LOOKING FOR MOONLIGHT

By Authorable_ID

3.5K 285 75

By @yooahra03 [Setiap Minggu] Mulai Agustus [Jia] Kamu adalah duniaku, seperti namamu, Sekai- dunia. Aku tahu... More

Opening : Jia's Diary
1. Percakapan di Sore itu.
2. New Classmate
3. Dia Memang Aneh
5. Mencari Sebuah Perhatian
6. Teman
7. Cahaya Bulan
8. Dalam sebuah kesendirian
9. Ingin Bertemu
10. Jarak
11. Perasaan
12. Antara Kita
13. Memahami
14. Perasaan (2)
15. Sesuatu tentang masa lalu
16. Hal yang tak terduga
17. Hujan Meteor
18. KITA
Penutupan (Jia's Diary)
19. Bulan

4. Rasa Bernama Kesepian

138 12 3
By Authorable_ID

Ada sesuatu yang aneh.

Begitulah yang dipikirkan Jia berusia lima tahun, ketika ia melihat teman-teman di taman kanak-kanak dijemput oleh ibu mereka. Sementara Jia, orang yang datang menjemputnya adalah ayahnya.

Dalam gendongan Papa, ia melihat teman-temannya yang tertawa ceria bersama ibu mereka.

Ibu. Saat guru di TK-nya menjabarkan kata itu, Jia berpikir mengapa ia tidak bisa membayangkan bagaimana sosok seorang ibu. Kata gurunya, ibu adalah perempuan yang melahirkan kita ke dunia. Ibu adalah orang pertama yang sangat menyayangi kita. Tetapi kenapa Jia tidak punya.

"Pa, kenapa Jia nggak punya Mama?" suatu waktu Jia menanyakan hal itu pada Papa. Dengan wajah lugu dan belum mengerti apapun tentang dunia orang dewasa.

"Karena Jia cuma punya Papa. Papa yang sayang sama Jia." Begitu Papa menjawab pertanyaannya.

Untuk satu kali, Jia merasa senang dan melupakan soal ibu tadi.

Lalu ketika memasuki sekolah dasar. Pertanyaan tentang ibu itu kembali muncul. Saat Jia mulai berteman dengan anak lain. Mereka bercerita tentang ibu mereka, yang katanya baik, yang katanya pandai memasak, dan terkadang cerewet.

"Pa, mama itu seperti apa?" Sekali lagi pertanyaannya tidak pernah dijawab dengan jelas.

Jia kecil kemudian beranjak menjadi remaja. Ia tak lagi bertanya perihal ibunya, siapa ibunya dan bagaimana dia tidak berada bersama mereka.

"Mama kamu baik, ya," ucap Jia pada Sekai, saat ia singgah ke rumah cowok itu.

"Hm, tapi kadang juga cerewet," cowok itu sudah mengenakan pakaian training untuk jogging sore seperti biasa. Jia mulai mengikuti aktivitasnya sejak mereka berteman setahun lalu. Ketika memasuki bangku SMP.

"Gimana rasanya punya mama, Kai?" tanya Jia.

Sekai yang berlari di sebelahnya menoleh, namun tak segera menjawab. Ia sudah tahu latar belakang keluarga Jia, walau tidak tahu sebenarnya apa yang terjadi. Ia hanya tahu kalau Jia tidak memiliki ibu.

"Aku ngerasa sulit buat jelasinnya, Zee."

"Karena kamu khawatir aku sedih?"

"Hm, alasan pertama emang itu. Alasan lainnya, karena aku emang sulit buat jelasin. Tapi yang pasti, rasanya punya ibu itu yaa...nyaman."

Ia terdiam. Nyaman. Rasa nyaman yang seperti apa. Ia ingin tahu.

"Tapi, Zee. Papa kamu orangnya baik. Dan kayak aku liat bunda, aku juga ngerasa nyaman liat papa kamu." Sekai mencoba menghibur.

Jia tersenyum kecil.

"Di dunia ini, kenyataannya semua orang memiliki dan nggak memiliki sesuatu. Tapi semua itu ada untuk ngelengkapi manusia itu sendiri. Buat ngajarin kalo di dunia, masih ada hal-hal kecil yang patut disyukuri."

"Kamu berlagak tua, Kai." Jia mencibir pelan.

Untuk mereka yang masih duduk di bangku kelas delapan SMP, ucapan itu memang terdengar dewasa. Sekai hanya pernah mendengar nasehat yang sama dari ibunya ketika adiknya meninggal. Cowok itu tertawa pelan.

Sepulangnya dari rumah Sekai, Jia menemukan Papa di teras belakang. Seperti memikirkan sesuatu dengan serius. Jia menghampiri, menyapanya lalu bertanya apa yang terjadi. Di luar perkiraan, Papa memberikan dua lembar foto pada Jia. Gadis itu tak mengerti. Ia melihat foto di tangannya. Seorang perempuan dengan senyuman yang sangat cantik. Jia seperti pernah melihatnya di suatu tempat sebab wajah itu terasa tak asing.

"Itu...mama kamu," ucapan Papa membuatnya kaget. Ia sama sekali tidak mengira kalau akhirnya Papa memberitahukan siapa ibunya.

"Mukanya familiar kan?" Papa melirik foto itu dengan senyum kecil. Namun matanya menunjukkan kemuraman.

"Rika Oriana. Model."

Jia baru mengingat siapa pemilik wajah tak asing ini.

Ya. Rika Oriana. Model yang namanya sedang naik di industri hiburan karena akan menjadi icon ambasarador dari produk kosmetik Asia.

"Papa lagi becanda ya? Mana mungkin—" ucapan Jia terpotong oleh foto lainnya. Di sana Papa dan perempuan itu mengenakan pakaian pengantin sederhana dengan memamerkan jari bercincin emas dan buku nikah.

Jia diam seribu kata. Terkejut. Tak percaya.

"Maaf, Papa rahasiakan ini dari kamu, Jia. Melihat Mama kamu seperti mengingat rasa sakit Papa dulu, jadi Papa bermaksud untuk terus merahasiakannya. Tapi mana mungkin Papa bisa berhasil. Bagaimanapun, kamu pasti ingin tahu."

Jia memandangi foto itu. Ia berpikir apakah wajahnya mirip dengan perempuan ini. Apa itu memang benar-benar ibunya? Namun Papa memang tidak terlihat sedang membohonginya.

"Kamu udah cukup besar untuk tahu hal ini. Alasan kenapa sekarang kita nggak tinggal sama Mama kamu karena kami sudah bercerai, sejak kamu kecil."

Jia tak berkata apa-apa. Ia jadi merasa bersalah, mengungkit masa lalu Papa.

"Ada lagi yang pengen kamu tahu? Tentang Mamamu?" tanya Papa.

Jia punya pertanyaan lain. Seperti, apakah ibunya sayang padanya? Lalu apa alasan mereka bercerai? Kenapa ibunya tidak pernah memberikan kabar atau paling tidak menghubunginya. Tetapi Jia memilih untuk tidak bertanya sekarang, atau mungkin seterusnya ia tak akan bertanya, lagi. Ia yakin, Papa punya luka yang disembunyikan.

Gadis itu menggeleng kemudian lalu tersenyum, dengan mata yang ingin menangis.

"Udah, Pa. Nggak ada lagi yang mau Jia tanya. Sekarang Jia udah lega setelah tahu siapa Mama Jia."

Papa hanya mengusap kepala Jia lembut sambil tersenyum.

***

Jia membuka laci meja belajarnya. Di dalamnya terdapat tumpukan buku pelajaran. Ia mengangkat buku-buku itu untuk mengeluarkan sebuah majalah. Majalah perempuan dengan sampul bergambar wajah Rika Oriana.

Jia tertegun memandangi wajah itu. Benar-benar sangat cantik dengan make-up natural. Rambutnya berwarna kecokelatan, tergerai manis menyentuh bahunya. Lalu mata Jia beralih ke tagline di majalah itu.

Rika Oriana.

Masih belum memikirkan untuk menikah.

"Karir modeling, masih yang paling penting."

Majalah itu memuat profil Rika Oriana. Termasuk statusnya yang tertulis belum menikah—belum pernah menikah. Artinya ia tak mengakui bahwa dulunya ia punya suami dan seorang anak. Artinya, Rika Oriana melupakan semua masa lalunya. Termasuk anak yang pernah ia lahirkan.

Jia kembali meletakkan tumpukan bukunya ke atas majalah itu. Tangannya saling mengepal kemudian. Meredam emosi. Rasa sedih.

Ia mengingat ucapan Alden kemarin. Kenyataannya, tidak ada perbedaan antara ia punya ibu dan tidak punya. Ia sama-sama tidak bisa melihatnya. Sama-sama tidak bisa menyebut namanya, memanggilnya.

***

Setibanya di sekolah, Jia menemukan Alden berdiri dengan teman-temannya di pintu kelas. Begitu melihat ke arah Jia, mereka sudah berniat akan mengganggunya. Cengiran bodoh mereka terdengar. Jia menyesal tidak berangkat dengan Sekai tadi. Tapi memang Sekai akan sedikit terlambat karena membantu ayahnya mengemasi apel dari supplier untuk dijual ke pasar tradisional.

Jia melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti.

Alden, seperti biasa memperhatikannya dengan isi kepala yang tidak bisa ditebak. Jia tak peduli. Ia akan menerobos pagar betis ini.

"Eh, mau lewat mana?"

"Kalo mau lewat, senyum dulu dong. Masa cemberut gitu?"

Teman-teman Alden mulai mengganggu. Alden hanya tersenyum. Memperhatikan reaksi Jia. Tampaknya ia akan senang kalau melihat gadis ini marah.

Jia melotot ke arahnya. Teman-teman Alden itu berseru, pura-pura takut. Namun kemudian tertawa senang.

"Jangan melotot dong, kamu tambah cantik tau."

Jia menunduk. Ia berusaha menerobos, walau mereka tetap menghalangi. Akhirnya dengan susah payah Jia berhasil, namun ia malah terdorong dan nyaris jatuh. Alden menahan tubuhnya. Ia kaget. Ia menoleh. Cowok itu tersenyum seolah apa yang terjadi padanya bukan kesalahannya.

"Hati-hati, ya," ucapnya.

Jia kesal. Ia berdiri tegak dan menepis tangan Alden yang membantunya.

"Wah...dia marah. Cieee...hahaha..." Teman-teman Alden kembali berisik, sementara Alden hanya tersenyum kecil lalu ikut tertawa dengan yang lain.

Jia memandang ke arah mereka. Tak habis pikir dengan kekonyolan yang mereka ciptakan. Tetapi Alden yang lebih aneh lagi. Sebenarnya apa yang diinginkan cowok itu.

Ketika pelajaran dimulai, Alden kembali dengan kegiatan tak pentingnya. Tangannya memang menulis di atas lembar buku, namun mulutnya kerap mengoceh. Belum lagi saat ini ia sedang mengemut lolipop rasa cokelat.

"Aku bingung, kenapa kita harus belajar tentang integral? Kamu pikir itu bakal berguna apa?" Alden mencoret bukunya karena salah menuliskan rumus mate-matika. Cowok itu merutuk kesal karena guru mate-matika mereka punya tulisan yang kecil, apalagi jarak mereka ke papan tulis lumayan jauh.

"Kalo menurutku mate-matika itu cuma tentang penjumlahan-pengurangan, perkalian-pembagian. Memangnya ada ya, orang di pasar bikin harga barang dengan 2x-y=0. Yang ada pembeli pada kabur."

Jia melirik sebal. Tentu saja pendapat Alden terdengar tak penting. Apa dia memang sebodoh itu sampai tak tahu untuk apa dalam pelajaran mate-matika ada banyak rumus? Para arsitektur ternama dunia mempelajari rumus serupa untuk membuat jembatan.

"Terus, dari mana sih rumus ini datangnya?" Alden gusar karena ia salah menulis lagi.

Jia mengepal tangannya. Ia menoleh.

"Kalo kamu cuma mau main-main di sekolah, mendingan kamu nggak usah masuk kelas. Atau, nggak usah sekolah aja sekalian," ucap Jia, tajam.

Alden berubah ekspresi. Dingin. Matanya bersorot tajam. Ia memasukkan lolipopnya ke dalam mulut lalu menutup bukunya.

Jia tak tahu untuk apa ia berlagak marah padanya. Terserahlah, paling tidak setelah itu Alden tidak berisik dan ia bisa mendengarkan penjelasan guru di depan.

***

Ketidakhadiran Alden di ruang laboratorium biologi membuat Jia berpikir, apa Alden serius menanggapi ucapannya di kelas tadi. Kelas biologi melakukan praktik. Tiap kelompok dibagi berdasarkan posisi duduk di kelas. Gadis itu mengerjakan tugas praktiknya sendirian karena Alden bolos.

Usai praktek biologi, semua kembali ke kelas. Jia berjalan bersama Sekai. "Nanti pulang sekolah kamu bisa temenin aku bentar nggak?" tanya Jia, sesampainya mereka di dalam kelas.

Sekai meletakkan buku catatannya di atas meja. "Mau ke mana?"

"Toko kue."

Sekai nampak heran.

Jia mendecak pelan. "Hari ini papa ulangtahun, Kai."

Lalu cowok itu tersadar. "Oh, hari ini ya? Aku belum siapin kado."

Jia tertawa pelan, dan tawanya berangsur hilang melihat Alden melintas. Berjalan menuju meja lalu duduk di kursi. Menyembunyikan wajahnya. Jia memalingkan wajah. Tidak penting mengurusi cowok aneh satu itu.

"Kamu ikut ke rumah aja, papa pasti senang kalo kamu ikut ngerayain."

"Jadi aku kamu undang?"

Ia mengangguk. Kemudian keduanya mengobrol tentang hadiah.

Saat itu, Alden mengangkat kepalanya dari meja. Ia meringis pelan karena lebam di salah satu pipinya. Pandangannya kemudian tertuju ke meja Sekai, di mana Jia sedang berbicara dengan cowok itu.

Gadis itu punya ekspresi yang berbeda jika di sebelah Sekai. Ia selalu tersenyum, cemberut manja, dan tak ragu untuk tertawa lepas. Berbeda jika berada di samping orang lain, seperti dirinya.

Alden sedikit mendengar apa yang dibicarakan dua orang sahabat itu. Membuatnya mengingat sesuatu. Ia menghela napas pelan kemudian menumpu dagu di atas tangannya yang terlipat di meja.

Matanya masih memandang ke arah Sekai dan Jia. Berpikir betapa beruntungnya mereka. Bersahabat, saling memiliki, saling berbagi.

Tahu-tahu Jia menoleh, sepertinya pembicaraan mereka sudah selesai. Apalagi bel memang barusan berdering nyaring.

Jia terkejut saat pandangan mereka bertemu. Alden tidak berpaling. Terus saja menatapnya lurus seperti biasa. Terasa mengganggu.

Jia pamit pada Sekai untuk kembali ke mejanya. Gadis itu menunduk saat berjalan ke arah Alden. Alden tak mengubah posisinya, membuat Jia menangkap lebam biru di pipinya.

"Kamu khawatir?" tanya Alden karena gadis itu tampak memperhatikan walau sekilas.

Jia lekas membuang muka. Giliran Alden yang memandangnya. Tersenyum kecil. Gadis itu membuka buku untuk mencatat bagian yang harus ia perbaiki untuk laporan hasil praktek. Ia tidak menghiraukan Alden.

"Tadi aku berantem sama temenku. Jadi aku langsung hajar dia. Kasihan, dia cuma berhasil kasih aku satu pukulan," Alden memegang pipi lebamnya itu lalu meringis kesakitan. "Tapi ini juga lumayan sakit sih."

"Aku kadang nggak ngerti apa yang ada di pikiran mereka, kenapa mereka mikir kalo aku ini jahat. Memang aku—" ucapan Alden terhenti karena Jia terdengar meletakkan penanya dengan cukup kuat. Menyentak.

"Kamu pikir aku tertarik denger cerita kamu?" ucap gadis itu sembari melayangkan tatapan kesal.

Alden ternganga lalu menutup mulutnya. Ia pun menyembunyikan wajahnya ke atas meja. Tak lagi bicara setelah itu.

***

"Selamat ulang tahun, Papa!" Jia berseru senang usai ia dan Sekai menyanyikan lagu ulangtahun untuk Papa.

Papa tersenyum sumringah. Senang dengan kejutan kecil yang dibuat Jia dan Sekai. Kue tart kecil dengan lilin angka empat puluh enam yang masih menyala.

Sekai dan Jia sudah berisik, meminta untuk meniup lilin itu.

"Ini Om, hadiah dari aku." Sekai memberikan hadiahnya.

"Ya ampun, sampe repot-repot. Tapi makasih ya, Sekai."

Jia pun ikut memberikan hadiah darinya. Kotak kecil yang dibungkus kertas kado berwarna biru tua. "Ini hadiah untuk Papa."

"Apa ini isinya?" Papa membuka kotak itu. Sebuah jam tangan berwarna silver berada di dalam kotak itu. Tama tersenyum.

"Kamu dapat uang dari mana beli jam tangan ini? Kamu pake uang Papa ya? Pantesan saldo rekening papa berkurang."

Jia cemberut. Smentara Papa tertawa pelan.

"Jia susah payah nabung, masa Papa nanggepinnya gitu."

Papa mengacak pelan rambut putrinya. "Iya, iya, becanda. Makasih ya, Sayang. Papa suka jam-nya."

Sekai ikut tersenyum. "Uhm, jadi udah bisa kita makan kuenya?" tanyanya.

Jia menoleh. "Kamu kayaknya pengen banget makan kuenya ya, Kai." Ia mengangkat pisau kue. Hendak memotong kue itu.

Sekai tertawa. "Potong yang besar untukku ya, Zee."

"Nggak mau!"

Selang beberapa saat, Sekai sudah kembali ke rumahnya.

Jia memberesi sisa kue di atas meja. Papa sudah pindah ke ruang tengah. Katanya acara debat di TV sudah dimulai. Papa suka menonton acara debat kalau punya waktu luang.

Usai mencuci tangan dan membiarkan bi Arisa mencuci piring, Jia pun menyusul Papa ke ruang tengah. TV sudah menyala dengan volume sedang. Masih menampilkan iklan.

"Papa nggak istirahat aja? Katanya besok harus pergi ke Surabaya lagi?" Jia duduk di sebelah Papa seraya memangku bantal sofa.

Papa melirik. "Bentar lagi, habis nonton."

Jia mencibir pelan.

"Sekolah kamu gimana?"

"Ya, begitu aja. Kayak biasa."

"Oh ya?"

Jia mengangguk. "Tapi aku nggak satu bangku sama Sekai lagi, Pa. Guru wali kelas kami nyebelin banget. Masa dia ganti bangku kami seenaknya. Itu kan melanggar hak asasi manusia."

Papa tertawa dengan ucapan Jia yang terdengar polos.

Jia cuma cemberut.

"Hei, itu bagus dong. Artinya kamu bakal dapat teman baru kan? Teman sebangku kamu gimana orangnya?"

"Dia itu cowok nyebelin. Berisik. Aku enggak suka."

Papa melihat aura jengkel di wajah Jia.

"Dia itu aneh banget, Pa. Kadang suka nanya-nanya nggak penting. Pas belajar, selalu ngajakin ngobrol. Kadang juga bolos pelajaran, pas kami malah dapat tugas sebangku. Terus, suka berantem juga orangnya. Kadang juga gangguin aku kalo mau masuk kelas sama temen-temennya yang bandel itu. Ah, bikin kesel banget deh, Pa."

Papa malah tersenyum, "ini pertama kalinya," ucap beliau kemudian.

Jia mengerutkan kening.

"Ini pertama kalinya anak Papa bicarain orang lain selain Sekai."

Jia terkejut lalu wajahnya berangsur cemberut. Tak suka dengan komentar itu.

"Kamu pasti merhatiin dia ya."

"Aku nggak perhatiin dia kok!" tukas Jia cepat.

Papa tertawa kemudian beralih ke layar TV karena tayangan favoritnya sudah on air lagi.

Jia melipat tangan di depan dada. Satu hal tentang Papa, beliau tak bisa diajak bicara jika sudah fokus pada televisi.

Gadis itu kemudian memikirkan kata-kata Papa barusan. Pertama kalinya ia membicarakan dan memperhatikan orang lain selain Sekai. Apa ia memang terasa seperti memperhatikan sikap Alden?

Nggak mungkin!

Ia menampar pelan pipinya.

***

Continue Reading

You'll Also Like

465K 35.2K 43
"Seru juga. Udah selesai dramanya, sayang?" "You look so scared, baby. What's going on?" "Hai, Lui. Finally, we meet, yeah." "Calm down, L. Mereka cu...
1.2M 88.6K 56
BOOK 1 > Remake. 𝘐𝘯𝘨𝘢𝘵 𝘫𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘴𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘭𝘢𝘱𝘢𝘬⚠️ ⚠️𝘥𝘪𝘴𝘢𝘳𝘢𝘯𝘪𝘯 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘩𝘰𝘮𝘰𝘱𝘩𝘰𝘣𝘪𝘤 𝘫𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘣𝘢𝘤𝘢 𝘤𝘦𝘳𝘪𝘵...
212K 25.8K 23
⚠️ BL Gimana sih rasanya pacaran tapi harus sembunyi-sembunyi? Tanya aja sama Ega Effendito yang harus pacaran sama kebanggaan sekolah, yang prestas...
285K 11K 40
"bego ini obat perangsang bukan antimo" #lapakbxb Top : gamma Bot : nelv (mpreg) (BxB)