Di Bawah Nol (Book 1)

By agitaputrish

712K 100K 7.7K

(Completed) Dunia kini berbeda. Badai datang dan tak kunjung berhenti. Salju pun mengubur seluruh kota serta... More

Prolog
HOPE
Sampai Jumpa
Hari Pertama
Serangan
Padang Salju dan Rahasianya
Si Misterius
Penyakit Padang Salju
Berdua Menantang Maut
Bunker JKT-2034
Bangkit
Pencarian
Jembatan Tua
Harta Karun?
Lima Puluh Sembilan Jam
Characters Illustration
Halusinasi
Reruntuhan
Terguncang
Lebih Tangguh
"Harapan?"
Menunggu
Hutan Yang Tak Biasa
Sampai Jumpa Di Padang Hijau
Selamat Datang
Sosok Lain
Tentang Sequel
SURPRISE

Runtuh

19.9K 3.4K 191
By agitaputrish

Hari Rabu, dua tahun lalu. Dokter Kandi mengadakan penyuluhan untuk anak-anak kelas dua belas. Beliau bilang, obat kimiawi tidak selalu menjadi faktor utama kesembuhan pasien. Ada obat lain, semua orang mempunyainya. Namanya dukungan.

Seampuh apapun suatu obat, tak akan berhasil tanpa dukungan. Terutama dukungan orang-orang terkasih pasien. Bisa berupa apapun... doa, sentuhan, atau duduk di dekatnya.

Dulu Ardela menganggap dokter Kandi berlebihan, tapi sekarang ia setuju. Aksa sadar dari koma bukan hanya berkat antibiotik, tapi karena kehadiran teman-teman sektor seni juga. Ditambah, Ardela memaksa Damar melepas radio dari kokpit dan membawanya ke telinga Aksa.

"Aksa... ini aku. Kau baik-baik saja?"

Suara lembut itu membuat kebahagiaan meleleh di mata Aksa. "Sh... Sheryl," katanya. "Ya, aku baik-baik saja. Pahlawan berhati malaikat menolongku." Dia melirik Ardela, mengatakan terimakasih tanpa suara.

Ardela mengangguk lalu keluar kabin. Ia menghela napas panjang. Menolong Aksa bicara dengan Sheryl membuatnya senang sekaligus bete.

El bersama Juna nampak menarik kontainer berisi senapan ke tengah kemah. Semua orang pun mengerubunginya diiringi bisik takut dan senang yang bercampur.

El mengangkat satu senapan, kerumunan bertepuk tangan dan bersorak-sorak penuh semangat padanya. Dia berbicara lantang tentang latihan menembak bagi mereka yang terpilih untuk pos jaga. Ada sekitar sebelas orang.

Dia melirik Ardela yang melipat tangan di dada lalu kembali bicara. "Siapapun yang menyalahgunakan senapan, berurusan denganku!"

Sebelas orang berbaris—termasuk Dirga. El menaruh sasaran berupa kayu yang ditancap ke salju. Mereka pun memperhatikan.

Dia memegang senapan dengan dua lengan berotot itu, terlihat begitu pas. Level kegagahannya seketika naik, bahkan gadis-gadis di belakang tersenyum centil padanya. Mata tajamnya mengitip ke scope lalu ia menekan pelatuk. Timah panas pun membolongi pinggir kayunya.

Satu persatu mencoba menembak. Hanya mendapat sekali giliran demi menghemat peluru. Beberapa orang kacau tak bisa membidik, bahkan pelurunya bermentalan ke atas. Ada yang gemetar duluan sebelum menembak. El sempat pusing.

Disty keluar kabin. Matanya tak kunjung lepas dari El yang sibuk membimbing dengan suara baritone itu. Dia senyam-senyum sendiri dan berkali-kali membenarkan kacamata.

"El!" panggil Ardela. "Kurasa dokter kita ingin mencoba. Mungkin dia sekeren James Bond."

El mengangguk, membuat Disty seketika kebakaran jenggot.

"Del... siapa itu James Bond?!" Dia mencengkram pundak Ardela. Ekspresi bahagia dan panik melebur di wajahnya. Ardela malah nyengir lalu mendorongnya sedikit, dia pun melangkah menghampiri El.

Disty ditaruh di barisan depan. El bilang senapan khusus untuk laki-laki, jadi ia mendapat pistol. Ekspresinya langsung panik, tangannya gemetar saat mengangkat pistol. El pun berdiri di belakang Disty memegang kedua tangannya dan mengarahkan ke sasaran. Tak tau kenapa Ardela nyengir puas melihat mereka.

Disty berteriak ketika peluru ditembakkan. Bukannya takut, dia malah diam terpana lalu tertawa.

"Giliranmu, Nona Penjaga!" kata El.

Sebenarnya Ardela belum pernah menembak, tapi sering mengintip ayahnya saat berlatih di sektor pertahanan. Dia pun melangkah, semua orang langsung menatapnya. El menyodorkan pistol, tapi Ardela mengangkat satu alis lalu mengambil senapan Dirga.

"Awas, itu bukan untuk gadis manja kesayangan papa Penjaga," kata Juna dari barisan. Sebaris laki-laki itu pun tertawa.

Ardela tersenyum tipis. "Kau berani ya. Kemarilah, pegang sasaran untukku."

Tawa mereka berhenti. Juna mau protes, tapi El menyerahkan tongkat kayu padanya. Laki-laki beranting hidung itu melangkah sambil ngedumel. Dia berdiri di sebelah sasaran lain, merentangkan tangannya agar tongkat sejauh mungkin.

"Di atas kepalamu dong," kata Ardela. "Kau cowok paling berani se-sektor pabrik, 'kan?"

Semua orang datang menonton. Juna pun mendengus, mengangkat tongkat dengan dua tangan tak jauh di atas kepalanya.

"Anak Penjaga! Jika kau mengenai kepalaku—"

"Iya, pasti kena." Ardela fokus membidik lewat scope, mataya sampai pegal. Lalu ia menyiagakan jari di pelatuk. "Ada kata-kata terakhir?"

Dia meyakinkan kedua tangan dan matanya. Bidik, yakin dan lepaskan. Itu yang sering ayahnya bisikkan sebelum menembak. Kerumunan pun rewel karena Ardela terlalu lama. Dia menghela napas dan menekan pelatuk.

Timah panas meluncur.

Juna menjerit, panjang dan tinggi. Kerumunan tercekat bersamaan. Ardela pun menurunkan senapannya, panik, tapi wajah paniknya perlahan berubah jadi cengiran. Bagian atas kayunya bolong terkena peluru. Itu belum tepat tapi setidaknya kepala Juna masih utuh.

Kerumunan bertepuk tangan, termasuk El. Dia tepuk tangan sambil mengangguk. Ardela hanya tersenyum awkward, belum pernah jadi pusat perhatian.

"Selamat, kau kutempatkan di pos jaga," kata El. "Matamu akurat."

"Itulah kenapa dia dipanggil eaglet," serobot Dirga. Dia melirik Ardela, datar. "Lumayan, Dik."

Tiba-tiba seseorang berlari ke tengah kemah. Itu Sagita, membawa radio sambil berteriak memanggil semua orang lalu jatuh berlutut di atas salju. Kerumunan pun berpindah. Ardela berlari, menyerobot orang-orang dan berlutut di sebelahnya.

Radionya tidak rusak, malah terdengar orang bicara. Sagita mengangkat kedua tangan, menyuruh semua orang diam mendengarkan. Itu... suara gaduh hasil kombinasi jeritan puluhan orang, langkah kaki dan sirine. Terdengar panik. Ada pula bunyi ledakan di kejauhan.

Baru Ardela mau bertanya, El menariknya berdiri dan membawanya menjauh. Dia melawan tapi dua tangan sekuat baja itu menahannya. Dirga hendak menolong tapi Juna mendorongnya menjauh.

"Apa yang terjadi?" tanya Disty, ia duduk di sebelah Sagita.

"Aksa sedang ngobrol dengan Sheryl, tiba-tiba saluran pindah ke sektor pertahanan," balasnya. "Yang terdengar hanya ini. Aku bertanya tapi tak ada respon."

Gibran menerobos. Keningnya berkerut saat mendengar bunyi sirine. "Aku tau bunyi itu! Sirine penanda malfungsi mesin pembangkit listrik. Berulang-ulang berarti darurat." Matanya memancarkan kengerian. "Itu sirine evakuasi."

"Apa maksudmu?!" teriak Disty.

"Sayang, akan terjadi ledakan sekitar lima menit lagi! Sirine itu pertanda semua orang harus keluar." balasnya. "Mesin di sektor pertahanan adalah generator utama, terbesar. Jika meledak..." Dia tak melanjutkan.

"Seluruh gedung tengah hancur," lanjut Sagita. "Itu lokasi teramai."

Di radio semua orang masih berteriak diiringi sirine. Lima detik berlalu, seharusnya kegaduhan berkurang karena orang-orang dievakuasi, tapi teriakan masih ramai. Setelah didengar lebih teliti, mereka berteriak buka sambil menggedor-gedor.

"Di sini... Lasya," katanya terengah-engah. "Aku tak punya banyak waktu. Catat koordinat ini. Jemput para penumpang HOPE II dan temukanlah padang hijau."

Sagita menarik pulpen dari saku. Dia menulis koordinat dari Lasya di tangannya, beserta semua spesifikasi wilayah. Setelah tangannya penuh, ia pun menarik tangan Gibran.

Ardela menyikut dagu El. Dia terlepas dan berlari menerobos kerumunan. "Ibu! Aku masih hidup, ceritanya panjang. Apa yang terjadi?!"

Lasya terdiam sejenak. "Aku tau kau pasti masih hidup, Eaglet, kau gadis tangguh," balasnya gemetar. "Chief Bara... meledakkan empat mesin di Graha. Dia mengurangi jumlah penduduk dan penggunaan energi agar Graha bisa bertahan. Sebagian warga sektor seni, medis dan pendidikan dikurung, mesinnya sudah meledak lima menit lalu. Maafkan aku terlambat mengetahuinya." Dia terisak. "Sekarang... anggota dewan berikut dua ratus tahanan dan belasan Penjaga, termasuk ayahmu, dikurung di sektor pertahanan yang akan meledak sebentar lagi."

"Kenapa Chief Bara bisa lolos?!" tanya Gibran.

"Yang direktur Argus dan warga lainnya ketahui adalah ini kerusakan sistem."

Suara Ardela seakan hilang. Dia hanya terengah-engah dan mencengkram salju. Suara sirine itu membuatnya tertekan, apalagi karena ia tak bisa berbuat apapun.

"Radisty? Ini... ini aku." Kali ini suara bapak-bapak, begitu tenang. "Kau satu-satunya dokter di misi HOPE, Nak. Bantulah mereka dengan ilmu yang kau punya, lakukan dengan iklhas. Aku dan seluruh warga sektor medis bangga padamu."

Bibir Disty gemetar seiring air mata menitik. "Ayah? Ayah.. tidak, aku tidak bisa tanpamu."

Kerumunan mulai gaduh. Sebagian berteriak memanggil orang tuanya, sebagian meminta kesempatan bicara. Mereka maju keroyokan, mendorong satu sama lain sampai terjatuh dan seseorang terinjak. Damar dan Dirga pun menahan mereka.

"E... Eaglet, bawalah mereka pulang ke padang hijau," kata Lasya cepat. Dia berdehem. "Anggota misi HOPE, kita semua lebih kuat dari badai salju, kebersamaan adalah rumah kita dan kebaikan menghangatkan jiwa kita. Jangan putus harapan. Sampai jumpa di padang hijau."

Terdengar suara ledakan keras.

Radionya mati, menyisakan suara dengung. Semua orang ikut terdiam. Semetara Sagita memutar tuas frekuensinya berkali-kali, tapi tetap hening. Dia pun menggeleng.

Disty melangkah sempoyongan menjauhi kerumunan. Wajahnya dibajiri air mata. "Ayah... tidak, ayah... aku—" Dia terjatuh ke salju, tak sadarkan diri. Dirga berlari menghampiri dan menggendongnya di kedua tangan, langsung membawanya ke kabin.

Semua orang terguncang. Beberapa orang duduk di salju menangis menutupi wajah. Seseorang berusaha menerjang radio, tapi Juna menahannya. Sagita memeluk Iren yang menangis hebat. Aksa keluar kabin, menatap lemah melihat sekitarnya. Matanya berhenti di Ardela. Dia berjalan pincang ke arahnya dan jatuh terduduk di dekatnya tapi tak berani bicara.

Ardela hanya duduk memeluk kedua lutut, melamun. Melihat salju berjatuhan seakan harapannya ikut berjatuhan. Penyesalan meneggelamkannya. Sangking banyak yang harus disesali, ia bingung harus menyesali yang mana dulu. Terlalu banyak yang perlu ditangisi, dia sampai tak bisa menangis. Hanya melamun.

Dug! Gilen meninju El. "Jadi itu rahasia yang Ardela ketahui? Dan kau mencegahnya memperingatkan Graha?!" teriaknya. "Sialan!"

Seseorang menendang El sampai jatuh. Iren berdiri menghalanginya dari orang-orang yang menyerbu, tapi Gilen mendorongnya. Seseorang menendang wajah El dan meninjunya. Dia pun merangkak menjauh, darah menetes dari mulutnya. Gibran mengejar dengan kaki pincang, ia naik ke dada El dan mencekiknya sampai pucat.

"Kau pembunuh!"

Gilen belum puas, dia bersama lima orang lainnya mengambil senapan. Bersama-sama menerjang kerumunan. Damar menyuruh mundur tapi moncong senapan ditodongkan ke dadanya. Lalu dua orang membawa tombak menuju El. Juna menahan mereka, dia pun dipukuli batang tombak sampai jatuh. El sudah tak bergerak sementara lehernya masih dicekik oleh Gibran. El pun hanya pasrah melihat Gilen menodongkan senapan padanya.

Terdengar bunyi tembakan, tiga kali, berasal dari belakang kerumunan. Semua orang berteriak sambil merunduk. Semuanya pun diam, menutup telinga.

Ardela berdiri di tengah kemah, tak jauh di belakang kerumunan. Satu tangannya memegang senapan yang mengarah ke atas dan masih mengepulkan asap. Dia menatap semua orang dengan mata sembab. "Saling membunuh tidak akan mengembalikan mereka."

"Tapi El membunuh keluarga kita di Graha!" protes Gilen.

"Chief Bara yang membunuh keluarga kita," balas Ardela. "El dijebak dan kehilangan keluarganya, sama seperti kita."

Seorang gadis maju membawa tombak. "Kau membelanya?!"

Ardela menggeleng, tetap tenang. "Aku hanya ingin kita berkabung dengan cara yang benar, tidak dengan membunuh. Kita bisa duduk bersama, menyampaikan salam terakhir untuk mereka."

"Lalu apa?! Hah?!" teriak Gilen.

"Kita temukan padang hijau," balasnya. "Demi mereka."

---

Thanks for reading! Akan diupdate tanggal 4 September 2016 :)

Continue Reading

You'll Also Like

18.7K 7.7K 106
Panggil dia Anak Setan. Dia manusia miskin dengan uang saku lima ratus perak, dengan otak lebih ke licik ketimbang cerdik, pengidap sindrom antibetin...
270K 52K 54
(Completed) (BOOK 1 & 2) Diawali penjarahan dan pembunuhan berantai di Jakarta. Kalea, mantan kadet pembunuh terlatih, bergabung dengan organisasi...
21.1K 1K 28
Bercerita tentang pahlawan pulau rintis bernama boboiboy dkk yang harus pergi mencari keberadaan beberapa power spera yang terseret ke dalam portal t...
26K 4.5K 27
Roumeli penuh keingintahuan, namun di Terra Firma ada satu pertanyaan terlarang: "Mengapa dengan dunia?" Tidak ada yang bisa menjawab kecuali Beyaz...