahu kalau Sekai memang ingin punya lebih banyak orang dalam hidupnya. Bukan orang yang datang lalu pergi, namun orang yang berarti untuk melengkapi hidupnya. Seperti yang pernah dikatakan Sekai sebelum ujian kenaikan kelas.

"Jadi...kamu terima?"

Kinal mendecak kecil. "Aku nggak butuh sesuatu yang kayak gitu."

***

"Aku nggak butuh sesuatu yang kayak gitu."

Teman. Sahabat.

Sebelumnya Jia juga pernah berpikir kalau ia tak membutuhkan itu. Ia memiliki ayah yang sangat menyayanginya. Ayahnya adalah teman terbaiknya.

Namun pertemuan dengan Sekai di bangku SMP dulu mengubah cara pandang Jia. Ia membutuhkan teman untuk melengkapi kekosongan dalam hidupnya. Dan Sekai menjadi orang pertama dan satu-satunya yang datang, mengulurkan tangan dan mengajaknya berteman.

"Sendirian itu nggak enak kan?"

"Aku takut sendirian."

"Kadang nggak sadar, tanganku bisa gemetar waktu sadar kalo aku sendirian."

Sekai mengatakan seperti itu dulu.

Sekai yang Jia lihat ketika masih SMP adalah anak cowok yang tampak lemah. Matanya menyiratkan sorot yang tak bersemangat. Yang Jia dengar, waktu itu Sekai belum lama kehilangan adiknya. Namanya Raina. Dia berusia sepuluh tahun saat itu dan meninggal karena hanyut di sungai. Hanya itu yang Jia ketahui. Sekai tak pernah ingin membahas kejadian itu sampai sekarang.

Jia dan ayahnya baru pindah ke Jakarta Selatan. Sebelumnya mereka tinggal di Bogor. Dan di sinilah ia bertemu dengan Sekai. Jia melihat Sekai berjongkok di depan rumah ketika Jia sedang melihat-lihat suasana daerah rumah barunya.

Ia memperhatikan Sekai. Berpikir apa yang tengah dipandangi Sekai di dalam genangan air di depannya. Lalu pandangan mereka bertemu ketika Sekai mengangkat kepalanya. Mereka saling menatap, sebelum Sekai beranjak dan berlari masuk ke dalam rumah.

Kemudian hari berikutnya, Jia dan ayahnya mengunjungi rumah tetangga untuk mengenalkan diri sembari membawa buah tangan berupa buah jeruk dari perkebunan milik kakek Jia di Bandung. Mereka ke rumah Sekai. Ketika ayah dan bunda Sekai menyuruhnya untuk berkenalan, Sekai tampak diam. Jia juga sama diamnya. Sementara orangtua mereka tampak nyaman mengobrol.

"Nama kamu siapa?" tanya Sekai.

Jia menoleh. "Jia."

"Nama panjangnya?"

"Zianka Aneila."

Sekai tersenyum kecil. Ia kemudian mengulurkan tangannya. Jia tak mengerti.

"Aku Sekai." Ucapnya pelan.

Jia menyambut uluran tangan itu. Ia sudah tahu nama Sekai saat ibunya bilang tadi.

"Mau jadi temanku?" tanya Sekai kemudian. Jia terpana. Belum pernah ia merasakan ada seseorang yang mau mengajaknya berteman. Saat masih sekolah dasar, tak ada yang mau berteman dengannya karena ia sangat pendiam.

"Kamu nggak mau?" tanya Sekai lagi. Jia masih memandangi Sekai. Kemudian ia mengangguk pelan. Sekai tersenyum kecil. Jia suka melihat senyumnya. Pertama kalinya mata itu kehilangan sorot sedihnya.

"Hei jangan melamun!" Sekai mengejutkan Jia dari belakang. Gadis itu tadi menunggu Sekai mengembalikan kunci kelas ke penjaga sekolah.

Jia hanya cemberut dan balas memukul lengan Sekai. Cowok itu terbahak. Mereka mulai melangkah menuju persimpangan untuk menunggu angkutan umum.

"Sekai."

Sekai hanya bergumam.

"Kamu suka Kinal ya?" terlalu to the point, tapi Jia tak punya ide untuk berbasa-basi. Sekai tampak kaget lalu berpikir sejenak dan mengangguk. Gantian Jia yang terkejut.

"Tapi bukan suka kayak cowok ke cewek, ini lebih kayak tertarik aja sih."

Jia mendadak lega.

"Kamu pengen temenan sama dia?"

Sekai mengangguk. Langkah mereka terhenti sesampainya di persimpangan. Angkutan umum di depan mereka sudah penuh. Mereka akan menunggu sedikit lebih lama di sini.

"Tapi tadi aku tanya Kinal, dia bilang dia enggak mau temenan sama siapapun." Sembari Jia mengingat ucapan dingin Kinal. Gadis itu, kenapa ia bisa sedingin itu pada orang lain. Sifatnya buruk. Tapi kenapa Sekai justru ingin menjadikannya teman? Apa istimewanya?

Sekai tertawa tanpa suara. Kalau soal itu ia juga sudah tahu.

"Dia bikin aku ingat seseorang, Zee." Ucap Sekai.

"Siapa?"

Sekai menoleh lalu tersenyum seraya menarik hidung gadis itu. Jia mengaduh.

"Bukan siapa-siapa. Ayo, angkotnya udah dateng."

Sementara Jia merutuk sembari mengusap hidungnya yang sakit. Ia diam-diam mengamati Sekai. Kadang ada sisi dalam diri Sekai yang tak bisa dipahaminya.

Kini keduanya sudah berada di jalan menuju rumah. Dan sama-sama kaget ketika melihat sosok yang tak asing di depan rumah Jia. Alden, yang entah sejak kapan berdiri di sana dengan mobil silver yang biasa mengantar-jemputnya ke sekolah.

"Hei, kalian!" cowok itu melambai seraya tersenyum ceria. Alden kemudian mengatakan sesuatu pada sopirnya. Mungkin memintanya agar pergi dan kembali menjemputnya beberapa jam lagi. Karena setelah itu, mobil silver tersebut melaju pergi.

"Ngapain kamu ke sini?" tanya Jia, sebal. Jika ada orang yang paling tidak ia inginkan datang ke rumahnya, itu pasti Alden. Mengingat bagaimana terakhir kalinya Alden menyimpulkan sesuatu tentang ibunya.

"Kunjungan ke rumah temen." Ia menyengir tanpa dosa.

Jia melirik Alden kesal. Ia tampak tidak terintimidasi sama sekali dan malah melemparkan senyum sumringahnya ke arah Bi Arisa yang baru menyajikan sirup dan kue di atas meja ruang tengah. TV sedang menyala, menayangkan anime populer. Alden yang menyalakannya tapi ia malah membuka-buka majalah di atas meja dan bukannya menonton. Majalah khusus gadis remaja. Ia tertawa-tawa entah kenapa seraya membolak-balik lembar majalah itu.

Jia menyambar bungkus keripik kentangnya. Rasa rumput laut kesukaannya. Alden menoleh begitu sadar ia diperhatikan. Lama sekali ia baru menyadarinya.

"Kenapa?"

Kenapa? Seharusnya tanpa menjawab pertanyaan itu Alden bisa paham apa yang dirasakan Jia dengan kedatangannya. Gadis itu kesal karena tahu Alden tidak peka soal itu.

"Jam lima nanti aku sama Sekai mau jogging."

"Oh? Oke, aku ikut kalo kamu maksa."

Jia menekuk mukanya. Bukan itu yang ia maksud. Siapa pula yang memaksanya. Itu sebenarnya isyarat agar Alden sadar dan ia harus pulang.

"Kamu sama Sekai bener-bener deket ya. Bikin iri."

Jia tak menyahut. Ia mengunyah keripik kentangnya dengan gusar.

Alden meletakkan majalah di meja. Mulai bosan. Ia melihat-lihat sekeliling ruang tengah. Lalu berhenti di figura foto di mana hanya ada Jia dengan ayahnya.

"Sampe segitunya ya?"

Ia tidak paham. Ia melihat ke arah yang dilihat Alden saat ini. Foto keluarga kecil Jia.

"Kalo mama kamu udah nggak ada, nggak perlu bikin foto keluarga begitu kan?"

Jia memilih diam. Sebentuk emosi hadir di benaknya.

"Itu kerasa nggak adil. Kamu kayak berniat ngelupainnya."

"Jangan nilai sesuatu yang kamu sendiri nggak tahu kebenarannya." Suara Jia terdengar tertahan. Alden menemukan sorot mata yang tajam. Pertama kali ia melihatnya.

"Mama kamu udah meninggal kan?"

Jia menahan rasa marahnya.

"Zee..." Sekai akhirnya datang juga. Waktu yang tepat. Jia bisa meredam rasa marahnya barusan. Gadis itu beranjak dan meletakkan bungkus keripiknya ke atas meja dengan cukup keras sambil memandang Alden. Alden memasang tampang polos lalu menoleh ke arah Sekai yang sudah siap dengan pakaian celana training, t-shirt polos dan sepatu olahraga.

"Kalian berantem?" tanya Sekai.

"Aku ikut jogging ya."

***

"Zee, buruan larinya!" Sekai setengah berteriak karena melihat Jia yang enam meter di belakang mereka. Alden dengan pakaian yang dipinjamkan oleh Sekai berlari dengan gaya mundur. Ia melihat ke arah Jia yang mukanya masih cemberut. Gadis itu masih marah soal tadi.

"Sekai, Jia itu gimana sih?"

"Gimana apanya?" tanya Sekai, tanpa menoleh. Ia sedang melambatkan laju kakinya. Agar Jia dapat menyusul mereka.

"Dia selalu cemberut kalo aku bicarain mamanya."

Sekai agak kaget. "Itu bukan sesuatu yang pengen dia bahas."

Alden menoleh. "Oh ya? Emangnya kenapa?"

"Semua orang berhak punya rahasia kan? Jangan tanya itu sama dia."

"Kamu larang gitu, aku malah pengen tahu." Sahut Alden.

Sekai menghentikan larinya. Alden bingung dan ikut berhenti.

"Jangan sekali-kali nyari tahu tentang itu. Jia nggak bakal suka."

"Kamu sendiri tahu tentang itu?"

Sekai mengangguk. Ia menoleh ke belakang. Jia malah sengaja melambatkan langkahnya. Tampaknya ia tak mau berada di dekat Alden. Ia pasti sedang kesal sekali.

"Aku juga temennya, harusnya dia cerita."

Sekai tertawa pelan. Lalu menepuk pundak Alden.

"Lo polos banget sih jadi orang."

Alden tak suka disebut begitu.

"Jia nggak gampang percaya sama orang lain."

"Hei, aku bukan orang lain. Aku temennya." Protes Alden. Ia melihat ke arah Jia. Gadis itu menghentikan langkah di ujung sana. Membuat Alden tambah kesal saja.

"Yah, elo nganggep gitu, tapi Jia belum nganggep lo sebagai temannya."

"Itu nggak adil!" Alden hendak protes pada Jia. Sekai menahannya.

"Setiap hubungan butuh proses, Al. Jia juga butuh waktu lama percaya sama gue, dan gue juga kayak gitu ke dia. Kepercayaan itu dibangun pelan-pelan, bukan dipaksain."

Alden tampak tak senang walau ucapan Sekai memang benar. Ia memandang Jia. Gadis itu bergeming di sana. Pura-pura tertarik melihat tanaman bunga liar di pinggir jalan.

"Lo bener-bener suka sama Jia ya?" Sekai menyimpulkan. Ia mulai melangkah, ke arah Jia di depan mereka. Alden mengikuti sembari menjawab tanya Sekai dengan gumam pelan.

Sekai tertawa tanpa suara. "Kenapa?"

"Dia manis."

"Cuma karna itu?"

Alden menggeleng. Jia yang tengah ia lihat membuang muka ketika bertemu pandang dengannya.

"Ada sesuatu yang bikin aku tertarik."

"Apa?"

Alden tak menjawab. Mereka sudah dekat di tempat Jia berdiri. Gadis itu melirik sinis ke arahnya. Alden hanya tersenyum kecil lalu menghela napas.

Matanya yang menunjukkan kesepian. Alden menjawab, dalam hati.

***

Continue Reading

You'll Also Like

658K 19.3K 40
Ivander Argantara Alaska, lelaki yang terkenal dingin tak tersentuh, memiliki wajah begitu rupawan namun tanpa ekspresi, berbicara seperlunya saja, k...
3.2M 206K 45
Hanya Aira Aletta yang mampu menghadapi keras kepala, keegoisan dan kegalakkan Mahesa Cassius Mogens. "Enak banget kayanya sampai gak mau bagi ke gu...
700K 5.3K 26
di jadikan pembantu di rumah pengusaha kaya raya dan anak dari pengusaha kaya itu jatuh cinta kepada pembantu itu bahkan saat baru awal bertemu ia su...
453K 34.4K 43
"Seru juga. Udah selesai dramanya, sayang?" "You look so scared, baby. What's going on?" "Hai, Lui. Finally, we meet, yeah." "Calm down, L. Mereka cu...