Dongeng Tentang Waktu (TERBIT...

By titisanaria

33.3K 1.8K 191

( SUDAH DITERBITKAN) Hanya sampel beberapa bab awal. Kalau penasaran, bisa dicari di toko buku atau Gramedi... More

Dua
Tiga

Satu

16.5K 640 26
By titisanaria

AKU pernah nonton beberapa film Hollywood dan drama Korea di mana pengantin pria tidak muncul saat mempelainya telah menanti di depan altar, diawasi ratusan pasang mata para undangan. Ketika itu, meski ikut merasa sedih untuk mempelai wanita yang maskaranya berlepotan saat menangisi kesialan nasibnya, aku tak pernah berpikir hal seperti itu bisa terjadi di dunia nyata. Apalagi harus terjadi padaku. Maksudku, terlalu mengerikan untuk dialami.

Tapi kejadian nyaris imaginatif itu benar-benar menimpaku. Memang tidak seekstrem itu sih. Aku tidak ditinggalkan di depan penghulu, dan tidak perlu mendapat tatapan kasihan para kerabat yang datang menghadiri ijab kabulku. Tapi kejadiannya hampir sama. Calon pengantin pria---kekasihku selama hampir empat tahun---membatalkan niatnya menjadikanku satu-satunya wanita dalam hidupnya, saat aku asyik mengetik daftar nama yang akan ditempelkan di depan undangan pernikahan yang telah selesai dicetak wedding organizer-ku.

Kejadiannya tiga tahun lalu. Sudah cukup lama. Tapi aku masih saja teringat setiap kali menerima undangan pernikahan. Kurasa itu bukan peristiwa yang bisa kulupakan sekejap mata. Butuh waktu cukup lama bagiku untuk memulihkan diri. Terutama mengumpulkan harga dan kepercayaan diri yang sempat terkoyak menjadi serpihan kecil.

Banyak waktu kuhabiskan untuk menjawab berjuta mengapa dan apa yang bergantian berkelebat di benak. Mengapa aku yang harus mengalami peristiwa itu? Mengapa aku harus bertemu Bram dan jatuh cinta padanya? Apa yang salah denganku hingga Bram meninggalkanku saat pergelaran akbar dalam hidupku tinggal dua minggu lagi? Apakah aku benar-benar kekasih yang buruk? Mengapa perpisahan itu terjadi tiba-tiba, tanpa didahului konflik sehingga keterkejutan yang kuterima teramat dahsyat? Aku tidak, bahkan sama sekali tak dapat, menemukan pembenaran atas tindakan Bram itu.

Butuh berbulan-bulan hingga aku dapat berdamai dengan diri sendiri dan sampai pada kesimpulan yang mengembalikan seluruh harga diri dan kepercayaan diriku ke tempatnya semula. Menjadi seorang Mia, seperti seharusnya. Tidak ada yang salah denganku. Aku hanya menjalani kehidupan sebagaimana wanita lainnya saat jatuh cinta. Merencanakan pernikahan dengan pria yang kukira juga mencintaiku bukanlah kesalahan. Dan ketika dia memutuskan meninggalkanku, itu juga bukan kesalahanku. Aku tidak bertanggung jawab atas keputusan yang dibuat Bram seorang diri tanpa melibatkan aku di dalamnya.

Satu hal yang kusyukuri kemudian adalah Bram memutuskan mengakhiri hubungan kami sebelum lonceng pernikahan berdentang. Berpisah sebelum dan setelah menikah perbedaannya sangat besar. Tapi aku juga tidak memungkiri kenyataan bahwa aku tidak ingin memikirkan soal pernikahan lagi. Tidak untuk waktu cukup lama. Aku telah berdamai dengan berbagai hal dalam hidupku, tapi tidak berarti peristiwa itu tidak meninggalkan jejak trauma yang cukup dalam.

"Undangan lagi?"

Suara itu membuatku mendongak enggan. Sebenarnya aku tidak perlu melihat wajahnya untuk mengenali si pemilik suara. Hanya satu orang yang memiliki suara cempreng mengiritasi telinga di antara ratusan pegawai rumah sakit ini.

"He-eh," jawabku malas sambil meletakkan undangan pernikahan yang kupegang. "Yang keenam bulan ini. Apakah para perawat rumah sakit ini sedang mengadakan perlombaaan menjadi Mempelai Bulan Ini?"

Pria itu, Harso, terkekeh. "Kamu tahu, Mia," katanya, "menjadi perawan tua bukan pilihan setiap wanita. Aku hanya mengenal sedikit orang yang memilih jalan hidup seperti itu."

Aku tahu maksudnya dengan jelas. "Kalau kalimat itu kamu tujukan untukku, akan kuanggap pujian."

"Kamu yakin dirimu bukan pencinta sesama jenis?"

Aku menatap Harso bosan. "Kenapa? Apa aku harus menjadi lesbian hanya karena tidak segera menangkap umpan yang kamu lempar?"

Tawa Harso makin keras, tangannya menyugar. Gayanya sok cool. "Tidak tertarik padaku saja sudah merupakan kelainan, Mia. Kurasa kamu satu-satunya wanita yang tidak menghargai wajah yang Tuhan anugerahkan padaku. Apakah guru agamamu tidak pernah mengajari, bahwa mengingkari anugerah Tuhan adalah dosa besar?"

Aku mencibir. Harso contoh kasus narsisme kronis. Dia tahu betul dirinya tampan dan sangat menikmati tatapan kagum setiap orang yang memandangnya.

"Kurasa kamu harus menikah dengan cermin."

"Cermin?" Laki-laki itu mengerutkan kening. "Artinya?"

"Karena pantulan yang ditampilkannya saat kamu memandangnya takkan pernah mengecewakanmu."

Tawa Harso makin lantang setelah menangkap maksudku. "Aku sungguh ingin tahu seperti apa rupa lelaki yang bisa membuatmu jatuh cinta."

Bram? Pintar, tinggi, hitam manis, selera humor yang bagus, meski caranya meninggalkanku saat pernikahan kami tinggal hitungan hari sama sekali tak bisa dianggap lucu. "Akan kuperkenalkan padamu kalau sudah menemukannya."

"Dokter Harso, ada pasien di UGD. Dokter Denny meminta Anda segera ke sana." Seorang perawat masuk tergopoh-gopoh ke ruang jaga dokter, tempatku dan Harso ngobrol.

"Ya ampun, padahal aku baru keluar ruang operasi lima belas menit yang lalu. Kurasa aku mengambil spesialisasi yang salah." Laki-laki itu mengeluh sambil menggaruk kepalanya yang aku yakin tidak gatal.

Aku mengangkat kaleng soda yang kupegang ke arahnya. "Dengan tampang seperti itu, dan embel-embel dokter bedah, kamu adalah menantu idaman. Kurasa tidak banyak wanita yang bisa menolakmu."

"Memang tidak, tapi kalau bisa memilihmu, aku tidak butuh banyak wanita." Matanya mengedip genit. Kemampuannya berganti ekspresi dalam waktu singkat sungguh mengagumkan.

Aku tertawa. Harso adalah pria dengan kepercayaan diri besar, dan wajah yang tentu saja setebal kulit badak. Penolakan berarti tantangan baginya. "Tidak ada salahnya terus berharap," ujarku. "Bila undang-undang yang mengharuskanku menikah dengan pria tampan penggoda sepertimu diterbitkan, akan kupastikan namamu ada di urutan teratas."

"Kedengarannya hampir mustahil." Ia beranjak dan melambai, senyuman terpampang lebar di wajahnya. "Aku harus pergi menyelamatkan satu nyawa. Nanti kita ngobrol lagi."

Aku menyusuri koridor panjang menuju gerbang Rumah Sakit Umum Daerah Pasarwajo di Sulawesi Tenggara, tempat aku dan beberapa teman residen yang mengambil spesialisasi praktik selama beberapa bulan. Aku memilih wilayah ini karena familier dengan lokasinya. Dulu aku PTT di wilayah ini, meski tempatnya tidak persis sama. Waktu itu aku menyusul Bram yang lebih dulu bertugas di sini.

Benar, rasa sayangku padanya membuatku rela memilih tempat bertugas yang membutuhkan krim dengan SPF di atas lima puluh untuk beraktivitas di luar ruangan. Tempat dengan pemandangan menakjubkan namun akan segera mengubah warna kulit tanpa perlu proses tanning yang mahal.

Teleponku berdering saat aku belum lagi meninggalkan area rumah sakit. Radit. Teman residenku yang lain.

"Ya?" aku menjawab sambil meneruskan langkah.

"Mia, kamu harus menolongku."

"Apa yang harus kutolong?" Semoga bukan jenis pertolongan yang membutuhkan otot, karena dengan perut lapar seperti sekarang ini tidak banyak yang bisa diharapkan dari tenagaku yang tersisa.

"Kamu benar-benar mau?" suara Radit terdengar lega.

"Tergantung isi permintaanmu," ucapku.

"Aku sudah cerita tentang temanku yang akan berlibur ke sini, kan? Dia datang nanti sore. Aku tidak bisa ke bandara karena dua pasien darurat sudah antre di ruang operasi. Harso juga punya pasien dan tidak bisa dimintai tolong. Harapanku tinggal kamu."

Aku menghela napas. Radit memang sudah ribut tentang kedatangan temannya ini sejak dua minggu lalu. Mengulang-ulangnya seperti radio rusak, seolah temannya itu selebriti. "Apakah aku bisa bilang tidak?"

"Sayangnya tidak, Mia. Tolonglah."

"Arrgh, aku benci orang yang menggunakan kata tolong."

"Aku tahu." Radit tertawa di ujung telepon. "Terima kasih, ya. Oh ya, namanya Pram. Pramudya."

"Bagaimana aku mengenalinya? Bisa kirim fotonya ke ponselku?" Aku tidak suka ide memegang sepotong kertas bertuliskan nama seseorang dan memegangnya di depan dada. Membuatku terlihat seperti petugas biro perjalanan yang menjemput kliennya.

"Kamu gila, ya? Untuk apa aku menyimpan foto laki-laki? Nanti kuberikan nomor teleponmu padanya. Dia akan menghubungimu begitu pesawat mendarat."

"Baiklah. Kuanggap itu utang, ya."

"Kayak bos mafia saja kamu. Semua dihitung. Oke, aku harus masuk ruang operasi sekarang. Panggilan tugas untuk menambah populasi manusia di bumi." Radit menutup telepon tanpa menunggu jawabanku. Takut aku mungkin berubah pikiran.

Aku segera memutar langkah menuju rumah dinas untuk berganti pakaian. Rencana makan siangku terpaksa berubah. Aku akan mengunjungi rumah Kolonel Sanders saja untuk menikmati sepotong ayam dan kentang goreng.

Dan berhubung bandara terletak sekitar enam puluh kilometer dari rumah sakit tempatku bekerja, aku memutuskan mengendarai Avanza bobrok yang disediakan rumah sakit sebagai fasilitas penunjang bagi kami para residen.

Teleponku berdering lagi saat aku sudah duduk di lantai dua KFC Baubau dengan ayam goreng legendaris Om Sanders bersama Pepsi ukuran besar, kentang goreng, dan dua puding. Porsi orang kelaparan.

Radit: "Tolong sekalian ajak makan malam dulu, ya. Kamu tahu kan, di Pasarwajo tidak ada rumah makan yang lumayan. Masukkan tagihannya dalam catatan utangku. Makasih. Hehehe..."

Ya ampun, ini menyebalkan.

Pasarwajo tempat rumah sakit kami bekerja itu adalah ibu kota Kabupaten Buton yang sayangnya belum terlalu ramai dan agak sulit menemukan rumah makan yang buka sampai malam. Berbeda dengan Baubau, tempatku makan sekarang ini.

Bila Pasarwajo telah sepi saat bedug Isya terdengar, maka di Baubau denyut kehidupan terasa 24 jam. Karena jaraknya yang dekat, kami sering ke kota ini sekadar mencari makan malam yang layak. Di sini rumah makan jumlahnya seperti cendawan di musim hujan. Menunya sangat beragam namun harganya membuat kening para pendatang seperti kami berkerut. Luar biasa mahal!

Waktu sudah menunjukkan pukul setengah lima ketika aku memutuskan keluar dari KFC menuju Bandara Baubau yang kecil. Bandara perintis ini hanya melayani pesawat dengan maksimal tujuh puluh tempat duduk. Tapi jadwal penerbangannya rutin dua kali sehari, jadi sebenarnya, tempat ini tidak jauh dari mana pun. Makassar, kota asalku, hanya ditempuh dalam 45 menit perjalanan.

Pesawat yang kutunggu akhirnya mendarat setelah aku duduk selama sepuluh menit sambil bermain gawai. Aku berdiri dan mengawasi penumpang yang keluar, menunggu telepon genggamku berdering sehingga aku bisa segera menemukan orang yang akan kujemput ini. Semoga saja orang ini tidak membosankan sehingga perjalanan kembali ke rumah dinas kami tidak terasa lama. Mengemudi pada sore hari menjelang malam, dan melewati banyak hutan dengan perut kenyang pasti membuat mata terasa berat bila teman seperjalananku ini ternyata menjemukan.

Teleponku berdering persis ketika sedang kutatap. Nomor baru. Pasti teman Radit.

"Halo?"

"Hai, aku Pram, teman Radit. Benar ini Mia?" Persis seperti dugaanku. Suaranya terdengar enak di telinga. Jauh lebih enak setelah terbiasa dengan nada cempreng Harso.

"Ya. Aku sudah di depan ruang tunggu. Apa ciri-cirimu?" Aku terus mengawasi pintu keluar penumpang meski belum tahu laki-laki seperti apa yang harus kucari.

"Pakai jins, kaus putih, dan jaket biru tua."

"Oh, aku juga pakai jins dan kaus putih," ucapku, dalam hati mengeluh tidak pernah suka menjemput orang dan melewati percakapan basa-basi tidak penting seperti ini. Lalu tahu-tahu aku melihat orang yang sesuai deskripsi yang diberikan si penelepon. Aku mengangkat tangan melambai ke arahnya, "Itu aku yang melambai," kataku ke telepon.

"Ya, aku lihat."

Aku menutup telepon dan mengawasi sosok itu mendekat. Tinggi dan berkulit putih bersih. Entah mengapa, aku bukanlah pengagum pria dengan kulit sewarna susu. Aku lebih menyukai pria berkulit sawo matang. Apakah karena Bram berkulit sedikit gelap? Aku menggeleng. Berhenti memikirkan itu, hanya menyakiti diri sendiri saja.

"Pramudya." Pria itu mengulurkan tangan.

"Mia." Aku membalas uluran tangannya sekilas sebelum buru-buru menarik jariku. "Mobilnya di sana." Aku menunjuk mobil dinas berdebu itu. Musim kemarau dengan banyak galian di sisi jalan memang selalu sukses membuat mobil baru sekalipun tampak dekil setelah melewatinya.

Aku naik ke mobil sementara pria itu memasukkan kopernya di bagasi. Kulihat ia mengibas-ngibaskan tangan setelah menutup pintu belakang, mungkin mencoba menghilangkan debu dari jemari dan telapak tangannya. Tapi keningku lantas berkerut saat melihatnya menarik tisu dan membersihkan jok di sebelahku sebelum menyusul duduk.

Ya ampun, aku hampir menepuk jidat. Kelihatannya pria ini bukan teman menyenangkan. Pria macam apa yang membersihkan jok mobil sebelum duduk? Tatapannya heran menyapu mobil yang berantakan dengan tas dan plastik camilan yang kulempar begitu saja di jok belakang. Dia pasti pencinta kebersihan dan kerapian. Lebih buruk lagi, dia mungkin mengidap OCD.

"Kamu tahu," kataku, entah mengapa merasa jengkel saat melihat pria itu sibuk membersihkan dasbor dengan tisu. Mobil membelok keluar meninggalkan bandara. "Sedikit debu tidak akan membunuh kita. Ini hanya debu jalan, bukan debu semen atau letusan gunung berapi."

Pria itu menghentikan kegiatannya dan menatapku dengan alis bertaut. Aku pura-pura sibuk memperhatikan lalu lintas yang lengang, berusaha sekuat tenaga untuk tidak balik menatapnya. Otakku sangat sinkron dengan seluruh anggota tubuhku, dan jelas, nada ketusku akan sama dengan sorot sebal yang terpancar dari mataku. Tidak masuk akal mengajak berdebat teman Radit yang baru beberapa menit lalu kukenal.

"Aku tidak suka melihat sesuatu yang kotor."

Aku terus fokus ke depan. "Kamu betul teman Radit?" Aku memang punya masalah dengan mulut. Seharusnya aku diam saja, bukannya malah memperburuk suasana.

"Kenapa? Kamu takut salah menjemput orang?" Dari sudut mataku, dapat kulihat laki-laki itu menatapku lekat.

Aku berusaha tidak menoleh agar tidak terlihat menantang. "Bukan. Hanya saja, belum lima menit kita berkenalan, langsung kulihat kalian bagaikan bumi dan langit. Radit tipe orang yang takkan ragu melahap makanan yang telah jatuh di lantai. Kamu tahulah maksudku." Aku mengangkat bahu dan mengerutkan bibir. "Tipe tempat sampah. Dia bahkan memakan semua makanan sisa orang dengan alasan punya filosofi hidup 'mubazir menyisakan makanan'."

"Orang tidak perlu punya sifat sama untuk bisa menjadi sahabat."

Benar juga. Aku dan dan teman-temanku pun punya sifat bertolak belakang tapi kami sudah bertahun-tahun bersahabat. Aku tidak mendebat, meskipun tidak menunjukkan bahwa aku mengakui kebenaran ucapannya.

"Kita makan malam dulu sebelum ke rumah sakit. Perintah Radit. Kamu mau makan apa?" aku mengalihkan percakapan dengan sengaja. Mencoba meredakan kekesalan.

"Aku bisa makan apa saja."

Bayangan orang ini bakal membersihkan gelas dan piring yang dibawakan pelayan restoran membuatku tahu harus ke mana mengajaknya. "KFC?"

"Aku tidak makan fast food."

Aku serta-merta menatapnya. Jengkel. Ini mengajak berantem atau apa sih? "Tadi katanya bisa makan apa saja!"

Pandangan kami bertemu sesaat, mirip dua pendekar shaolin yang sedang mengukur kekuatan lawan. Jika tidak sedang mengemudi, aku tidak akan mengalihkan tatapan. Tapi berakhir di IGD rumah sakit karena melayani duel mata dengan laki-laki ini bukan opsi menarik. Aku melengos dan kembali melihat ke depan.

"Aku makan apa saja asalkan sehat. Kamu pasti lebih tahu jumlah kalori yang terkandung dalam seporsi ayam dan kentang goreng itu. Dan sebagian besar lemak jenuh. Dokter pasti lebih mengerti."

Bagus. Sekarang aku bahkan mendapat kuliah gizi dari orang yang baru kukenal tidak sampai setengah jam yang lalu. Oh, Radit, tunggu pembalasanku. Aku benar-benar menyesali keputusanku menolong laki-laki itu. Ternyata tidak semua niat baik berhasil dengan baik juga.

"Bagaimana kalau ikan bakar?" aku mengembuskan napas pelan-pelan dari mulut. Membayangkan sedang menyiram kepalaku yang berasap dengan air dingin.

"Boleh, ikan..."

"Ya, aku tahu," potongku tidak sabar. "Ikan sumber protein paling bagus karena mengandung lemak paling sedikit dengan banyak omega 3 dan omega 9. Bukan bermaksud sombong, tapi aku dapat A untuk mata kuliah gizi. Aku tidak perlu kuliah tambahan sore-sore begini." Ini dia serius dengan ceramahnya? Aku menghabiskan waktu bertahun-tahun memeluk textbook, dan sudah sangat muak dengan teori dan berbagai macam definisi. Apalagi mendengarnya dari mulut orang baru yang aku tidak yakin lebih tahu dariku. Ya... ya aku tahu aku terdengar sombong saat mengatakannya. Tapi direndahkan selalu menyinggung harga diriku.

Lelaki itu menatapku tanpa ekspresi. "Tadi aku cuma mau tanya jenis ikan apa saja yang ada di sini."

Menyebalkan! Api di kepalaku yang sudah padam berkobar kembali. Aku memarkir mobil di salah satu rumah makan seafood, lalu memilih meja di dekat pintu masuk. Kubiarkan saja pria itu memilih makanannya sendiri. Aku sudah kehilangan minat memasang wajah ramah padanya.

"Kamu tidak memesan makanan?" ia menyodorkan buku menu padaku. Wajahnya datar, seolah tidak membaca raut kesalku.

Aku menggeleng. "Sebelum ke bandara aku sudah makan lebih dari seribu kalori yang hampir semuanya lemak jenuh."

"Kamu marah?" Ada tawa dalam sorot matanya meski mulutnya terkatup. Oh, ternyata dia mengerti. Sialan, aku merasa dikerjai.

"Marah? Kenapa harus marah?" aku balik bertanya dengan nada tinggi. Baiklah, terlalu tinggi karena beberapa pasang mata kulihat menoleh ke arah kami. Sabar, Mia, sabar. Hanya perlu mengantarnya ke pelukan Radit dan kamu tidak akan berurusan lagi dengannya.

"Kamu terlihat cukup kesal untuk ukuran yang mengklaim dirinya tidak marah."

"Aku hanya sedang menyesali keputusanku menolong Radit." Siram apinya, siram dengan air banyak-banyak. Tarik napas, lepaskan. Tarik lagi, lepaskan...

"Oh, kamu memang marah." Kini ada senyum kecil yang bermain di sudut bibirnya, membuatku merasa ditertawakan karena bersikap kekanakan.

Pelayan datang mengantar makanan, dan aku tak heran lagi saat melihat pria itu mengelap gelasnya lebih dulu lalu mengangkatnya ke arah lampu untuk diterawang sebelum mengisinya dengan air mineral. Aku membuang pandangan ke luar rumah makan, mengawasi lalu lintas yang lumayan padat. Ya Tuhan, ini bakal jadi enam puluh kilometer terjauh dan terlama dalam hidupku. Radit benar-benar harus membayar pengalaman menyebalkan ini.

Dua puluh menit kemudian kami keluar dari rumah makan. Hampir pukul enam, tapi karena ini musim kemarau, cahaya matahari belum sepenuhnya menghilang. Aku memasang musik dengan volume cukup keras agar tidak perlu bercakap-cakap dengan teman Radit ini. Kutekan pedal gas begitu kami memasuki kawasan hutan lindung di pinggir kota.

"Hutan jati!" pria itu berseru seraya mengarahkan pandangan ke luar jendela.

Aku melirik dengan pandangan mencemooh. Menggelikan. Tapi aku menahan mulutku agar tidak berkomentar. Aku berencana mogok bicara sampai tiba di Pasarwajo. Ya, aku tahu aku sekarang terlihat seperti anak umur lima tahun yang baru saja direbut lolipopnya.

Perjalanan kami baru sekitar dua puluh kilometer saat aku menyadari ada yang tidak beres. Mobil ini jalannya tidak stabil. "Sial!" aku mengumpat dan menepikan mobil, lalu turun dan mencoba mencari tahu apa yang terjadi.

"Ada apa?" pria itu menyusulku turun dari mobil.

"Sepertinya bannya kempis," aku terpaksa menjawab, melupakan aksi tutup mulutku.

Gelap mulai merayap turun. Tidak ada penerangan lain kecuali lampu mobil. Jelas itu tidak membantu banyak untuk mencari tahu apa yang tidak beres.

"Bukan kempis tapi bocor," kata pria yang kini berjongkok di depan ban itu.

"Hebat! Dan kita tidak punya ban serep."

Pria itu menatapku tidak percaya, seolah baru saja melihatku menembak orang dengan sengaja. "Kamu lewat hutan malam-malam begini dan tidak berpikir untuk membawa ban serep? Pernah dengar peribahasa 'Sedia payung sebelum hujan'?"

Nyala api yang tadi berhasil kupadamkan dua kali berkobar lebih hebat. Mungkin kepalaku mirip lahan gambut kering di musim kemarau yang mudah terbakar. "Aku selalu suka hujan, jadi tidak pernah berpikir untuk membawa payung," Aku berjalan menjauh sambil menekan nomor Radit. Seseorang harus bertanggung jawab atas kesialanku hari ini.

"Halo," suara Radit terdengar riang. "Kalian di mana?"

"Di hutan Desa Gonda." Aku tidak berniat menyembunyikan kekesalanku. "Ban mobil sepertinya pecah."

"Lalu?" Radit bertanya bodoh, "Bagaimana kalian akan sampai ke sini?"

Aku menahan diri agar tidak membentaknya. "Mungkin kami akan mengeluarkan sayap dan terbang?" hardikku. "Tentu saja kamu harus mengirim mobil ke sini. Tahu sendiri angkutan jurusan Baubau-Pasarwajo terakhir jam lima sore tadi."

"Pram baik-baik saja?"

"Apa maksudmu baik-baik saja?" geramku seraya memutar bola mata. Laki-laki ini sama sekali tidak sensitif. Harusnya kan dia menanyakan keadaaanku. Aku yang wanita. Bagaimana kalau temannya itu psikopat? Bisa-bisa ini jadi malam terakhirku di dunia.

"Lho, kenapa kamu malah marah-marah?"

"Radit," ucapku pelan menahan emosi. "Temanmu baik-baik saja. Percayalah, aku tidak akan memerkosanya. Kehilangan virginitas dengan cara memerkosa pria sama sekali tidak ada dalam rencanaku saat ini."

Radit terbahak-bahak di ujung telepon. "Jadi kamu masih perawan di umur setua itu?"

Sialan. "Cepat kirim orang ke sini!" bentakku. Aku tidak punya waktu dan kesabaran yang cukup untuk melayani lelucon garingnya.

"Oh ya, biar aku bicara dengan Pram dulu, Mia."

"Untuk memastikan dia masih utuh? Hubungi dia melalui teleponnya sendiri." Aku menutup telepon dan kembali ke mobil.

Kulihat pria itu mengangkat ponselnya sambil bersandar di badan mobil. Pasti Radit. Aku tak peduli dan lekas masuk mobil. Udara mulai dingin.

"Seseorang akan menjemput kita karena Radit masih punya pasien." Pria itu menyusul masuk beberapa menit kemudian.

"Aku tahu." Aku mengamati pria itu. Wajahnya kini terlihat biasa saja setelah efek terkejut karena tahu aku tidak membawa ban serep tadi. Tidak ada emosi apa pun yang bisa kutangkap.

Berbeda jauh dengan ekspresiku. Aku pasti terlihat sudah sangat siap untuk terjun dalam perang apa pun. Laki-laki ini mungkin berpikir aku pasti punya masalah kejiwaan. Wanita yang mengajak ribut di menit awal perkenalan bukan sesuatu yang bisa ditemui setiap saat.

Aku mengalihkan tatapan ke depan, bingung mau bersikap bagaimana. Tapi diam saja membuat suasana makin canggung, jadi akhirnya aku membuka suara, "Tapi kalaupun tidak, kita akan tidur di mobil. Beberapa ratus meter di depan sebenarnya ada perkampungan penduduk. Tapi percayalah, lebih baik tidur di mobil."

"Kenapa?"

"Rumah-rumah panggung itu kecil dan penghuninya banyak. Satu rumah berukuran 5 kali 6 meter bisa berisi lebih dari 5 orang. Dan biasanya disekat seadanya untuk kamar tidur orangtua. Anak-anak tidur bergeletakan di mana saja." Astaga, sekarang aku yang terdengar seperti menteri sosial.

"Masih ada yang seperti itu?"

Sudah kepalang basah. "Banyak. Di Baubau tempat kita makan tadi, rumah mewah berharga milyaran rupiah ada di mana-mana. Mobil Eropa juga tidak sedikit. Tapi dua puluh kilometer dari sana, di sini, masih banyak rumah panggung berdinding papan berukuran mini yang ditempati bersesakan."

"Hutan pinus," pria itu berkomentar, sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan ceritaku tentang ketimpangan dan ketidakadilan sosial.

Aku ikut melihat ke luar jendela. Iya, memang hutan pinus, lalu kenapa? Pria ini sepertinya terobsesi dengan hutan! Tadi takjub dengan hutan jati, sekarang hutan pinus. Apakah dia tinggal di dunia yang isinya plastik melulu?

"Aku akan ke belakang untuk tidur." Aku memutuskan mengakhiri percakapan absurd itu. "Bangunkan aku jika bala bantuan datang." Aku membuka pintu mobil untuk pindah ke kursi belakang.

Suara musik dari telepon genggamku berhasil membuatku terlelap tak lama kemudian, dan baru tersadar saat kakiku diguncang-guncang.

"Sleeping Beauty, ayo bangun!" suara yang tidak asing itu memanggilku berkali-kali. "Apa aku harus menciummu seperti Pangeran membangunkan Putri Salju dari tidur panjangnya?"

Pelan aku melepas earphone-ku dan bangun, menegakkan tubuh ke posisi duduk. Seperti dugaanku, itu Harso. "Kamu yang datang?"

Harso tertawa. "Baru saja aku akan menciummu."

"Awas saja kalau berani. Oh ya, kamu datang dengan siapa?" Aku menahan kuap dan mengusap wajah berkali-kali, mencoba mengumpulkan nyawaku yang sebagian masih tersangkut di alam mimpi.

"Sendiri. Radit hari ini benar-benar sial. Dia terkurung di kamar operasi karena Dokter Ilham cuti." Harso menunjuk mobil yang dibawanya. "Pindah ke sana. Mobil ini ditinggal saja. Kita akan meminta orang dari rumah sakit untuk datang membawa ban dan mengambilnya besok."

"Tidak apa-apa ditinggal di sini?" pria itu, Pram, berkata ragu-ragu.

"Tidak apa-apa. Tidak ada kasus pencurian mobil di sini. Apalagi mobil dinas bobrok. Tempat ini pulau yang dikelilingi banyak pulau lain. Mau dibawa ke mana mobil curian? Ayo, pindah mobil."

Aku memilih duduk di belakang dan membiarkan Harso mengemudi, berharap dapat melanjutkan tidur. Tapi suara Harso yang cempreng sama sekali tidak membantu. Aku lalu mengeluarkan minuman soda yang sempat kubeli tadi bersama camilan dan mulai menikmatinya.

"Kamu tidak punya pasien, So?" tanyaku basa-basi.

"Tidak. Kalau ada yang emergency, dokter jaga UGD akan menghubungiku."

"Oh..." aku memutuskan diam dan mengalihkan pandang pada lampu-lampu rumah di perkampungan yang kami lalui. Membiarkan Harso mengobrol dengan Pram.

Bila Radit berasal dari Jakarta dan kuliah di Trisakti untuk gelar dokternya, maka Harso berasal dari Surabaya. Kami bertemu karena sama-sama mengambil pendidikan spesialisis di Universitas Hasanuddin dan menjalani program Wajib Kerja Sarjana sekarang.

"Mia, Radit bilang tadi kamu ngamuk padanya," ucapan Harso yang ditujukan padaku, mengembalikanku dari lamunan.

Aku menatap Harso malas. "Dia takut aku bakal memerkosa temannya."

Harso tergelak. "Kalau mau, aku bersedia diperkosa dengan senang hati. Itu kan pertanda kamu masih normal. Aku bersedia jadi tumbal."

"Kamu?" aku mencibir. "Mending aku jadi lesbian saja."

"Dan mati sebagai perawan?" gelak Harso yang cempreng makin keras. "Itu perbuatan tak termaafkan."

"Yeah." Aku pura-pura menguap, lalu memundurkan sandaran kursi untuk mencari posisi nyaman. "Untuk lelaki dengan produksi hormon yang luar biasa seperti kamu, kematian seorang perawan tentu saja sangat menyedihkan. Lagi pula, dari mana kamu tahu aku masih perawan?"

"Lho, tadi kan kamu yang bilang pada Radit. Katanya rugi kamu sampai kehilangan keperawanan hanya dengan memerkosa temannya."

"Radit sialan." Aku memejamkan mata, berharap Harso tidak melanjutkan percakapan ini.

"Perawan yang suka menyumpah," cela Harso. "Kurasa pasaranmu tidak bakal membaik, Mia."

"Memangnya aku peduli?" jawabku asal saja.

"Kamu benar-benar tidak mau menikah, ya?"

Siapa bilang? Tiga tahun lalu aku sudah membeli gaun pengantin. Kebaya putih dengan ujung menjuntai ke belakang. Cantik sekali. Entah di mana mamaku menyimpannya kemudian. Aku tidak pernah bertanya karena tidak ingin tahu, dan Mama juga tidak pernah membahasnya.

"Menikah?" aku kembali membuka mata, menatap kegelapan di luar jendela. Perkampungan baru terlewati dan sekarang kami masuk ke hutan lagi. "Apa itu? Semacam wadah yang melegalisasi hubungan seks?"

Harso menatapku dari spion. "Siapa pun pria yang pernah membuatmu patah hati, dia benar-benar brengsek. Tapi percayalah, tidak semua lelaki seburuk dia."

"Dia siapa?" aku pura-pura bodoh.

"Sialan." Tatapan Harso yang kesal membuatku tersenyum. Melayani obrolan remehnya tidak terlalu buruk untuk mengembalikan suasana hatiku yang sempat menghitam.

"Pria tampan yang suka memaki sama sekali tidak seksi di mataku."

Harso menoleh pada Pram di sebelahnya. "Mia mampu mengembalikan semua kata yang kamu tujukan padanya. Aku tidak pernah menemukan wanita seperti dia."

Aku kembali menguap, pura-pura mengantuk. "Berhenti bicara tentangku, So. Aku tidak lantas jadi wanita aneh karena tidak bergabung dalam groupies pemujamu. Diam dan biarkan aku tidur."


Continue Reading

You'll Also Like

1M 15.1K 35
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
16.4M 639K 37
GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Saras gadis kampung yang merantau ke kota...
1.9M 69.8K 73
Bukannya menjadi anak tiri, aku justru menjadi istri bagi calon ayah tiriku.
266K 1.5K 17
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) Hati-hati dalam memilih bacaan. follow akun ini biar lebih nyaman baca nya. •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan sa...