Life

By henifebri

96.4K 5.8K 76

Hidup seorang wanita di umurnya yang sudah menginjak seperempat abad sejatinya penuh dengan kebahagiaan akan... More

Part 1 - Ismaya
Part 2 - Working
Part 3 - Kembali
Part 4 - Blackmailed
Part 5 - On your side
Part 6 - I've had enough
Part 7 - Choices
Part 8 - Better than before
Part 9 - Aldrich's reception
Part 10 - His thought
Part 11 - She's back!
Part 12 - Carrousel
Part 13 - Excelsior
Part 15 - Perspective
Part 16 - Dinner?
Part 17 - Rencana
Part 18 - Unsuccessful retaliation
Part 19 - Exposed
Part 20 - Taunt limit reached
Part 21 - His ex
Part 22 - Furlough day
Part 23 - Be mine!
Part 24 - Inamorata
Part 25 - Happy with you (1)
Part 26 - Happy with you? (2)
Part 27 - Broken into pieces
Part 28 - Sebuah fakta
Part 29 - Once I was fourteen years old
Part 30 - Sacrifice
Part 31 - Conscious
Part 32 - Begin again (END)

Part 14 - Forgiveness

2.3K 148 1
By henifebri

"Mana perkataan kamu yang waktu itu Ismaya?! Kamu bilang tidak bermaksud untuk merebut Ian dari Hana!"

Jen dan Ismaya sudah berada di sisi belakang restoran sekarang. Kondisi disini sepi, membuat Jen dengan leluasa meneriaki gadis di depannya.

"Tapi aku benar-benar tidak melakukannya, Jen. Aku tidak mengerti kenapa keadaannya jadi seperti ini."

"Aku melihat kamu berdekatan dengan Ian di dapur tadi. Menurut kamu tadi itu apa!"

"Ma-Maafkan aku.." Ismaya sudah terbata-bata sekarang, kali ini bukan takut karena rahasianya akan dibongkar Jen, tetapi takut kalau seandainya perkataan gadis itu benar; maka ia telah melanggar ucapannya sendiri.

Kali ini Ismaya tidak mengerti dengan perasaannya.

"What the..?"

Hana tiba-tiba saja muncul dari pintu belakang restoran, ia terlihat kaget mendapati Jen dan Ismaya yang terlibat pertengkaran.

"Bagus sekali Hana! Kamu tiba tepat pada waktunya. Aku sudah muak melihat gadis ini."

"Jen, apa yang kamu lakukan?"

Tanpa diduga-duga, Hana menghampiri Ismaya dan memegangi tubuh gadis itu karena kakinya terlihat lemas sekarang.

"Kenapa kamu lakukan ini Jen?"

"Hana, gadis yang kamu pegangi ini merebut pria yang kamu cintai!" Jen berkata lagi, masih dengan nada yang sama.

"Dengar Jen. Ini semua tidak benar."

"Ya. Dan kamu salah paham," suara pria. Ketika mereka menoleh, Ian sudah berdiri di dekat mereka, menatap satu persatu gadis di hadapannya dengan tatapan yang berbeda-beda.

"Kamu tidak apa-apa?" Ian bertanya pada Ismaya, yang hanya dijawab anggukan gadis itu. Tangannya yang kokoh ia gunakan untuk menopang punggung Ismaya, membuat Hana melepaskan pegangannya.

"Saya sendiri yang berinisiatif untuk mendekati Ismaya," Ian berkata dengan lantang, menekankan setiap kata yang terucap dari bibirnya, "Karena saya lihat perbuatan kalian waktu itu. Ah, tidak. Salah. Saya memang sudah memperhatikan Ismaya sejak dulu. Jadi, camkan itu."

Ismaya tertegun. Benarkah?

"Kamu dengar itu Jen? Tidak ada harapan untukku." Hana memandang Jen dengan mata yang hampir mengeluarkan airnya.

Ismaya melihat sorot terluka dalam tatapan Hana, entah dorongan darimana tapi ia melepaskan pegangan Ian demi memeluknya. Memberinya kekuatan.

"Maafkan aku Hana."

Hana yang kaget mendapati dirinya dipeluk seperti itu, tak lagi kuasa menahan air mata yang sedari tadi memaksa untuk dikeluarkan. Ia membalas pelukan Ismaya, selagi berkata-kata tepat di telinga gadis itu.

"Kamu tidak salah Ismaya."

"Justru aku yang harusnya meminta ma-maaf," kata Hana yang mulai sesunggukkan di bahu Ismaya, "Aku tahu dari awal kalau kamu tidak salah apa-apa."

"Aku mungkin posesif tapi aku tidak buta. Sejak awal memang Ian yang mendekati kamu duluan. Aku saja yang tidak mau menerima kenyataan."

Mendengar penuturan Hana, Ismaya sekarang sudah bisa tersenyum lega.

Sementara Jen yang melihat itu semua terlihat tidak terima dan memilih untuk pergi dari tempat itu.

"Maafkan aku juga karena ikut campur dalam urusan pribadimu. Aku sedang kalut waktu itu."

Ismaya melepaskan pelukannya, membiarkan Hana menghapus air matanya dengan sebelah tangannya sendiri.

"Tidak apa-apa Hana. Kamu mungkin salah memperlakukanku selama ini tapi perasaan kamu tidak pernah salah." Setelah berkata seperti itu, Ismaya memandang Ian yang berdiri disebelahnya.

"Jadi, bagaimana menurut chef? Setidaknya anda harus memberikan Hana jawaban."

"Baiklah. Hana," Ian kini memandang Hana, yang balas menatapnya, "Maafkan saya tapi saya tidak bisa menerima perasaan kamu."

"Saya tahu, chef. Tidak usah dipertegas begitu." Hana kini tertawa, lega karena perasaannya tersampaikan meskipun pada akhirnya ia mendapatkan penolakan.

"Terima kasih Ismaya." Hana memandang Ismaya dengan lembut, sambil menggenggam tangannya. Tidak ada lagi tatapan sinis ataupun aura permusuhan dari gadis itu.

***

"Memperhatikanku dari dulu, eh?"

Sekarang hanya tersisa Ismaya berdua dengan Ian, karena Hana sudah masuk kembali ke restoran. Ingin berbicara dengan Jen, katanya.

"Tentu saja."

Ismaya menoleh kearah Ian, menatapnya dari samping.

"Bagaimana saya bisa jadi bos yang baik kalau tidak mengawasi pekerjaanmu, bukan begitu?"

"Hah," terdengar dengusan dari bibir gadis itu, "Apa yang aku pikirkan." Ismaya merutuki pemikirannya sendiri, merasa konyol.

"Memangnya kamu berpikir apa? Kita masih bekerja sekarang, jangan pikirkan hal yang tidak-tidak." Ian tertawa, tidak menyadari tatapan tajam Ismaya yang ditujukan kepadanya.

"Oh, iya. Ngomong-ngomong, kamu tidak penasaran sama interview yang tadi itu?"

"Saya lupa bertanya," Ismaya mengedikkan bahunya, tadi ia sedang sibuk bertengkar dengan Jen. "Jadi bagaimana?"

"Berjalan lancar. Menurut mereka restoran kita itu recommended sekali."

"Benarkah?"

"Ya. Mereka bilang interview saya yang tadi itu akan dimasukkan menjadi salah satu sesi utama acara mereka."

"Lalu memangnya kenapa?"

"Kamu tidak bangga? Bosmu ini masuk TV Ismaya!"

Ismaya tertawa renyah, Ian seperti tidak pernah masuk TV saja. Tunggu, memang tidak pernah sih sepertinya.

"Akhirnya saya kembali mendapatkan popularitas saya."

"Kau tahu setelah malam waktu saya memasak itu, saya benar-benar merasa turun pamor." Ian menghela nafasnya, kembali teringat malam dimana ia dikalahkan di acara crazy cooking waktu itu.

"Halah, anda berlebihan. Lagipula kalau chef masuk TV, memangnya akan ada yang mengenali? Paling keluarga Chef saja. Hahaha." Ismaya tertawa lagi, kalau benar dugaannya maka Ian benar-benar tidak terkenal.

"Jangan sembarangan kamu. Gini-gini saya banyak disukai lho," kata Ian, terlihat bangga pada dirinya sendiri.

Dasar kepedean.

"Mana buktinya? Saya tidak percaya tuh."

"Buktinya sudah masuk kembali ke restoran tadi. Kamu tidak lihat dia hampir  menangis karena saya?" Ian tersenyum miring.

"Tapi saya belum percaya kalau ada orang lain yang mengenal anda," candanya.

"Kamu masih belum percaya kalau saya ini dikenal orang?"

"Ini, coba kamu lihat."

Ian kemudian mengeluarkan ponselnya, membuka salah satu chat di aplikasi LINE.

"Eh, salah salah. Yang benar yang ini."

Ismaya memegang ponsel Ian sekarang, melihat sekilas chatroom pria itu pada sebuah group. Nama grupnya 'Apa Kek Udah Gede'. Profile picture-nya terlihat gambar Ian yang sedang memasak sambil memandang kamera, tersenyum.

"Wah, hebat sekali. Anda terkenal rupanya. Berapa member-nya?" Ismaya kali ini memandang Ian dengan tatapan kagum yang dibuat-buat.

"Um, lima," Ian berhenti sebentar hanya untuk menghela nafasnya lagi, "Itu juga teman SMA saya satu, teman kuliah saya dua, lalu karyawan restoran sisanya." kata Ian lalu menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal.

"Hahaha! Saya pikir tadi itu member-nya robot semua. Oh, tidak tidak. Member-nya kamus penerjemah kan?" Ismaya tertawa terbahak-bahak, tidak menyangka kalau pria itu bisa konyol juga.

"Biar saya tebak," kata Ismaya, disela-sela acara tertawanya, "Pasti orang tidak punya kerjaan yang membuat grup itu." Satu tangan Ismaya memegangi perutnya yang terasa sakit sekarang karena kebanyakan tertawa.

Sementara Ian hanya merengutkan wajahnya memandang gadis itu.

"Iya, tertawa saja. Saya masih bosmu loh Ismaya."

Mendengar kalimat itu, Ismaya segera menghentikan tawanya. Ia lupa kalau masih berada di lingkungan kerja. Dimana profesionalitas dan sopan santun adalah hal yang paling penting.

"Tadi itu saya tertawa untuk chef kok. Saya ikut senang."

"Karena saya masuk TV?" Ian menatap Ismaya dengan jenaka.

"Tentu.. saja tidak. Anda bilang restoran kita jadi recommended kan? Berarti kalau restoran ini semakin ramai pengunjung, ada kemungkinan bagi saya untuk naik gaji."

Setelah berkata seperti itu, Ismaya melangkahkan kakinya masuk ke restoran untuk melanjutkan kembali pekerjaannya. Berbicara dengan Ian membuatnya lupa kalau ia habis bertengkar tadi.

Continue Reading

You'll Also Like

902K 54.8K 43
Kalluna Ciara Hermawan memutuskan untuk pulang ke kampung Ibu nya dan meninggalkan hiruk pikuk gemerlap kota metropolitan yang sudah berteman dengan...
4.2M 53.7K 40
Cerita Dewasa! Warning 21+ Boy punya misi, setelah bertemu kembali dengan Baby ia berniat untuk membuat wanita itu bertekuk lutut padanya lalu setela...
238K 13.3K 42
Reeta tak percaya pada pernikahan setelah melihat rumah-tangga orang-tuanya kandas di temgah jalan. Namun, Pras--sahabat dan juga kekasih terbaiknya...
72.9K 6.9K 27
#TrioTamvanGendengTheSeries Galaksi menamakan pertemuan mereka sebagai takdir. Bagaimana tidak, selama 28 tahun hidupnya, baru kali ini dia menemukan...