The Adorable Gentleman

By teru_teru_bozu

141K 6.2K 649

Karena aku pecinta roman menye-menye ala harlequin, maka aku balik ke selera asal. Nulis roman lageee... hehe... More

part 1
part 2
part 4
part 5
part 6a
part 6b
part 7
part 8

part 3

12.5K 602 42
By teru_teru_bozu

Hingga tengah malam Addie tak sanggup memejamkan mata. Sejak menyadari dirinya jatuh cinta pada Ray, kehadiran lelaki itu selalu menimbulkan efek yang begitu mendalam baginya. Ya Tuhan, bila rasa cinta itu begitu menyakitkan, dia tak akan menyesal kalau tak harus mengalaminya. Addie sudah lelah menangis, lelah merasa sakit hati, dan yang terpenting, dia telah lelah untuk terus-menerus berputus asa. Kondisi seperti ini harus berubah. Tetapi tekadnya terlalu lemah untuk berubah. Dia membutuhkan lokomotif berkekuatan penuh untuk menarik gerbong keputus-asaan yang memenjarakan hatinya.

Pagi hari tetap menjadi saat paling berat bagi Addie. Terutama setelah begadang semalaman tanpa rencana, di tengah minggu yang sibuk seperti sekarang. Saat alarm di atas nakas di samping tempat tidurnya berbunyi, Addie menggeram malas. Refleks dia menjangkau benda yang menjerit-jerit pilu itu dan menghentikan penderitaannya dengan mematikannya. Sepuluh menit lagi, batin Addie tanpa membuka mata. Dan sepuluh menit yang dijanjikan itu terjadi tepat empat puluh lima menit kemudian. Addie meloncat dan menjerit frustasi melihat angka pada jam meja yang seolah mengejeknya dengan menunjukkan tanda bahwa dia harus sampai di tempat kerjanya dalam waktu lima belas menit!

Tanpa sempat mandi, hanya mencuci muka dan gosok gigi, Addie mengambil langkah praktis dengan mengikat rambutnya menjadi gelung mungil di tengkuk. Dengan putus asa dia mencari-cari stocking yang menghilang entah kemana dan akhirnya harus puas dengan menemukan stocking lama yang beberapa benangnya terlepas. Tak ada yang akan memperhatikan! Batinnya meyakinkan diri sambil meraih pakaian kerjanya. Dan Addie membelalak ngeri menyaksikan lingkaran hitam di sekeliling matanya tanda kekurangan tidur.

“Aku harus menutupnya dengan make up sialan!” serunya kian putus asa.

Dan Addie akhirnya tetap terlambat sepuluh menit dari seharusnya. Tepat waktu  untuk menghadapi kemarahan supervisor yang bertanggung jawab pada posisinya. Ya Tuhan, betapa kacaunya hari ini!

Bahkan saat Margie kembali meneleponnya pada saat menjelang istirahat makan siang, Addie masih belum menemukan keceriaannya.

“Apalagi, Margie?” tanyanya dengan keengganan yang tak sanggup dia tutupi.

“Addie sayang, kenapa kau terdengar tidak bersemangat?” seru Margie dari seberang sana, ceria seperti biasa.

“Aku tak punya alasan untuk bersemangat mendengar suaramu, Margie. Ada apa? Cepat katakan karena aku harus segera makan siang.”

“Ow ow… si kecil Addie sedang marah. Maafkan aku sayang karena terlalu mengkhawatirkanmu semalam sehingga aku menghubungi Ray. Apakah dia menimbulkan kesulitan bagimu?”

“Aku tidak marah lagi, Margie. Aku akan kehabisan energi bila harus selalu marah pada segala hal yang menyangkut kamu dan Ray!” kata Addie dengan lelah.

“Gadis yang manis,” kata Margie dan Addie bisa membayangkan tawa penuh kepuasan Margie yang terpampang di wajah cantiknya. “Aku hanya akan mengabarimu tentang berita gembira. Tadi pagi Ray sudah menghubungiku dan menyatakan persetujuannya tentang pesta itu. Bukankah itu luar biasa, Addie?”

“Hm… begitulah…”

“Addie, jangan skeptis begitu. Pesta ini sangat penting untukku.”

“Oh ya? Kenapa hal itu tak mengherankan bagiku? Kamu memang gadis tua yang ambisius!”

Margie tertawa terbahak-bahak. “Baiklah. Kalau kau sudah mengejekku secara langsung begitu, berarti mood mu sudah lebih membaik,” katanya. “Dan aku juga sudah bilang pada Ray bahwa nanti kau bisa pulang bersama Ray dan Fiona. Rencananya Ray akan memakai pesawat pribadinya.”

“Margie!”

Teriakan kemarahannya tak mendapatkan tempat yang semestinya karena seperti sudah menduga, Margie buru-buru mematikan sambungan telepon dan membiarkan Addie tenggelam dalam rasa frustasi. Berada di satu tempat bersama Ray dan kekasihny? Betapa teganya Margie!

***

Addie mengharap hari berhenti berputar sehingga akhir minggu yang menakutkan itu tak terjadi. Tetapi bagaimana mungkin? Dengan Margie yang hampir setiap saat menerornya melalui ponsel, Addie sangat tidak mungkin untuk menghindar. Sedangkan Ray, entah mendapatkan pencerahan dari mana, telah menghubungi Addie dua kali. Dua kali dalam tiga hari bisa dianggap memecahkan rekor dunia! Meski apa yang ditanyakan oleh Ray jauh dari sesuatu yang bersifat personal.

“Kuharap kau tidak lupa bersiap-siap,” kata Ray pada telepon pertama.

“Bersiap-siap untuk apa?” tanya Addie terheran-heran.

“Tentu saja untuk acara atau apapun itu yang telah kau siapkan bersama Margie.”

Addie terkejut. “Hei! Bukan aku yang merencanakan semuanya!” bantahnya sengit.

Namun di ujung sana Ray telah menutup teleponnya. Meninggalkan Addie menggeram dengan penuh kejengkelan.

“Apakah kau yakin sudah memiliki pakaian yang pantas?” tanya Ray pada telepon kedua keesokan harinya.

“Sudah kubilang aku tak akan muncul di pesta! Jadi aku tak perlu menyiapkan pakaian apapun!”

“Kuanggap kau belum memiliki gaun yang cocok,” lelaki itu memutuskan secara sepihak.

Dan Addie harus terheran-heran ketika keesokan harinya, dia ditelepon sebuah butik yang membuat janji dengannya pada saat istirahat makan siang.

“Maaf, saya tak membuat janji apapun dengan butik anda!” tolak Addie terkejut.

“Ini atas nama Mr. Raymond Adams, Miss Smith,” jawab suara di ujung sana dengan kalem.

Dan masih dengan penuh keheranan Addie pun berangkat menuju alamat yang diberikan dan harus kembali dikejutkan oleh penampilan butik elegan itu. Addie memang bukan orang miskin. Orang tuanya telah mengatur cukup dana yang akan membuatnya hidup nyaman bahkan bila dia memutuskan tidak bekerja. Namun dia juga bukan orang kaya yang bisa menghamburkan uang sebesar nilai sewa apartemen menengah selama setahun hanya demi selembar gaun musim panas terbaru.

Dan Addie hanya bisa pasrah ketika seorang pramuniaga membimbingnya ke ruangan khusus pelanggan, di mana dia dijamu bak seorang putri, lengkap dengan sampanye mahal yang dingin mengaliri tenggorokannya yang kering. Menyaksikan helai demi helai pakaian pesta makan malam dan cocktail ditampilkan di depan hidungnya.

“Maaf, saya tidak terlalu mengikuti dunia fashion. Jadi agar saya tak membuang-buang waktu Anda, lebih baik pilihkan saja sesuai keinginan orang yang akan membeli gaun-gaun itu. Saya akan menerimanya tanpa protes,” katanya praktis.

Dan jadilah Addie membawa dua tas besar dengan label butik terkenal itu serta menjadi pusat perhatian rekan-rekan kerjanya yang memandang penuh iri. Addie dan keluarganya yang kaya raya, begitu mereka menjulukinya. Andai mereka tahu, batin Addie.

Tak cukup hanya itu, sore itu Ray bahkan merasa perlu untuk menjemput Addie sepulang bekerja. Addie hampir terkena serangan jantung ketika ada telepon dari resepsionis yang mengatakan bahwa Mr. Adams sudah berada di lobby dan dia tak mau menunggu lama. Addie begitu terkejut hingga gagang telepon terlempar dari tangannya. Ray! Menjemputnya! Itu hampir sama mustahilnya dengan peristiwa bekunya api neraka!

Bak prajurit kecil yang nekad, Addie setelah menyambar tas tangan dan mantel musim panasnya, berderap dengan langkahnya yang cepat, hampir menghambur, menuju ke lobby. Hanya untuk mendapati bagaimana kakak angkatnya itu kembali membuat hatinya menggelepar oleh taburan pesonanya.

“Ray…” Addie memanggil lelaki itu dengan suara tercekat yang nyaris tertelan ke kerongkongannya.

“Halo, Addie. Jangan katakan aku bukan kakak yang baik untukmu, ya,” kata Ray sambil tersenyum.

Ray tersenyum! Dengan sudut bibir tertarik ke atas, bahkan senyumnya juga menjangkau mata! Mimpi pun Addie tak berani untuk membayangkan kakak angkatnya akan kembali seperti dulu.

“Kenapa? Kau heran?” Ray mengangkat alisnya dengan jenaka.

Dan Addie pun kesulitan bernafas.

“Ma-maaf, a-aku hanya ter-terkejut. Iya, aku terkejut,” Addie tergagap.

Tawa pelan Ray bagai alunan musik nan indah menggema memenuhi hati Addie kala lelaki itu dengan lembut meraih lengan Addie dan membimbingnya keluar. “Yuk, kuantar pulang.”

“Ray, aku … Maksudku, kau tak usah memaksakan diri. Aku bisa pulang sendiri,” Addie berusaha menolak meski sangat lemah.

Yang tentu saja dengan mudah diabaikan oleh Ray. Lelaki itu menggandengnya menuju pelataran parkir tempat mobil mutakhir Ray berada. Mobil sport edisi terbaru berwarna hitam itu tampak sombong dan angkuh berada di hamparan beton yang melapisi pelataran luas itu.

Tanpa berpanjang kata, Ray menghalau Addie ke kursi penumpang, dan dengan gerakannya yang luwes, lelaki itu menyelipkan tubuh elegannya di balik kemudi. Mereka pun meluncur dalam lalu lintas sore hari yang padat. Rasanya seperti masa lalu yang membuat Addie hampir menangis karena bahagia. Dengan Ray yang berbincang ramah tentang ini itu yang hanya didengarkan sepintas saja oleh Addie karena baginya tak penting apa yang dibicarakan lelaki itu karena mendengar alunan sara Ray sudah cukup untuk membius hatinya. Dan dari perangkat stereo mobil mengalun musik indah yang membuat suasana terasa kian hangat.

Not every man can build his dream house 
Not every man has big words to say 
Able men keep this world turnin 
For the rest of us making our way 

Not every man can write a love song 
To sing to the one that he holds so true 
There are things a man can try learning 
There are things he should know how to do 

Every man should know how to love her 
Every man should know how to care 
Every man should recognize what she’s saying with her eyes 
And help with her burdens to bear

… (*every man should know - Harry Connick Jr.)

“Aku suka lagu ini,” komentar Addie. “Lagu ini seolah membawaku bermimpi.”

“Aku juga suka,” sahut Ray pendek.

Addie menoleh dengan terkejut. Ray adalah jenis orang yang tidak mudah menyukai sesuatu. Dia juga bukan orang yang mudah mengekspresikan kekaguman akan sesuatu. Bila Ray mengaku suka, itu berarti sesuatu.

“Penyanyi yang satu ini layak dikagumi. Dia punya gaya yang layak ditunggu,” kata Ray. “Dia baru kembali berkarya setelah sekian lama.”

“Oh ya?” Addie mendengarkan penuh ketertarikan. Selera Addie sejauh ini memang hanya berputar pada musik-musik untuk gadis seusianya.

“Dia komposer terkenal. Namanya menghilang selama beberapa tahun. Namun aku dengar dia sudah kembali muncul. Lagu ini sebagai single dia untuk kembali berkarya,” Ray melanjutkan. “Dan kuharap itu benar. Karena kualitas musik dia terlalu sayang untuk dilewatkan.”

“Aku tak tahu siapa dia,” Addie mengakui. “Tapi suaranya seperti suara Theo.”

Ray menoleh. “Theo?”

Addie tertawa. “Bukan siapa-siapa. Hanya seorang teman yang kebetulan mahir memainkan piano sambil menyanyi.”

Dan Addie tersenyum mengingat kenangan beberapa hari lalu saat dia mendampingi Theo menyanyi di restoran kecil yang nyaman itu. Rasanya peristiwa itu seperti terjadi di dunia lain saja. Di manakah Theo sekarang? Addie menggeleng tanpa sadar.

Tiba di depan apartemen Addie, Ray menolak untuk masuk.

“Aku harus membiarkanmu cukup beristirahat. Kau perlu apa yang dinamakan para gadis sebagai tidur cantik, bukan?”

Addie tertawa. “Kuharap aku akan cukup cantik di pestamu nanti.”

Ray memandang Addie lekat-lekat. “Kau selamanya adalah gadis kecilku yang cantik, Addie,” katanya. “Aku hanya sulit menerima kenyataan bahwa kau telah tumbuh dewasa seperti ini.”

Addie menggigit bibirnya. Aku memang telah tumbuh dewasa, Ray. Namun yang sepertinya belum berubah adalah, kau tetap menjadi pangeran di hatiku, batin Addie pilu.

Memasuki apartemennya, Addie menata pakaian yang akan dibawanya pulang nanti. Addie gadis yang praktis, namun untuk kesempatan ini dia harus bersusah payah memilih jenis pakaian apa saja yang cocok dia kenakan.

Hingga ponselnya berbunyi. Dari nomor yang sama sekali tak dikenalnya. Addie berniat untuk mengabaikan panggilan itu. Namun di detik terakhir, lengan kurusnya menjangkau benda itu dan membukanya.

“Halo.”

“Addie, ini Theo,” suara maskulin di seberang sana memotong ucapan salam Addie.

“Theo?”

Suara tawa Theo yang dalam terdengar di ujung sana. “Gadis manis, kuharap kau tak secepat itu melupakan Theo tuamu ini.”

“Kau bukan Theoku!” bantah Addie cepat. “Maaf. Pastinya kau menelepon bukan untuk beromong-kosong kan?”

“Tidak. Aku hanya ingin memohon belas kasihanmu.”

“Dan apakah itu?”

“Hiburlah Theo tua yang malang ini. Aku sedang kesepian.”

“Hei, aku bukan penghibur gratisan!”

“Kuanggap itu sebagai persetujuan. Kujemput tiga puluh menit lagi. Tak usah repot-repot berdandan. Mata rabunku ini sudah mengetahui betapa manis dirimu.”

Dan begitu saja. Lelaki itu menutup telepon sebelum Addie sempat membantah. Dan membiarkan Addie menggerutu panjang pendek.

Tepat tiga puluh menit kemudian Theo sudah muncul di depan pintu apartemen Addie. Addie hampir lupa betapa menawan Theo dengan caranya yang berbeda. Sosoknya yang tinggi kokoh dengan pembawaan santai itu begitu enak dilihat.

“Apakah semua teman kencanmu telah menolakmu sehingga kau merendahkan diri dengan mengajakku?” sambut Addie tajam.

Theo tertawa lebar. “Simpan cakarmu untuk sementara, gadis manis. Aku sedang ingin melihat senyum manismu. Dan satu atau dua ciuman juga akan sangat diterima dengan senang hati.”

Addie mencibir.

“Kecupan di pipi mungkin? Sebagai seorang teman?” Theo mengerling jenaka.

Mau tak mau Addie tersenyum oleh selera humor Theo. Dengan malu-malu dia mendekat. “Menunduklah. Aku tak bisa menjangkau pipimu.”

Theo tertawa lebar sambil membungkuk. Addie masih perlu sedikit berjinjit untuk menjangkau pipi Theo. Lelaki itu memberi solusi dengan meraih lengan Addie dan mengalungkannya di leher, lalu seolah Addie seringan bulu, mengangkat tubuh Addie dan membuat wajah mereka sejajar.“Sempurna,” katanya.

Addie tertawa dan mencium pipi Theo dengan lembut. “Nah, Pak Tua. Kuharap ciumanku memenuhi syarat. Dan aku ingin tahu bagaimana kau mengetahui nomor ponselku.”

“Aku tak akan menjadi tua dengan penuh pesona bila aku tak tahu bagaimana cara mendapatkan nomor telepon gadis-gadis yang akan kukencani,” katanya sambil menyeringai.

“Kubayangkan Theo tua yang malang sedang mengecek daftar nomor telepon, menghubungi satu persatu perempuan yang potensial untuk menghangatkan malamnya. Namun sayang, semua perempuan itu fully booked. Sehingga Theo tua yang malang harus berakhir bersama Addie kecil yang tak kalah malangnya.”

Theo tertawa terbahak-bahak mendengarkan narasi Addie.

Kali ini Theo membawa Addie ke sebuah restoran keluarga yang menghidangkan menu lezat, penuh lemak tentu saja, dan suasana yang hangat. Yang jelas ini bukanlah tempat seorang lelaki membawa wanita teman kencannya untuk menghabiskan malam dengan penuh gairah. Dan Theo beraksi layaknya seorang paman yang baik dengan membiarkan Addie memilih sendiri semua makanan kesukaannya.

“Dan karena kau telah begitu manis, maka aku akan membiarkanmu memilih rasa es krim favoritmu,” bisiknya penuh persekongkolan.

“Lebih dari satu rasa?” tanya Addie dengan antusias ala anak kecil.

“Lebih dari dua rasa kalau mau. Asal kau berjanji tidak mengatakannya pada perempuan lain yang akan menangis iri melihatmu makan seperti kuli pelabuhan, namun memiliki tubuh kurus seperti model.”

“Model yang terkena sindrom anoreksia?”

Dan malam itu berlalu dengan indah. Addie menikmati perhatian Theo yang manis. Mungkin bila Theo memposisikan diri sebagai ‘lelaki’ –bukan berarti Addie menganggap Theo bukan lelaki karena kemaskulinan Theo memancar sangat kuat- Addie sudah pasti akan kikuk dan salah tingkah tak tahu harus merespon bagaimana. Namun Theo dengan lihai berganti peran dari seorang paman baik hati, teman yang jenaka, hingga playboy murahan yang merayu dengan meredupkan pandangan matanya dan disambut cibiran bibir Addie.

“Bagaimana pekerjaanmu?”

“Ya Tuhan, kuharap kau tidak menjelma menjadi makhluk menyebalkan yang menanyakan pertanyaan standar tentang pekerjaan,” keluh Addie sambil memutar bola mata. “Kau tentu tak cukup tolol untuk menganggap pekerjaanku begitu menantang dan bermasa depan cerah!”

Theo tertawa terbahak-bahak. “Kalau begitu kau yang tolol karena membiarkan dirimu dalam karir tanpa tujuan itu.”

Addie menyeringai. “Beggar cannot be chooser,” katanya. “Aku belum menemukan hal lain untuk aku kerjakan. Paling tidak untuk saat ini.”

“Laki-laki mungkin? Calon suami?”

“Calon suami imajiner? Banyak!” jawabnya penuh semangat yang disambut ledakan tawa Theo. “Dan kuharap kau tak menghinaku dengan mengatakan ‘oh, gadis manis sepertimu selalu memiliki seorang lelaki yang sedang menunggu kesempatan untuk menjadi pangeranmu’. Demi Tuhan, aku bisa memukul kepalamu kalau kau sampai mengatakan demikian!”

“Dan apakah aku tak bisa menjadi pangeranmu?”

Addie membelalak. Lalu terdiam tak tahu harus bilang apa hingga dia tiba pada pemahaman bahwa Theo sedang mengoloknya. “Kau punya tawaran yang menarik untuk aku pertimbangkan?”

“Tentu. Kau bisa menjadi istriku,” jawab Theo kalem.

“Dan aku akan bilang kalau kau sudah gila,” Addie mengabaikannya.

“Tentu kita bisa bertunangan dulu asal kau mau,” Theo tetap menjaga intonasi suara yang santai.

“Oh Tuhan, kegilaanmu berlanjut!” Addie pura-pura mencekik lehernya.

Theo tertawa. “Kau hanya sedang mabuk milkshake dan es krim sehingga otakmu tak mampu mencerna omongan serius. Pulang nanti, sambil tidur, pikirkan lagi tawaranku. Ok?”

Addie tak memahami seketika itu. Namun dia mengangguk. Sungguh-sungguh. “Aku akan serius memikirkannya. Nanti. Agar kau senang,” seringainya. “Bagaimanapun kau baik sekali karena membiarkanku memilih es krim kesukaanku.”

Theo tertawa sambil menarik Addie. “Yuk, berdansa. Perjanjian ini layak dirayakan denga satu dua kali putaran.”

Addie pun menikmati malam itu. Berdansa dalam pelukan kokoh lengan Theo sungguh menyenangkan. Dan Theo tidak marah meski lebih dari satu kali Addie menginjak kakinya. “Aku bukannya kurang mahir. Namun aku tak banyak punya kesempatan untuk latihan,” katanya membela diri sebagai ganti permintaan maaf.

“Apakah itu artinya kau memintaku mengajakmu pergi berdansa tiap malam?” Theo mengerling menggoda.

“Kalau kau mau,” jawab Addie ringan. “Apa aku tak perlu khawatir dengan punggung tuamu itu? Aku tak mau membuatmu kecapekan,” goda Addie.

“Dasar gadis usil!”

Dan sisa malam itu berlalu bagai mimpi yang indah. Addie membiarkan dirinya berpura-pura sebagai gadis menawan yang saling menggoda dengan Theo. Addie senang karena entah bagaimana Theo membuat perasaannya tenang. Sambil bergandengan tangan Addie menceritakan tentang dirinya. Tidak banyak. Namun cukup untuk membuat Theo tahu bahwa dirinya sebatang kara dan memiliki keluarga angkat, lajang tanpa prospek pernikahan, dan tergila-gila dengan kakak angkatnya yang membiarkan cintanya bertepuk sebelah tangan.

Dan sesuai janjinya pada Theo, malam itu di tempat tidur Addie memikirkan tawaran Theo. Tetapi karena Theo hanya bercanda, Addie pun memikirkannya sebagai hiburan sebelum matanya terpejam dan dia tenggelam dalam mimpi tanpa bentuk yang langsung dia lupakan begitu dia bangun keesokan harinya.

***

Sesuai janji, Ray menjemputnya di apartemen pada jam yang telah ditentukan, di hari saat keduanya akan pulang berlibur.

“Miss Shelby akan bergabung bersama kita?” tanya Addie sedikit takut. Ray cukup manis dan ramah. Namun Addie tak tahu persis suasana hatinya yang sebenarnya.

“Ehm… dia akan terlambat dan langsung menuju rumah besok. Dia masih ada di London pagi ini.”

Addie mengangguk kikuk dan mengikuti Ray menuju mobil. Bahkan Ray tak bersusah payah membawakan tas Addie. Hingga mereka tiba di ujung lorong apartemen.

“Maaf. Kau pasti menganggapku bajingan karena tak menolongmu,” kata Ray di luar dugaan sambil mengambil alih bawaan Addie. “Kau harus cukup sabar menghadapiku karena aku sedang berlatih untuk bersikap…ehm… manis.”

Ada sesuatu yang menggelepar di dalam diri Addie mendengar pengakuan Ray yang terkesan kaku namun sangat dalam itu. Membuat Addie hampir menangis bahagia.

“Terima kasih karena sudah berusaha baik padaku,” bisiknya.

Ray menoleh. Ditatapnya Addie lekat-lekat. Bibirnya bergerak hendak mengucapkan sesuatu. Namun dibatalkan di detik akhir. Sebagai gantinya Ray meraih tangan Addie dan meremasnya lembut.

“Aku menyayangimu Addie, selalu menyayangimu,” bisiknya sambil menarik Addie menuju lift yang akan membawa mereka keluar.

Pelangi seolah terlukis di pelupuk mata Addie. Dia tahu ini semu. Namun dia mengijinkan dirinya untuk menikmati keindahannya sebelum hilang tersapu sinar mentari.

Continue Reading

You'll Also Like

296K 24.1K 79
Cinta hanya untuk manusia lemah, dan aku tidak butuh cinta ~ Ellian Cinta itu sebuah perasaan yang ikhlas dari hati, kita tidak bisa menyangkalnya a...
418K 5.4K 27
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
4.6M 171K 39
Akibat perjodohan gila yang sudah direncakan oleh kedua orang tua, membuat dean dan alea terjerat status menjadi pasangan suami dan istri. Bisa menik...
357K 1.8K 24
Menceritakan Larisa seorang gadis yang ditinggalkan sang mommy karena meninggal dan sebelum meninggal sang mommy pun suda menikah lagi dengan seorang...